Yuda berjalan menghampiriku dengan gaya jalan yang sudah lesuh. Saat tiba di hadapan, dia menatapku dengan sangat tajam. Aku tidak mengerti maksud tatapan Yuda. Apa yang sudah terjadi dengannya? Kenapa menatapku seperti ini? "Aku mengizinkan untuk bicara dengannya. Aku tunggu di mobil." Perkataan Yuda yang sangat lembut membuatku bingung. Tadi dia bersikeras tidak ingin membiarkan Mas Amar berbicara denganku. Hingga dia harus memukul Mas Amar bertubi-tubi. Kenapa sekarang pikirannya berubah?Yuda sudah melangkah menuju mobil, sebelum aku merespon ucapannya. Dia menundukan kepala selama berjalan. Aku langsung menghampiri Mas Amar. Rasanya tidak ingin lagi untuk bicara dengannya. Tetapi semua ini harus diselesaikan. Jika bukan sekarang aku meladeni, Mas Amar akan terus membuat ulah. "Ada apa? Cepat katakan sekarang! Mau bicara apa denganku?" ujarku sambil menatap tajam lelaki yang telah sah menjadi mantan. Mas Amar tidak berucap. Dia hanya menatapku dengan sendu. Sepertinya sudah l
Saat aku sudah duduk di kursi pengemudi, Yuda langsung melaju. Aku bisa melihat dari spion mobil, Mas Amar terus memanggil. Dia bahkan kini telah terduduk di tanah.Pikiranku masih tertuju pada Mas Amar. Apa yang membuatnya menyesal? Bukankah dulu dia sangat memuji kecantikan Lilis? Bukankah dia telah menjatuhkan talak padaku tanpa rasa berdosa, tanpa memikirkan perasaanku? Kenapa sekarang berubah? Kenapa sekarang dia menyesal?Banyak hal yang membuatku bertanya-tanya. Bagaimana keadaan pernikahan Mas Amar dan Lilis? Kalau Lilis tahu jika Mas Amar berkata begini padaku, dia pasti akan sangat terluka. Aku tahu, Lilis perempuan baik. Jangan sampai Lilis tahu tentang kejadian ini. Aku tak ingin dibenci. Aku tak ingin mengecewakan Lilis.Saat Lilis datang menemuiku, kami berbicara tentang banyak hal. Dari sikapnya, aku pikir Lilis bisa mengubah karakter buruk Mas Amar. Lilis adalah perempuan yang bisa diajak diskusi. Dia juga mau mendengarkan nasehat."Apa kamu masih memikirkan orang itu
"Benarkah, aku bicara seperti itu tadi?" ujarku sambil berusaha mengingat. Yuda tak menjawab. Kalau memang tadi aku berkata begitu, sudah pasti Yuda marah. Lelaki mana yang tidak marah ketika perempuan yang dia cintai seolah mendukung orang lain. Padahal yang harusnya aku dukung adalah Yuda, bukan Mas Amar. Hanya saja, kondisi tadi sangat menakutkan. Aku sudah lupa, kalimat apa saja yang terucap dari bibir. Semua itu terucap karena aku tidak bisa lagi berpikir jernih untuk melerai Yuda dan Mas Amar. "Kalau benar aku bicara begitu, aku minta maaf. Semua perkataan yang terucap dari bibirku diluar kendali. Melihat kamu memukul Mas Amar bertubi-tubi, membuatku takut. Aku takut terjadi sesuatu dengan kamu. Aku sudah tidak peduli dengan Mas Amar. Tetapi aku mempedulikanmu. Tolong jangan berpikir negatif tentangku. Tadi aku sudah bingung, harus berbuat apa, harus mengatakan apa agar kamu dan Mas Amar berhenti bertengkar."Yuda langsung membawaku dalam pelukannya. Dia lalu mengecup puncak
