“Li, sudah nangisnya,” ujar Cheryl yang duduk di bangku penumpang bagian belakang.“Belum bisa berhenti. Kalian diam saja!” sahutku masih sesenggukan.“Astaga, Li! Kamu ini ada-ada saja,” jawab Cheryl sambil tertawa geli.“Kamu kenapa tiba-tiba menangis begitu?” tanya Keenan bingung.Masih belum bisa berhenti menangis, akhirnya aku hanya menggeleng pelan.Tidak bisa mengajakku bicara, akhirnya Keenan dan Cheryl hanya diam, membiarkanku sampai puas menangis.“Keenan, kita makan hidangan laut yang ada di Alexander Apartment, yuk!” Cheryl mengajak.“Boleh!” sahut Keenan.Hening seketika.Selama aku masih menangis, mungkin Keenan dan Cheryl tidak akan memiliki bahan pembicaraan.Akhirnya aku pun berusaha untuk kembali tenang dan menahan diri agar berhenti menangis. Namun, baru saja aku hendak bicara, tiba-tiba ponsel milik Cheryl berbunyi.Walaupun tanpa menoleh, aku bisa mendengar dari pergerakan Cheryl yang buru-buru meraih ponsel dan menerima panggilan tersebut.“Halo,” sapa Cheryl.“K
Apa aku harus mengajak Keenan sesuai permintaan Om Danendra? Ah, entahlah … hati ini masih merasa tidak yakin.“Baik, Om. Nanti Cheryl dan Keenan akan ikut juga,” putusku membuat Cheryl praktis menoleh ke arahku dengan raut wajah bertanya-tanya.Setelah Om Danendra menjawab dan kami sama-sama pamit, aku memutuskan sambungan telepon.“Om Danendra, Li?” tanya Cheryl.“Iya. Kita minggu depan makan burger yang baru buka di dekat apartment Om Danendra itu ya,” jawabku.“Siap,” sahut Cheryl.“Keenan dan Dokter Raffa juga harus ikut,” ujarku.“Baik,” sahut Keenan.“Mau ke mana?” tanya Dokter Raffa bingung.“Om Danendra dan Tante Iva itu orang tua mantan—“Tidak melanjutkan perkataannya, Cheryl justru melirik ke arahku dan Keenan.Aku hanya mengangguk memberi tanda kalau tidak ada masalah seandainya Cheryl mau cerita.“Om Danendra dan Tante Iva itu orang tua mantan kekasih Lilian. Mereka mau mengajak kita makan burger.” Cheryl berkata.“Benarkah? Aku senang dengan orang tua yang berpikiran te
“Kerja sama apa, Pa?” tanya Tante Iva.“Keenan memiliki bisnis membuat mainan anak dari kayu dan bekerja di bidang keuangan. Ini peluang bisnis yang bagus. Papa ingin menanamkan modal untuk kedua bisnis Keenan itu,” jawab Om Danendra.Ah, sepertinya sedari tadi Om Danendra dan Keenan membicarakan masalah bisnis.“Boleh, Pa,” sahut Tante Iva sambil membagikan burger pesanan kami.“Mama setuju, ‘kan?” tanya Om Danendra.“Setuju banget,” jawab Tante Iva dengan senyum ramah khasnya.“Baiklah. Minggu depan kita proses ya,” ujar Om Danendra, “berapa nomor teleponmu, Kee?” tanya Om Danendra. Beliau sudah mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan siap memasukkan data Keenan di dalam ponselnya.Keenan lalu menyebutkan nomor teleponnya.“Nanti Om sendiri yang akan menghubungimu,” lanjut Om Danendra.“Wah, terima kasih banyak, Om,” jawab Keenan sambil tersenyum lebar.“Rasanya senang ya, Ma … melihat Cheryl dan Lilian memiliki pendamping seperti ini? Papa sudah punya teman ngobrol,” ujar Om Da
