Ucapan Amara itu membuat Ji Hwan melongo. “Mengajak cewek? Astaga!” sergah Ji Hwan cepat. Cowok itu buru-buru menggeleng.
“Itu apa maksudnya?” Amara tampak kebingungan. Ji Hwan segera menyadari bahwa kata-katanya tidak akan dimengerti dengan baik oleh si pendengar. Karena dia tidak menggunakan kalimat yang lengkap.
“Maksudku, aku nggak pernah ngajak cewek lain ke sini atau ke restoran unik lainnya. Selama ini, aku bahkan nggak terpikir untuk melakukan hal kayak begini. Tapi tadi aku mendapat ide untuk mengajakmu ke tempat yang istimewa. Minimal, bisa jadi tempat yang akan kamu ingat dalam waktu lama. Tentunya dalam hal yang positif. Pokoknya, aku pengin bikin kamu hepi.”
Wajah Amara tampak memerah. Bahkan di bawah sinar lampu yang tidak benderang pun Ji Hwan bisa melihat dengan jelas. Dia mulai berpikir apakah kata-katanya terlalu berlebihan? Cowok itu memaki dirinya sendiri yang gagal memilih kalimat netral. Di depan Amara, s
“Kamu juga melakukan hal yang sama. Maksudku, aku juga ingin mendengar ceritamu. Supaya impas,” ucap Amara.Ji Hwan mengangguk tanpa berpikir dua kali. Dia tak memiliki rahasia yang harus disimpan. Lagi pula, hidup Ji Hwan tidak pernah meleati hal-hal yang dramatis. Mungkin, gelombang paling tinggi dalam dunianya adalah saat orangtuanya bercerai. Karena itu, dia merespons dengan antusias. “Itu hal yang mudah banget, Mara. Jadi, tentu aja aku setuju. Asal nanti kamu nggak bosan aja dengar ceritaku. Eh, tapi kamu yang dapat giliran pertama, ya?”Amara menyesap minumannya sekali lagi sebelum mulai bercerita. Seakan ingin menenangkan kegugupan yang mungkin melandanya. Ji Hwan menunggu dengan kesabaran yang bahkan mengagetkan untuk dirinya sendiri.“Namaku Amara Izabel. Saat ini umurku baru dua puluh satu tahun. Aku cewek biasa yang tidak punya keterampilan mengesankan di bidang tertentu. Prestasi di sekolahku pun biasa aja. Aku punya du
Ji Hwan mengabaikan kalimat terakhir gadis itu. Katanya,” Aku dan adik tiriku nggak akrab karena tinggal berjauhan. Aku merasa itu salah satu faktor utamanya. Sejak kami pindah ke Singapura, aku cuma beberapa kali ketemu sama Mama. Aku sih nggak tau pasti alasan orangtua cerai, Mara. Tapi, setelah mereka pisah, hubungan mama dan papaku nggak bisa dibilang baik-baik aja. Memang, nggak sampai saling menjelekkan atau rebutan hak asuh anak, sih. Cuma jadi kaku banget dan ngaruh ke aku dan kakakku.”Amara manggut-manggut. “Aku nggak bisa ngebayangin gimana rasanya kalau orangtua bercerai. Tapi pasti sakit banget untuk anak-anaknya. Karena mau nggak mau dipaksa milih untuk tinggal dengan salah satunya. Entah karena keputusan pengadilan atau kesepakatan di antara pasangan yang memilih pisah.”Ji Hwan setuju dengan ucapan Amara itu. Namun, dia tak mungkin membahas bahwa orangtuanya bercerai karena sang ibu berselingkuh dengan teman lama yang kini
Amara baru menyadari apa yang sudah diucapkannya setelah Ji Hwan pulang. Dia sempat berdiri terpaku di halaman, menyaksikan punggung Ji Hwan menghilang di kegelapan malam. Hingga ponselnya berbunyi lagi untuk kesekian kalinya. Dan saat melihat nama Sophie tertera di layar, Amara segera menjawabnya.“Aku udah pulang ke rumah dalam keadaan luar biasa baik dan tak kurang suatu apa pun,” canda Amara. “Semuanya aman terkendali. Jadi, kamu bisa berhenti mencemaskanku sekarang, Soph. Makasih banget, ya.”“Kamu cuma mau bilang itu? Nggak ada laporan lengkap?” sindir Sophie. Gadis itu tidak berusaha menyembunyikan kekesalannya. Dan itu berhasil memancing tawa geli Amara.“Aku masih harus ngadepin interogasi mamaku karena tadi belum pulang waktu aku pergi. Jadi, energiku pasti bakalan terkuras. Giliranmu besok aja, ya?”“Mana aku sabar nunggu sampai besok, Mara,” keluh Sophie.Setelah “tawar-m
