Sudah pasti kami sama sekali tak bisa tidur. Aku berusaha agar kami tak membahas tentang apa yang terjadi beberapa jam silam. Aku lebih suka bercerita tentang pertemananku dengan Sonya. Juga bagaimana aku dan Marco pernah bergadang karena menunggui gadis itu melahirkan. Vicky nyaris tak bicara tapi matanya berkaca-kaca. Namun topik itu tetap tak bisa terhindarkan saat Vicky mengaku masih kesulitan percaya bahwa pamannya sendiri yang sudah melakukan hal-hal buruk pada adiknya.
“Apa yang kamu takutkan malah beneran terjadi ya, Nef. Kemarin itu, sku dengan pedenya bilang kalau papa tiriku nggak mungkin menjahati Sonya. Kalau nggak mendengar sendiri kata-kata Sonya dan reaksi Om Damar yang aneh itu, mungkin aku sendiri pun kurang percaya,” komentar Vicky dengan suara pelan.
“Reaksi papa tirimu itu yang bikin aku yakin kalau Sonya nggak bohong,” dukungku. “Mana mungkin ada orang yang akan diam aja dituduh kayak gitu kalau memang nggak bersalah,
Tiga saudara kandung ayah Vicky, minus Om Damar, ditambah neneknya yang masih sehat walafiat, awalnya tak percaya begitu saja. Tante Wina bahkan menertawakan Vicky yang dianggapnya sedang berhalusinasi. Salah satu paman Vicky yang cemas, mengira gadis itu sedang mabuk dan menyarankan untuk melakukan rehabilitasi. Hingga Vicky menjelaskan lebih detail dan menunjukkan foto-foto Noni dan Sonya.“Aku nggak mabuk, Om. Aku bahkan nggak pernah tau rasanya minuman keras atau obat-obatan terlarang. Aku datang ke sini karena nggak tau lagi harus melakukan apa. Mama malah ngatain Sonya gila karena ngaku bahwa Om Damar yang udah nyelakain dia. Hanya karena mental Sonya saat ini nggak stabil, bukan berarti dia bohong, kan?” kata Vicky berapi-api. “Nefertiti ini ngeliat sendiri kondisi Sonya pas baru dibawa ke Puan Derana. Dia depresi berat dan nggak mau pulang ke rumah. Sonya bahkan lebih memilih jadi pengemis.”Suasana sontak menjadi hening. Ponsel mi
Dulu, penilaianku pada Vicky cenderung negatif. Namun sekarang mataku terbuka, Vicky adalah gadis hebat yang sangat sayang pada adiknya. Dia tak pernah menyerah meski diusir Sonya tiap kali mereka bertemu.“Aku nggak mau ngeliat Kakak lagi. Dulu, Kakak juga nggak peduli sama aku. Kenapa sekarang malah datang ke sini? Aku benci sama Kakak,” teriak Sonya untuk kesekian kalinya.“Sonya, jangan kayak gitu,” bujukku. “Kak Vicky selama ini nggak tau kalau kamu....”“Kakakku nggak peduli, Nefertiti!” bentak Sonya dengan mata berkaca-kaca. “Kalau Kak Vicky nggak terlalu sibuk sama urusannya, pasti dia nggak akan ninggalin aku di rumah."Meski berhadapan dengan penolakan adiknya, Vicky tak lantas menyerah. Perjuangan gadis itu berbuah manis setelah Sonya akhirnya berhenti memintanya pulang. Kata-kata Levi si mulut ember memang benar, jangan menilai segala sesuatu dari bungkusnya saja. Karena kemasan memang tak
Untuk kesekian kalinya, Mama sempat berusaha membujukku agar pindah ke Perth dan mencari kerja di sana. Tanpa pikir dua kali, kutolak tawaran itu. Karena aku tak berniat mengubah rencana masa depan yang sudah kususun sejak belia. Aku ingin menjadi bankir di kota kelahiranku. Tambahan lain yang membuatku mustahil meninggalkan Pematangsiantar dan Puan Derana, aku bercita-cita menjadi relawan paruh waktu di tempat itu. Selain tentunya faktor Marco. Berhubungan jarak jauh itu takkan mudah.“Ma, udahlah. Kalau nanti Nef pengin balik ke Perth, dia pasti nggak perlu dirayu-rayu,” komentar Nike. Mungkin kakakku pun merasa jenuh mendengar kalimat membujuk senada yang dilontarkan Mama dan selalu kurespons dengan penolakan.Salah satu hal yang membuatku sangat bahagia, aku bisa memperkenalkan Nilla dengan kakak dan mamaku. Tampaknya, Nilla langsung membuat Nike dan Mama menyukainya. Mereka setuju untuk membiayai pendidikan Nilla sampai menjadi sarjana.Mama dan
