Hari yang baru telah dimulai.Tidak ada yang bisa aku lakukan di apartment. Jadi, meskipun Om Danendra memberiku izin untuk mengambil cuti, aku tetap memilih pergi bekerja.“Li, kapan kita mau berkemas? Kemarin Dokter Raffa menawarkan diri untuk membantu,” tanya Cheryl saat melihatku melewati pintu kamar.“Minggu depan saja. Kita tunggu saat unit apartment yang baru sudah siap,” jawabku santai.Cheryl tidak memberikan jawaban apa pun. Dia hanya kembali menikmati sarapannya.Aku pun duduk di hadapan Cheryl dan mulai menikmati nasi goreng yang sudah disiapkan di atas piringku.Ah, rasanya sungguh berbeda ketika orang yang menerorku selama ini sudah ditangkap. Aku tidak lagi merasa khawatir akan terjadi sesuatu hari ini.“Li, apa kamu baik-baik saja?” tanya Cheryl.“Iya. Kenapa?” Aku balik bertanya.“Kejadian kemarin bukan kejadian yang mudah untuk dilewati,” jawab Cheryl.“Benar. Aku sempat menjadi sangat histeris dan berteriak di atas atap.” Aku bercerita jujur.“Sudah aku duga,” sahut
“Beri tahu Dicky, jika dia membenciku maka dia harus berhadapan sendiri denganku. Bukan menyuruh orang lain untuk membunuhku. Bahkan dia dan orang lain tidak ada urusannya denganku.” Keenan berkata. Dia lalu bangkit berdiri dan menghampiriku.“Apa kamu mendengarnya? Dia tidak ada urusannya denganmu atau Dicky. Aku yang punya urusan sama dia. Kalau kamu dan Dicky tidak ingin berurusan denganku maka kalian harus menjauhinya!” ujar Tiger Chang.BUK!Aku mendengar suara pukulan. Aku rasa itu suara Tiger Chang yang memukul orang suruhan Dicky. Aku tidak melihat lagi karena sekarang Keenan sedang memelukku erat.Antara mengeluarkan rasa sedih yang ada di dalam hatinya atau ingin melindungiku, Keenan benar-benar memelukku seakan tidak ingin melepaskannya lagi.‘Ya Tuhan, seandainya kami berjodoh, tolong beri aku petunjuk!’ Doaku dalam hati.Benar … tadi seseorang itu mengaku kalau Dicky yang menyuruhnya untuk membunuh Keenan. Ah, betapa liciknya Dicky! Aku tidak menyangka dia akan menyuruh s
Hari ini aku merasa sangat bahagia. Entah bagaimana cara mengutarakannya … aku hanya merasa seperti ada beban yang terangkat setelah mengunjungi makam Finn bersama Keenan.Mungkin ada perasaan lega karena sudah memberi tahu Finn secara langsung mengenai hubunganku dengan Keenan. Hm, setidaknya ini hanya pemikiranku saja.“Apa kamu jadi mengambil cuti hari ini?” tanya Keenan ketika kami sudah kembali masuk ke dalam mobil.“Iya, aku sudah memberi tahu Om Danendra dan Liam,” jawabku.“Kalau begitu … kita jalan-jalan, yuk!” ajak Keenan.“Mau ke mana? Apa kamu tidak bekerja?” tanyaku. Pasalnya Keenan sepertinya sudah berhari-hari meninggalkan pekerjaannya.“Main di Pulau Sentosa,” jawab Keenan.“Asyik!” gumamku pelan.Keenan melirik ke arahku, pun aku melirik ke arahnya sambil tersenyum.“Lilian yang aku kenal adalah seorang gadis yang selalu menyimpan perasaannya sendiri, penakut, jarang tersenyum, selalu serius, bicara seperlunya, dan harus ditanya dulu agar mau cerita. Rasanya senang bi
