"Jelaskan ke aku, ada apa sebenarnya. Apa maksud testpack garis dua itu? Sayang pernah katakan jika tidak mungkin bisa hamil. Apa yang sudah sayang sembunyikan dariku?" Yuda bertanya setelah menaruh diriku di atas sofa. Jarak wajah kami sangat dekat. Bahkan aku bisa merasakan hembusan nafas Yuda. "Maafkan aku!" Kini dada terasa sesak. Aku tak mampu menahan bulir air mata. Semua tumpah. Aku menutup wajah. Ya Allah, aku takut jika Yuda marah padaku. Takut jika dia akan menceraikan aku. "Kenapa minta maaf, sayang? Ceritakan baik-baik ke aku. Percayalah, aku tidak akan marah tentang apapun yang sayang jelaskan." Yuda berkata setelah mengangkat kembali wajahku yang telah menunduk. Kedua tangannya kini menghapus air mataku. Tatapannya yang sendu, seakan memaksa untuk membalas tatapan. "Maafkan aku karena telah berbohong. Aku tidak mandul. Dulu, aku sengaja mengatakan itu agar kamu berhenti mengejarku. Dulu, aku berkata begitu agar kamu tidak lagi memiliki niat untuk menikah denganku. A
"Kalau besok saja, gimana?" Aku mengusap lembut pipi Yuda. Wajahnya sangat mulus. Bahkan lebih mulus dari wajahku. Mungkin bakteri tidak rela untuk mengotori kulitnya yang putih bersih."Kenapa besok, bukan hari ini saja?" Yuda berkata sambil menurunkan tanganku dari pipinya. Dia membawa ke bibirnya untuk di cium. Sungguh indah kasih sayang dari Yuda. Tingkahnya selalu membuatku tersipu. Merasa menjadi perempuan spesial."Kalau hari ini, sepertinya sangat mendadak." "Tidak ada yang mendadak, sayang. Aku tidak bisa menunggu besok. Hari ini aku tidak ada sidang di kantor. Aku akan minta izin untuk tidak masuk kantor karena menemani istriku ke rumah sakit." Yuda mengakhiri ucapannya dengan kembali mencium punggung tanganku."Kamu jangan kebiasaan izin tidak masuk kerja. Dulunya kamu rajin, jangan sampai semua orang mengenalmu sebagai pemalas setelah menikah denganku. Aku tidak mau diberi label sebagai istri yang tidak bisa mengurus suami. Apalagi kamu seorang hakim. Pokoknya kamu haru
Aku menggenggam erat tangan Yuda. Ingin berlari, namun kaki bahkan terasa kaku. Aku takut! Saat ini aku sangat takut!Sudah lama tak bertemu mendengar suara Mas Amar dari jarak yang dekat. Dulu saat bertemu di toko barang, aku pikir itu akan menjadi pertemuan terakhir setelah lama tak bersua. Ternyata aku salah, kami kembali bertemu, di saat yang tidak tepat. "Ada apa? Kenapa ingin bicara dengan istriku? Apa yang ingin kamu katakan padanya?" Suara bas miliki Yuda terdengar menyeramkan. Aku menoleh untuk melihat wajah suamiku. Dia nampak membenci lelaki yang kini berdiri di hadapan kami. Tatapannya sangat tajam dan mematikan."Istri? Kamu jangan mengaku-ngaku! Dia mantan istri aku dan sekarang aku ingin bicara dengannya?" Mas Amar berkata dengan wajah yang tak kalah seram. Aku belum pernah melihatnya begini. "Haha! Iya, aku tahu, kamu mantan suami istriku. Lalu ada urusan apa kamu dengan istriku? Kamu dan dia sudah tidak ada urusan lagi. Jika ingin bicara, katakan saja sekarang. Aku
