Sophie nyaris tidak bicara selama bermenit-menit. Untungnya mereka tak kesulitan untuk menemukan taksi. Amara merasa bersyukur karena mereka tidak melalui area macet. Supir taksi mengetahui jalan memotong yang akan membuat mereka lebih cepat sampai di rumah Amara. Tangan gadis itu saling meremas dengan gerakan gugup yang kentara.
Amara tidak tahu bagaimana dia bisa bertahan seperti tadi, tetap berdiri di depan Ji Hwan tanpa kehilangan keseimbangan atau malah pingsan. Bahkan, Amara masih mampu melontarkan beberapa kalimat yang menyakitkan dan menyembilu. Bukan cuma untuk Ji Hwan melainkan juga bagi dirinya sendiri.
Namun Amara tidak bisa menahan diri karena kejutan yang terjadi malam ini. Semua ini terlalu berat untuk ditanggung. Kejutan yang sama sekali tak pernah diduga oleh gadis itu. Mana pernah dia menyangka jika dirinya dan cowok yang dicintai Amara itu akan terhubung dengan cara seperti ini? Bukankah ini rasanya begitu kejam?
“Aku beneran n
“Amara, aku tau kamu belum tidur. Mungkin, sampai pagi pun kita berdua nggak akan bisa tidur,” desah Sophie pelan. “Maaf, aku nggak bisa berpura-pura kalau tadi nggak terjadi apa pun. Menurutku, mending kita bahas apa yang terjadi tadi. Aku pengin banget bantuin kamu, andai memang bisa. Tapi kurasa menutup mulut bukanlah cara terbaik.”Amara tahu bahwa Sophie memiliki kelugasan yang tidak dipunyai oleh dirinya dan Brisha. Sophie yang santai dan tampak selalu gembira itu punya kekuatan untuk membuat orang tak mampu menampik keinginannya. Entah gadis itu menyadari kelebihannya itu atau sebaliknya. Jika Sophie sudah bertekad untuk sesuatu, maka Amara tahu tak ada gunanya melawan dan membantah.“Kamu mau ngomong apa?” Amara masih tidak bergerak. Suaranya terdengar serak karena terlalu banyak mengeluarkan air mata. Dia sudah berjuang mati-matian untuk meredam suara isakannya.“Aku tau kamu nangis sejak tadi,” Sophie ber
Karena tak juga bisa meredakan emosinya yang masih bergelora, Amara menarik napas panjang. Mengikuti apa yang dilakukan Sophie, Amara juga membalikkan badan. Seluruh sarafnya seakan menjerit-jerit meminta penuntasan. Kemarahan dan tangisnya tampaknya belum cukup memadai. Namun Amara juga tahu dia tak mungkin menumpahkan segalanya di depan Sophie. Selain itu, dia juga tidak tahu harus melakukan apa supaya merasa lega.Apa sebaiknya dia berolahraga hingga benar-benar ada tulangnya yang patah atau cedera permanen? Namun sepertinya hal itu pun tak akan membuat suasana hatinya membaik.Amara meraba matanya yang bengkak dan nyeri. Menangis sekian lama tidak juga meringankan dadanya. Sedih, kecewa, marah, rasa kehilangan, semua menggelinding jadi satu. Dia tidak tahu kepada siapa harus menumpahkan kemarahannya.“Aku nggak pernah ngelewatin pengalaman kayak kamu, Mara. Jadi, aku nggak tau pasti rasanya kayak apa. Tapi di sini, aku udah ketemu banyak orang dengan p
Hidup bagi Amara berubah kacau dan rumit. Dia larut dalam masalahnya yang mirip tornado, nyaris lumat oleh rasa perih yang mencengkeram. Gadis itu mengabaikan Sophie yang berusaha untuk mengajaknya bicara. Amara bukannya tidak tahu kalau kata-katanya sudah melukai Sophie saat sahabatnya itu menginap, sepulang dari rumah Ji Hwan. Namun dia sedang tak kuasa untuk berempati, apalagi meminta maaf.“Kamu kenapa, Mara? Kayaknya lagi banyak pikiran,” kata Ika suatu pagi, beberapa hari setelah tahun baru. Perempuan itu memilih bertahan menjadi asisten di rumah Amara sambil sesekali membantu kakek dan nenek gadis itu. Karena memang tak banyak kewajiban yang harus dikerjakan perempuan itu.Merry dan Amara sepakat untuk tak terlalu bergantung lagi pada asisten rumah tangga setelah Ayu diberhentikan. Amara bertanggung jawab untuk masalah kebersihan seisi rumah. Pakaian kotor pun dikirim ke penyedia jasa laundry. Ika memastikan tersedia makanan untuk disa
