[Rea: Tolong maafkan aku jika aku salah. Tapi jangan marah padaku.]
☆☆☆
Mungkin sudah lebih dari 100 kali Devon membaca pesan itu. Bibirnya tak henti menyunggingkan senyum. Seandainya saja dia tidak menahan diri, mungkin saat ini juga dia sudah mendatangi Rea di apartemennya.
Jam sudah menunjukkan pukul 1 dini hari, dan kantuk yang tadi dia rasakan bahkan sudah menguap entah kemana hanya gara-gara pesan singkat itu.
Mungkin saja jika dia tidak sedang marah, besok dia akan seharian bersama Rea. Tapi tidak, hukuman untuk Rea belum akan berakhir. Dia tidak akan membiarkan wanita itu lega secepat ini setelah membuatnya kacau dan sakit kepala semalaman.
Devon masih saja mengingat kata-kata terakhir wanita itu di depan apartemennya. Dia bilang ingin sendirian, dan ternyata dia justru menemui pria itu. Dia sendiri pun merasa aneh kenapa kejadian itu bisa begitu menyakitinya.
☆☆☆
"Kamu ingin aku mengantar
Rea menerima rangkaian mawar dan baby breath warna putih dari office boy di depan pintu kerja ruangan direktur. Kemudian dia kembali masuk dan langsung meletakkan benda berbau romantisme itu di atas meja Devon. Tepat jam setengah 12.Mencium harum dari bunga itu, Rea jadi teringat suaminya. Anggit pernah memberikannya bunga seperti itu waktu ulang tahun Rea sebelum mereka menikah. Hatinya mendadak terasa sesak mengingat moment membahagiakan itu."Semoga Miss Cecilia suka, Ini bunganya, Pak," kata Rea singkat kemudian cepat berlalu dari hadapan atasannya tanpa menunggu lelaki itu bereaksi. Devon, lagi-lagi melirik ke arahnya yang berjalan kembali ke meja kerjanya. Ada senyum puas di hatinya saat dilihatnya wanita itu tak tersenyum sama sekali.Devon bangkit dari duduknya dan segera menyambar bunga di atas mejanya, bersiap-siap akan pergi."Aku kembali sebelum jam 3," pamitnya pada Rea. Wanita itu hanya me
Saat napas lelaki itu masih sedikit tersengal karena menahan gairahnya yang gagal tertunaikan, mendadak telepon saluran internal di atas meja kerjanya berdering. Dia segera mengangkat panggilan itu setelah berhasil mengatur napasnya."Ya?""Meeting sudah bisa dimulai sekarang, Pak," suara sekretaris seniornya dari ujung sana. Devon memejamkan matanya sejenak seperti sedang berpikir. Sejenak diliriknya Rea yang masih terduduk di karpet sambil meringis menahan sakit ."Tolong mulai dulu meetingnya, Tante. Saya masih ada sedikit urusan. Sebentar lagi saya kesitu," ucapnya pada sekretaris seniornya. Rea sontak mendongak demi mendengar kalimat itu, dan segera bangkit."Saya baik-baik saja, Pak. Kita bisa langsung ke ruangan meeting sekarang."Rea mulai membenahi pakaian kerjanya yang sedikit berantakan. "Saya sudah siap," katanya segera.Devon menghampiri wanita itu setelah menutu
