Home / Romansa / Wonderstruck / Joyride [1]

Share

Joyride [1]

Author: Indah Hanaco
last update Huling Na-update: 2021-03-07 13:24:19

Aku terbangun oleh dering ponsel, meluluhlantakkan tidur lelapku dengan kejam. Masih dengan mata setengah terpejam, tangan kananku bergerak pelan untuk menjangkau benda yang sudah mengganggu itu. Tanpa sengaja, gerakan yang tidak terkoordinasi dengan baik itu malah membuat ponselku terlempar ke lantai.

Aku menggerutu pelan seraya memaksakan diri untuk membuka mata dan turun dari ranjang. Gawaiku masih bersuara kencang saat aku berhasil meraih benda itu. Untung saja telepon genggamku tidak rusak. Sambil mengerjap beberapa kali, aku membaca nama kakakku yang tertera di layar ponsel. Nike.

Kalau boleh jujur, aku sangat ingin mengabaikan panggilan itu karena rasa kantukku masih memberati mata. Akan tetapi, aku tak bisa melakukannya. Karena kakakku itu takkan berhenti hingga berhasil mendengar suaraku. Nike memiliki kegigihan yang kadang membuatku merasa jengkel.

“Kenapa Kakak nelepon jam setengah lima pagi, sih? Ini waktunya tidur untuk manusia normal,” gerutuku tanpa basa-basi. Aku sedang menguap saat mendengar Nike tertawa pelan.

“Jangan malas gitu, Nef! Ini udah siang, tau! Dan ini bukan jam setengah lima, tapi hampir setengah enam. Kamu udah salat Subuh, belum?”

“Belum,” jawabku jujur. Dibanding kakakku yang cukup taat beribadah, aku adalah si pemalas. Aku sangat suka menunda-nunda salat hingga waktunya mepet.

“Kakak lagi di Medan? Atau mau pamer kalau sekarang lagi berada di luar negeri?” Aku sengaja menyelipkan nada kesal di suaraku. Tawa kakakku terdengar lagi. Aku kembali melemparkan diri ke atas kasur yang empuk.

“Aku lagi di Jakarta, kok! Hari ini bakalan pulang ke Medan. Tapi kita belum bisa ketemu karena masih ada urusan kerjaan. Nanti kalau waktuku agak luang, aku bakalan pulang ke Pematangsiantar,” janjinya. “Aku merindukan adikku.”

“Ish, memangnya siapa yang pengin ketemu sama Kakak?” usikku, berlagak jual mahal. “Aku sehat dan baik-baik aja, andai Kakak pengin tahu dan harus bikin laporan ke Mama. Aku cuma kesal karena harus bangun sepagi ini.”

Nike terkekeh seraya menggumamkan beberapa kalimat yang isinya tak berubah sejak aku memilih kuliah di Pematangsiantar dan harus indekos. Sederet nasihat yang kadang membuatku merasa jengkel karena merasa diperlakukan seperti cewek bodoh yang pelupa.

“Ingat ya Nef, jaga makan dan jangan keluyuran kalau nggak penting-penting amat. Minum air putih yang banyak, selalu jaga kesehatan dan jangan sampai telat makan. Vitamin C yang aku kasih masih ada, kan? Minggu depan aku beliin lagi. Sa....”

“Oke, aku hafal daftar panjang petuahmu, Kak. Udah ah, aku nggak mau dengar. Pagi-pagi dibangunin dan diceramahi itu sama sekali nggak asyik,” protesku.

Namun, meski mulutku mengomel, aku bersyukur karena ada Nike dalam hidupku. Kakak yang begitu sabar menghadapiku meski kadang adiknya ini bicara lugas dengan nada tajam. Nike juga menjadi contoh panutan yang sempurna. Pramugari yang berdedikasi tanpa melepaskan perhatian kepada adiknya. Setelah orangtuaku bercerai, kakakku menjadi salah satu penopang penting dalam hidupku.