Saat itu, tenggorokan Amara terasa nyeri karena aneka emosi yang seakan bergumpal di sana. Baru mendengar Ji Hwan bicara saja, dia sudah tak bisa menahan ledakan yang seolah mengancam kepala dan dadanya. Bayangan masa lalu itu kembali memenuhi pelupuk matanya. Tampaknya, tak ada gunanya bicara berdua dengan Ji Hwan. Karena Amara kesulitan memandang Ji Hwan sebagai sosok merdeka yang sama sekali tak terkait dengan Cello. Di mata Amara, keduanya adalah satu paket yang tak terpisahkan.“Ji Hwan, apa pun yang mau kamu omongin, sama sekali nggak akan mengubah keadaan. Cello udah ngelakuin hal jahat sama aku. Aku benci sama dia setengah mati. Mungkin, kamu atau siapa pun nggak akan bisa paham perasaanku kayak apa. Asal kamu tau, sebelum tahun baru, aku dan Sophie pernah datang ke kantor mamamu. Kubilang, kalau suatu saat Cello sengaja datang untuk ketemu aku lagi, pilihannya cuma dua. Aku atau dia yang mati,” ucap gadis itu kasar. “Jadi, dari situ kamu udah bisa d
“Mamaku berselingkuh waktu masih jadi istri papaku. Mama hamil Cello dan ngaku sama Papa kalau itu bukan darah dagingnya. Itulah sebabnya Papa memilih cerai dan memenangkan hak asuhku dan kakakku. Waktu kejadian itu, aku masih kecil banget. Umurku belum dua tahun. Aku bisa dibilang nggak punya memori soal Mama. Dulu, aku bahkan ngira kalau pengasuhku adalah mamaku.“Itulah sebabnya aku nggak pernah ngebahas detail tentang perceraian orangtuaku sama kamu atau yang lain. Karena aku pun kesulitan untuk paham akan pilihan yang dibuat Mama. Kalau udah nggak bisa bertahan atau jatuh cinta sama orang lain sampai rela ngorbanin rumah tangganya sendiri, kenapa nggak ngomong baik-baik sama Papa? Kenapa malah berselingkuh sampai hamil segala?”Amara tertegun mendengar penuturan Ji Hwan itu. Katanya, “Kamu pasti bohong, kan? Kamu sengaja ngarang cerita tentang semua itu?””Ji Hwan menggeleng. “Untuk apa aku bohong sama kamu? Bila pe
Jika Amara mengira bahwa Ji Hwan akan menyerah setelah mendengar kata-kata menyakitkan yang terlontar dari bibirnya, gadis itu salah besar! Karena setelah kedatangan Ji Hwan ke rumah Amara, cowok itu masih berusaha menemuinya dua kali lagi.Akan tetapi, semua celah yang memungkinkan mereka bisa berkomunikasi dengan layak, ditutup oleh Amara. Gadis itu tidak memberi kesempatan kepada Ji Hwan untuk membela diri. Mereka bertengkar dengan kata-kata yang menyakitkan, minimal dari sisi Amara. Sebenarnya, tidak bisa disebut bertengkar karena hanya Amara yang emosi dan Ji Hwan cuma menjawab dengan sabar dan sopan.Pembelaan Sophie terhadap Ji Hwan kian membuat perasaan Amara terluka. Menurut sahabatnya, Ji Hwan tak pantas dihukum untuk kesalahan yang tidak dilakukannya. Amara tidak sependapat sama sekali.“Kenapa kamu keras kepala banget, sih, Mara?” Sophie tampak mulai kehabisan kesabaran. “Apa sih dosa Ji Hwan sampai dia pantas kamu maki-maki kayak g