Rea mulai bisa merasa bahwa berada di samping seorang konglomerat seperti Devon Junior Widjaya cukup menyenangkan. Segala hal menjadi sangat mudah untuk dia dapatkan. Contohnya seperti kali ini, biasanya dia harus mengantri saat memeriksakan kehamilannya ke dokter kandungan. Tapi bersama Devon, dia bisa mendapatkan fasilitas khusus yang tidak semua orang bisa."Luna bilang apa?"Tak membutuhkan waktu lama untuk Rea mengetahui kondisi calon bayinya. Mereka berdua kini sudah melaju meninggalkan rumah sakit tempat Devon membawa Rea memeriksakan kandungannya."Baik, syukurlah. Katanya bayiku sehat." Rea tersenyum bahagia memberitahu keadaan bayinya pada lelaki di sampingnya. Devon menoleh ke arahnya. Takjub dengan binar bahagia yang terpancar dari wajah wanita itu. Apa seperti ini cantiknya seorang wanita yang bahagia akan hadirnya seorang anak? Seandainya bayi itu adalah anak Devon, apakah dia juga akan merasakan kebahagiaan yang sama
Teddy melajukan mobilnya lebih pelan saat memasuki halaman rumah besar bergaya eropa itu. Ini bukan kebiasaan ibunda sahabatnya menyuruhnya untuk datang tanpa kehadiran Devon.Ibu Arina menerimanya di ruang tamu besar dan megah bernuansa putih dengan tangga di tengah menuju ke lantai atas."Apa kabarmu, Sayang?" Seperti biasa wanita dengan paras cantik keibuan itu selalu memeluknya saat mereka bertemu. Wanita itu sudah menganggap Teddy tak ubahnya seperti anaknya sendiri. "Kamu sehat?" tanyanya kemudian saat mereka sudah duduk di kursi ruang tamu."Seperti yang Tante lihat. Aku baik-baik saja." Teddy tersenyum tulus."Perusahaan baru Devon tidak ada masalah kan, Sayang?" tanyanya lagi sambil menuangkan anggur yang baru saja dibawakan oleh asisten rumah tangga ke ruangan itu."Sejauh ini baik dan sangat lancar, Tante." Teddy mencoba untuk bersikap biasa walaupun sebenarnya dari raut muka
"Kamu tidak serius dengan Rea kan?" Pertanyaan sahabatnya itu membuat Devon terdiam. Jujur dia tidak menyangka ibunya akan mencampuri urusan pribadinya sejauh ini. Selama ini, wanita yang sangat dicintainya itu terlihat santai dan sangat open minded."Aku akan menikahinya." Lelaki itu tiba-tiba mengatakan hal yang membuat sahabatnya membelalak setelah menyesap habis minumannya."What?? Kamu susah gila?" Teddy menekan dahinya keras-keras. "Dia itu istri orang, Bro.""Aku tau. Kupastikan mereka akan berpisah sebentar lagi""Dia juga hamil.""Aku juga tau itu, nggak usah kamu bilang.""Dan anak itu juga bukan anakmu." Devon melotot ke arah sahabatnya."Apa? Apa lagi yang mau kamu katakan? Ayo, katakan saja semua! Itu bukan alasan aku tidak bisa menikahi dia kan?" Devon tiba-tiba tergelak."Iya sih, tapi kamu yakin?""Aku bu
"Sepertinya dia baik," kata Bu Renata sambil menyenggol bahu anaknya, tersenyum menggoda."Apa sih, Bu," Rea cemberut, lalu menggandeng ibunda tercintanya berjalan menyeberangi halaman setelah mobil Devon tak terlihat lagi dari pagar rumah."Ibu senang kamu bisa pulang liburan, Sayang. Ibu sama Ayah semalam sudah berencana mau ke tempat kamu. Kamu bener tinggal di apartemen? Apa nggak kemahalan Rea sewanya? Kenapa nggak cari kost aja?" cerocos bu Renata saat mereka sudah berada di dalam rumah. Rea yang sudah sangat rindu dengan sang ibunda segera memeluknya erat-erat."Ibu, nanyanya bisa entar nggak? Rea masih kangen." Wanita itu menggelendot manja di dada ibunya."Kamu ini kok jadi kayak kecil." Sang ibu terkekeh."Ayah pulang jam berapa, Bu?""Akhir-akhir ini Ayah sering pulang sore, katanya sih lagi banyak kerjaan di kantor." Rea nampak manggut-manggut mendengar
