Selama proses pemakaman hari itu, mereka nyaris tak berbincang. Sophie duduk di dekat jenazah ibunya yang ditutupi kain batik. Doa-doa dan lantunan ayat suci mengalun dari berbagai penjuru mata angin. Amara tersiksa oleh rasa penasaran yang menyandera jiwanya. Namun dia mustahil mengajukan beragam pertanyaan di saat itu, kan?
“Aku punya setumpuk pertanyaan yang berputar-putar di kepalaku. Mirip gasing,” bisik Brisha dengan suara rendah.
“Aku pun sama,” sahut Amara. “Selama ini Sophie nggak pernah ngomongin soal ibunya. Aku taunya dia tinggal bareng neneknya. Makanya aku sempat ngira kalau ibunya memang udah nggak ada.”
“Aku juga mikirnya kayak gitu,” dukung Brisha. “Ah, Sophie kayaknya punya rahasia yang disembunyiin. Eh, kamu tau yang mana bokapnya, Mara?”
Amara memandang ke sekeliling. Sejak tadi dia tak melihat ada pria yang secara usia pantas menjadi ayah Sophie dan berada di dekat gadis itu.
Sophie malah menelentang di ranjangnya yang tidak terlalu besar itu. Brisha dan Amara mengikutinya, berbaring berdesakan mengapit sang nona rumah. Kamar yang dinding-dindingnya dicat putih itu terperangkap dalam keheningan selama beberapa detik nan panjang.“Aku nggak pernah nyangka kalau suatu hari akan membahas masalah ini sama orang lain. Kalian mungkin nggak akan percaya kalau kubilang bahwa aku seumur hidup nggak punya teman akrab. Sampai aku kenal kalian berdua,” aku Sophie dengan lancar.Amara mencerna informasi itu dengan ketidakpercayaan yang begitu kental. Bagaimana bisa gadis supel yang selalu riang seperti Sophie tidak mempunyai sahabat sama sekali? Dia masih ingat kali pertama bertemu dengan Sophie. Gadis itu menyapanya tanpa canggung dan terus berusaha mendekati Amara meski mendapat penolakan berkali-kali.Seakan bisa membaca isi benak Amara, Sophie pun berujar, “Waktu ketemu kamu, aku beneran pengin jadi temenmu, Mara. Aku sendir
Amara bisa melihat adegan demi adegan yang melibatkan dirinya dan Cello di masa lalu. Empedunya seakan naik dan memberikan rasa pahit menakutkan yang bertahan di tenggorokan. Kisah ibunda Sophie mirip dengan yang dialami Amara. Deja vu.“Kamu yakin, Soph?” Otak Amara tidak bisa menemukan kalimat lain. Brisha bahkan menutup mulut dengan suara tertahan.Sophie akhirnya duduk di depan kedua sahabatnya. Wajahnya tampak muram dengan bayangan gelap di bawah matanya. Sophie yang biasanya selalu tampil cenderung rapi, bahkan tidak memedulikan rambutnya yang kusut dan sepertinya tidak tersentuh sisir lebih dari sehari.“Ibuku diperkosa pacarnya. Tapi kasusnya beda sama kamu, Mara. Ibu nyembunyiin semuanya sampai usia kandungannya nyaris lima bulan. Janinnya adalah aku.”Bibir Amara terbuka. Brisha malah mulai terisak dengan suara rendah. Amara juga sangat ingin bisa seperti itu, menumpahkan rasa sedihnya dengan pantas. Bayangan per
Entah berapa lama Amara termangu dengan pikiran tak keruan. Mana pernah gadis itu membayangkan jika Sophie yang santai dan ceria itu menyimpan rahasia getir yang mematikan. Dia tidak tahu bagaimana Sophie bisa bertahan selama ini. Karena gadis itu menyiratkan bahwa dia tidak memiliki problem besar dalam hidup. Siapa pun yang melihat dan mengenal Sophie, pasti mengira bahwa gadis itu selalu bahagia.Ah, inilah contoh nyata bahwa sampul tak selalu mencerminkan isi.Terlahir sebagai anak korban perkosaan yang nyaris tidak pernah merasakan kasih sayang orangtua, tidak terbayangkan rasanya. Amara sangat yakin, tidak akan ada kata-kata penghiburan yang bisa menenangkan sahabatnya. Terlalu banyak rasa sakit yang sudah ditanggung Sophie. Amara cuma bisa merasa takjub bagaimana Sophie bisa melewatkan hari demi harinya selama ini.“Kakek meninggal nggak lama setelah aku lahir. Jadi, aku pun nggak pernah kenal kakekku sendiri. Sejak dulu cuma ada Nenek. Aku pun nggak