“Dina, apa kamu bisa bersikap lebih baik?” tanya Om Danendra pelan. Namun, suaranya masih bisa terdengar oleh kita semua.“Sebaiknya kamu melanjutkan acaramu sendiri, Di,” lanjut Tante Iva. Dari raut wajahnya, aku bisa merasakan kalau Tante Iva tidak suka dengan ucapan Dina.“Aku hanya mengungkapkan isi hatiku mewakili Finn. Aku rasa … aku tidak melakukan kesalahan apa pun,” ujar Dina. Gayanya begitu angkuh dan sangat mengintimidasi aku.Ingin rasanya aku menangis. Pun aku tidak berani melihat ke arah Keenan karena di sini dia juga tersudut. Apa ada yang salah dengan cinta?“Dina ….” Tante Iva berusaha menarik tangan Dina, tetapi tampaknya dia tetap bertahan pada posisinya.“Aku tidak setuju kalau Lilian jatuh cinta dengan pria lain!” seru Dina marah.“Dina, apa kamu mau Om memarahimu di sini … di depan banyak orang?” tanya Om Danendra. Ini pertama kalinya aku melihat Om Danendra terlihat begitu geram.Dina menatap tajam ke arahku. Sedangkan aku sendiri hanya bisa diam, menahan air ma
“Om dan Tante pulang dulu, Di,” pamit Tante Iva ketika melewati Dina.“Iya,” sahut Dina. Netranya sempat menatap tajam ke arahku. Namun, aku hanya tersenyum dan mengangguk untuk pamit.“Belum tahu rasanya diterbangin pakai baling-baling bambu tuh orang ya,” gumam Cheryl sangat pelan. Aku yakin tidak ada yang mendengar perkataan Cheryl ini. Akan tetapi, aku yang berada di sebelah Cheryl persis tentu bisa mendengarnya.“Sshhh …!” Aku memberi tanda agar Cheryl menjaga ucapannya. Bisa gawat kalau Cheryl bicara kasar pada Dina.“Biarin!” kesal Cheryl.Kalau sudah jengkel dengan seseorang dan merasa tidak melakukan kesalahan, Cheryl memang sangat nekad.Sikap Cheryl ini benar-benar membuatku khawatir. Pasalnya, aku tidak ingin membuat masalah dengan anggota keluarga Finn.Urung naik Singapura River Cruise, Om Danendra dan Tante Iva mengajak kami mampir ke unit apartment milik mereka. Di sana memang tempat paling aman untuk membicarakan sebuah strategi tanpa merasa khawatir pembicaraan akan
Berkali-kali Keenan melihat ke arah kaca spion tengah dan dia melajukan kendaraan menuju ke arah pusat kota.Beruntung malam ini jalanan masih terlihat ramai sehingga aku merasa lebih tenang.Beruntungnya lagi, tadi Om Danendra sudah langsung menyuruh kami menggunakan mobilnya. Besok, orang kepercayaan Om Danendra sendiri yang akan mengantarkan mobil milik Keenan ke Alexander Apartment.“Bagaimana kamu tahu kalau kita sedang diikuti?” tanyaku hati-hati.Sejujurnya, aku tidak berani melihat ke belakang atau ke sekitar. Aku hanya duduk diam dan melihat lurus ke depan.“Sejak kita keluar dari gedung apartment tempat Om Danendra tinggal, ada satu mobil SUV berwarna hitam terus mengikuti kita,” jawab Keenan.“Sampai sekarang?” tanyaku.“Iya. Nanti di depan itu ada belokan. Kamu bersiap dengan segala pergerakanku, ya!” Keenan memberi tahu.“Hm, apa aku perlu menghubungi Om Danendra?” tanyaku. Aku tidak terlalu menanggapi perkataan Keenan karena aku sudah pasti akan bersiap.“Boleh. Telepon
“Li!” panggil Cheryl. Dia sudah masuk ke dalam mobil, tetapi keluar lagi untuk memanggilku.Tanpa memberikan jawaban, aku hanya mengangguk dan bergegas masuk ke dalam mobil.Sembari mengenakan sabuk pengaman, aku masih terus mengedarkan pandangan ke sekitar, bahkan ketika Cheryl sudah melajukan kendaraan, aku masih terus melihat ke sekitar. Akan tetapi, aku tidak menemukan apa pun.“Kamu mencari apa sih?” tanya Cheryl.“Tadi ketika keluar dari lobby apartment, sudut mataku seperti melihat seseorang yang sedang mengamati kita,” jawabku.“Apa kamu juga melihatnya?” Cheryl kembali bertanya.Aku menoleh ke arah Cheryl sambil mengernyit.“K-kamu juga melihatnya? Berarti aku tidak salah,” jawabku.“Aku kira itu hanya perasaanku. Namun, aku sempat melihat seorang pria dengan topi berwarna cokelat muda, terus memperhatikan kita dari balik mobil yang parkir di dekat pos keamanan,” ujar Cheryl.“Apa itu mobil SUV berwarna hitam?” tanyaku pelan.“Iya,” jawab Cheryl membuatku terbelalak.“Astaga!