Dulu, Nike bersikeras agar aku melanjutkan kuliah di Medan. Tujuannya supaya kami bisa tinggal serumah. Namun, aku tetap lebih mencintai kota kelahiranku ini. Medan terlalu panas dan macet untukku. Apalagi, di Pematangsiantar ada universitas swasta yang cukup bagus. Aku bukan orang yang tergila-gila dengan kota besar dan ingin menjadi bagiannya.

“Ya udah, kututup dulu. Jangan lupa salat, Nef,” Nike mengingatkan.

Ketika kakakku mengakhiri teleponnya, kami mengobrol sekitar lima menit. Setelah itu, aku pun mengambil air wudu dan salat Subuh. Karena tidak mungkin kembali tidur, kuputuskan untuk membersihkan kamar. Aku bahkan sempat meminta bantuan salah satu satpam yang berjaga  untuk mengubah letak ranjang dan meja rias. Perabotan yang berubah tempat membuat kamar tampak berbeda. Aku sibuk hingga menjelang jam makan siang.

Kuputuskan untuk mandi terlebih dahulu sebelum makan. Tubuhku lumayan letih karena sejak pagi nyaris tak berhenti bergerak. Akan tetapi, ada interupsi yang berasal dari ketukan di pintu. Aku pun kembali kaget karena berhadapan dengan Thea.

“Katanya kamu ada acara siang ini,” ucapku begitu saja. Aku heran karena gadis ini cukup rajin mendatangi kamarku sejak kemarin. Mataku tertuju pada tangan kanan Thea.

“Iya, aku mau pergi sebentar lagi. Temanku udah di jalan, mau ngejemput.” Thea menyerahkan benda yang dipegangnya ke arahku. “Nih, kamu pakai gaun ini untuk acaranya Vicky nanti malam. Pasti kamu bakalan makin cantik. Aku jemput jam setengah enam.”

Aku melongo. Barusan Thea menyebut kata “makin cantik”? “Hei, aku nggak ikutan ... Thea! Thea!” Aku berusaha memanggil Thea yang sudah membalikkan tubuh dan berjalan menjauh begitu gaun berwarna plum itu berpindah tangan. Aku bahkan sampai keluar kamar.

“Jangan kelamaan dandannya,” ucap Thea dari balik bahu kirinya. Akan tetapi, cewek itu tidak menghentikan langkahnya sama sekali. Aku terperangah dengan bibir terbuka.

“Kamu dan Thea sekarang udah jadi teman baik ya, Nef? Bersahabat?”

Komentar bernada sindiran itu berasal dari balik punggungku. Ketika berbalik, aku berhadapan dengan Lita yang sedang mengerutkan alis. Keheranan tergurat jelas di wajahnya.

“Jangan tanya, Ta! Aku pun sama bingungnya kayak kamu.” Aku memberi isyarat, mengundang Lita masuk ke kamar. Gadis itu menurut.

“Dia ngasih baju ini buatmu?” Lita membungkuk untuk mengelus gaun yang kuletakkan di atas ranjang.

“Aku mandi dulu, ya. Udah bau keringat. Gosipnya ditunda sebentar.”

Tanpa menunggu repons Lita, aku pun buru-buru menuju kamar mandi. Guyuran air membuatku merasa segar kembali setelah sejak tadi merasakan tubuh lengket oleh keringat.

Setelah aku keluar dari kamar mandi, Lita menuntutku untuk menggenapi janji. Sambil mondar-mandir di kamar, aku pun bercerita. Seperti biasa, Lita yang cenderung bereaksi heboh untuk sesuatu yang mengejutkannya, ber-wow entah berapa juta kali.

“Ta, nggak usah lebay gitu! Thea memang aneh karena mau ngobrol sama aku. Makin aneh karena ngajakin ke pesta Vicky yang selama ini sama sombongnya. Aku mendadak naik kasta dari rakyat jelata jadi bangsawan.” Aku tergelak sendiri karena ucapanku. Aku memasukkan sisir ke dalam laci, menatap ke arah kaca untuk terakhir kalinya. Ketika berbalik, Lita masih mengagumi gaun itu, kali ini sambil duduk di tepi ranjang.