"Di periksa dulu ya."Alat USG kini dipasangkan di atas perut setelah perawat memoleskan krim yang entah apa namanya."Ini sudah ada kantung janinnya." Ucapan dokter membuatku membatin syukur. Benarkah aku akan punya anak? Rasanya masih seperti mimpi. Saat dulu menggebu-gebu ingin memiliki anak, Allah justru tidak memberi. Sekarang di saat aku menjalani pernikahan cukup dengan niat ibadah, Allah justru memberikan kejutan yang tak di sangka. Bening telah keluar dari kelopak. Aku terseduh, tak mampu menahan air mata. Ya Allah, terimakasih! Terlihat di layar, ada kantong kecil. Entah apa yang dilakukan dokter, kini bahkan terdengar detak jantung. Aku semakin terseduh. Sungguh, ini nikmat Allah yang sangat luar biasa.Dulu aku pernah USG beberapa kali saat masih menjadi istri Mas Amar, untuk program hamil. Jadi sangat terlihat berbeda. Dulu, tidak pernah ada kantung kecil di dalam rahimku, seperti saat ini."Sudah berapa minggu?" Suara Yuda terdengar bergetar. Mungkin dia sedang menaha
"Sayang, aku tidak suka kalau sayang selalu menganggap diri tidak cantik. Itu sama saja telah menghina seleraku. Bagiku, sayang sangat cantik. Sederhana tanpa balutan make up yang menor. Sayang memiliki inner beauty yang tidak semua orang miliki. Dimataku, sayang adalah perempuan paling cantik. Jadi, jangan pernah merasa jika tidak cantik." Aku tersenyum mendengar ucapan Yuda. Aku merasa telah menjadi perempuan sempurna. Memiliki lelaki yang sangat penyayang dan menjaga perasaan pasangan adalah sebuah rezeki terindah dalam pernikahan. Yuda tidak pernah merendahkan aku dengan segala kekurangan yang aku miliki. Perempuan mana yang tidak bahagia jika diperlakukan seperti ini. "Aku membawamu ke dokter Fara karena tidak ingin kamu diperiksa oleh dokter laki-laki. Aku tidak rela. Jangan berpikir macam-macam ya."Semakin ke sini, aku merasa jika Yuda sangat protektif padaku. Tetapi tidak mengapa. Aku suka kok. Aku merasa semakin terjaga jika bersamanya. "Terimakasih ya." Aku berkata sambi
Mas Amar berdiri, dia langsung membalas pukulan Yuda. Pukulannya sangat membabi buta. Yuda tidak mau kalah, dia pun membalas pukulan Mas Amar.Wajah mereka sudah tak terbentuk, darah keluar dari bibir. Yuda menghapus darah yang keluar dari bibir menggunakan tangan. Begitupun dengan Mas Amar."Berhenti! Tolong berhenti!" Aku berusaha melerai mereka, tetapi tidak bisa. Sepertinya mereka masih saja mementingkan ego dan enggan untuk berhenti. Aku hanya bisa berteriak. Memikirkan janin didalam perut. Jangan sampai aku terjatuh dan mencelakainya."Mas Amar! Please berhenti! Tidak cukupkah dulu kamu menyakitiku? Sekarang mau apa lagi?" Teriakan ku ini ternyata berhasil membuat Mas Amar menghentikan pukulannya. Nafasku sudah tak beraturan. Aku langsung mengangkat Yuda yang sudah terduduk di tanah. Wajahnya penuh luka. "Apa mau kamu, Mas? Kenapa masih ingin bicara denganku, hah? Dulu kamu yang menceraikan aku! Kenapa sekarang datang lagi? Kita sudah tidak punya hubungan! Lalu apa yang perlu
Yuda berjalan menghampiriku dengan gaya jalan yang sudah lesuh. Saat tiba di hadapan, dia menatapku dengan sangat tajam. Aku tidak mengerti maksud tatapan Yuda. Apa yang sudah terjadi dengannya? Kenapa menatapku seperti ini? "Aku mengizinkan untuk bicara dengannya. Aku tunggu di mobil." Perkataan Yuda yang sangat lembut membuatku bingung. Tadi dia bersikeras tidak ingin membiarkan Mas Amar berbicara denganku. Hingga dia harus memukul Mas Amar bertubi-tubi. Kenapa sekarang pikirannya berubah?Yuda sudah melangkah menuju mobil, sebelum aku merespon ucapannya. Dia menundukan kepala selama berjalan. Aku langsung menghampiri Mas Amar. Rasanya tidak ingin lagi untuk bicara dengannya. Tetapi semua ini harus diselesaikan. Jika bukan sekarang aku meladeni, Mas Amar akan terus membuat ulah. "Ada apa? Cepat katakan sekarang! Mau bicara apa denganku?" ujarku sambil menatap tajam lelaki yang telah sah menjadi mantan. Mas Amar tidak berucap. Dia hanya menatapku dengan sendu. Sepertinya sudah l