Jika dipikir lagi, entah alasan apa yang membuat Amara bisa merasa nyaman di depan Ji Hwan. Meski awalnya dia sempat merasa menyesal karena naik ke boncengan cowok itu, perasaan itu cuma mampu bertahan kurang dari tiga menit. Setelahnya, merasakan angin menampar wajahnya dan meski posisi duduknya tidak benar-benar nyaman, Amara mulai bisa menikmati perjalanan itu.“Aku beneran nggak nyangka kalau makan malam bareng Ji Hwan ternyata memang mengasyikkkan. Tadinya kukira nggak akan betah sama sekali,” gumam Amara lagi. “Awalnya, tetap mau pergi karena nggak enak aja udah dua kali janji. Masa harus dibatalin lagi? Untungnya semua lancar dan aku mungkin akan nyesal kalau tadi nggak pergi bareng Ji Hwan,” ocehnya panjang.Diam-diam gadis itu mengulum senyum karena dia bisa bicara sepanjang itu pada diri sendiri.Amara sampai letih membolak-balikkan tubuh seraya mencari alasan yang paling logis untuk semua yang terjadi malam itu. Sayangnya dia g
Amara tidak bisa terlelap sempurna malam itu. Hingga dia merasa gemas pada diri sendiri. Seharusnya, saat ini dia bisa bermimpi indah dan bukan malah mengulang-ulang adegan saat berada di restoran Wonderful Treehouse hingga ratusan kali. Mata gadis itu akhirnya terpejam menjelang pukul dua dini hari. Namun Amara sudah bangun begitu pagi dan memutuskan untuk berolahraga.“Ketimbang cuma melamun nggak jelas, mending olahraga. Biar seksi,” komentar Amara pada diri sendiri sembari tertawa kecil. Setelah mencuci muka dan mengenakan pakaian olahraga, gadis itu mulai melakukan pemanasan.Saat melakukan side-plank reach throughs, Amara tersungkur ke lantai. Entah bagaimana, dia kehilangan keseimbangan dan konsentrasi. Menjerit tertahan, Amara sempat mengira tangan kanannya terkilir atau patah. Untung saja dugaannya tidak terbukti.Kejadian itu cukup memadamkan niatnya untuk terus mengeluarkan keringat. Padahal dia baru berolahraga sekitar dua puluh
Amara terkesima oleh informasi itu. “Aku nggak tahu soal itu,” kepalanya menggeleng. “Memang sih, aku tahu Ji Hwan harus bikin reservasi dulu sampai memilih menu. Jadi pas datang ke sana, semuanya udah disiapin.”Sophie tampak puas karena sudah mengagetkan sahabatnya. “Aku langsung nyari info setelah kamu nyebutin nama restoran itu tadi malam. Tapi nggak banyak info yang kudapat. Trus aku tadi sempat nanya-nanya sama beberapa teman SMA. Ini baru dapat jawaban yang lumayan lengkap.”Brisha mencibir, jelas tampak sebal dengan kesombongan Sophie yang menggemaskan. “Jadi, kami harus berterima kasih karena kamu udah berbaik hati berbagi informasi penting itu pada kami, ya?” sindirnya. Bukannya merasa bersalah, Sophie malah tergelak.“Ya, begitulah kira-kira. Masih ada info-info menarik lainnya, sih. Kalian beneran pengin tau?” godanya.“Ya udah, kami akan nyari info dari orang lain aja. Mungkin
