“Kasian Sonya ya, Co. Nggak kebayang apa yang dialaminya dalam usia semuda itu.”
“Iya, betul.” Suara Marco terdengar muram. “Kemarin aku usul sama Mama, supaya keluarga Sonya dikontak aja. Takutnya dia terus-terusan kayak sekarang, ngurung diri di kamarnya. Kalau sampai kenapa-napa, takutnya Puan Derana yang disalahin.”
Apa yang disinggung Marco barusan membuatku tertarik. “Trus? Tante Danty setuju?”
“Belum seratus persen, sih! Mama masih ragu karena respons Sonya tiap kali ada yang ngebahas keluarganya. Di sisi lain, anak itu kayaknya belum bisa bikin keputusan soal Noni. Apakah mau diurus sendiri atau dicarikan keluarga untuk mengadopsinya. Makanya, kita butuh bantuan dari keluarga Sonya.”
Aku setuju dengan ucapan cowok itu. “Iya, kamu betul.”
Perhatian kami teralihkan karena mendengar derum mobil di halaman. Marco berdiri dari tempat duduknya, memanjangkan leher untuk mencar
Aku membatu, tak mampu melakukan apa pun. Bahkan sekadar menggerakkan otot wajah. Kata-kata Cliff terlalu mengejutkan, sama sekali tak terduga. Mana pernah aku membayangkan dituduh terlibat sesuatu yang berbau asmara dengan Marco di depan umum? Apa yang harus kulakukan sekarang?“Ya ampun, kasian amat ngeliat Nef sampai bengong gitu,” Levi memecah kebekuan. Tawa gelinya menyusul kemudian. “Cliff, kalem dikit, Bro! Kalaupun Marco dan Nef suka-sukaan atau malah berencana mau buru-buru nikah, apa salahnya? Tapi, kalau ternyata nggak ada apa-apa, malah takutnya bikin mereka jadi saling canggung. Ujung-ujungnya nggak temenan kayak sekarang lagi.”Di antara semua orang di dunia ini, Levi adalah sosok tak terduga yang akan memberi pembelaan untukku dan Marco. Karena sebelum ini, justru cowok satu ini sangat suka melontarkan komentar iseng, termasuk yang berbau perjodohan buatku dan Marco.“Tumben kamu bisa mikir lurus, Lev.” Marco ak
“Astaga! Kamu mau bilang kalau kamu itu orang alim, ya? Pede amat, Co!” Cliff terperangah. Lalu, dia geleng-geleng kepala. “Nih anak beneran diduduki begu ganjang, kayaknya. Ditinggal beberapa hari doang, udah kayak beda kepribadian.”“Udah, jangan banyak cingcong! Yuk, kita pulang dulu,” Levi mencolek bahu Cliff. “Nggak usah merasa jadi korban gitu, Cliff! Yang mulai nyari perkara, siapa? Makanya, lain kali kayak kata Yuma tadi. Pura-pura rabun aja dulu, sebelum ada konfirmasi jelas dari yang bersangkutan.” Levi menyeringai.“Salahkan Levi yang mendadak punya hati nurani. Padahal aku udah bantuin kamu lho, Cliff,” imbuh Yuma. Cowok itu juga bangkit dari tempat duduknya. “Tapi, aku setuju sama Levi. Mending kita pulang dulu. Biar kamu juga cepat ketemu Joyce. Udah kangen, kan?”“Kalian memang udah pada ngaco. Ngapain bawa-bawa Joyce segala?” ulang Cliff sembari mendengkus kesal.