“Nggak pengin nyoba gaunnya, Nef? Aku penasaran, pengin liat kamu pakai ini.”

“Aku nggak punya niat untuk ikut ke acara pesta kaum jetset,” tolakku sembari menggeleng. Aku duduk di sebelah Lita sambil menyapukan losion di kedua lutut.

“Istilah itu masih harus diperdebatkan. Kita kan penghuni Rumah Borju. Di mata dunia, kita juga termasuk golongan jetset,” gurau Lita. “Nah, sekarang kita abaikan dulu keanehan Thea yang memang nggak masuk akal itu.” Lita memindahkan gaun itu ke atas pangkuanku. “Mending cobain, Nef. Nggak ada ruginya, kan?”

Glabelaku berkerut. “Ngapain aku nyoba gaunnya Thea? Kurang kerjaan!”

“Jangan lihat Thea-nya, tapi gaunnya. Bagus gini. Sekali-kali, aku juga pengin lihat kamu pakai gaun. Nggak cuma celana jins yang dibeli di tukang loak. Ganti selera sesekali itu nggak dosa, lho! Siapa tau malah lebih cakep.”

Tawaku pecah. “Apa boleh buat, Ta. Baju loak itu justru unik dan beda. Nggak pasaran.” Aku akhirnya berdiri. “Okelah, nggak ada ruginya pakai gaun cantik sekali-kali.”

Ketika akhirnya aku berdiri di depan cermin dan berputar pelan, harus kuakui betapa bagus gaun itu. Tepukan tangan dari Lita pun mengukuhkan penilaianku. Tak hanya bahannya yang lembut dan halus. Melainkan juga modelnya yang sederhana sekaligus elegan.

Gaun itu hanya beberapa sentimeter melewati lutut, bermodel lurus. Ada bordiran cantik berbentuk bunga yang tersebar di beberapa bagian. Lehernya berbentuk persegi,  berlengan pendek, dengan sepasang dress clip yang terpasang di bagian bawah pundak.

“Duh, cantiknya! Setelah melihatmu....”

“Aku tau kamu mau bilang apa,” sergahku. “Sekarang kamu baru nyadar kalau aku cewek tulen, kan?”

Kaugnay na kabanata

  • Wonderstruck   Joyride [2]

    “Eh, tapi ini serius.” Lita mendadak berdiri dan memerhatikanku lebih saksama. “Gaun ini pasti mahal. Tapi yang jelas, bukan selera Thea. Dia kan ... apa ya?” Kening Lita dihiasi garis samar. “Hmmm ... Thea suka penampilan yang lebih dramatis. Lebih menarik perhatian.”“Alias heboh,” imbuhku. Aku berputar sekali lagi, memerhatikan efek dari pakaian yang kukenakan karena gerakan itu. “Terlepas dari sikapnya yang nyebelin, Thea memang pantas punya banyak fans. Cantik dan bergaya. Apa boleh buat, kita cuma bisa iri,” gurauku.“Tapi aku masih bingung lho, Nef! Kenapa Thea mendadak baik sama kamu, ya?” Lita kembali pada topik penuh misteri itu. Aku pun bertanya-tanya sejak kemarin dan belum menemukan jawaban yang bisa memuaskan hati.“Kamu kira aku tau jawabannya?” Aku mengangkat bahu. Tanganku mulai membuka ritsleting gaun. “Kayaknya soal itu akan jadi misteri besar, Ta! Kamu p

    Huling Na-update : 2021-03-07
  • Wonderstruck   Linger [1]