Pertanyaan Sophie itu membuat pipi Amara terasa terbakar. Namun kali ini dia memutuskan tidak akan menceritakan semua yang terjadi pada kedua sahabatnya tanpa menyisakan sepotong kecil rahasia yang bisa dikenangnya sendiri.“Kami nggak berkencan,” dia meralat sekali lagi. “ Dan aku sama sekali nggak tau apakah Ji Hwan bakalan mau ngajak aku keluar lagi kapan-kapan. Kalian kan tau sendiri kalau aku ... selalu kesulitan untuk bersikap santai. Kurasa, Ji Hwan kapok.”Amara tidak bisa memungkiri jika ada yang terasa terpilin di perutnya setelah kalimatnya dituntaskan. Dia buru-buru mengalihkan perhatian dengan pura-pura merogoh tas, mencari-cari sesuatu.Gadis itu sangat bersyukur ketika sebuah panggilan di ponsel Sophie menginterupsi. Brisha dan Amara hanya menyaksikan punggung Sophie menjauh. Tampaknya sahabat mereka itu membutuhkan privasi untuk bicara di telepon genggamnya. Padahal biasanya Sophie tak pernah menjauh jika harus menerima te
“Aku harus segera masuk kelas, Sha” kata Amara dengan suara pelan. Gadis itu meraih tasnya yang berada di atas pangkuan. Di saat bersamaan Sophie membalikkan tubuh. Untuk sesaat, Amara menangkap kemuraman di wajah sahabatnya itu. Namun hanya dalam waktu sekedip, Sophie sudah bersikap seperti biasa. Amara mulai yakin bahwa barusan dia sudah salah lihat.“Sophie, sudah hampir pukul sepuluh, nih!” Amara menunjuk ke arah jam tangannya.“Oke,” komentar Sophie pendek.“Dan kalian berdua ninggalin aku sendiri,” gerutu Brisha sambil ikut berdiri. “Tega!”“Boleh juga kalau kamu mau menyusup ke kelas kami, Sha. Tinggal pilih tempat duduk di belakang aja. Kamu bisa numpang tidur di kelas. Dosennya Pak Awang Satria, tertarik?” saran Sophie dengan penuh semangat.Amara dan Sophie serempak terbahak saat melihat reaksi Brisha. Gadis itu menunjukkan penolakannya dengan jelas, menggeleng
Amara sering mendengar kalimat tentang cinta yang bisa mengubah hidup seseorang dengan drastis. Dan selama ini dia kerap mencibir, tidak memercayai hal itu sama sekali. Baginya, orang-orang yang sedang jatuh cinta itu cuma melebih-lebihkan saja.Akan tetapi, kini cibirannya itu justru berbalik menyerang Amara. Menjadi bumerang yang membuatnya jengah. Jika boleh jujur, Amara bahkan tidak tahu kalau efek cinta yang dirasakannya itu ternyata jauh lebih besar dibanding bayangan gadis itu. Amara mengira hidupnya sudah remuk dan takkan bisa lagi kembali normal. Bahagia itu cuma sebuah mimpi lancang yang terlarang untuknya.Hingga Seo Ji Hwan hadir dalam dunianya, memainkan sihir ajaib yang tidak pernah terduga.Membuka hatinya lagi untuk Ji Hwan setelah tahu siapa cowok itu, sama sekali tidak mudah. Akan tetapi, memaksa Ji Hwan menjauh dan membiarkan cowok itu lenyap dari hidup Amara selamanya, jauh lebih tidak tertanggungkan. Cinta Amara untuk cowok itu sudah bertumb
Kata-kata Ji Hwan itu mengejutkan Amara. Dia pun merespons. “Pasti itu melibatkan cewek yang namanya Rita tadi,” tebak Amara dengan perasaan terganggu. Cemburu.“Memang iya,” aku Ji Hwan dengan jujur. Pengakuan itu membuat Amara berjengit.“Dan tadi dia menggandengmu dengan mesra,” Amara menahan diri agar tidak mengomel panjang. “Aku dan Sophie ngeliat semuanya.”“Dia memang menggandengku, Mara. Tapi seingatku, buru-buru kulepaskan. Nggak ada yang bisa dianggap ‘mesra’ di situ,” ralat Ji Hwan. Kedua tangannya terangkat dan membuat tanda petik di udara. “Kalau memang kamu secemburu itu, seharusnya kamu nggak pernah ngelepasin aku,” dia menambahkan.Amara menoleh ke kanan, mengira akan melihat Ji Hwan tersenyum jail. Namun ternyata tidak. Ji Hwan terlihat sangat serius dengan kata-katanya. Matanya yang agak sipit itu menatap Amara dengan kesungguhan yang luar biasa.