Saat aku sudah duduk di kursi pengemudi, Yuda langsung melaju. Aku bisa melihat dari spion mobil, Mas Amar terus memanggil. Dia bahkan kini telah terduduk di tanah.Pikiranku masih tertuju pada Mas Amar. Apa yang membuatnya menyesal? Bukankah dulu dia sangat memuji kecantikan Lilis? Bukankah dia telah menjatuhkan talak padaku tanpa rasa berdosa, tanpa memikirkan perasaanku? Kenapa sekarang berubah? Kenapa sekarang dia menyesal?Banyak hal yang membuatku bertanya-tanya. Bagaimana keadaan pernikahan Mas Amar dan Lilis? Kalau Lilis tahu jika Mas Amar berkata begini padaku, dia pasti akan sangat terluka. Aku tahu, Lilis perempuan baik. Jangan sampai Lilis tahu tentang kejadian ini. Aku tak ingin dibenci. Aku tak ingin mengecewakan Lilis.Saat Lilis datang menemuiku, kami berbicara tentang banyak hal. Dari sikapnya, aku pikir Lilis bisa mengubah karakter buruk Mas Amar. Lilis adalah perempuan yang bisa diajak diskusi. Dia juga mau mendengarkan nasehat."Apa kamu masih memikirkan orang itu
POV Amar Aku menggelengkan kepala. Bibir kembali menghisap benda yang ada di tangan, lalu mengepulkan asap. Aku tidak suka ketika ibu menjelek-jelekan Arumi dan Lilis. Mereka perempuan baik yang pernah aku sakiti. Sekarang mereka sudah hidup bahagia dengan pasangan masing-masing. Kabar yang aku pernah dengar dari Tante Lasmi, Lilis melahirkan anak kembar laki-laki. Dia menikah dengan seorang pedagang kaya raya. Setelah menjatuhkan talak, aku belum pernah lagi bertemu dengannya. Pasti sekarang dia sudah hidup bahagia bersama suaminya."Berhenti menjelek-jelekan Arumi, Bu. Aku tidak suka mendengarnya." Aku berkata tanpa melihat wajah ibu. Kini hati sudah terasa panas. Namun masih berusaha sopan dan tidak berkata kasar pada ibu. "Kenapa kamu sekarang selalu membela perempuan itu? Apa kamu menyesal karena telah bercerai dengan dia? Sadar, Amar! Arumi itu sudah menghina ibu. Dia juga mengusir ibu saat datang ke rumahnya, padahal kami hanya datang untuk bersilaturahmi. Mentang-mentang se
POV Amar ***"Sekarang sudah lima tahun kamu hidup sendiri, Amar. Kenapa belum menikah juga? Ibu capek selalu menyuruh kamu menikah, tetapi kamu tetap keras kepala." Saat ini aku dan ibu sedang berada di teras rumah. Aku sudah tinggal menetap di rumah Mbak Maya sambil menjaga anak-anaknya. Rumahku sudah dijual sebagai modal usaha. Hanya saja usaha itu bangkrut, tak berkembang.Ibu sudah sering bertanya begini padaku. Tetapi aku selalu mengacuhkan. Selalu merasa jengkel jika ibu bertanya tentang menikah. "Amar, jawab ibu! Kamu tidak bisa begini terus. Ibu capek mendengarkan perkataan orang yang selalu menggosipkan kamu tidak punya istri. Sekarang hidup kita sudah kembali pulih. Kita sudah tidak punya utang lagi. Kenapa kamu belum juga mau menikah? Dulu kamu mengatakan pada ibu jika ingin melunasi semua utang lebih dulu, setelah itu baru mencari perempuan untuk dinikahi." Aku hanya menjadi pendengar atas keluhan ibu. Dulu aku memang pernah mengatakan pada ibu jika akan menikah setel