“Nanti kukasih tau detailnya. Sekarang, kita masuk dulu ke dalam, aku mau ngecek beberapa hal. Kamu bisa ngeliat Noni dan Sonya lagi.”“Oke,” putusku cepat. “Tapi janji, ya. Kamu beneran ngasih tau aku kenapa hari ini ... agak beda. Jangan malah bohong dan ingkar janji.”“Iya, aku nggak bakalan bohong,” Marco meyakinkanku.Aku pun menghabiskan waktu sekitar setengah jam lagi di Puan Derana. Aku batal melihat Sonya karena terlalu asyik berada di ruang bayi. Meski tetap belum bernyali untuk menggendong Noni, ada kemajuan besar yang terjadi hari ini. Aku berhasil mengganti popok meski memakan waktu agak lama. Untungnya, Sissy dengan sabar menungguku menuntaskan pekerjaan mahaberat itu.“Kamu nggak punya adik ya, Nef?" tanya Sissy setelah meletakkan Noni ke dalam boksnya. “Anak tunggal? Atau malah anak paling kecil?”Pertanyaan itu membuat otakku bekerja keras. Bagaimana aku harus menjaw
“Kamu pengin makan apa, Nef?” tanya Marco setelah selesai membantu memasang tali pengaman helmku. Cowok itu sudah menegakkan tubuh, sehingga wajah kami tak lagi sedekat tadi. Diam-diam, aku menghela napas. Namun, kenapa tidak terasa lega sama sekali?“Apa aja,” jawabku tanpa pikir panjang. Tadi, saat menunggu Marco mengambil jaket, perutku memang terasa mulai keroncongan. Akan tetapi, saat ini aku mendadak kenyang. Aneh, kan? Ini situasi yang belum pernah kuhadapi sebelumnya.“Sate padang, soto, mi aceh, nasi goreng, mi rebus? Kamu pilih yang mana?” Marco memberi pilihan sambil memandangku. Bibirnya tersenyum.Aku akhirnya menjawab asal-asalan. “Mi rebus aja.”Marco mengangguk sembari tersenyum. “Oke. Aku juga pengin mi rebus dari kemarin tapi belum sempat beli. Di dekat sini ada yang enak. Yuk, kita jalan sekarang.”Marco naik ke motornya dan mulai menyalakan mesinnya. Aku baru saja henda
Barusan Marco ngomong apa? Mungkinkah telingaku sudah salah menangkap kata-katanya? Selama beberapa denyut nadi, aku cuma mematung sembari memandang cowok itu. Tubuhku mendadak panas dingin. Apakah aku menderita demam karena ucapan Marco?“Co, aku nggak salah dengar, kan? Barusan kamu bilang....”Marco menukas, “Aku jatuh cinta sama kamu, Nef. Aku penginnya kamu jadi pacarku. Aku nggak puas kalau kita cuma temenan doang.” Hening. Satu, dua, tiga detik. “Tapi, kalau kamu nggak punya perasaan apa pun sama aku, kuharap kita nggak lantas jadi musuhan. Aku tetap pengin kamu main ke sini kayak biasa.”Aku membatu dengan perasaan yang tak bisa kuurai dengan kata-kata. Aku mustahil menjelaskan apa yang kurasakan saat ini. Bahagia? Itu morfem yang terlalu sederhana untuk menjelaskan efek dari ucapan Marco bagi diriku.“Co,” kataku dengan suara setenang mungkin yang kuupayakan mati-matian. Kedua telapak tanganku
Selama perjalanan yang hanya berlangsung tak sampai sepuluh menit itu, kami sama sekali tak bicara. Ya, memang tidak ideal mengobrol dengan helm menutupi seluruh wajah di tengah angin yang menderu kencang. Meski sebenarnya aku sungguh ingin tahu alasan Marco menyebut-nyebut nama Levi tadi.Marco membawaku ke sebuah warung tenda yang khusus menyediakan mi rebus. Aku pernah makan di sini walau frekuensinya tak terlalu sering. Aku setuju dengan penilaian Marco bahwa mi rebus di sini bercita rasa enak.“Aku sering datang ke sini, Nef. Kalau mau makan mi rebus, aku pasti ke sini. Nggak pernah mau nyoba makan di tempat lain,” aku Marco.Kami duduk bersisian di bangku kayu. Warung tenda itu cukup ramai. Aroma khas mi rebus menguar di udara, membuat perutku yang tadi kenyang secara misterius pun berubah keroncongan lagi.“Kamu kenapa? Mendadak jadi pendiam gini.” Marco tiba-tiba menyenggol lengan kananku. Hebatnya (atau anehnya?), gerakan