Ji Hwan tertawa geli. Amara benar-benar merasa lega karena akhirnya bisa melihat cowok itu tergelak lagi. Lesung pipitnya begitu menyihir. Amara sekarang baru menyadari betapa dia sangat merindukan Ji Hwan. Dia tidak tahu bagaimana selama ini bisa bertahan, bahkan sampai bersikap memusuhi cowok itu. Amara pun tak sudi mendengar semua pembelaan diri dari Ji Hwan.“Sophie juga udah ngingetin aku tentang kamu yang gengsi banget untuk mengakui perasaanmu sama aku,” aku Ji Hwan.Amara mendesah tak berdaya. “Kalau nanti ketemu Sophie, aku akan menjahit mulutnya,” ucap gadis itu. “Dia sama sekali nggak bisa menjaga rahasia.”Ji Hwan tertawa kecil. “Sophie nggak punya maksud jelek. Dia cuma ingin membantu kita berdua,” katanya. “Heartling, bisa nggak sih, kita berhenti berantem dan ngucapin kata-kata yang nyakitin hati? Aku beneran jatuh cinta sama kamu. Aku menyesali semua yang harus kamu alami. Aku lebih nyesal lag
Wajah Amara menghangat. Kata-kata Ji Hwan itu membuatnya jengah. Dia sempat mengerjap sambil menatap sang mantan, tak yakin bagaimana Ji Hwan tampak berbeda dibanding kemarin. Hari ini, Ji Hwan tampak lebih santai dan bisa mengucapkan kata-kata yang mengejutkan. Meski tak terlihat lesung pipitnya yang begitu disukai Amara.“Kenapa aku harus cemburu?” Amara mengerutkan glabelanya. “Ji Hwan, kita beneran konyol banget karena ngebahas hal-hal yang nggak penting. Sekarang, balik ke masalah yang sebenarnya. Kamu ngajak aku ke sini untuk ngebahas apa?” tanya Amara. Dia berusaha bersikap setenang mungkin meski nyatanya jantung Amara terasa menggila lagi.“Bukannya kamu merindukanku?” Ji Hwan malah balas bertanya. Pertanyaan itu begitu mengejutkan, seperti bom yang dijatuhkan di keheningan malam.“Apa?” Amara yakin dia sudah salah dengar.Ji Hwan menjawab dengan sabar. Nada sinis yang tadi tertangkap di telinga Amar
“Kamu sakit ya, Mara? Wajahmu agak pucat,” cetus Ji Hwan dengan napas memburu. Menurut tebakan Amara, cowok itu pasti berlari saat kembali ke tempatnya menunggu.“Aku nggak sakit.” Seisi dada Amara dipenuhi permohonan, berharap Ji Hwan mau memanggilnya “Heartling” lagi. Permohonan yang tidak mampu dilisankan Amara di depan cowok itu. Sesaat kemudian, gadis itu memarahi dirinya sendiri. Memangnya apa yang diharapkannya? Ji Hwan sudah melakuakan segalanya untuk mempertahankan Amara. Akan tetapi, Amara sendiri yang menolak Ji Hwan berkali-kali.Ji Hwan melihat ke arah jam tangannya. “Kita bisa pergi sekarang? Atau kamu mau makan siang dulu?”Amara menggeleng. “Aku nggak lapar.”Setelahnya, gadis itu berjalan bersisian dengan Ji Hwan menuju tempat parkir motor di fakultas cowok itu. Tak ada yang membuka mulut. Amara pun sama sekali tidak berkomentar saat mantan pacarnya menyerahkan sebuah helm kepada
Namun Amara tidak mampu mensterilkan diri dari perasaan senang saat melihat Rita menjadi salah tingkah dengan wajah agak pias. Mereka saling sapa dengan canggung. Amara juga merasa lega karena Ji Hwan tidak mengoreksi kata-kata Sophie tadi.Kurang dari tiga menit kemudian Rita pamit dengan alasan harus masuk kelas. Tak lama kemudian Sophie pun menyusul. Tidak ada tanda-tanda bahwa gadis itu menyesali caranya mengintimidasi Rita. Sophie malah terkesan puas dengan kelakuannya barusan. Kini, yang tinggal hanya Amara, berdiri berhadapan dengan mantan pacarnya dengan canggung. Gadis itu memindahkan berat badannya dari kaki kanan ke kaki kiri. Tidak ada yang bicara hingga berdetik-detik. Sementara mahasiswa berlalu-lalang di sekitar mereka.“Amara, kenapa belum pulang? Masih ada kuliah, ya?”Tanpa melihat pun Amara tahu bahwa Reuben yang barusan menyapanya. Dosennya itu berhenti sambil menatap Amara. Berdiri di depan dua pria yang pernah menjanjikan hati m