Amara tidak akan sanggup andai diminta bertukar tempat dengan Sophie meski cuma dalam hitungan jam. Apalagi saat dia mendengar Brisha bertanya tentang perasaan Sophie terhadap sang ayah.“Andai bisa, memang pengin banget benci sama orang yang udah nyelakain ibuku sampai kayak begini, Sha. Tapi, apa itu ada gunanya? Benci sama seseorang cuma bikin jiwaku sakit. Hidupku nggak akan bisa nyaman.” Sophie memandang kedua sahabatnya dengan ketenangan yang mengagumkan. Meski dia tidak mampu menahan suaranya yang terdengar bergetar. “Aku akhirnya cuma bisa berterima kasih. Karena tanpa Ayah aku mustahil bisa berada di depan kalian saat ini.”Kata-kata Sophie itu membuat Amara memeluk sahabatnya. Tenggorokan Amara terasa penuh tapi dia tetap tak bisa menitikkan air mata.Amara melihat sosok Sophie yang berbeda jauh dari apa yang ditampilkan gadis itu sehari-hari. Keceriaan Sophie benar-benar mendebu, berganti rupa dengan keseriusan yang seharusnya
Amara tidak berselera melakukan aktivitas apa pun di luar olahraga. Dia bahkan sempat membolos kuliah hingga dua hari dan mengabaikan pertanyaan dari Merry. Gadis itu merasa dia berhak untuk berduka sendiri dengan cara yang dipilihnya. Untung saja ibunya sekarang ini jauh lebih pengertian dan tak pernah lagi mendesak atau memaksakan keinginan. Sejak tahu bahwa Amara nyaris mengakhiri hiddupnya, Merry berubah lebih sabar dan menahan diri.“Apa kamu sakit, Mara?” tanya Ika yang sengaja datang ke kamar gadis itu, di pagi kedua Amara membolos. “Kamu belum keluar kamar untuk sarapan. Padahal ini udah lumayan siang. Mau dibawain sarapan ke sini? Saya tadi bikin nasi goreng teri medan.”Air liur Amara seolah berkumpul di mulut saat mendengar menu yang dimasak Ika pagi ini. Dia dan almarhum ayahnya adalah penyuka nasi goreng teri medan. “Nanti aku makan di dapur aja, Mbak. Aku nggak apa-apa, kok. Cuma lagi sedih aja.”Tanpa diminta, A
“Ada apa?” tanya Amara tanpa basa-basi.“Aku nggak sempat ngomong sama kamu kalau aku terpaksa berangkat ke Korea bareng papaku. Maaf, ya. Semua serba terburu-buru. Hapeku ketinggalan di kasur pas lagi beres-beres mau pergi. Baru ngeh waktu udah di bandara. Itu pun gara-gara aku mau nelepon kamu. Kukira ponsel ada di kantong, ternyata nggak ada. Mau balik lagi ke rumah pun udah nggak mungkin. Mau pinjam hape Papa, aku nggak hafal nomormu. Jadinya ya udah, nggak bisa ngabarin sama sekali.”Amara tidak menutupi kekagetannya. “Selama ini kamu pergi ke Korea?”Ji Hwan mengangguk. “Kami menghadiri pemakaman kakak tertua papaku yang tinggal di sana. Beliau mengalami kecelakaan. Tadinya Papa ingin pergi sendiri tapi aku nggak tega. Karena kayaknya Papa lagi sedih banget. Makanya kutemenin. Kami nyampe Jakarta tadi malam. Tadinya mau buru-buru nelepon kamu tapi udah terlalu malam. Kupikir, mending ngomong langsung aja.”
Ji Hwan tersenyum, membuat Amara terkesima. Dia tidak mengira jika ajakannya bisa membuat mata cowok itu berbinar lembut. Kemuramannya agak menyusut. Dan fakta itu membuat Amara tidak mampu menghalau rasa girang yang melanda dadanya. Seketika dia melupakan semua perasaan sakit karena Ji Hwan seolah menghilang selama berhari-hari. Karena kini Amara tahu jawabannya. Dan dia percaya bahwa cowok itu tidak berdusta.“Kamu atau aku yang nyetir?” tanya Ji Hwan. “Aku aja, ya?”“Oke,” balas Amara pendek. Dia menyerahkan kunci mobil yang masih berada di tangan kanannya.Gadis itu setengah memejamkan mata saat berbalik ke arah mobilnya. Dia takut akan berubah pikiran dan membuat keputusan yang bisa mengecewakan Ji Hwan. Entah kenapa, membayangkan bahwa dia akan membuat cowok itu bersusah hati malah menciptakan riak tidak nyaman yang membanjirinya.“Apa kamu cukup hafal jalanan di sini, Ji Hwan?” tanya Amara seraya mema
Ji Hwan bersuara, “Kenapa harus berkali-kali minta maaf, Mara? Aku malah suka kalau kamu banyak bicara. Aku senang kalau kamu mau berbagi banyak hal.”Amara tersipu-sipu lagi. Entah kenapa. Dia bahkan tak kuasa membalas ucapan Ji Hwan. Gadis itu masih menunduk sembari menahan diri agar tak tersenyum lebar.“Makasih karena udah percaya sama aku. Maksudku, karena kamu udah berkenan cerita tentang dosenmu. Aku memang pengin tahu banyak hal tentang kamu, Mara.”Amara benci karena dia kesulitan bicara sebagai respons kata-kata Ji Hwan. Cemas dia malah lebih banyak melontarkan kalimat yang dungu, gadis itu memilih untuk mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Suara ponselnya yang menandakan pesan masuk, sempat menginterupsi. Namun Amara memilih untuk mengabaikannya. Sementara itu, mobil yang dikemudikan Ji Hwan itu pun mulai bergerak meninggalkan area parkir.“Mara, boleh aku minta satu hal?” tanya Ji Hwan tiba-tiba. Amara kembali