POV Amar***Bacaan ayat suci menggema di ruang tamu, disertai histeris tangisan. Semua suara berpadu menjadi satu. Banyak yang datang untuk menenangkan. Banyak pula yang datang sekedar melihat. Ada yang sibuk ke sana ke mari. Ada pula yang duduk diam sambil menatap kosong. Suara tangis tak terhenti. Sejak tadi, tiga orang anak Mbak Maya terus saja menangis. Mbak Mira berusaha menenangkan, namun tak kunjung berhasil. Sedangkan ibu, dia juga terus saja mengeluarkan bening dari kelopak.Aku duduk menunduk. Rasanya seperti mimpi. Seorang kakak yang kemarin masih tertawa bersamaku, kini telah terbaring tanpa nadi. Menyadarkan diri, semua telah menjadi kenangan."Jangan menangis lagi, Nak. Kamu harus mengikhlaskan ibumu," ujar Mbak Susi yang terdengar hingga ditempat aku duduk."Tidak mau. Aku maunya ibu … ibu nggak boleh meninggal. Aku masih kecil. Siapa yang akan menjagaku kalau ibu sudah meninggal?" Anak Mbak Maya yang kini berusia tiga belas tahun, menangis tersedu. Air mata kini kemb
POV Amar Om Farhan tidak lagi mengajak aku bicara. Mungkin karena aku tidak menggubris ucapannya. Dia telah berdiri, menjauhiku. Kini aku menyadari jika keluarga besar ayah dan ibu banyak yang tidak baik pada kami. Buktinya, saat kami terpuruk mereka justru menjelek-jelekan kami. Menghina ibu dengan kata-kata yang kasar.Aku masih mengingat jelas ucapan Tante Yaya — Adik ayah. Saat itu kami menghadiri acara nikahan anaknya yang terakhir. "Kamu ternyata tidak bisa mendidik anak-anakmu dengan benar. HIV 'kan penyakit yang terjadi karena nakal. Bisa saja itu bukan dari suaminya, tetapi karena Maya pernah nakal sebelum menikah dulu. Tidak ada yang tahu, bisa jadi dulu Maya pernah berbuat haram sebelum menikah … Dia 'kan punya banyak mantan pacar, bisa jadi penyakit itu dari mantannya dulu, tetapi penyakit HIV yang dia derita baru terdeteksi sekarang." Ibu hanya menunduk ketika mendengar ucapan Tante Yaya. Sebenarnya saat itu ibu tidak ingin datang. Tetapi aku yang memaksanya. Tidak e
POV Amar Aku berhenti berkata. Tidak ingin membuat ibu semakin sedih karena mendengar aku dan Mbak Mira berdebat. Aku kini menyadari, uang bisa menampakan karakter asli seseorang. Selama aku selalu menanggung kebutuhan Mbak Mira, dia sangat baik padaku. Namun setelah aku berhenti menanggung kebutuhannya, dia banyak berubah. Banyak karakter yang aku baru tahu tentang dirinya. Salah satunya adalah sifat kikir. Aku pernah meminjam uangnya. kebetulan saat itu dia baru saja menerima uang penjualan tanah. Tetapi tidak sepersen pun dia memberi.Aku sangat kecewa. Padahal kalau dihitung-hitung, telah banyak uang yang aku keluarkan untuknya. Mbak Mira memang kakakku, tetapi kini dia sudah menjadi seperti orang lain. Hampir setiap saat kami bertengkar. Ada-ada saja alasan yang membuat kami harus berdebat."Mas Amar, yang sabar ya." Aku menoleh ketika mendengar suara seseorang yang aku kenal. Suara yang tidak asing. Dia sudah berdiri di sampingku. Tepat di depan liang lahat.Lilis ternyata da
POV Amar Perdebatan ku dengan Mbak Mira belum berakhir hingga kami tiba di rumah Mbak Maya. Aku sungguh tidak menyangka dengan pola pikir Mbak Mira yang masih ngotot dengan keinginannya."Kenapa, Amar? Kenapa kamu yang melarang? Ini bukan rumah kamu! Ini rumah Maya! Kalah aku menyuruh untuk menjualnya, tidak masalah dong!" Aku dan Mbak Mira sedang berada di kamar Karin. Aku sengaja duduk di sini untuk menenangkan hati anak-anak Mbak Maya. Ternyata Mbak Mira masuk dan kembali memulai perdebatan."Ya Allah, Mbak? Kamu punya hati atau tidak? Hari ini kita sedang berduka. Belum cukup sehari Mbak Maya di makamkan. Mbak sudah membahas tentang keinginan menjual rumah ini. Otakmu di simpan di mana, Mbak? Pikiranmu terlalu jahat!" Aku sangat geram melihat Mbak Mira. Apalagi dia membahas tentang penjualan rumah di hadapan anak-anak Mbak Maya. Karin yang sudah mengerti tentang maksud ucapan Mbak Mira, pasti akan sangat kecewa."Ya, karena aku yang akan merawat Karin! Bagaimana dengan biaya hid