Amara belum pernah merasakan siksaan luar biasa saat mengikuti kuliah. Ji Hwan yang sudah memperkenalkannya pada perasaan asing yang membuatnya tak berdaya itu. Amara mengutuki waktu yang melamban dan jarum jam yang seakan tidak bergerak. Seolah-olah waltu membeku begitu saja.“Mara, bisa duduk diam nggak, sih?” protes Sophie. “Kalau kamu bergerak-gerak terus di kursimu, mungkin bakalan dikira kena wasir.”Kalimat seenaknya dari Sophie itu membuat Amara menendang kaki sahabatnya dengan gerakan pelan. Sophie malah terkikik geli dan buru-buru menundukkan wajah agar tak ketahuan dosen sedang tertawa.“Pasti kamu udah nggak sabar pengin buru-buru keluar dari sini, kan?” tebak Sophie ketika akhirnya kelas berakhir. Seringai jailnya tidak mampu membuat perasaan Amara membaik. “Tersiksa banget kan, Mara?”Amara mengabaikan gurauan sahabatnya. “Sophie, nanti kalau ketemu Ji Hwan, aku harus ngomong apa? Aku ben
Amara melangkah pelan dengan kepala tertunduk. Sophie menggandeng lengan kanannya. Setelah menghabiskan waktu di kantin, mereka akhirnya menuju ruang kelas. Perkuliahan akan dimulai sekitar sepuluh menit lagi. Perbincangan Amara dan Sophie tidak mendapat titik temu seputar jalan keluar untuk soal Ji Hwan. Amara sudah kehilangan semangat. Dia yakin, kini dia merasakan patah hati dalam arti sebenarnya.Amara tahu, rasa sakit yang harus ditanggungnya pasti tak akan ringan. Setelah semua kemarahannya mereda dan akal sehat yang berbicara, pastilah rasanya berbeda dibanding malam tahun baru itu. Saat dia memutuskan hubungan dengan Ji Hwan tanpa perasaan.“Kamu terlalu jauh dijajah gengsi. Itu kebiasaan jelek, Mara. Gengsi itu perlu tapi ya harus pada tempatnya. Kalau memang....” Sophie tidak melanjutkan kalimatnya.Heran karena Sophie tak lagi bicara, Amara berujar, “Silakan terus mengejek dan menceramahiku. Masa sih kamu udah capek? Kayaknya ini bar
Sophie sudah digariskan menjadi orang yang tak mudah dipuaskan. Dan meski sudah ikut melihat adegan tadi, gadis itu merasa bahwa reaksi Amara terlalu berlebihan. Cemburu yang tidak pada tempatnya. Bagi Sophie, tak seharusnya semangat Amara melempem begitu saja. Gadis itu tanpa sungkan mengutarakan opininya.“Katanya rindu, tapi udah langsung nyerah cuma karena ngeliat ada pengagum Ji Hwan yang lagi usaha untuk narik perhatian,” sindirnya. Sophie tidak menyembunyikan rasa gelinya. Tawanya menyusul kemudian, membuat Amara merengut sekaligus kesal.“Aku nggak cemburu, kalau itu yang kamu maksud,” balas Amara, defensif.Sophie mengabaikan kata-kata Amara. “Kamu ingat nama cewek itu? Rita kan, ya?”Amara berusaha keras menggali memorinya tapi gagal total. “Entahlah, aku sama sekali nggak ingat. Cuma kenal mukanya doang.”“Hmmm, aku maklum, sih. Sebelum ini, kamu terlalu asyik berdua sama Ji Hwan, sih