“Kalau gitu, jangan lagi dekat-dekat sama Ji Hwan! Dia dan adiknya memiliki hubungan darah, kemungkin juga berbagi sifat-sifat jahat. Mama nggak sakan membiarkanmu mengambil risiko. Apa yang kamu lakukan Karin ini, udah tepat. Kalian sebaiknya memang putus saja.”Tadinya Amara mengira bahwa Merry akan sependapat dengan Sophie bahwa Ji Hwan tidak bersalah dan tak pantas menerima akibat dari keberengsekan Cello. Tak urung dia berjengit mendengar nada kebencian di dalam suara sang ibu. Mendadak, ada bagian dirinya yang ingin membela Ji Hwan. Akan tetapi, Amara mampu mengendalikan diri dengan baik.“Mama yakin kalau aku nggak berlebihan?” Amara ingin tahu.Merry menggeleng dengan tegas. “Nggak. Mama senang karena kamu udah bikin keputusan kayak gitu.”Mendadak, ada dorongan untuk memberi tahu Merry tentang hubungan antara Ji Hwan dan ibunya. Bibir gadis itu pun tak kuasa melawan kehendak hatinya. Amara meringkas kembali obr
Amara menyetir menuju rumah sakit dengan perasaan cemas yang menggelembung di dadanya. Namun dia harus berjuang untuk berkonsentrasi pada jalanan yang membentang di depannya. Jika tidak, bisa-bisa Amara akan celaka.Gadis itu seakan bermimpi saat memasuki gedung rumah sakit. Tadi Sophie sudah memberi tahu ruangan tempat Brisha dirawat. Setelah mengetahui pasti arah yang harus diambilnya usai bertanya pada satpam rumah sakit, Amara pun melangkah tanpa ragu.Aroma khas rumah sakit langsung menyerbu hidungnya, membuat sebuah kenangan familier yang menyakitkan kembali menyergap Amara. Sophie berdiri seraya melambai dari kejauhan. Amara mempercepat langkahnya, tidak sabar ingin tahu kabar terkini sahabatnya.“Apa yang terjadi, Soph? Kamu udah ngeliat kondisi Brisha? Tadi kamu bilang kalau Brisha dipukuli sama Andaru, kan? Gimana bisa?” cerocos Amara tak sabar.Sophie menarik tangannya, mengajak Amara duduk di kursi yang menempel ke dinding. B
Amara sering mendengar kalimat tentang cinta yang bisa mengubah hidup seseorang dengan drastis. Dan selama ini dia kerap mencibir, tidak memercayai hal itu sama sekali. Baginya, orang-orang yang sedang jatuh cinta itu cuma melebih-lebihkan saja.Akan tetapi, kini cibirannya itu justru berbalik menyerang Amara. Menjadi bumerang yang membuatnya jengah. Jika boleh jujur, Amara bahkan tidak tahu kalau efek cinta yang dirasakannya itu ternyata jauh lebih besar dibanding bayangan gadis itu. Amara mengira hidupnya sudah remuk dan takkan bisa lagi kembali normal. Bahagia itu cuma sebuah mimpi lancang yang terlarang untuknya.Hingga Seo Ji Hwan hadir dalam dunianya, memainkan sihir ajaib yang tidak pernah terduga.Membuka hatinya lagi untuk Ji Hwan setelah tahu siapa cowok itu, sama sekali tidak mudah. Akan tetapi, memaksa Ji Hwan menjauh dan membiarkan cowok itu lenyap dari hidup Amara selamanya, jauh lebih tidak tertanggungkan. Cinta Amara untuk cowok itu sudah bertumb
Kata-kata Ji Hwan itu mengejutkan Amara. Dia pun merespons. “Pasti itu melibatkan cewek yang namanya Rita tadi,” tebak Amara dengan perasaan terganggu. Cemburu.“Memang iya,” aku Ji Hwan dengan jujur. Pengakuan itu membuat Amara berjengit.“Dan tadi dia menggandengmu dengan mesra,” Amara menahan diri agar tidak mengomel panjang. “Aku dan Sophie ngeliat semuanya.”“Dia memang menggandengku, Mara. Tapi seingatku, buru-buru kulepaskan. Nggak ada yang bisa dianggap ‘mesra’ di situ,” ralat Ji Hwan. Kedua tangannya terangkat dan membuat tanda petik di udara. “Kalau memang kamu secemburu itu, seharusnya kamu nggak pernah ngelepasin aku,” dia menambahkan.Amara menoleh ke kanan, mengira akan melihat Ji Hwan tersenyum jail. Namun ternyata tidak. Ji Hwan terlihat sangat serius dengan kata-katanya. Matanya yang agak sipit itu menatap Amara dengan kesungguhan yang luar biasa.