    Marco Narayana adalah cowok yang duduk di semester tiga fakultas hukum. Menurut desas-desus, cowok itu sempat kuliah di fakultas ilmu pengetahuan budaya hingga tiga semester. Lalu, mendadak Marco meninggalkan bangku kuliah, menganggur selama satu semester sebelum menjadi mahasiswa baru di fakultas hukum. Entah apa penyebabnya.“Mungkin karena Marco baru ketemu passion-nya setelah buang-buang waktu kuliah di fakultas ilmu budaya.” Itu salah satu gurauan yang pernah kudengar. Tentunya dibisikkan di belakang Marco dan teman-temannya.Marco gampang dikenali karena beberapa hal. Yang paling mencolok, kehadiran tiga sahabatnya sejak SMA yang selalu berada di sekitar cowok itu. Levi, Yuma, dan Cliff. Kecuali Levi, yang lain adalah mahasiswa fakultas hukum. Sementara Levi menimba ilmu di fakultas ekonomi. Jika Marco masih semester tiga, teman-temannya sudah duduk di semester tujuh. Marco adalah cowok yang tergolong pendiam dan hemat kata, cuk

    Huling Na-update : 2021-03-08
  • Wonderstruck   Linger [2]

    “Dari mana kamu dapat gaun ini?” desak Marco setelah aku termangu beberapa detik.Aku pun kembali mendongak. Di depanku, Marco sedang menatapku. Bukan jenis tatapan ramah yang bersahabat. Melainkan tatapan horor yang menjanjikan hal-hal menakutkan. Kepalaku mendadak kosong.“Hei, kamu kok malah memelototiku, sih?” tukas Marco tak sabar. Tangan kanan cowok itu digerak-gerakkan di depan wajahku. Seolah-olah aku setengah tak sadarkan diri.Kalimatnya membuat bibirku secara otomatis melantunkan makian. Kebiasaan lama yang kadang masih sulit untuk diredam. Efeknya, mata tajam Marco membulat. “Kamu bilang apa? ‘Sialan’?” sentaknya galak.Merasa tak ada gunanya berpura-pura, aku menjawab tegas. “Iya. Ada masalah?” Daguku terangkat, menunjukkan sikap menantang. “Kamu seenaknya mengajukan pertanyaan dengan cara nggak sopan. Nggak pakai basa-basi. Apa itu nggak pantas disebut ‘sialan’? Ha

    Huling Na-update : 2021-03-08
  • Wonderstruck   Zombie [1]

    Ubun-ubunku seakan terbakar. Aku tahu, penghargaan manusia paling idiot tahun ini baru saja kumenangkan. Seharusnya aku tak pernah percaya bahwa cewek seperti Thea bisa berubah manis tanpa alasan jelas. Ular selamanya tetap ular. Bahkan meski neraka menjadi sebeku Antartika di musim dingin.Namun, aku tahu jika tak boleh menampakkan emosi walau saat ini meninju wajah Thea adalah pilihan yang sangat menggiurkan. Aku tak mau harus berakhir di kantor polisi dan terpaksa menginap di penjara karena menganiaya anak orang. Karena itu, aku mati-matian berusaha tetap rasional dan menahan diri. Aku tak boleh melakukan kekerasan.Levi menyergah, “Thea, kenapa jadi begini? Seharusnya nggak perlu sampai heboh gini. Masalahnya juga jadi melebar ke mana-mana. Kalau kamu nggak....”“Lev, nggak usah ikut campur!” tukas Thea dengan nada tegas. “Ini nggak ada kaitannya sama kamu. Ini urusanku dengan Marco dan gadis ini,” ucapnya seraya menunjukk

    Huling Na-update : 2021-03-09
  • Wonderstruck   Zombie [2]