“Kalau kita sudah berkeluarga, biasanya akan lebih sayang sama nyawa karena memikirkan mereka yang ditinggal kalau sampai terjadi sesuatu dengan kita,” ujar Keenan berusaha menjelaskan.“Terjadi sesuatu? Aku hanya mengajaknya main roller coaster, bukan main tembak-tembakan ciu ciu …,” jawabku bingung.“Iya, tapi roller coaster juga permainan berbahaya, Sayang. Bagaimana kalau jantung seseorang ternyata tidak kuat? Ada begitu banyak orang yang kelihatannya sehat, tetapi mendadak harus pergi karena terjadi masalah pada jantung. Selain itu, bagaimana kalau sampai permainan tiba-tiba macet di atas?” ujar Keenan. Penjelasannya cukup panjang juga.“Kamu membuatku membayangkan sesuatu yang buruk dan mendadak aku jadi takut,” keluhku sambil memandangi roller coaster yang sedang berputar.“Jawabanmu membuatnya takut untuk bermain,” ujar Keenan pada Tiger Chang.“Kita main yang lain saja,” ajakku berusaha mengabaikan Keenan.Aku tidak merasa ada yang lucu, tetapi Keenan dan Tiger Chang justru t
Keesokan harinya …Rencana Keenan untuk pindah ke Indonesia cukup mengganggu pikiranku. Di satu sisi, aku berusaha memercayai niat baik Keenan. Di sisi lain, aku juga memiliki banyak ketakutan yang berkaitan dengan keluargaku sendiri.Baiklah … aku sepertinya harus belajar untuk menghadapi segala sesuatu dengan lebih tenang dan tidak memikirkan hal-hal yang masih belum jelas.Kemarin, kami main di Universal Studio sampai sore. Malamnya, Keenan mengajakku menonton pertunjukan air dan laser. Tentu saja aku tidak menolak. Aku paling suka menyaksikan pertunjukan air menari yang berpadu dengan sinar laser.Sesudah menonton pertunjukan, Keenan mengantarku pulang dan dia langsung pulang ke unit apartmentnya sendiri.Pagi ini, cuaca di luar agak mendung. Ah, cuaca begini lebih cocok digunakan untuk tidur.“LI, BANGUN!”Baru saja aku mau memejamkan mata lagi, Cheryl sudah berteriak memanggilku. Kenapa suaranya mendadak menjadi sangat keras begitu sih? Biasanya dia selalu masuk ke dalam kamar d
“Unit apartment ini sudah diberikan Papa padaku. Papa juga sudah setuju waktu aku sempat menyinggung tentang rencana pindah ke Alexander Apartment. Jadi, tidak ada masalah kalau kamu ingin tetap tinggal di unit apartment itu nanti.” Aku berkata pada Cheryl.“Kamu tidak perlu memikirkan aku karena aku akan tinggal bersama suamiku,” sahut Cheryl.“Dokter Raffa ya? Dia yang akan menjadi suamimu, bukan? Kapan kalian akan menikah?” Aku kembali menggoda Cheryl. Kapan lagi aku bisa menggoda sahabatku ini?“Entahlah … kali ini aku sudah benar-benar pasrah dengan jalan hidup kami,” jawab Cheryl sambil menikmati sarapannya.“Asyik! Mudah-mudahan kamu menikah terlebih dahulu,” ujarku berharap.“Sepertinya begitu …,” jawab Cheryl.“Apa kamu akan tetap bekerja setelah menikah nanti?” tanyaku.“Sepertinya begitu …,” jawab Cheryl lagi.“Sepertinya begitu … sepertinya begitu … apa enggak ada jawaban lain?” cibirku.“Sudah aku bilang, aku sendiri hanya bisa pasrah,” ujar Cheryl.“Tapi … kamu cinta den
Rindu, satu kata yang cukup sulit saat rasa menerpa. Rindu memberikan sebuah harapan pada sesuatu yang tidak ada kejelasan waktu untuk mewujudkannya. Rindu memberikan keinginan kuat yang membuat seseorang berjuang untuk mendapatkannya. Sayangnya, ada rindu yang hanya sebatas angan.Finn, seorang pemuda yang pernah mengisi hatiku. Dia menggambarkan dirinya sebagai bintang di dalam mimpiku. Pun dia memberikan bintang itu agar selalu bersinar di hatiku. Ke mana pun aku pergi, bintang ini akan selalu bersamaku.Sama seperti keluargaku, Cheryl, Om Danendra, dan Tante Iva, Finn akan selalu menempati satu ruang di hatiku. Aku tidak akan pernah bosan mengatakan hal ini.Jangan salah sangka! Aku bukan memiliki dua hati. Saat aku memutuskan untuk mencintai Keenan maka aku akan serius menjalin hubungan dengannya.Finn maju satu langkah dan memelukku erat. Aku menghirup aroma tubuh Finn dengan rakus karena tidak ingin melewatkan satu detik pun kebersamaan kami yang terasa sangat nyata ini.“Aku m