Lima menit berlalu dan mesin cetak masih terus bekerja. Aku harus bagaimana? Apa aku boleh menelepon Om Danendra? Akan tetapi, aku tidak ingin dianggap memanfaatkan hubungan baik.Aku berkali-kali menggenggam kedua telapak tangan yang sudah basah dan masih gemetaran. Sesekali aku mengusap pelan bulir-bulir keringat yang membasahi wajahku dengan tisu.“Lilian, apa kamu sudah selesai?” Liam menyembulkan kepala dari balik pintu dan bicara dengan nada suara keras.“Belum, Liam. Aku sudah berusaha secepat mungkin,” sahutku.“Dengar aku baik-baik, Lilian! Aku akan memotong gajimu kalau perusahaan ini rugi!” Liam mengancam.Saat tidak marah saja wajah Liam sudah tidak baik untuk kesehatan mata dan jantung, apalagi saat marah begini … benar-benar seperti bom yang siap meledak.“M-maaf, a-apa aku boleh menghubungi Pak Danendra untuk mengatakannya secara langsung pada beliau bahwa ada kesalahan dan aku sedang berusaha memperbaikinya?” tanyaku memberanikan diri.“Ah, punya nyali juga kamu! Catat
Aku melihat ke sekeliling ruang kamar VVIP, tempat aku dirawat sekarang. Hingga pandanganku berakhir pada sosok bayi perempuan mungil di dalam pelukanku.Namanya Gina, yang berarti wanita kuat. Aku ingin anakku tumbuh menjadi wanita kuat, tidak seperti aku yang suka menangis dan selalu terlihat lemah.Masih teringat rasa sakit saat kontraksi dan tak kunjung melahirkan. Namun, semuanya itu terbayarkan dengan rasa bahagia yang membuatku seketika melupakan rasa sakitnya.Saat ini, Keenan, Papa Mario, Mama Louisa, Papa, Mama, Tante Iva, dan Om Danendra sedang berada di dalam kamar, tempat aku dirawat.Begitu tahu aku merintih kesakitan, Mama Louisa mengajakku ke rumah sakit dan di dalam perjalanan beliau menghubungi semua orang terdekat.Aku tahu kalau keinginanku untuk melahirkan di Singapura memang tidak mungkin menjadi kenyataan karena Keenan tidak mengizinkanku bepergian. Meskipun demikian, aku tetap menaruh harapan bisa pergi ke Singapura di detik-detik menjelang mau melahirkan.Aku h
Untungnya, aku tidak sampai memuntahkan makan siangku. Namun, rasa mual membuatku sedikit lemas.Ketika aku keluar dari salah satu toilet yang ada di dalam mall ini, Keenan ternyata sudah menungguku di dekat pintu masuk toilet.“Apa kamu baik-baik saja?” tanya Keenan terlihat khawatir.“Baik. Hanya saja, bagaimana dengan Om Danendra dan Tante Iva? Mereka di mana?” Aku bertanya dengan sedikit perasaan tidak enak.“Mereka masih makan. Kita kembali, yuk!” ajak Keenan.Aku hanya mengangguk mengikuti Keenan.“Jangan dimakan kalau tidak selera, Li!” tegur Tante Iva.Aku memandangi makanan di atas piring yang ada di hadapanku dengan perasaan bersalah. Tapi, aku sungguh-sungguh tidak mampu memakannya lagi.“Maaf, Om, Tante,” ucapku lirih.“Eh, tidak apa-apa. Sudah … jangan dilihat terus! Nanti mual lagi.” Tante Iva menarik piringku.Sesudah Keenan, Om Danendra, dan Tante Iva menghabiskan makanan, kami segera beranjak dari tempat itu.“Li, kamu belum makan lho,” ujar Keenan.“Tidak apa-apa. Ta