POV Amar ***Setelah memikirkan matang-matang, aku akhirnya tinggal di rumah Mbak Maya, menjaga anak-anaknya. Ibu juga sudah ikut tinggal di sini. Kasihan anak-anak Mbak Maya jika tidak ada yang mengurus mereka.Mbak Mira sekarang sudah bekerja di pabrik roti. Dia sudah memiliki penghasilan sendiri untuk kebutuhannya sehari-hari. Tanah yang dulu tidak ingin di jual, akhirnya dijual beberapa meter. Uang hasil penjualan tanahnya sebagian dia belikan motor sebagai kendaraan untuknya pergi bekerja. Tetapi aku pikir Mbak Mira memberikan sedikit uang hasil penjualan tanah pada ibu. Ternyata tidak! Ibu bercerita padaku ketika kami sudah tinggal bersama di sini, uang hasil penjualan tanah dipakai sendiri oleh Mbak Mira. Padahal jika Mbak Mira berbaik hati, aku juga ingin mendapat bagian karena butuh uang. Aku sudah beberapa kali menemui orang untuk menawarkan rumahku, tetapi hingga kini belum ada yang membeli. Setidaknya jika rumah sudah laku, uangnya akan dipakai untuk membayar sebagian ut
POV Amar Aku menggelengkan kepala. Bibir kembali menghisap benda yang ada di tangan, lalu mengepulkan asap. Aku tidak suka ketika ibu menjelek-jelekan Arumi dan Lilis. Mereka perempuan baik yang pernah aku sakiti. Sekarang mereka sudah hidup bahagia dengan pasangan masing-masing. Kabar yang aku pernah dengar dari Tante Lasmi, Lilis melahirkan anak kembar laki-laki. Dia menikah dengan seorang pedagang kaya raya. Setelah menjatuhkan talak, aku belum pernah lagi bertemu dengannya. Pasti sekarang dia sudah hidup bahagia bersama suaminya."Berhenti menjelek-jelekan Arumi, Bu. Aku tidak suka mendengarnya." Aku berkata tanpa melihat wajah ibu. Kini hati sudah terasa panas. Namun masih berusaha sopan dan tidak berkata kasar pada ibu. "Kenapa kamu sekarang selalu membela perempuan itu? Apa kamu menyesal karena telah bercerai dengan dia? Sadar, Amar! Arumi itu sudah menghina ibu. Dia juga mengusir ibu saat datang ke rumahnya, padahal kami hanya datang untuk bersilaturahmi. Mentang-mentang se
POV Amar ***"Sekarang sudah lima tahun kamu hidup sendiri, Amar. Kenapa belum menikah juga? Ibu capek selalu menyuruh kamu menikah, tetapi kamu tetap keras kepala." Saat ini aku dan ibu sedang berada di teras rumah. Aku sudah tinggal menetap di rumah Mbak Maya sambil menjaga anak-anaknya. Rumahku sudah dijual sebagai modal usaha. Hanya saja usaha itu bangkrut, tak berkembang.Ibu sudah sering bertanya begini padaku. Tetapi aku selalu mengacuhkan. Selalu merasa jengkel jika ibu bertanya tentang menikah. "Amar, jawab ibu! Kamu tidak bisa begini terus. Ibu capek mendengarkan perkataan orang yang selalu menggosipkan kamu tidak punya istri. Sekarang hidup kita sudah kembali pulih. Kita sudah tidak punya utang lagi. Kenapa kamu belum juga mau menikah? Dulu kamu mengatakan pada ibu jika ingin melunasi semua utang lebih dulu, setelah itu baru mencari perempuan untuk dinikahi." Aku hanya menjadi pendengar atas keluhan ibu. Dulu aku memang pernah mengatakan pada ibu jika akan menikah setel