Dua pasang ibu dan anak itu sedang duduk melingkar di meja makan. Ibu Arina akhirnya mengundang sahabatnya, Ramona, dan putrinya, Cecilia, untuk makan malam di rumahnya karena Devon akhirnya menyetuui untuk mencoba hubungan yang lebih serius dengan putri dari sahabatnya itu."Kalian tidak perlu buru-buru, jalani saja kebersamaan kalian sampai nanti kalian berdua siap untuk ke jenjang pernikahan. Bukan begitu, Mon?" tanya Bu Arina pada sahabatnya. Bu Ramona mengangguk setuju."Benar itu. Yang paling penting kalian harus sering ketemu, biar lebih cepat saling mengenal satu sama lain. Cecilia boleh kan sesekali berkunjung ke kantor kamu, Dev?" tanya Bu Ramona tiba-tiba yang membuat lamunan Devon buyar.Sebenarnya lelaki itu dari tadi tidak fokus dengan obrolan meja makan yang membosankan itu. Pikirannya justru melayang ke apartemen Rea. Belum genap sehari dia berpisah dari wanita mungilnya itu, tapi rasa rindu rasanya sudah
Devon sangat bersemangat minggu pagi itu. Dini hari tadi dia baru membaca pesan terakhir Rea sesaat sebelum dia memejamkan mata. Dia sangat terganggu dengan keberadaan Cecilia dan ibunya yang bertamu sampai larut malam di rumah orang tuanya.Membaca pesan Rea itu Devon jadi tersadar bahwa Rea sepertinya belum mengenal Devon dengan baik. Dia bahkan belum tahu bagaimana rajinnya lelaki itu bangun pagi. Kebiasaan bangun paginya bahkan sudah dia jalani sejak kecil. Dulu ayahnya selalu mengajarkannya seperti itu. Bangun pagi, berolahraga, mandi, sarapan, lalu bekerja. Dan itu seakan telah menjadi doktrin hidup sampai Devon dewasa.Dalam hidupnya, tidak banyak hari yang dia lewatkan tanpa bangun pagi. Misalnya seperti saat dia sedang sakit, atau saat dia sedang ingin bermalas-malasan dengan para wanitanya. Salah satunya adalah malam dimana dia tidur satu ranjang dengan Rea.Pagi ini pun tak jauh beda dengan hari biasa. M
Prosesi tiga jam yang membuat jantung Devon seolah berhenti berdetak itu akhirnya selesai juga. Aneh sekali, sejak semalam dia sampai tak bisa tidur memikirkan hari ini tiba. Keringat dingin, jantung berdegup kencang, tapi dia tak merasakan sakit kepala sama sekali. Tak seperti dulu ketika dia berada pada kondisi tertekan. Kepalanya akan selalu terasa sakit.Dia mengucapkan ijab kabul dengan sangat lancar, membuat mata Rea berkaca-kaca. Begitupun Pak Hanggono dan Bu Renata, serta sang Paman yang menjadi walinya hari ini. Padahal ini bukan pernikahan pertama untuk Rea.Ada hal yang sangat disayangkan Devon, bahwa ibundanya tetap belum bisa menerima Rea."Pelan-pelan saja, Sayang. Kita tidak bisa mengubah perasaan orang untuk langsung menyukai kita. Aku akan berusaha keras agar mamamu bisa menyukaiku," kata Rea beberapa hari yang lalu saat dia utarakan kesedihannya karena ibunya."Terima kasih, Rea.