    “Hei, sakit, tau! Lepaskan tanganku!” bentak Thea sambil memelototiku. Dia berbalik untuk menghadap ke arahku.“Kamu kira aku ini pengemis? Aku nggak tertarik menerima sumbangan gaun bekas dari cewek sakit jiwa kayak kamu.” Untuk memberi efek dramatis, sengaja kutarik lengan Thea dengan kencang. Hingga gadis itu kembali mengaduh.Julie “Hei! Jangan....”“Kalau kamu berani maju, aku bakalan mencakar mukamu,” ancamku pada Julie. Lalu, aku menirukan kata-kata cewek itu tadi. “Kamu ada benarnya, Julie. Berkat kamu, aku bisa datang ke hotel sekeren ini dan ngerasain pakai baju yang dipesan khusus. Tapi, aku nggak mau ngetop sendirian. Kalian juga harus ikut terkenal. Senyum ya, ke arah kamera. Tuh, orang-orang sedang merekam kita,” kataku dengan nada manis yang palsu.Setelah kata-kataku tuntas, aku melepaskan cekalan tanganku di lengan Thea. Namun, aku masih belum selesai. Aku maju selangkah dengan t

    Huling Na-update : 2021-03-09
  • Wonderstruck   Ode to My Family [1]

    Tahun ini, usiaku mencapai angka 23. Seharusnya, kuliahku sudah kelar. Akan tetapi, aku sempat menganggur usai menamatkan SMA. Setahun penuh aku mengikuti Mama yang pindah ke Perth setelah menikah untuk yang kedua kalinya dengan pria bernama Eddie Trevor.Ayah tiriku adalah pria bule berkewarganegaraan Australia yang berstatus lajang sebelum menikah dengan Mama. Uncle Eddie, begitu aku memanggilnya, kuanggap sebagai pria baik. Lelaki itu menyambut kehadiranku di rumahnya dengan tangan terbuka.Sayang, aku tidak betah di Perth. Niat untuk melanjutkan pendidikan di kota itu makin pupus seiring berjalannya waktu. Semangatku untuk tinggal dan berkuliah di Perth, kian mengempis saja. Hingga aku pun membuat keputusan drastis untuk kembali ke Indonesia.“Kak, aku nggak betah di sini. Aku pengin pulang ke Siantar,” aduku pada Nike, beberapa tahun silam. Dialah orang pertama yang kuminta opini sebelum bicara dengan Mama.“Kenapa? Padahal, kamu ka

    Huling Na-update : 2021-03-10
  • Wonderstruck   Ode to My Family [2]

    “Mending nggak usah ngomong sama Thea kecuali ada di posisi antara hidup dan mati. Kadang, disapa baik-baik malah bikin dia punya bahan untuk ngeledek kita,” saran Lita ketika aku baru pindah ke Rumah Borju. Lita adalah orang pertama yang memperkenalkan diri dan mendatangi kamarku.Emosiku memang kadang masih gampang terpancing, seperti saat diprovokasi oleh Marco dan Thea. Walau saat ini aku sedang berjuang untuk menjadi orang yang lebih santai dan sabar. Akan tetapi, sebenarnya aku lebih dewasa dibanding usiaku yang sesungguhnya. Karena faktor keluarga dan lingkungan yang membentukku, kisah klise sebagai produk keluarga broken home.Ketika orangtuaku memutuskan bahwa perceraian adalah pilihan terbaik yang mereka punya, aku baru berusia sepuluh tahun. Tadinya, aku memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Papa. Perceraian itu membuat duniaku berubah drastis. Semua yang kukenal, runtuh dan lenyap seketika.Dulu, aku berharap bisa tinggal be

    Huling Na-update : 2021-03-10
  • Wonderstruck   Raise Your Glass [1]

    Seperti tebakanku, berita tentang peristiwa di acara ulang tahun Vicky itu tersebar dengan kecepatan yang mengerikan. Lebih cepat dibanding epidemi. Lalu dibumbui hingga menjadi cerita yang dramatis.Hasilnya, beredar versi seru yang membuatku geleng-geleng kepala, antara tak berdaya sekaligus kesal. Tidak tahu harus marah pada siapa saat mendengar bahwa konon aku cuma mengenakan bra dan celana dalam usai membuka dan melempar gaun ke wajah Thea. Juga Marco yang konon mendorongku hingga terjengkang ke tanah karena tak suka melihatku yang sengaja menggodanya. Hah? Yang benar saja!Gosip yang beredar memang sinting. Namun aku memilih untuk tetap waras. Caranya? Mengabaikan semua rumor, menebalkan muka, dan berjalan di kampus dengan dagu terangkat. Seakan bukan aku yang sedang dijadikan bahan olok-olok.“Padahal, ada begitu banyak orang yang ngeliat drama kemarin. Ada juga yang merekam pakai po