“Setuju,” kata Marco. “Aku sempat ragu-ragu, Nef. Pengin ngomong sama kamu tapi takutnya nggak dapat respons seperti keinginan. Tapi kalau diam aja, rasanya kok terlalu menderita. Kadang, ternyata kita butuh dorongan dari orang-orang sekitar supaya lebih optimis dan berani ambil risiko. Paling nggak, itu yang kurasain.”Aku mengulum senyum sambil memandang berkeliling. “Kita ini pasangan yang mengenaskan. Ngomongin soal perasaan di warung tenda yang lumayan rame.”“Ya nggak apa-apa, Nef. Memang kita kayak begini, mau diapain?” sahut Marco.Mi rebus pesanan kami baru saja diletakkan di atas meja. Mi dengan tauge, tahu goreng, dan telur rebus itu disiram dengan kaldu udang yang harum bukan main. Mi rebus itu juga dilengkapi dengan bakwan udang yang sangat enak.Di luar, suara guntur kembali terdengar. Namun, hujan belum turun sama sekali. “Kayaknya kita nggak bisa lama-lama di sini, takut hujan,” u
Aku melalui malam pertama sebagai pacar Marco dengan cara yang begitu norak. Betapa tidak? Setelah Marco pulang dan aku berbaring di ranjang bersiap untuk tidur, mataku malah enggan terpejam. Aku menghabiskan waktu dengan mengenang kembali semua momen dengan Marco yang terjadi hari ini.Sesekali, aku tertawa sendiri mirip orang idiot. Atau, wajahku berubah menghangat hanya karena mengingat kata-kata Marco. Ditambah dengan jantung yang berdebar-debar begitu kencang dan membuatku ketakutan. Astaga! Siapa sangka cowok itu mampu memberi efek separah itu bagiku? Diam-diam aku berdoa semoga Marco pun sama tololnya denganku malam ini.Aku juga sempat berpikir keras. Apakah sebaiknya besok aku kembali ke Puan Derana seperti biasa? Ataukah lebih baik jika aku absen dulu untuk sementara? Perlukah aku menelepon atau mengiriminya pesan? Aku tidak tahu bagaimana harus bersikap jika bertemu Marco. Semua itu membuat kepalaku berdenyut.“Apa aku harus nanya sama Lita atau
Amara sering mendengar kalimat tentang cinta yang bisa mengubah hidup seseorang dengan drastis. Dan selama ini dia kerap mencibir, tidak memercayai hal itu sama sekali. Baginya, orang-orang yang sedang jatuh cinta itu cuma melebih-lebihkan saja.Akan tetapi, kini cibirannya itu justru berbalik menyerang Amara. Menjadi bumerang yang membuatnya jengah. Jika boleh jujur, Amara bahkan tidak tahu kalau efek cinta yang dirasakannya itu ternyata jauh lebih besar dibanding bayangan gadis itu. Amara mengira hidupnya sudah remuk dan takkan bisa lagi kembali normal. Bahagia itu cuma sebuah mimpi lancang yang terlarang untuknya.Hingga Seo Ji Hwan hadir dalam dunianya, memainkan sihir ajaib yang tidak pernah terduga.Membuka hatinya lagi untuk Ji Hwan setelah tahu siapa cowok itu, sama sekali tidak mudah. Akan tetapi, memaksa Ji Hwan menjauh dan membiarkan cowok itu lenyap dari hidup Amara selamanya, jauh lebih tidak tertanggungkan. Cinta Amara untuk cowok itu sudah bertumb
Kata-kata Ji Hwan itu mengejutkan Amara. Dia pun merespons. “Pasti itu melibatkan cewek yang namanya Rita tadi,” tebak Amara dengan perasaan terganggu. Cemburu.“Memang iya,” aku Ji Hwan dengan jujur. Pengakuan itu membuat Amara berjengit.“Dan tadi dia menggandengmu dengan mesra,” Amara menahan diri agar tidak mengomel panjang. “Aku dan Sophie ngeliat semuanya.”“Dia memang menggandengku, Mara. Tapi seingatku, buru-buru kulepaskan. Nggak ada yang bisa dianggap ‘mesra’ di situ,” ralat Ji Hwan. Kedua tangannya terangkat dan membuat tanda petik di udara. “Kalau memang kamu secemburu itu, seharusnya kamu nggak pernah ngelepasin aku,” dia menambahkan.Amara menoleh ke kanan, mengira akan melihat Ji Hwan tersenyum jail. Namun ternyata tidak. Ji Hwan terlihat sangat serius dengan kata-katanya. Matanya yang agak sipit itu menatap Amara dengan kesungguhan yang luar biasa.