Devon tidak pernah memiliki saudara kandung. Dia juga tidak terlalu dekat dengan saudara-saudara sepupu baik dari ibu maupun ayahnya. Seumur hidupnya dia belum pernah melihat bayi yang baru lahir sedekat ini. Matanya membulat takjub saat Bu Renata mendekatkan bayi lelaki yang baru beberapa jam dilahirkan Rea itu padanya."Kamu mau menggendongnya, Nak?" tanya Bu Renata."Boleh?" tanya Devon tak yakin. Dia belum pernah menyentuh langsung seorang bayi baru lahir."Tentu saja. Kemarikan tanganmu, Nak."Devon mengulurkan kedua tangannya ke Bu Renata yang lalu memberikannya bayi tampan yang sebentar lagi akan menjadi anaknya itu ke dalam tangannya yang terbuka.Rasanya aneh sekali membopong makhluk kecil ini di tangannya. Tangan kokoh Devon bahkan terlihat agak gemetar saat bayi itu berpindah ke tangannya. Betapa kecilnya dan betapa tidak berdosanya dia. Rea dan Bu Renata saling berpanda
Kini mereka tinggal berdua, duduk berhadapan di meja makan keluarga Rea yang pastinya jauh lebih sempit dari meja makan di aparteman Devon.Ayah dan Ibu Rea sudah meninggalkan mereka beberapa saat yang lalu. Sepertinya keduanya sengaja membiarkan dua insan yang sedari tadi tampak salah tingkah di meja makan itu untuk berbicara lebih leluasa.Rea ingat betapa lelaki di depannya ini sangat menikmati sarapan pagi ini dengan kedua orang tuanya. Dia bisa dengan akrab berbicara dengan ayah Rea layaknya anak lelaki dengan ayahnya. Sementara ibunya, sangat memanjakan Devon di meja makan. Seolah dia adalah anak lelaki yang hilang bertahun-tahun lamanya dan telah kembali. Rea tak habis pikir, bahkan Anggit saja tak pernah bisa seakrab itu dengan kedua orang tuanya.Devon menatap Rea aneh. Tidak biasanya wanita itu hanya menunduk saat bersamanya. Dia pasti akan melakukan hal-hal yang biasanya sangat menggemaskan, mencuri pandang ke
Rea memandangi amplop coklat yang kemarin diberikan ibunya padanya. Amplop coklat itu berisi beberapa gepok uang untuknya. Teddy yang membawa uang itu ke rumahnya. Dia bilang pada ibunya bahwa itu adalah gaji Rea selama bekerja di perusahaan Devon.Ibunya yang mengetahui betapa besarnya jumlah uang yang ada di dalam amplop coklat itu segera saja bertanya penuh curiga pada Rea."Nggak ada yang kamu sembunyikan dari ibu kan, Re?" tanya wanita paruh baya itu dengan sorot penasaran."Sembunyikan apa sih, Bu? Rea nggak pernah menyembunyikan apapun dari Ibu.""Tapi uang ini sangat besar, Re. Bahkan kamu bisa beli mobil dengan ini. Kamu nggak melakukan perbuatan yang aneh-aneh kan sama boss kamu itu?" Bu Renata masih dengan kecurigaannya. Rea mendesah, sedih ibunya mencurigainya seperti itu.Namun mengetahui betapa ibunya sangat khawatir, akhirnya Rea memutuskan untuk menceritakan semuanya pada Bu Re
Kecuali dia memiliki keluarga yang begitu mencintainya, Rea merasa tak punya keberuntungan lain lagi. Pernikahannya dengan Anggit yang berantakan, sahabatnya yang tega mengkhianati, dan perasaannya pada Devon yang kandas sebelum merekah."Kamu yakin mau resign, Re?" Chika menatap lekat sahabatnya yang sedari malam baru menghentikan tangisannya. Rea mengangguk pelan. Rea sudah menyiapkan surat pengunduran dirinya pada Chika."Aku akan menata kehidupanku kembali Chik. Menyelesaikan masalahku dengan suamiku.""Lalu apa rencanamu setelah itu?""Entahlah, aku belum yakin. Tapi mungkin aku akan menenangkan diri dulu sambil menunggu anakku lahir. Aku akan bersama orang tuaku dulu.""Re, boleh aku tanya?" Dengan hati-hati Chika bicara."Apa?" lirih Rea."Ini bukan karena Anggit kan?" tanya Chika. Sahabatnya itu tahu betul Rea sudah tidak akan terpukul dengan mas