Aku bergegas mendekati Keenan dan duduk di sebelahnya sambil menunduk. Tanganku meraih kotak yang berisi barang-barang Finn dan merapikannya. Sejujurnya, aku tidak tahu cara bersikap agar Keenan tidak tersinggung.Walaupun dengan posisi menunduk, aku bisa tahu kalau Keenan menoleh ke arahku dan tangannya terulur untuk mengarahkan pandanganku pada wajahnya.“M-maaf, a-aku m-masih b-belum r-rela … membuang benda-benda yang penuh dengan kenangan bersama Finn.” Aku merasa gugup di awal dan mengakhiri kalimat dengan memelankan suara.Aku tahu ini tidak benar, tapi aku yakin semua ada waktunya. Suatu hari nanti, aku pasti bisa merelakan semua dengan sendirinya.Benda-benda ini tidak akan mengurangi rasa cintaku pada Keenan. Aku hanya ingin menyimpannya dan membutuhkan waktu lebih banyak. Mudah-mudah Keenan mau mengerti.“Aku tidak memintamu untuk membuang kenangan bersama Finn. Itu masa lalumu dan aku mencintaimu beserta paket masa lalumu. Tadi aku hanya berkata kalau Finn itu tampan,” ujar
Aku melihat ke sekeliling ruang kamar VVIP, tempat aku dirawat sekarang. Hingga pandanganku berakhir pada sosok bayi perempuan mungil di dalam pelukanku.Namanya Gina, yang berarti wanita kuat. Aku ingin anakku tumbuh menjadi wanita kuat, tidak seperti aku yang suka menangis dan selalu terlihat lemah.Masih teringat rasa sakit saat kontraksi dan tak kunjung melahirkan. Namun, semuanya itu terbayarkan dengan rasa bahagia yang membuatku seketika melupakan rasa sakitnya.Saat ini, Keenan, Papa Mario, Mama Louisa, Papa, Mama, Tante Iva, dan Om Danendra sedang berada di dalam kamar, tempat aku dirawat.Begitu tahu aku merintih kesakitan, Mama Louisa mengajakku ke rumah sakit dan di dalam perjalanan beliau menghubungi semua orang terdekat.Aku tahu kalau keinginanku untuk melahirkan di Singapura memang tidak mungkin menjadi kenyataan karena Keenan tidak mengizinkanku bepergian. Meskipun demikian, aku tetap menaruh harapan bisa pergi ke Singapura di detik-detik menjelang mau melahirkan.Aku h
Untungnya, aku tidak sampai memuntahkan makan siangku. Namun, rasa mual membuatku sedikit lemas.Ketika aku keluar dari salah satu toilet yang ada di dalam mall ini, Keenan ternyata sudah menungguku di dekat pintu masuk toilet.“Apa kamu baik-baik saja?” tanya Keenan terlihat khawatir.“Baik. Hanya saja, bagaimana dengan Om Danendra dan Tante Iva? Mereka di mana?” Aku bertanya dengan sedikit perasaan tidak enak.“Mereka masih makan. Kita kembali, yuk!” ajak Keenan.Aku hanya mengangguk mengikuti Keenan.“Jangan dimakan kalau tidak selera, Li!” tegur Tante Iva.Aku memandangi makanan di atas piring yang ada di hadapanku dengan perasaan bersalah. Tapi, aku sungguh-sungguh tidak mampu memakannya lagi.“Maaf, Om, Tante,” ucapku lirih.“Eh, tidak apa-apa. Sudah … jangan dilihat terus! Nanti mual lagi.” Tante Iva menarik piringku.Sesudah Keenan, Om Danendra, dan Tante Iva menghabiskan makanan, kami segera beranjak dari tempat itu.“Li, kamu belum makan lho,” ujar Keenan.“Tidak apa-apa. Ta