POV Yuda"Tidak apa-apa, sayang. Melahirkan normal dan tidak, kamu tetap sudah menjadi ibu. Tidak ada bedanya, sayang. Perempuan yang melahirkan normal dan operasi sama saja. Perjuangannya tetap bernilai pahala di mata Allah. Allah yang lebih tahu yang terbaik." Arumi tersenyum, matanya mengecil. Aku mencium bibirnya yang masih pucat. Lalu berkata, "makasih sudah melahirkan anak kita. Makasih sudah melewati masa kritis. Dan terimakasih sekarang sudah membuka mata." Ucapan lembutku membuat mata Arumi berkaca. Aku pun merasa haru dengan keadaan yang sudah dilewati. Dulu aku berjuang. Berkali-kali dipaksa untuk berhenti, tetapi aku tak mengindahkan. Sekarang aku telah mendapat Arumi dan Allah memberikan bonus anak dalam rumah tangga kami. Rencana Allah terlalu indah.Sekarang Arumi sedang di temani oleh ibu dan ayah. Aku meminta izin sebentar untuk keluar, ingin menelepon seseorang. Ada hal penting yang harus diselesaikan."Keluarkan mereka dari penjara. Tolong lunasi semua hutang mere
POV Yuda ***Aku yang sedang melamun tersadarkan dengan pergerakan tangan Arumi. Aku langsung berdiri dari kursi. Hati sangat senang melihat mata Arumi yang perlahan terbuka. Untaian dzikir dan doa terucap. Memohon untuk melindungi kekasih hati. Aku sungguh tidak siap kehilangan Arumi. Tak tahu akan hidup bagaimana jika Arumi tidak di sampingku."Sayang," ujarku dengan pelan, sambil menggenggam lembut tangan Arumi.Aku tersenyum. Menginginkan Arumi melihat senyumku saat pertama kali membuka mata. Aku sudah meminta tolong pada perawat untuk menjaga anakku dengan baik. Ibu dan ayah sedang di perjalanan menuju ke sini. Begitupun dengan orang tua Arumi, mereka juga sudah di perjalanan. "Aku di mana?" ujar Arumi dengan pelan, nyaris tak terdengar. "Kamu di rumah sakit, sayang. Anak kita sudah lahir setelah kamu dioperasi." Aku mengusap dan mencium kening Arumi. Arumi masih tampak bingung melihat sekeliling. "Terimakasih, sayang." Aku kembali berkata di jarak yang dekat.Arumi belum
POV AmarYa Allah, selamatkan Arumi. Sehatkan dia. Jika harus ada takdir buruk yang terjadi. Gantilah takdir kami. Aku rela merasakan sakit asalkan Arumi bisa sembuh. "Arumi tidak tahu jika aku melaporkan mereka ke kantor polisi karena telah mengancam akan melukai Arumi. Sebenarnya aku akan mencabut laporan jika Arumi telah melahirkan. Aku hanya ingin menjaga Arumi agar tetap baik-baik. Aku sengaja tidak memberitahu Arumi karena di hari itu dia mengatakan padaku kalau dia kasihan pada ibumu. Meskipun ibu dan kakakmu telah melukainya, Arumi tetap menyuruh agar aku tidak melakukan sesuatu pada mereka … Arumi sangat baik, bukan? Kamu tidak usah khawatir, mereka akan aman di penjara. Aku hanya ingin membuat mereka merasa jera. Semoga bisa, karena mengubah karakter setiap orang itu sangat sulit. Jika kamu marah padaku, silahkan! Tetapi jangan melampiaskan amarah pada istriku, karena kamu akan berurusan dengan aku dalam kondisi emosi yang sangat parah."Semua perkataan Yuda membuatku ingin
Pov Amar "Mana istriku?" Suara bas terdengar di telinga. Aku langsung berdiri dan menatap lelaki yang berada di hadapan dengan tatapan murka. Mungkin dia dari kantor. Pakaian kerjanya masih lengkap menutupi badan."Belum keluar. Masih di ruang operasi," ujarku pelan. "Jika terjadi sesuatu pada istri dan anakku. Kamu tidak akan selamat. Aku pastikan kamu akan celaka." Tak takut dengan ancaman lelaki yang aku ketahui bernama Yuda. Aku memang salah. Jika dia akan mencelakaiku, tak mengapa. Itu memang hukuman yang pantas untuk aku.Yuda duduk di kursi, aku pun menyusul untuk duduk. Aku kembali menatap pintu ruang operasi. Melirik Yuda, ternyata dia juga melakukan yang sama denganku. Arumi jatuh ke tangan yang tepat. Lelaki ini terlihat sangat mencintai Arumi. Jika Arumi tidak mendapatkan kebahagiaan saat bersamaku dulu, mungkin bersama lelaki ini, Arumi sudah bahagia.Seharusnya aku tidak lagi mengganggu hidup Arumi. Jika aku menyelesaikan sendiri masalah ibu dan Mbak Mira tanpa meli