    Huling Na-update : 2021-03-11

Pinakabagong kabanata

  • Wonderstruck   Epilog

    Amara sering mendengar kalimat tentang cinta yang bisa mengubah hidup seseorang dengan drastis. Dan selama ini dia kerap mencibir, tidak memercayai hal itu sama sekali. Baginya, orang-orang yang sedang jatuh cinta itu cuma melebih-lebihkan saja.Akan tetapi, kini cibirannya itu justru berbalik menyerang Amara. Menjadi bumerang yang membuatnya jengah. Jika boleh jujur, Amara bahkan tidak tahu kalau efek cinta yang dirasakannya itu ternyata jauh lebih besar dibanding bayangan gadis itu. Amara mengira hidupnya sudah remuk dan takkan bisa lagi kembali normal. Bahagia itu cuma sebuah mimpi lancang yang terlarang untuknya.Hingga Seo Ji Hwan hadir dalam dunianya, memainkan sihir ajaib yang tidak pernah terduga.Membuka hatinya lagi untuk Ji Hwan setelah tahu siapa cowok itu, sama sekali tidak mudah. Akan tetapi, memaksa Ji Hwan menjauh dan membiarkan cowok itu lenyap dari hidup Amara selamanya, jauh lebih tidak tertanggungkan. Cinta Amara untuk cowok itu sudah bertumb

  • Wonderstruck   My Other Half [7]

    Kata-kata Ji Hwan itu mengejutkan Amara. Dia pun merespons. “Pasti itu melibatkan cewek yang namanya Rita tadi,” tebak Amara dengan perasaan terganggu. Cemburu.“Memang iya,” aku Ji Hwan dengan jujur. Pengakuan itu membuat Amara berjengit.“Dan tadi dia menggandengmu dengan mesra,” Amara menahan diri agar tidak mengomel panjang. “Aku dan Sophie ngeliat semuanya.”“Dia memang menggandengku, Mara. Tapi seingatku, buru-buru kulepaskan. Nggak ada yang bisa dianggap ‘mesra’ di situ,” ralat Ji Hwan. Kedua tangannya terangkat dan membuat tanda petik di udara. “Kalau memang kamu secemburu itu, seharusnya kamu nggak pernah ngelepasin aku,” dia menambahkan.Amara menoleh ke kanan, mengira akan melihat Ji Hwan tersenyum jail. Namun ternyata tidak. Ji Hwan terlihat sangat serius dengan kata-katanya. Matanya yang agak sipit itu menatap Amara dengan kesungguhan yang luar biasa.

  • Wonderstruck   My Other Half [6]

    Ji Hwan tertawa geli. Amara benar-benar merasa lega karena akhirnya bisa melihat cowok itu tergelak lagi. Lesung pipitnya begitu menyihir. Amara sekarang baru menyadari betapa dia sangat merindukan Ji Hwan. Dia tidak tahu bagaimana selama ini bisa bertahan, bahkan sampai bersikap memusuhi cowok itu. Amara pun tak sudi mendengar semua pembelaan diri dari Ji Hwan.“Sophie juga udah ngingetin aku tentang kamu yang gengsi banget untuk mengakui perasaanmu sama aku,” aku Ji Hwan.Amara mendesah tak berdaya. “Kalau nanti ketemu Sophie, aku akan menjahit mulutnya,” ucap gadis itu. “Dia sama sekali nggak bisa menjaga rahasia.”Ji Hwan tertawa kecil. “Sophie nggak punya maksud jelek. Dia cuma ingin membantu kita berdua,” katanya. “Heartling, bisa nggak sih, kita berhenti berantem dan ngucapin kata-kata yang nyakitin hati? Aku beneran jatuh cinta sama kamu. Aku menyesali semua yang harus kamu alami. Aku lebih nyesal lag