Tiga bulan kemudian …Sejak menikah, selain menjadi istri dan ibu rumah tangga, status aku berubah menjadi pengangguran akut.Dalam sebulan, hanya sesekali saja aku merancang desain untuk produk mainan anak yang dibuat oleh Keenan. Sisa waktu yang lain, aku gunakan untuk membersihkan rumah, masak, pergi ke cafe terdekat, dan melakukan perjalanan ke Singapura.Biasanya, aku melakukan perjalanan ke Singapura kalau Keenan ada pekerjaan di Jakarta dan Singapura. Jadi, aku sengaja menghindari bertemu keluargaku dengan melakukan perjalanan ke Singapura terlebih dahulu. Nanti aku pulang ke Pulau Bali bersama Keenan.Di Singapura, aku membersihkan unit apartmentku dan mengunjungi Tante Iva. Bersama Tante Iva, aku jalan-jalan dan wisata kuliner.Seperti sekarang, aku dan Tante Iva sedang mencicipi hidangan laut yang ada di salah satu pujasera.“Huaaa … ini enak sekali, Li! Kamu tahu nggak, Tante sudah lama ingin makan di sini. Hm, sepertinya sejak sebelum kamu menikah, tapi Om tidak pernah mau,
“Eee ….”Aku bahkan belum mulai bicara, tiba-tiba Keenan kembali melumat bibirku dan beralih menghisap leher bagian bawah. Itu sangat geli hingga membuatku tertawa kecil.Jangan lupakan tangannya yang mulai meremas kedua benda kenyal milikku! Pun ciumannya semakin turun sampai tulang selangka miliku.“Kee …! Aaaaahh.” Akhirnya lolos juga desahanku ketika merasakan lumatan di ujung salah satu bukit kembarku.Tubuhku benar-benar terasa tegang dan sepertinya Keenan bisa merasakan itu.“Maaf,” ucap Keenan tepat di telingaku, “tapi, aku sudah boleh melakukannya, bukan?”“Boleh,” sahutku singkat.Suamiku ini lucu juga. Sudah melakukan sampai sejauh ini baru minta maaf. Lagipula, aku bukannya keberatan, melainkan lebih ke arah malu dan khawatir karena belum pernah melakukannya.Di dalam hati, aku terus mencoba mengingat-ingat perkataan Cheryl agar tetap santai walaupun kenyataannya praktik itu sangat susah.“Baik. Kamu yang santai, Sayang!” ujar Keenan sambil mengusap-usap kepalaku.“Pelan-p
Keenan dan aku memang memilih untuk membuat acara pernikahan yang sederhana karena kami adalah pribadi yang tidak menyukai acara-acara besar.Jadi, kesederhanaan yang kami putuskan tidak ada sangkut pautnya dengan sikap Mama.Berhubung acara kami sangat sederhana, usai makan dan berbincang, kebanyakan tamu langsung pamit sehingga tidak sampai malam, keseluruhan acara sudah selesai.“Terima kasih untuk semua tim event organizer, tim dekorasi, salon, bridal, fotografer, video, pembawa acara, souvenir, dan semua tim yang terlibat. Kalian sudah bekerja keras hingga acara pernikahan saya dan istri dapat berjalan dengan lancar,” ucap Keenan sebelum mereka semua pulang.Mendengar Keenan menyebutku sebagai istri, membuatku sedikit tersipu. Status yang baru ini masih terdengar aneh di telingaku.“Sebelum pulang, jangan lupa makan dulu, ya!” sambungku.Keenan dan aku lantas pamit untuk masuk ke kamar hotel.Wah, iya … aku hampir saja lupa. Sekarang aku dan Keenan sudah akan tinggal di satu kama
Aku melihat Mama Louisa meletakkan tas di atas meja. Beliau lantas mengeluarkan sebuah kotak beludru berwarna merah dari dalam tasnya dan duduk di sebelahku.“Lilian, Mama minta maaf karena sewaktu pertama kali kita bertemu, Mama terkesan tidak menyukaimu, pun Mama menolak membuat gaun pengantin untukmu. Itu semua bukan karena Mama membencimu,” jelas Mama Louisa.“Iya, Ma ….”“Mama juga tidak pernah membenci Keenan,” potong Mama dengan suara pelan, “mungkin Keenan sudah menceritakan semuanya padamu.”Aku hanya diam karena tidak tahu harus berkata jujur atau tidak.“Tidak apa-apa. Jangan khawatir! Mama tidak marah,” sambung Mama Louisa sambil tersenyum.Cantik!Astaga! Mama mertuaku cantik sekali kalau tersenyum begini. Hidungnya mancung. Kulitnya masih kencang. Beliau bahkan tidak memiliki kantong mata.“Ma, Keenan sangat sedih ….” Aku tidak melanjutkan perkataanku karena tidak ingin salah bicara. Aku tidak mau memanfaatkan suasana.“Mama tahu dan di sini Mama memang sudah melakukan k