POV Amar "Sekarang bapak ke kasir untuk menyelesaikan pembayaran." Aku pun keluar dari ruang UGD. Sekedar melangkah untuk menuju ke sana. Tidak tahu apa yang harus dilakukan saat tiba di kasir. Aku tak punya uang untuk membayar biaya rumah sakit, yang sudah pasti mahal.Ingin menghubungi suami Arumi, tetapi aku tidak memiliki nomor handphonenya. Mungkin jika aku tidak nekat datang ke rumahnya, Arumi tidak akan seperti ini. Tadi, saat keluar dari rumah, dia masih terlihat baik-baik saja. Bahkan tidak ada wajah pucat yang menandakan akan pingsan."Adik aku akan dioperasi melahirkan. Dokter menyuruh ke sini." Aku berkata dengan suara pelan saat di kasir. "Oh baik, Pak. Aku hitung dulu semua biayanya." Aku terdiam sejenak. Bibir lalu berkata, "maaf, Pak. Saat ini aku tidak memegang dompet dan uang. Tadi adikku pingsan dan aku lupa membawa perlengkapan. Aku telah menghubungi orang rumah, tetapi tidak ada yang mengangkat.Jika boleh, aku akan melunasi semua biaya setelah adikku telah se
POV Amar***"Arumi! Arumi!" panggilku sambil menepuk-nepuk pipi Arumi. Aku juga mengguncang tubuh tak berdaya Arumi, namun tak ada respon. Dia tetap menutup mata. Aku memanggil nama Arumi berulang kali, berusaha membangunkan, tetapi matanya masih saja tertutup. Keadaan Arumi yang tak sadar membuatku khawatir terjadi sesuatu padanya. Apalagi saat ini dia sedang hamil. Rasa khawatir ini sangat besar.Aku membaringkan tubuh Arumi ke lantai. Lalu berdiri di depan pintu, bibir mengucap salam. Dua kali berucap salam, tetapi tak ada balasan. Tak ada pula tanda-tanda asisten rumah memunculkan diri. "Kemana asisten itu pergi? Aku harus bagaimana sekarang. Setidaknya aku butuh seseorang yang bisa membantuku membawa Arumi ke rumah sakit. Ya Allah, aku bingung," lirihku sambil menatap Arumi dengan gelisah.Aku berlari ke depan, menuju pos satpam. Tadi di pos itu tidak ada orang, berharap sekarang masih ada orang di sana. Namun setelah tiba, ternyata kosong. Aku melihat tubuh tak berdaya Arumi
Setelah berkata, aku langsung berbalik. Tetapi saat belum melangkah, Mas Amar sudah kembali berucap."Jangan karena sekarang sudah menjadi orang kaya, kamu bisa berbuat seenaknya pada kami. Aku akui, Arumi. Dulu aku sudah menyakiti kamu. Tetapi, bukan berarti sekarang kamu bisa membalaskan dendammu pada ibuku. Kasihan dia, Arumi! Dia sedang sakit! Aku sangat tidak menyangka Arumi, perempuan yang tampak sholehah seperti kamu ternyata sangat licik. Kalau kamu ingin berbuat jahat, kalau ingin membalas dendam, langsung saja ke aku. Jangan ke ibuku … ibuku tidak bersalah apa-apa!" Aku berbalik dan kembali melihat wajah Mas Amar. Raut tampak merah. Sangat jelas jika sedang marah."Aku tidak mengerti maksud kamu, Mas? Kalau bisa, sebelum datang ke sini, tanyakan terlebih dahulu pada ibumu, apa yang sudah dia lakukan. Oh, tidak! Ibumu 'kan selalu memfitnahku. Dia orang yang selalu memutar balikan fakta sehingga kamu selalu menyalahkan aku. Kita sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi. Jadi t