  • Wonderstruck   My Other Half [5]

    Wajah Amara menghangat. Kata-kata Ji Hwan itu membuatnya jengah. Dia sempat mengerjap sambil menatap sang mantan, tak yakin bagaimana Ji Hwan tampak berbeda dibanding kemarin. Hari ini, Ji Hwan tampak lebih santai dan bisa mengucapkan kata-kata yang mengejutkan. Meski tak terlihat lesung pipitnya yang begitu disukai Amara.“Kenapa aku harus cemburu?” Amara mengerutkan glabelanya. “Ji Hwan, kita beneran konyol banget karena ngebahas hal-hal yang nggak penting. Sekarang, balik ke masalah yang sebenarnya. Kamu ngajak aku ke sini untuk ngebahas apa?” tanya Amara. Dia berusaha bersikap setenang mungkin meski nyatanya jantung Amara terasa menggila lagi.“Bukannya kamu merindukanku?” Ji Hwan malah balas bertanya. Pertanyaan itu begitu mengejutkan, seperti bom yang dijatuhkan di keheningan malam.“Apa?” Amara yakin dia sudah salah dengar.Ji Hwan menjawab dengan sabar. Nada sinis yang tadi tertangkap di telinga Amar

  • Wonderstruck   My Other Half [4]

    “Kamu sakit ya, Mara? Wajahmu agak pucat,” cetus Ji Hwan dengan napas memburu. Menurut tebakan Amara, cowok itu pasti berlari saat kembali ke tempatnya menunggu.“Aku nggak sakit.” Seisi dada Amara dipenuhi permohonan, berharap Ji Hwan mau memanggilnya “Heartling” lagi. Permohonan yang tidak mampu dilisankan Amara di depan cowok itu. Sesaat kemudian, gadis itu memarahi dirinya sendiri. Memangnya apa yang diharapkannya? Ji Hwan sudah melakuakan segalanya untuk mempertahankan Amara. Akan tetapi, Amara sendiri yang menolak Ji Hwan berkali-kali.Ji Hwan melihat ke arah jam tangannya. “Kita bisa pergi sekarang? Atau kamu mau makan siang dulu?”Amara menggeleng. “Aku nggak lapar.”Setelahnya, gadis itu berjalan bersisian dengan Ji Hwan menuju tempat parkir motor di fakultas cowok itu. Tak ada yang membuka mulut. Amara pun sama sekali tidak berkomentar saat mantan pacarnya menyerahkan sebuah helm kepada

  • Wonderstruck   My Other Half [3]

    Namun Amara tidak mampu mensterilkan diri dari perasaan senang saat melihat Rita menjadi salah tingkah dengan wajah agak pias. Mereka saling sapa dengan canggung. Amara juga merasa lega karena Ji Hwan tidak mengoreksi kata-kata Sophie tadi.Kurang dari tiga menit kemudian Rita pamit dengan alasan harus masuk kelas. Tak lama kemudian Sophie pun menyusul. Tidak ada tanda-tanda bahwa gadis itu menyesali caranya mengintimidasi Rita. Sophie malah terkesan puas dengan kelakuannya barusan. Kini, yang tinggal hanya Amara, berdiri berhadapan dengan mantan pacarnya dengan canggung. Gadis itu memindahkan berat badannya dari kaki kanan ke kaki kiri. Tidak ada yang bicara hingga berdetik-detik. Sementara mahasiswa berlalu-lalang di sekitar mereka.“Amara, kenapa belum pulang? Masih ada kuliah, ya?”Tanpa melihat pun Amara tahu bahwa Reuben yang barusan menyapanya. Dosennya itu berhenti sambil menatap Amara. Berdiri di depan dua pria yang pernah menjanjikan hati m