Aku harus menyiapkan berbagai keperluan untuk mengikuti pelatihan yang akan diselenggarakan Bank Dharmawangsa sebulan penuh. Terutama, pakaian yang layak untuk bekerja karena aku belum mendapat seragam. Aku dan puluhan karyawan yang baru direkrut berasal dari berbagai daerah di Sumatera Utara.Kali ini, Lita tak bisa dimintai tolong karena butik tempatnya bekerja tidak menyediakan pakaian yang kubutuhkan. Akhirnya, justru Vicky yang menemaniku keliling Pematangsiantar untuk mencari benda-benda yang kubutuhkan.“Inilah keuntungan jadi anak kuliahan, selalu punya waktu luang,” gurau Vicky. “Nggak merasa bersalah walau harus keluyuran berjam-jam. Kalau udah kerja, tentu aja situasinya beda, kan? Bisa-bisa dapat surat peringatan.”“Bener juga,” dukungku sambil tertawa geli.Saat ini, hari sudah menjelang sore dan kami sedang dalam perjalanan pulang menuju Rumah Borju. Di jok belakang mobil Vicky, a
Seakan bisa membaca pikiranku, Levi sangat sering menggodaku saat kami bicara di telepon atau bertukar pesan via WhatsApp.“Jangan kangen sama Marco ya, Nef. Tenang aja, di sini kami semua jagain pacarmu supaya dia nggak macem-macem. Pokoknya, kamu harus fokus sama acara pelatihan biar jadi pegawai terbaik abad ini,” oceh Levi.“Ish, siapa juga yang kangen,” balasku dengan wajah terasa panas membara.“Yaelah Nef, nggak usah sok malu gitu. Aku tau apa isi hatimu,” sahut Levi, yakin.Namun, akhirnya aku bisa menuntaskan pelatihan itu tanpa masalah berarti. Lalu, kami juga masih harus melakukan magang di cabang-cabang Bank Dharmawangsa yang ada di kota Medan. Durasinya? Sebulan penuh.“Nasabah itu banyak maunya. Kadang rasanya pengin marah kalau ketemu yang banyak tingkah. Kayak tadi, ada nasabahku yang marah karena kartunya tertelan di ATM. Ada juga yang malah ngajak makan malam setelah kelar buka rekening,&r
Tiga tahun kemudian.Ada banyak yang terjadi dalam hidupku selama tiga tahun terakhir ini. Perubahan yang bisa dibilang drastis dan melenceng dari cita-citaku semula. Aku cuma bertahan beberapa bulan di dunia perbankan, hal yang sudah kuimpikan sejak remaja. Namun aku tak menyesali apa yang kemudian kujalani. Meski dalam banyak kesempatan, selalu ada yang mempertanyakan perasaanku. Contohnya saja hari ini.“Kamu beneran nggak nyesel karena ninggalin kerjaanmu dan ngurusin Puan Derana kan, Nef?” tanya Joyce. “Maaf ya, kalau kamu nggak suka komentarku.”Kami semua berkumpul di Puan Derana yang sedang merayakan ulang tahun. Tepatnya, sembilan tahun silam tempat penampungan itu mulai beroperasi secara resmi. Kami berada di halaman belakang, menyaksikan orang-orang berlalu lalang menikmati pesta sederhana yang digelar sore itu. Aku duduk di bangku dari besi tempa, diapit oleh Joyce dan Vicky. Kami bertiga sedang menikmati es krim alpukat yang