Ji Hwan tertawa geli. Amara benar-benar merasa lega karena akhirnya bisa melihat cowok itu tergelak lagi. Lesung pipitnya begitu menyihir. Amara sekarang baru menyadari betapa dia sangat merindukan Ji Hwan. Dia tidak tahu bagaimana selama ini bisa bertahan, bahkan sampai bersikap memusuhi cowok itu. Amara pun tak sudi mendengar semua pembelaan diri dari Ji Hwan.“Sophie juga udah ngingetin aku tentang kamu yang gengsi banget untuk mengakui perasaanmu sama aku,” aku Ji Hwan.Amara mendesah tak berdaya. “Kalau nanti ketemu Sophie, aku akan menjahit mulutnya,” ucap gadis itu. “Dia sama sekali nggak bisa menjaga rahasia.”Ji Hwan tertawa kecil. “Sophie nggak punya maksud jelek. Dia cuma ingin membantu kita berdua,” katanya. “Heartling, bisa nggak sih, kita berhenti berantem dan ngucapin kata-kata yang nyakitin hati? Aku beneran jatuh cinta sama kamu. Aku menyesali semua yang harus kamu alami. Aku lebih nyesal lag
Wajah Amara menghangat. Kata-kata Ji Hwan itu membuatnya jengah. Dia sempat mengerjap sambil menatap sang mantan, tak yakin bagaimana Ji Hwan tampak berbeda dibanding kemarin. Hari ini, Ji Hwan tampak lebih santai dan bisa mengucapkan kata-kata yang mengejutkan. Meski tak terlihat lesung pipitnya yang begitu disukai Amara.“Kenapa aku harus cemburu?” Amara mengerutkan glabelanya. “Ji Hwan, kita beneran konyol banget karena ngebahas hal-hal yang nggak penting. Sekarang, balik ke masalah yang sebenarnya. Kamu ngajak aku ke sini untuk ngebahas apa?” tanya Amara. Dia berusaha bersikap setenang mungkin meski nyatanya jantung Amara terasa menggila lagi.“Bukannya kamu merindukanku?” Ji Hwan malah balas bertanya. Pertanyaan itu begitu mengejutkan, seperti bom yang dijatuhkan di keheningan malam.“Apa?” Amara yakin dia sudah salah dengar.Ji Hwan menjawab dengan sabar. Nada sinis yang tadi tertangkap di telinga Amar
“Kamu sakit ya, Mara? Wajahmu agak pucat,” cetus Ji Hwan dengan napas memburu. Menurut tebakan Amara, cowok itu pasti berlari saat kembali ke tempatnya menunggu.“Aku nggak sakit.” Seisi dada Amara dipenuhi permohonan, berharap Ji Hwan mau memanggilnya “Heartling” lagi. Permohonan yang tidak mampu dilisankan Amara di depan cowok itu. Sesaat kemudian, gadis itu memarahi dirinya sendiri. Memangnya apa yang diharapkannya? Ji Hwan sudah melakuakan segalanya untuk mempertahankan Amara. Akan tetapi, Amara sendiri yang menolak Ji Hwan berkali-kali.Ji Hwan melihat ke arah jam tangannya. “Kita bisa pergi sekarang? Atau kamu mau makan siang dulu?”Amara menggeleng. “Aku nggak lapar.”Setelahnya, gadis itu berjalan bersisian dengan Ji Hwan menuju tempat parkir motor di fakultas cowok itu. Tak ada yang membuka mulut. Amara pun sama sekali tidak berkomentar saat mantan pacarnya menyerahkan sebuah helm kepada
Namun Amara tidak mampu mensterilkan diri dari perasaan senang saat melihat Rita menjadi salah tingkah dengan wajah agak pias. Mereka saling sapa dengan canggung. Amara juga merasa lega karena Ji Hwan tidak mengoreksi kata-kata Sophie tadi.Kurang dari tiga menit kemudian Rita pamit dengan alasan harus masuk kelas. Tak lama kemudian Sophie pun menyusul. Tidak ada tanda-tanda bahwa gadis itu menyesali caranya mengintimidasi Rita. Sophie malah terkesan puas dengan kelakuannya barusan. Kini, yang tinggal hanya Amara, berdiri berhadapan dengan mantan pacarnya dengan canggung. Gadis itu memindahkan berat badannya dari kaki kanan ke kaki kiri. Tidak ada yang bicara hingga berdetik-detik. Sementara mahasiswa berlalu-lalang di sekitar mereka.“Amara, kenapa belum pulang? Masih ada kuliah, ya?”Tanpa melihat pun Amara tahu bahwa Reuben yang barusan menyapanya. Dosennya itu berhenti sambil menatap Amara. Berdiri di depan dua pria yang pernah menjanjikan hati m