Ji Hwan tertawa geli. Amara benar-benar merasa lega karena akhirnya bisa melihat cowok itu tergelak lagi. Lesung pipitnya begitu menyihir. Amara sekarang baru menyadari betapa dia sangat merindukan Ji Hwan. Dia tidak tahu bagaimana selama ini bisa bertahan, bahkan sampai bersikap memusuhi cowok itu. Amara pun tak sudi mendengar semua pembelaan diri dari Ji Hwan.“Sophie juga udah ngingetin aku tentang kamu yang gengsi banget untuk mengakui perasaanmu sama aku,” aku Ji Hwan.Amara mendesah tak berdaya. “Kalau nanti ketemu Sophie, aku akan menjahit mulutnya,” ucap gadis itu. “Dia sama sekali nggak bisa menjaga rahasia.”Ji Hwan tertawa kecil. “Sophie nggak punya maksud jelek. Dia cuma ingin membantu kita berdua,” katanya. “Heartling, bisa nggak sih, kita berhenti berantem dan ngucapin kata-kata yang nyakitin hati? Aku beneran jatuh cinta sama kamu. Aku menyesali semua yang harus kamu alami. Aku lebih nyesal lag
Wajah Amara menghangat. Kata-kata Ji Hwan itu membuatnya jengah. Dia sempat mengerjap sambil menatap sang mantan, tak yakin bagaimana Ji Hwan tampak berbeda dibanding kemarin. Hari ini, Ji Hwan tampak lebih santai dan bisa mengucapkan kata-kata yang mengejutkan. Meski tak terlihat lesung pipitnya yang begitu disukai Amara.“Kenapa aku harus cemburu?” Amara mengerutkan glabelanya. “Ji Hwan, kita beneran konyol banget karena ngebahas hal-hal yang nggak penting. Sekarang, balik ke masalah yang sebenarnya. Kamu ngajak aku ke sini untuk ngebahas apa?” tanya Amara. Dia berusaha bersikap setenang mungkin meski nyatanya jantung Amara terasa menggila lagi.“Bukannya kamu merindukanku?” Ji Hwan malah balas bertanya. Pertanyaan itu begitu mengejutkan, seperti bom yang dijatuhkan di keheningan malam.“Apa?” Amara yakin dia sudah salah dengar.Ji Hwan menjawab dengan sabar. Nada sinis yang tadi tertangkap di telinga Amar
“Kamu sakit ya, Mara? Wajahmu agak pucat,” cetus Ji Hwan dengan napas memburu. Menurut tebakan Amara, cowok itu pasti berlari saat kembali ke tempatnya menunggu.“Aku nggak sakit.” Seisi dada Amara dipenuhi permohonan, berharap Ji Hwan mau memanggilnya “Heartling” lagi. Permohonan yang tidak mampu dilisankan Amara di depan cowok itu. Sesaat kemudian, gadis itu memarahi dirinya sendiri. Memangnya apa yang diharapkannya? Ji Hwan sudah melakuakan segalanya untuk mempertahankan Amara. Akan tetapi, Amara sendiri yang menolak Ji Hwan berkali-kali.Ji Hwan melihat ke arah jam tangannya. “Kita bisa pergi sekarang? Atau kamu mau makan siang dulu?”Amara menggeleng. “Aku nggak lapar.”Setelahnya, gadis itu berjalan bersisian dengan Ji Hwan menuju tempat parkir motor di fakultas cowok itu. Tak ada yang membuka mulut. Amara pun sama sekali tidak berkomentar saat mantan pacarnya menyerahkan sebuah helm kepada
Namun Amara tidak mampu mensterilkan diri dari perasaan senang saat melihat Rita menjadi salah tingkah dengan wajah agak pias. Mereka saling sapa dengan canggung. Amara juga merasa lega karena Ji Hwan tidak mengoreksi kata-kata Sophie tadi.Kurang dari tiga menit kemudian Rita pamit dengan alasan harus masuk kelas. Tak lama kemudian Sophie pun menyusul. Tidak ada tanda-tanda bahwa gadis itu menyesali caranya mengintimidasi Rita. Sophie malah terkesan puas dengan kelakuannya barusan. Kini, yang tinggal hanya Amara, berdiri berhadapan dengan mantan pacarnya dengan canggung. Gadis itu memindahkan berat badannya dari kaki kanan ke kaki kiri. Tidak ada yang bicara hingga berdetik-detik. Sementara mahasiswa berlalu-lalang di sekitar mereka.“Amara, kenapa belum pulang? Masih ada kuliah, ya?”Tanpa melihat pun Amara tahu bahwa Reuben yang barusan menyapanya. Dosennya itu berhenti sambil menatap Amara. Berdiri di depan dua pria yang pernah menjanjikan hati m