POV Yuda"Tidak apa-apa, sayang. Melahirkan normal dan tidak, kamu tetap sudah menjadi ibu. Tidak ada bedanya, sayang. Perempuan yang melahirkan normal dan operasi sama saja. Perjuangannya tetap bernilai pahala di mata Allah. Allah yang lebih tahu yang terbaik." Arumi tersenyum, matanya mengecil. Aku mencium bibirnya yang masih pucat. Lalu berkata, "makasih sudah melahirkan anak kita. Makasih sudah melewati masa kritis. Dan terimakasih sekarang sudah membuka mata." Ucapan lembutku membuat mata Arumi berkaca. Aku pun merasa haru dengan keadaan yang sudah dilewati. Dulu aku berjuang. Berkali-kali dipaksa untuk berhenti, tetapi aku tak mengindahkan. Sekarang aku telah mendapat Arumi dan Allah memberikan bonus anak dalam rumah tangga kami. Rencana Allah terlalu indah.Sekarang Arumi sedang di temani oleh ibu dan ayah. Aku meminta izin sebentar untuk keluar, ingin menelepon seseorang. Ada hal penting yang harus diselesaikan."Keluarkan mereka dari penjara. Tolong lunasi semua hutang mere
POV Yuda ***Aku yang sedang melamun tersadarkan dengan pergerakan tangan Arumi. Aku langsung berdiri dari kursi. Hati sangat senang melihat mata Arumi yang perlahan terbuka. Untaian dzikir dan doa terucap. Memohon untuk melindungi kekasih hati. Aku sungguh tidak siap kehilangan Arumi. Tak tahu akan hidup bagaimana jika Arumi tidak di sampingku."Sayang," ujarku dengan pelan, sambil menggenggam lembut tangan Arumi.Aku tersenyum. Menginginkan Arumi melihat senyumku saat pertama kali membuka mata. Aku sudah meminta tolong pada perawat untuk menjaga anakku dengan baik. Ibu dan ayah sedang di perjalanan menuju ke sini. Begitupun dengan orang tua Arumi, mereka juga sudah di perjalanan. "Aku di mana?" ujar Arumi dengan pelan, nyaris tak terdengar. "Kamu di rumah sakit, sayang. Anak kita sudah lahir setelah kamu dioperasi." Aku mengusap dan mencium kening Arumi. Arumi masih tampak bingung melihat sekeliling. "Terimakasih, sayang." Aku kembali berkata di jarak yang dekat.Arumi belum
POV AmarYa Allah, selamatkan Arumi. Sehatkan dia. Jika harus ada takdir buruk yang terjadi. Gantilah takdir kami. Aku rela merasakan sakit asalkan Arumi bisa sembuh. "Arumi tidak tahu jika aku melaporkan mereka ke kantor polisi karena telah mengancam akan melukai Arumi. Sebenarnya aku akan mencabut laporan jika Arumi telah melahirkan. Aku hanya ingin menjaga Arumi agar tetap baik-baik. Aku sengaja tidak memberitahu Arumi karena di hari itu dia mengatakan padaku kalau dia kasihan pada ibumu. Meskipun ibu dan kakakmu telah melukainya, Arumi tetap menyuruh agar aku tidak melakukan sesuatu pada mereka … Arumi sangat baik, bukan? Kamu tidak usah khawatir, mereka akan aman di penjara. Aku hanya ingin membuat mereka merasa jera. Semoga bisa, karena mengubah karakter setiap orang itu sangat sulit. Jika kamu marah padaku, silahkan! Tetapi jangan melampiaskan amarah pada istriku, karena kamu akan berurusan dengan aku dalam kondisi emosi yang sangat parah."Semua perkataan Yuda membuatku ingin
Pov Amar "Mana istriku?" Suara bas terdengar di telinga. Aku langsung berdiri dan menatap lelaki yang berada di hadapan dengan tatapan murka. Mungkin dia dari kantor. Pakaian kerjanya masih lengkap menutupi badan."Belum keluar. Masih di ruang operasi," ujarku pelan. "Jika terjadi sesuatu pada istri dan anakku. Kamu tidak akan selamat. Aku pastikan kamu akan celaka." Tak takut dengan ancaman lelaki yang aku ketahui bernama Yuda. Aku memang salah. Jika dia akan mencelakaiku, tak mengapa. Itu memang hukuman yang pantas untuk aku.Yuda duduk di kursi, aku pun menyusul untuk duduk. Aku kembali menatap pintu ruang operasi. Melirik Yuda, ternyata dia juga melakukan yang sama denganku. Arumi jatuh ke tangan yang tepat. Lelaki ini terlihat sangat mencintai Arumi. Jika Arumi tidak mendapatkan kebahagiaan saat bersamaku dulu, mungkin bersama lelaki ini, Arumi sudah bahagia.Seharusnya aku tidak lagi mengganggu hidup Arumi. Jika aku menyelesaikan sendiri masalah ibu dan Mbak Mira tanpa meli