Amara belum pernah merasakan siksaan luar biasa saat mengikuti kuliah. Ji Hwan yang sudah memperkenalkannya pada perasaan asing yang membuatnya tak berdaya itu. Amara mengutuki waktu yang melamban dan jarum jam yang seakan tidak bergerak. Seolah-olah waltu membeku begitu saja.“Mara, bisa duduk diam nggak, sih?” protes Sophie. “Kalau kamu bergerak-gerak terus di kursimu, mungkin bakalan dikira kena wasir.”Kalimat seenaknya dari Sophie itu membuat Amara menendang kaki sahabatnya dengan gerakan pelan. Sophie malah terkikik geli dan buru-buru menundukkan wajah agar tak ketahuan dosen sedang tertawa.“Pasti kamu udah nggak sabar pengin buru-buru keluar dari sini, kan?” tebak Sophie ketika akhirnya kelas berakhir. Seringai jailnya tidak mampu membuat perasaan Amara membaik. “Tersiksa banget kan, Mara?”Amara mengabaikan gurauan sahabatnya. “Sophie, nanti kalau ketemu Ji Hwan, aku harus ngomong apa? Aku ben
Amara melangkah pelan dengan kepala tertunduk. Sophie menggandeng lengan kanannya. Setelah menghabiskan waktu di kantin, mereka akhirnya menuju ruang kelas. Perkuliahan akan dimulai sekitar sepuluh menit lagi. Perbincangan Amara dan Sophie tidak mendapat titik temu seputar jalan keluar untuk soal Ji Hwan. Amara sudah kehilangan semangat. Dia yakin, kini dia merasakan patah hati dalam arti sebenarnya.Amara tahu, rasa sakit yang harus ditanggungnya pasti tak akan ringan. Setelah semua kemarahannya mereda dan akal sehat yang berbicara, pastilah rasanya berbeda dibanding malam tahun baru itu. Saat dia memutuskan hubungan dengan Ji Hwan tanpa perasaan.“Kamu terlalu jauh dijajah gengsi. Itu kebiasaan jelek, Mara. Gengsi itu perlu tapi ya harus pada tempatnya. Kalau memang....” Sophie tidak melanjutkan kalimatnya.Heran karena Sophie tak lagi bicara, Amara berujar, “Silakan terus mengejek dan menceramahiku. Masa sih kamu udah capek? Kayaknya ini bar
Sophie sudah digariskan menjadi orang yang tak mudah dipuaskan. Dan meski sudah ikut melihat adegan tadi, gadis itu merasa bahwa reaksi Amara terlalu berlebihan. Cemburu yang tidak pada tempatnya. Bagi Sophie, tak seharusnya semangat Amara melempem begitu saja. Gadis itu tanpa sungkan mengutarakan opininya.“Katanya rindu, tapi udah langsung nyerah cuma karena ngeliat ada pengagum Ji Hwan yang lagi usaha untuk narik perhatian,” sindirnya. Sophie tidak menyembunyikan rasa gelinya. Tawanya menyusul kemudian, membuat Amara merengut sekaligus kesal.“Aku nggak cemburu, kalau itu yang kamu maksud,” balas Amara, defensif.Sophie mengabaikan kata-kata Amara. “Kamu ingat nama cewek itu? Rita kan, ya?”Amara berusaha keras menggali memorinya tapi gagal total. “Entahlah, aku sama sekali nggak ingat. Cuma kenal mukanya doang.”“Hmmm, aku maklum, sih. Sebelum ini, kamu terlalu asyik berdua sama Ji Hwan, sih