“Memangnya kalau kamu nikah sama Marco, nggak bisa berguna lagi untuk Puan Derana, Nef?” bantah Joyce, tak setuju. Ekspresinya berubah serius. “Bukannya kalian malah bisa lebih fokus? Marco nggak perlu cemas lagi kamu digodain donatur Puan Derana.”Aku terpana mendengar kata-kata Joyce. “Donatur Puan Derana yang mana? Memangnya Marco bilang apa?” tanyaku keheranan.Vicky bersuara lebih dulu, mendahului Joyce. “Sebentar! Kalau soal fokus, menurutku nih, nggak ada kaitannya sama nikah atau nggak. Selain itu, memangnya kalau mereka nikah, otomatis yang godain Nef bakalan berhenti? Nggak, kan? Hal-hal kayak gitu pasti tetap ada entah dari sisi Nef atau Marco. Namanya juga hidup. Yang penting, Nef nggak tergoda. ”Aku setuju dengan kata-kata Vicky. Namun saat ini fokusku bukan ke sana. Karena itu, kuulangi pertanyaanku pada Joyce tadi sekali lagi. Gadis itu menatapku dengan senyum canggung. Seakan dia baru saja melakuka
Marco tampak kaget mendengar kata-kata yang kulontarkan dengan nada tak bersahabat. Ini bukan kebiasaanku meski aku bukanlah gadis penyabar. Selama tiga setengah tahun bersama, aku selalu bisa menahan diri agar emosiku tak sampai meledak.Bisa dibilang, aku dan Marco bertumbuh bersama-sama. Kami bertransformasi dari sepasang anak kuliahan menjadi dua orang dewasa yang cukup rasional. Aku dan Marco tak pernah bertengkar karena hal-hal sepele yang memang bisa dituntaskan dengan mudah. Kami pun nyaris tak pernah terlibat pertikaian karena salah paham. Andai boleh menilai, kuanggap hubunganku dengan Marco selama ini cukup sehat.“Kamu kenapa?” Marco duduk di sebelah kiriku.“Aku kesal. Karena menurutku seharusnya kamu ngasih tau kalau kamu terganggu sama Jovie. Bukan malah curhat sama Cliff atau yang lain,” tukasku tanpa basa-basi. Aku menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Tak seharusnya aku menjadi begini emosi. Setelah itu, aku pun
Amara sering mendengar kalimat tentang cinta yang bisa mengubah hidup seseorang dengan drastis. Dan selama ini dia kerap mencibir, tidak memercayai hal itu sama sekali. Baginya, orang-orang yang sedang jatuh cinta itu cuma melebih-lebihkan saja.Akan tetapi, kini cibirannya itu justru berbalik menyerang Amara. Menjadi bumerang yang membuatnya jengah. Jika boleh jujur, Amara bahkan tidak tahu kalau efek cinta yang dirasakannya itu ternyata jauh lebih besar dibanding bayangan gadis itu. Amara mengira hidupnya sudah remuk dan takkan bisa lagi kembali normal. Bahagia itu cuma sebuah mimpi lancang yang terlarang untuknya.Hingga Seo Ji Hwan hadir dalam dunianya, memainkan sihir ajaib yang tidak pernah terduga.Membuka hatinya lagi untuk Ji Hwan setelah tahu siapa cowok itu, sama sekali tidak mudah. Akan tetapi, memaksa Ji Hwan menjauh dan membiarkan cowok itu lenyap dari hidup Amara selamanya, jauh lebih tidak tertanggungkan. Cinta Amara untuk cowok itu sudah bertumb
Kata-kata Ji Hwan itu mengejutkan Amara. Dia pun merespons. “Pasti itu melibatkan cewek yang namanya Rita tadi,” tebak Amara dengan perasaan terganggu. Cemburu.“Memang iya,” aku Ji Hwan dengan jujur. Pengakuan itu membuat Amara berjengit.“Dan tadi dia menggandengmu dengan mesra,” Amara menahan diri agar tidak mengomel panjang. “Aku dan Sophie ngeliat semuanya.”“Dia memang menggandengku, Mara. Tapi seingatku, buru-buru kulepaskan. Nggak ada yang bisa dianggap ‘mesra’ di situ,” ralat Ji Hwan. Kedua tangannya terangkat dan membuat tanda petik di udara. “Kalau memang kamu secemburu itu, seharusnya kamu nggak pernah ngelepasin aku,” dia menambahkan.Amara menoleh ke kanan, mengira akan melihat Ji Hwan tersenyum jail. Namun ternyata tidak. Ji Hwan terlihat sangat serius dengan kata-katanya. Matanya yang agak sipit itu menatap Amara dengan kesungguhan yang luar biasa.