Untuk pertama kali dalam hidupnya, hati Devon terasa sangat teriris mendengar tangis seorang wanita dalam dekapannya. Dia tak pernah mencintai wanitanya sedalam ini hingga membuatnya merasa tak bisa bernafas.Teddy yang melihat pemandangan mengharukan itu pun tak sanggup berkata-kata. Sahabat terbaik itu hanya bisa mengamati Devon yang tak bergerak dipeluk erat oleh Rea, menatap dari kursinya dengan menggigiti ibu jari tangan kanannya.Saat tangis Rea mereda, Devon membimbingnya duduk. Dan wajah Rea mendadak memerah saat menyadari betapa banyak pasang mata di sekitarnya yang menyaksikan aksi tangisnya tadi. Wanita itu menunduk malu dan tiba-tiba lututnya lemas.Teddy yang menyadari itu, langsung saja menggodanya."Aku nggak pernah tau Cinderella bisa menangis seperti itu." Lelaki itu terkekeh mentertawakan Rea. Wanita itu sontak memejamkan mata, menggigit bawah bibirnya menahan panas di wajahnya ka
Lelaki itu nampak sangat tampan dengan setelan jas warna putihnya. Meskipun suasana di ruangan itu penuh suka cita, namun wajah lelaki itu nampak tidak begitu bahagia. Sangat berbanding terbalik dengan gadis cantik yang berdiri di sampingnya. Dia selalu menebarkan senyum ke setiap tamu yang datang ke pesta kecil pertunangan mereka.Ketakutan akan kehilangan sang ibunda menyebabkan Devon akhirnya memutuskan untuk menerima perjodohannya dengan Cecilia.Atas permintaan Devon, pesta pertunangan kecil itu dilaksanakan di rumah orang tua Devon, hanya mengundang beberapa klien penting saja. Bu Arina yang akhirnya mendapatkan keinginannya agar putra semata wayangnya brrsanding dengan putri sang sahabat nampak mengembangkan senyum bahagianya di atas kursinya.Dokter menyatakan bahwa wanita baya itu sudah cukup sehat untuk dibawa pulang. Jadi dia memutuskan segera melangsungkan pesta pertunangan Devon dengan Cecilia.
Devon tak bisa mengingat kapan terakhir kali ibundanya sakit. Sepanjang dia mengingat wanita itu jarang sekali sakit. Dan kabar tentang sakitnya ibunya ini membuat hati Devon terasa seperti tersayat. Sedih melihat ibundanya terbaring tak berdaya di ruang perawatan.Dokter Mieke, dokter pribadi yang merawat ibunya bilang, diagnosa awal Bu Arina drop karena terlalu capek. Tetapi dia juga bilang kondisi psikis sangat mempengaruhinya. Dan hasil diagnosa selanjutnya masih baru akan diketahui beberapa hari lagi.Devon tidak pernah ingat jika ibundanya itu pernah mengidap penyakit serius selama hidupnya. Yang dia ingat justru ayahandanya yang waktu itu meninggal karena serangan jantung.Entah kenapa mendadak saat ini perasaannya diliputi ketakutan. Bagaimanapun, dia belum siap kehilangan wanita itu untuk selamanya. Dia belum ingin menjalani kehidupan ini sendirian. Benar-benar sendirian tanpa orang tua.Dia mem
Teddy menatap sahabatnya dengan sedikit cemas. Dia sangat tahu apa yang akan terjadi saat Devon marah. Dan kejadian di hadapan mereka kali ini benar-benar sangat tidak bagus.Saat ini sepasang sahabat itu sedang berada di dalam mobil, tak jauh dari rumah kost Rea. Selepas makan malam tadi Devon langsung mengajak Teddy mengantarnya menemui Rea. Lelaki itu bermaksud meminta maaf pada Rea.Awalnya Teddy keheranan. Dia tidak menyangka sahabatnya itu akan menerima sarannya meminta maaf pada Rea. Dia sangat tahu karakter Devon. Tidak mungkin meminta maaf pada wanitanya. Yang ada selama ini wanita lah yang selalu mengejar-ngejar dia untuk diberi sesuatu. Entah apa yang special dari wanita bernama Rea itu. Tapi Teddy merasa dia juga menyukai wanita itu.Hanya saja, apa yang ada di hadapan mereka saat ini seolah menjungkir balikkan keadaan. Dari balik kaca mobilnya yang gelap, sepasang sahabat itu melihat Rea turun dari mobil Ang