“Apa yang bisa Papa lakukan sekarang? Papa ingin bertanggung jawab dan ingin marah karena kalian menolak. Akan tetapi, Papa bisa memaklumi keputusan kalian,” ujar Papa Mario.Aku dan Keenan diam-diam saling berpandangan. Namun, kami tidak memberikan tanggapan. Kami tetap pada pendirian kami untuk menjalani semuanya sendiri sampai akhir.Ting!Papa Mario, aku, dan Keenan praktis menoleh ke arah ponsel milik Keenan yang dia letakkan di atas meja. Itu tanda ada pesan yang masuk.Keenan meraih ponsel dan membuka layarnya.“Dari Mama,” ujar Keenan, “katanya di hari pernikahan kita sudah ada yang memesan gaun pengantin.”“Baik, tidak apa-apa. Aku sudah punya alternatif. Nanti aku akan membuat janji,” jawabku sambil tersenyum.Sebenarnya, aku sudah bisa menduga jawaban ini. Mama Louisa pasti tidak ingin mencampuri urusan kami.Kecewa itu pasti. Aku masih manusia. Ada rasa nyeri di hati karena merasa diabaikan. Namun, melihat raut wajah Keenan yang jelas terlihat sedih, membuatku praktis memb
Keenan terlihat tidak enak hati saat melihat mamanya tidak menyapaku dengan benar. Namun, aku tetap mempertahankan senyum dan sikapku yang tenang sebagai bentuk dukungan.Seperti yang aku katakan bahwa ini adalah realita yang harus kami hadapi. Baik calon mama mertua maupun mamaku sendiri sama-sama memiliki luka yang tidak mungkin disembuhkan oleh aku dan Keenan.Kalau dipikir-pikir, sebenarnya aku dan Keenan tidak melakukan kesalahan apa pun. Tante Louisa dan Mama terluka karena diri mereka sendiri. Namun, satu-satunya cara agar kami tetap dapat melangkah adalah menerima keadaan diri sendiri.Keadaannya memang calon mama mertua maupun mamaku menganggap Keenan dan aku ini anak-anak yang menyebalkan.Keadaannya memang calon mama mertua maupun mamaku menganggap Keenan dan aku ini penyebab luka yang mereka alami.“Apa kalian sudah makan siang?” tanya Om Mario.Aku melirik ke arah jam dengan rantai emas yang melingkar di pergelangan tanganku. Saat ini sudah lewat jam makan siang.“Sudah,
“Sebenarnya, kedatangan saya dan Lilian kemari mau sekalian pamit, Om,” jelas Keenan saat melihat raut wajah bingung Om Danendra.“Lho … nanti kalian pasti akan kembali juga, ‘kan?” tanya Om Danendra.“Iya, tapi kami akan lebih sering berada di Indonesia,” jawab Keenan.“Tidak apa-apa. Selagi kita masih berpijak di bawah langit yang sama maka artinya kita belum berpisah. Om dan Tante pasti akan mengunjungi kalian. Sebaliknya kalian tidak boleh lupa mengunjungi Om dan Tante.” Om Danendra berkata.“Kami tidak mungkin lupa sama Om dan Tante,” jawabku masih terisak.“Bukankah Om dan Tante sudah menganggap Lilian sebagai anak kandung sendiri? Pun Lilian sudah menganggap Om dan Tante sebagai orang tuanya. Mudah-mudah saya bisa sering-sering mengajak Lilian main ke Singapura,” ujar Keenan.“Saya juga masih punya unit apartment di sini. Jadi, kami pasti bisa sering datang berkunjung,” sambungku dengan sok yakin.Keenan hanya mengangguk setuju.“Tante merasa bahagia melihat kalian akan segera