Ji Hwan tertawa geli. Amara benar-benar merasa lega karena akhirnya bisa melihat cowok itu tergelak lagi. Lesung pipitnya begitu menyihir. Amara sekarang baru menyadari betapa dia sangat merindukan Ji Hwan. Dia tidak tahu bagaimana selama ini bisa bertahan, bahkan sampai bersikap memusuhi cowok itu. Amara pun tak sudi mendengar semua pembelaan diri dari Ji Hwan.“Sophie juga udah ngingetin aku tentang kamu yang gengsi banget untuk mengakui perasaanmu sama aku,” aku Ji Hwan.Amara mendesah tak berdaya. “Kalau nanti ketemu Sophie, aku akan menjahit mulutnya,” ucap gadis itu. “Dia sama sekali nggak bisa menjaga rahasia.”Ji Hwan tertawa kecil. “Sophie nggak punya maksud jelek. Dia cuma ingin membantu kita berdua,” katanya. “Heartling, bisa nggak sih, kita berhenti berantem dan ngucapin kata-kata yang nyakitin hati? Aku beneran jatuh cinta sama kamu. Aku menyesali semua yang harus kamu alami. Aku lebih nyesal lag
Wajah Amara menghangat. Kata-kata Ji Hwan itu membuatnya jengah. Dia sempat mengerjap sambil menatap sang mantan, tak yakin bagaimana Ji Hwan tampak berbeda dibanding kemarin. Hari ini, Ji Hwan tampak lebih santai dan bisa mengucapkan kata-kata yang mengejutkan. Meski tak terlihat lesung pipitnya yang begitu disukai Amara.“Kenapa aku harus cemburu?” Amara mengerutkan glabelanya. “Ji Hwan, kita beneran konyol banget karena ngebahas hal-hal yang nggak penting. Sekarang, balik ke masalah yang sebenarnya. Kamu ngajak aku ke sini untuk ngebahas apa?” tanya Amara. Dia berusaha bersikap setenang mungkin meski nyatanya jantung Amara terasa menggila lagi.“Bukannya kamu merindukanku?” Ji Hwan malah balas bertanya. Pertanyaan itu begitu mengejutkan, seperti bom yang dijatuhkan di keheningan malam.“Apa?” Amara yakin dia sudah salah dengar.Ji Hwan menjawab dengan sabar. Nada sinis yang tadi tertangkap di telinga Amar
“Kamu sakit ya, Mara? Wajahmu agak pucat,” cetus Ji Hwan dengan napas memburu. Menurut tebakan Amara, cowok itu pasti berlari saat kembali ke tempatnya menunggu.“Aku nggak sakit.” Seisi dada Amara dipenuhi permohonan, berharap Ji Hwan mau memanggilnya “Heartling” lagi. Permohonan yang tidak mampu dilisankan Amara di depan cowok itu. Sesaat kemudian, gadis itu memarahi dirinya sendiri. Memangnya apa yang diharapkannya? Ji Hwan sudah melakuakan segalanya untuk mempertahankan Amara. Akan tetapi, Amara sendiri yang menolak Ji Hwan berkali-kali.Ji Hwan melihat ke arah jam tangannya. “Kita bisa pergi sekarang? Atau kamu mau makan siang dulu?”Amara menggeleng. “Aku nggak lapar.”Setelahnya, gadis itu berjalan bersisian dengan Ji Hwan menuju tempat parkir motor di fakultas cowok itu. Tak ada yang membuka mulut. Amara pun sama sekali tidak berkomentar saat mantan pacarnya menyerahkan sebuah helm kepada
Namun Amara tidak mampu mensterilkan diri dari perasaan senang saat melihat Rita menjadi salah tingkah dengan wajah agak pias. Mereka saling sapa dengan canggung. Amara juga merasa lega karena Ji Hwan tidak mengoreksi kata-kata Sophie tadi.Kurang dari tiga menit kemudian Rita pamit dengan alasan harus masuk kelas. Tak lama kemudian Sophie pun menyusul. Tidak ada tanda-tanda bahwa gadis itu menyesali caranya mengintimidasi Rita. Sophie malah terkesan puas dengan kelakuannya barusan. Kini, yang tinggal hanya Amara, berdiri berhadapan dengan mantan pacarnya dengan canggung. Gadis itu memindahkan berat badannya dari kaki kanan ke kaki kiri. Tidak ada yang bicara hingga berdetik-detik. Sementara mahasiswa berlalu-lalang di sekitar mereka.“Amara, kenapa belum pulang? Masih ada kuliah, ya?”Tanpa melihat pun Amara tahu bahwa Reuben yang barusan menyapanya. Dosennya itu berhenti sambil menatap Amara. Berdiri di depan dua pria yang pernah menjanjikan hati m