POV Amar "Sekarang bapak ke kasir untuk menyelesaikan pembayaran." Aku pun keluar dari ruang UGD. Sekedar melangkah untuk menuju ke sana. Tidak tahu apa yang harus dilakukan saat tiba di kasir. Aku tak punya uang untuk membayar biaya rumah sakit, yang sudah pasti mahal.Ingin menghubungi suami Arumi, tetapi aku tidak memiliki nomor handphonenya. Mungkin jika aku tidak nekat datang ke rumahnya, Arumi tidak akan seperti ini. Tadi, saat keluar dari rumah, dia masih terlihat baik-baik saja. Bahkan tidak ada wajah pucat yang menandakan akan pingsan."Adik aku akan dioperasi melahirkan. Dokter menyuruh ke sini." Aku berkata dengan suara pelan saat di kasir. "Oh baik, Pak. Aku hitung dulu semua biayanya." Aku terdiam sejenak. Bibir lalu berkata, "maaf, Pak. Saat ini aku tidak memegang dompet dan uang. Tadi adikku pingsan dan aku lupa membawa perlengkapan. Aku telah menghubungi orang rumah, tetapi tidak ada yang mengangkat.Jika boleh, aku akan melunasi semua biaya setelah adikku telah se
POV Amar***"Arumi! Arumi!" panggilku sambil menepuk-nepuk pipi Arumi. Aku juga mengguncang tubuh tak berdaya Arumi, namun tak ada respon. Dia tetap menutup mata. Aku memanggil nama Arumi berulang kali, berusaha membangunkan, tetapi matanya masih saja tertutup. Keadaan Arumi yang tak sadar membuatku khawatir terjadi sesuatu padanya. Apalagi saat ini dia sedang hamil. Rasa khawatir ini sangat besar.Aku membaringkan tubuh Arumi ke lantai. Lalu berdiri di depan pintu, bibir mengucap salam. Dua kali berucap salam, tetapi tak ada balasan. Tak ada pula tanda-tanda asisten rumah memunculkan diri. "Kemana asisten itu pergi? Aku harus bagaimana sekarang. Setidaknya aku butuh seseorang yang bisa membantuku membawa Arumi ke rumah sakit. Ya Allah, aku bingung," lirihku sambil menatap Arumi dengan gelisah.Aku berlari ke depan, menuju pos satpam. Tadi di pos itu tidak ada orang, berharap sekarang masih ada orang di sana. Namun setelah tiba, ternyata kosong. Aku melihat tubuh tak berdaya Arumi
Setelah berkata, aku langsung berbalik. Tetapi saat belum melangkah, Mas Amar sudah kembali berucap."Jangan karena sekarang sudah menjadi orang kaya, kamu bisa berbuat seenaknya pada kami. Aku akui, Arumi. Dulu aku sudah menyakiti kamu. Tetapi, bukan berarti sekarang kamu bisa membalaskan dendammu pada ibuku. Kasihan dia, Arumi! Dia sedang sakit! Aku sangat tidak menyangka Arumi, perempuan yang tampak sholehah seperti kamu ternyata sangat licik. Kalau kamu ingin berbuat jahat, kalau ingin membalas dendam, langsung saja ke aku. Jangan ke ibuku … ibuku tidak bersalah apa-apa!" Aku berbalik dan kembali melihat wajah Mas Amar. Raut tampak merah. Sangat jelas jika sedang marah."Aku tidak mengerti maksud kamu, Mas? Kalau bisa, sebelum datang ke sini, tanyakan terlebih dahulu pada ibumu, apa yang sudah dia lakukan. Oh, tidak! Ibumu 'kan selalu memfitnahku. Dia orang yang selalu memutar balikan fakta sehingga kamu selalu menyalahkan aku. Kita sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi. Jadi t