Amara belum pernah merasakan siksaan luar biasa saat mengikuti kuliah. Ji Hwan yang sudah memperkenalkannya pada perasaan asing yang membuatnya tak berdaya itu. Amara mengutuki waktu yang melamban dan jarum jam yang seakan tidak bergerak. Seolah-olah waltu membeku begitu saja.“Mara, bisa duduk diam nggak, sih?” protes Sophie. “Kalau kamu bergerak-gerak terus di kursimu, mungkin bakalan dikira kena wasir.”Kalimat seenaknya dari Sophie itu membuat Amara menendang kaki sahabatnya dengan gerakan pelan. Sophie malah terkikik geli dan buru-buru menundukkan wajah agar tak ketahuan dosen sedang tertawa.“Pasti kamu udah nggak sabar pengin buru-buru keluar dari sini, kan?” tebak Sophie ketika akhirnya kelas berakhir. Seringai jailnya tidak mampu membuat perasaan Amara membaik. “Tersiksa banget kan, Mara?”Amara mengabaikan gurauan sahabatnya. “Sophie, nanti kalau ketemu Ji Hwan, aku harus ngomong apa? Aku ben
Amara melangkah pelan dengan kepala tertunduk. Sophie menggandeng lengan kanannya. Setelah menghabiskan waktu di kantin, mereka akhirnya menuju ruang kelas. Perkuliahan akan dimulai sekitar sepuluh menit lagi. Perbincangan Amara dan Sophie tidak mendapat titik temu seputar jalan keluar untuk soal Ji Hwan. Amara sudah kehilangan semangat. Dia yakin, kini dia merasakan patah hati dalam arti sebenarnya.Amara tahu, rasa sakit yang harus ditanggungnya pasti tak akan ringan. Setelah semua kemarahannya mereda dan akal sehat yang berbicara, pastilah rasanya berbeda dibanding malam tahun baru itu. Saat dia memutuskan hubungan dengan Ji Hwan tanpa perasaan.“Kamu terlalu jauh dijajah gengsi. Itu kebiasaan jelek, Mara. Gengsi itu perlu tapi ya harus pada tempatnya. Kalau memang....” Sophie tidak melanjutkan kalimatnya.Heran karena Sophie tak lagi bicara, Amara berujar, “Silakan terus mengejek dan menceramahiku. Masa sih kamu udah capek? Kayaknya ini bar
Sophie sudah digariskan menjadi orang yang tak mudah dipuaskan. Dan meski sudah ikut melihat adegan tadi, gadis itu merasa bahwa reaksi Amara terlalu berlebihan. Cemburu yang tidak pada tempatnya. Bagi Sophie, tak seharusnya semangat Amara melempem begitu saja. Gadis itu tanpa sungkan mengutarakan opininya.“Katanya rindu, tapi udah langsung nyerah cuma karena ngeliat ada pengagum Ji Hwan yang lagi usaha untuk narik perhatian,” sindirnya. Sophie tidak menyembunyikan rasa gelinya. Tawanya menyusul kemudian, membuat Amara merengut sekaligus kesal.“Aku nggak cemburu, kalau itu yang kamu maksud,” balas Amara, defensif.Sophie mengabaikan kata-kata Amara. “Kamu ingat nama cewek itu? Rita kan, ya?”Amara berusaha keras menggali memorinya tapi gagal total. “Entahlah, aku sama sekali nggak ingat. Cuma kenal mukanya doang.”“Hmmm, aku maklum, sih. Sebelum ini, kamu terlalu asyik berdua sama Ji Hwan, sih