Amara belum pernah merasakan siksaan luar biasa saat mengikuti kuliah. Ji Hwan yang sudah memperkenalkannya pada perasaan asing yang membuatnya tak berdaya itu. Amara mengutuki waktu yang melamban dan jarum jam yang seakan tidak bergerak. Seolah-olah waltu membeku begitu saja.“Mara, bisa duduk diam nggak, sih?” protes Sophie. “Kalau kamu bergerak-gerak terus di kursimu, mungkin bakalan dikira kena wasir.”Kalimat seenaknya dari Sophie itu membuat Amara menendang kaki sahabatnya dengan gerakan pelan. Sophie malah terkikik geli dan buru-buru menundukkan wajah agar tak ketahuan dosen sedang tertawa.“Pasti kamu udah nggak sabar pengin buru-buru keluar dari sini, kan?” tebak Sophie ketika akhirnya kelas berakhir. Seringai jailnya tidak mampu membuat perasaan Amara membaik. “Tersiksa banget kan, Mara?”Amara mengabaikan gurauan sahabatnya. “Sophie, nanti kalau ketemu Ji Hwan, aku harus ngomong apa? Aku ben
Amara melangkah pelan dengan kepala tertunduk. Sophie menggandeng lengan kanannya. Setelah menghabiskan waktu di kantin, mereka akhirnya menuju ruang kelas. Perkuliahan akan dimulai sekitar sepuluh menit lagi. Perbincangan Amara dan Sophie tidak mendapat titik temu seputar jalan keluar untuk soal Ji Hwan. Amara sudah kehilangan semangat. Dia yakin, kini dia merasakan patah hati dalam arti sebenarnya.Amara tahu, rasa sakit yang harus ditanggungnya pasti tak akan ringan. Setelah semua kemarahannya mereda dan akal sehat yang berbicara, pastilah rasanya berbeda dibanding malam tahun baru itu. Saat dia memutuskan hubungan dengan Ji Hwan tanpa perasaan.“Kamu terlalu jauh dijajah gengsi. Itu kebiasaan jelek, Mara. Gengsi itu perlu tapi ya harus pada tempatnya. Kalau memang....” Sophie tidak melanjutkan kalimatnya.Heran karena Sophie tak lagi bicara, Amara berujar, “Silakan terus mengejek dan menceramahiku. Masa sih kamu udah capek? Kayaknya ini bar
Sophie sudah digariskan menjadi orang yang tak mudah dipuaskan. Dan meski sudah ikut melihat adegan tadi, gadis itu merasa bahwa reaksi Amara terlalu berlebihan. Cemburu yang tidak pada tempatnya. Bagi Sophie, tak seharusnya semangat Amara melempem begitu saja. Gadis itu tanpa sungkan mengutarakan opininya.“Katanya rindu, tapi udah langsung nyerah cuma karena ngeliat ada pengagum Ji Hwan yang lagi usaha untuk narik perhatian,” sindirnya. Sophie tidak menyembunyikan rasa gelinya. Tawanya menyusul kemudian, membuat Amara merengut sekaligus kesal.“Aku nggak cemburu, kalau itu yang kamu maksud,” balas Amara, defensif.Sophie mengabaikan kata-kata Amara. “Kamu ingat nama cewek itu? Rita kan, ya?”Amara berusaha keras menggali memorinya tapi gagal total. “Entahlah, aku sama sekali nggak ingat. Cuma kenal mukanya doang.”“Hmmm, aku maklum, sih. Sebelum ini, kamu terlalu asyik berdua sama Ji Hwan, sih