Tiga bulan kemudian …Sejak menikah, selain menjadi istri dan ibu rumah tangga, status aku berubah menjadi pengangguran akut.Dalam sebulan, hanya sesekali saja aku merancang desain untuk produk mainan anak yang dibuat oleh Keenan. Sisa waktu yang lain, aku gunakan untuk membersihkan rumah, masak, pergi ke cafe terdekat, dan melakukan perjalanan ke Singapura.Biasanya, aku melakukan perjalanan ke Singapura kalau Keenan ada pekerjaan di Jakarta dan Singapura. Jadi, aku sengaja menghindari bertemu keluargaku dengan melakukan perjalanan ke Singapura terlebih dahulu. Nanti aku pulang ke Pulau Bali bersama Keenan.Di Singapura, aku membersihkan unit apartmentku dan mengunjungi Tante Iva. Bersama Tante Iva, aku jalan-jalan dan wisata kuliner.Seperti sekarang, aku dan Tante Iva sedang mencicipi hidangan laut yang ada di salah satu pujasera.“Huaaa … ini enak sekali, Li! Kamu tahu nggak, Tante sudah lama ingin makan di sini. Hm, sepertinya sejak sebelum kamu menikah, tapi Om tidak pernah mau,
“Eee ….”Aku bahkan belum mulai bicara, tiba-tiba Keenan kembali melumat bibirku dan beralih menghisap leher bagian bawah. Itu sangat geli hingga membuatku tertawa kecil.Jangan lupakan tangannya yang mulai meremas kedua benda kenyal milikku! Pun ciumannya semakin turun sampai tulang selangka miliku.“Kee …! Aaaaahh.” Akhirnya lolos juga desahanku ketika merasakan lumatan di ujung salah satu bukit kembarku.Tubuhku benar-benar terasa tegang dan sepertinya Keenan bisa merasakan itu.“Maaf,” ucap Keenan tepat di telingaku, “tapi, aku sudah boleh melakukannya, bukan?”“Boleh,” sahutku singkat.Suamiku ini lucu juga. Sudah melakukan sampai sejauh ini baru minta maaf. Lagipula, aku bukannya keberatan, melainkan lebih ke arah malu dan khawatir karena belum pernah melakukannya.Di dalam hati, aku terus mencoba mengingat-ingat perkataan Cheryl agar tetap santai walaupun kenyataannya praktik itu sangat susah.“Baik. Kamu yang santai, Sayang!” ujar Keenan sambil mengusap-usap kepalaku.“Pelan-p
Keenan dan aku memang memilih untuk membuat acara pernikahan yang sederhana karena kami adalah pribadi yang tidak menyukai acara-acara besar.Jadi, kesederhanaan yang kami putuskan tidak ada sangkut pautnya dengan sikap Mama.Berhubung acara kami sangat sederhana, usai makan dan berbincang, kebanyakan tamu langsung pamit sehingga tidak sampai malam, keseluruhan acara sudah selesai.“Terima kasih untuk semua tim event organizer, tim dekorasi, salon, bridal, fotografer, video, pembawa acara, souvenir, dan semua tim yang terlibat. Kalian sudah bekerja keras hingga acara pernikahan saya dan istri dapat berjalan dengan lancar,” ucap Keenan sebelum mereka semua pulang.Mendengar Keenan menyebutku sebagai istri, membuatku sedikit tersipu. Status yang baru ini masih terdengar aneh di telingaku.“Sebelum pulang, jangan lupa makan dulu, ya!” sambungku.Keenan dan aku lantas pamit untuk masuk ke kamar hotel.Wah, iya … aku hampir saja lupa. Sekarang aku dan Keenan sudah akan tinggal di satu kama
Aku melihat Mama Louisa meletakkan tas di atas meja. Beliau lantas mengeluarkan sebuah kotak beludru berwarna merah dari dalam tasnya dan duduk di sebelahku.“Lilian, Mama minta maaf karena sewaktu pertama kali kita bertemu, Mama terkesan tidak menyukaimu, pun Mama menolak membuat gaun pengantin untukmu. Itu semua bukan karena Mama membencimu,” jelas Mama Louisa.“Iya, Ma ….”“Mama juga tidak pernah membenci Keenan,” potong Mama dengan suara pelan, “mungkin Keenan sudah menceritakan semuanya padamu.”Aku hanya diam karena tidak tahu harus berkata jujur atau tidak.“Tidak apa-apa. Jangan khawatir! Mama tidak marah,” sambung Mama Louisa sambil tersenyum.Cantik!Astaga! Mama mertuaku cantik sekali kalau tersenyum begini. Hidungnya mancung. Kulitnya masih kencang. Beliau bahkan tidak memiliki kantong mata.“Ma, Keenan sangat sedih ….” Aku tidak melanjutkan perkataanku karena tidak ingin salah bicara. Aku tidak mau memanfaatkan suasana.“Mama tahu dan di sini Mama memang sudah melakukan k