  • Wonderstruck   My Other Half [2]

    Amara belum pernah merasakan siksaan luar biasa saat mengikuti kuliah. Ji Hwan yang sudah memperkenalkannya pada perasaan asing yang membuatnya tak berdaya itu. Amara mengutuki waktu yang melamban dan jarum jam yang seakan tidak bergerak. Seolah-olah waltu membeku begitu saja.“Mara, bisa duduk diam nggak, sih?” protes Sophie. “Kalau kamu bergerak-gerak terus di kursimu, mungkin bakalan dikira kena wasir.”Kalimat seenaknya dari Sophie itu membuat Amara menendang kaki sahabatnya dengan gerakan pelan. Sophie malah terkikik geli dan buru-buru menundukkan wajah agar tak ketahuan dosen sedang tertawa.“Pasti kamu udah nggak sabar pengin buru-buru keluar dari sini, kan?” tebak Sophie ketika akhirnya kelas berakhir. Seringai jailnya tidak mampu membuat perasaan Amara membaik. “Tersiksa banget kan, Mara?”Amara mengabaikan gurauan sahabatnya. “Sophie, nanti kalau ketemu Ji Hwan, aku harus ngomong apa? Aku ben

  • Wonderstruck   My Other Half [1]

    Amara melangkah pelan dengan kepala tertunduk. Sophie menggandeng lengan kanannya. Setelah menghabiskan waktu di kantin, mereka akhirnya menuju ruang kelas. Perkuliahan akan dimulai sekitar sepuluh menit lagi. Perbincangan Amara dan Sophie tidak mendapat titik temu seputar jalan keluar untuk soal Ji Hwan. Amara sudah kehilangan semangat. Dia yakin, kini dia merasakan patah hati dalam arti sebenarnya.Amara tahu, rasa sakit yang harus ditanggungnya pasti tak akan ringan. Setelah semua kemarahannya mereda dan akal sehat yang berbicara, pastilah rasanya berbeda dibanding malam tahun baru itu. Saat dia memutuskan hubungan dengan Ji Hwan tanpa perasaan.“Kamu terlalu jauh dijajah gengsi. Itu kebiasaan jelek, Mara. Gengsi itu perlu tapi ya harus pada tempatnya. Kalau memang....” Sophie tidak melanjutkan kalimatnya.Heran karena Sophie tak lagi bicara, Amara berujar, “Silakan terus mengejek dan menceramahiku. Masa sih kamu udah capek? Kayaknya ini bar

  • Wonderstruck   Biar Hati Bicara [8]

    Sophie sudah digariskan menjadi orang yang tak mudah dipuaskan. Dan meski sudah ikut melihat adegan tadi, gadis itu merasa bahwa reaksi Amara terlalu berlebihan. Cemburu yang tidak pada tempatnya. Bagi Sophie, tak seharusnya semangat Amara melempem begitu saja. Gadis itu tanpa sungkan mengutarakan opininya.“Katanya rindu, tapi udah langsung nyerah cuma karena ngeliat ada pengagum Ji Hwan yang lagi usaha untuk narik perhatian,” sindirnya. Sophie tidak menyembunyikan rasa gelinya. Tawanya menyusul kemudian, membuat Amara merengut sekaligus kesal.“Aku nggak cemburu, kalau itu yang kamu maksud,” balas Amara, defensif.Sophie mengabaikan kata-kata Amara. “Kamu ingat nama cewek itu? Rita kan, ya?”Amara berusaha keras menggali memorinya tapi gagal total. “Entahlah, aku sama sekali nggak ingat. Cuma kenal mukanya doang.”“Hmmm, aku maklum, sih. Sebelum ini, kamu terlalu asyik berdua sama Ji Hwan, sih

DMCA.com Protection Status