“Apa yang bisa Papa lakukan sekarang? Papa ingin bertanggung jawab dan ingin marah karena kalian menolak. Akan tetapi, Papa bisa memaklumi keputusan kalian,” ujar Papa Mario.Aku dan Keenan diam-diam saling berpandangan. Namun, kami tidak memberikan tanggapan. Kami tetap pada pendirian kami untuk menjalani semuanya sendiri sampai akhir.Ting!Papa Mario, aku, dan Keenan praktis menoleh ke arah ponsel milik Keenan yang dia letakkan di atas meja. Itu tanda ada pesan yang masuk.Keenan meraih ponsel dan membuka layarnya.“Dari Mama,” ujar Keenan, “katanya di hari pernikahan kita sudah ada yang memesan gaun pengantin.”“Baik, tidak apa-apa. Aku sudah punya alternatif. Nanti aku akan membuat janji,” jawabku sambil tersenyum.Sebenarnya, aku sudah bisa menduga jawaban ini. Mama Louisa pasti tidak ingin mencampuri urusan kami.Kecewa itu pasti. Aku masih manusia. Ada rasa nyeri di hati karena merasa diabaikan. Namun, melihat raut wajah Keenan yang jelas terlihat sedih, membuatku praktis memb
Keenan terlihat tidak enak hati saat melihat mamanya tidak menyapaku dengan benar. Namun, aku tetap mempertahankan senyum dan sikapku yang tenang sebagai bentuk dukungan.Seperti yang aku katakan bahwa ini adalah realita yang harus kami hadapi. Baik calon mama mertua maupun mamaku sendiri sama-sama memiliki luka yang tidak mungkin disembuhkan oleh aku dan Keenan.Kalau dipikir-pikir, sebenarnya aku dan Keenan tidak melakukan kesalahan apa pun. Tante Louisa dan Mama terluka karena diri mereka sendiri. Namun, satu-satunya cara agar kami tetap dapat melangkah adalah menerima keadaan diri sendiri.Keadaannya memang calon mama mertua maupun mamaku menganggap Keenan dan aku ini anak-anak yang menyebalkan.Keadaannya memang calon mama mertua maupun mamaku menganggap Keenan dan aku ini penyebab luka yang mereka alami.“Apa kalian sudah makan siang?” tanya Om Mario.Aku melirik ke arah jam dengan rantai emas yang melingkar di pergelangan tanganku. Saat ini sudah lewat jam makan siang.“Sudah,
“Sebenarnya, kedatangan saya dan Lilian kemari mau sekalian pamit, Om,” jelas Keenan saat melihat raut wajah bingung Om Danendra.“Lho … nanti kalian pasti akan kembali juga, ‘kan?” tanya Om Danendra.“Iya, tapi kami akan lebih sering berada di Indonesia,” jawab Keenan.“Tidak apa-apa. Selagi kita masih berpijak di bawah langit yang sama maka artinya kita belum berpisah. Om dan Tante pasti akan mengunjungi kalian. Sebaliknya kalian tidak boleh lupa mengunjungi Om dan Tante.” Om Danendra berkata.“Kami tidak mungkin lupa sama Om dan Tante,” jawabku masih terisak.“Bukankah Om dan Tante sudah menganggap Lilian sebagai anak kandung sendiri? Pun Lilian sudah menganggap Om dan Tante sebagai orang tuanya. Mudah-mudah saya bisa sering-sering mengajak Lilian main ke Singapura,” ujar Keenan.“Saya juga masih punya unit apartment di sini. Jadi, kami pasti bisa sering datang berkunjung,” sambungku dengan sok yakin.Keenan hanya mengangguk setuju.“Tante merasa bahagia melihat kalian akan segera