“Setuju,” kata Marco. “Aku sempat ragu-ragu, Nef. Pengin ngomong sama kamu tapi takutnya nggak dapat respons seperti keinginan. Tapi kalau diam aja, rasanya kok terlalu menderita. Kadang, ternyata kita butuh dorongan dari orang-orang sekitar supaya lebih optimis dan berani ambil risiko. Paling nggak, itu yang kurasain.”
Aku mengulum senyum sambil memandang berkeliling. “Kita ini pasangan yang mengenaskan. Ngomongin soal perasaan di warung tenda yang lumayan rame.”
“Ya nggak apa-apa, Nef. Memang kita kayak begini, mau diapain?” sahut Marco.
Mi rebus pesanan kami baru saja diletakkan di atas meja. Mi dengan tauge, tahu goreng, dan telur rebus itu disiram dengan kaldu udang yang harum bukan main. Mi rebus itu juga dilengkapi dengan bakwan udang yang sangat enak.
Di luar, suara guntur kembali terdengar. Namun, hujan belum turun sama sekali. “Kayaknya kita nggak bisa lama-lama di sini, takut hujan,” u
Aku melalui malam pertama sebagai pacar Marco dengan cara yang begitu norak. Betapa tidak? Setelah Marco pulang dan aku berbaring di ranjang bersiap untuk tidur, mataku malah enggan terpejam. Aku menghabiskan waktu dengan mengenang kembali semua momen dengan Marco yang terjadi hari ini.Sesekali, aku tertawa sendiri mirip orang idiot. Atau, wajahku berubah menghangat hanya karena mengingat kata-kata Marco. Ditambah dengan jantung yang berdebar-debar begitu kencang dan membuatku ketakutan. Astaga! Siapa sangka cowok itu mampu memberi efek separah itu bagiku? Diam-diam aku berdoa semoga Marco pun sama tololnya denganku malam ini.Aku juga sempat berpikir keras. Apakah sebaiknya besok aku kembali ke Puan Derana seperti biasa? Ataukah lebih baik jika aku absen dulu untuk sementara? Perlukah aku menelepon atau mengiriminya pesan? Aku tidak tahu bagaimana harus bersikap jika bertemu Marco. Semua itu membuat kepalaku berdenyut.“Apa aku harus nanya sama Lita atau
Aku meletakkan hair dryer di atas meja, lalu berbalik ke arah Lita yang sudah duduk di tepi ranjang yang masih berantakan. Seharusnya, aku tidak kaget dengan berita itu, kan? Tadi malam, Marco bertahan sekitar dua jam di Rumah Borju. Redho bahkan lebih dulu pulang. Jadi, tentu saja wajar jika Thea menduga bahwa aku dan Marco berpacaran atau minumal sedang melakukan pendekatan.“Nef, jangan bohong atau pura-pura budek,” Lita mengingatkan.“Begitulah kira-kira,” jawabku jujur, tak punya pilihan lain. Ekspresi kaget Lita membuatku tertawa geli. “Kenapa? Nggak nyangka ya, Ta?”“Iya, soalnya kisah kalian kan penuh drama,” respons Lita. “Hidup itu memang nggak bisa diprediksi, ya? Yang tadinya saling benci, bisa jatuh cinta. Gitu juga sebaliknya.”Aku memikirkan kata-kata temanku itu sebelum mengangguk. “Ya, betul.”Lita berkomentar lagi. “Tapi baguslah, aku mendukungm
Aku masih belum memutuskan apakah akan mendatangi Puan Derana hari ini. Setelah sarapan sendirian karena dapur sudah begitu sepi, aku berniat untuk mampir ke supermarket. Ada beberapa benda yang harus kubeli. Aku baru saja kembali ke kamar dan berniat mengambil tas dan dompet saat salah satu asisten rumah tangga pemilik Rumah Borju mengetuk pintu. Dia memberi tahu bahwa aku kedatangan tamu.Berita itu membuat perutku seolah dipelintir dengan kencangnya. Hanya satu nama yang kuyakin memiliki alasan untuk mendatangiku pagi ini. Siapa lagi jika bukan pacarku? Akan tetapi, lagi-lagi aku harus kecewa. Karena tamuku ternyata bukan Marco, melainkan Levi. Namun, tentu saja aku tak boleh menunjukkan perasaanku di depan Levi, kan?“Kayak apa rasanya setelah resmi jadi pacarnya Marco, Nef?” sapa Levi tanpa basa-basi. “Dia romantis nggak pas ngomong cinta? Atau asal-asalan dan bikin kamu jengkel?” Aku melongo mendengar ucapan terus terang si mulut emb
“Cie, yang nggak mau ngaku kalau kangen tapi ngitung udah berapa lama nggak ngeliat muka cowoknya,” goda Levi. “Detiknya nggak hafal, Nef?”“Terserah,” sahutku jengah. “Percuma ngomong sama kamu. Salah melulu.”Tak sampai setengah jam kemudian, aku dan Levi sudah tiba di lapangan bulutangkis. Yuma dan Cliff tidak terlihat. Hanya ada beberapa orang di pinggir lapangan, termasuk pria yang kuketahui sebagai pelatih Marco dan dua orang pemain bulutangkis lain. Pacarku berada di lapangan, sedang berlatih.Begitu melihat Marco, meski cowok itu sama sekali tak menyadari kehadiranku, tubuhku langsung bereaksi. Perutku mulas, jantungku seakan sedang melakukan pemberontakan di dalam sana dengan membuat gerakan tak terkendali, tungkaiku pun terasa lemah. Memang tidak mirip agar-agar atau jeli, seperti yang sering digambarkan pada novel-novel romantis. Namun cukup membuatku kesulitan melangkah dengan tegap seperti Nefertiti ya
Di mataku, kondisi Nilla terlalu mengenaskan. Meski penasaran ingin tahu alasan gadis ini ingin bertemu Marco, kutunda untuk mengajukan pertanyaan. Eh, aku juga harus memastikan bahwa yang dimaksud gadis ini adalah pacarku. Meski aku tak mengenal orang lain yang memiliki nama serupa dengan Marco-ku di Universitas Dwi Darma.“Kita beli air minum dulu ke minimarket itu, ya? Aku juga mau beli sandal. Marco yang kamu maksud itu orangnya seperti apa? Bisa jelasin orangnya kayak apa?” tanyaku hati-hati.Gadis itu bicara cepat untuk menjelaskan ciri-ciri cowok yang disebutnya bernama Marco. Kini, aku tak ragu jika orang yang dimaksudnya adalah pacarku.“Nanti kita ketemu sama Marco. Sekarang, kita beli air minum dulu,” kataku. Kugamit lengan kirinya tapi gadis itu malah mengaduh. Aku memejamkan mata, tak berani melihat kondisi lengannya. Entah separah apa luka yang diderita gadis ini.“Kakak kenal Marco?” ulangnya, dengan suar
Dua pengendara motor buru-buru berhenti, tapi mereka kalah cepat dengan Marco dan Levi yang tahu-tahu sudah mengapitku.“Lepasin, Nef. Biar kupegangin cewek ini,” pinta Levi.Aku menurut. Perlahan, aku bergeser untuk memberi keleluasaan pada Levi untuk membopong Nilla yang masih tak sadarkan diri. Salah satu pengendara motor yang tadi berhenti, menawarkan bantuan untuk membawa Nilla ke dokter. Namun Marco menolak sembari menunjuk klinik 24 jam yang ada di seberang jalan.Tanpa menunggu, Levi menyeberang sembari membopong Nilla. Si pengendara motor mendampingi dan berdiri di tengah jalan, melambaikan tangan dan meminta kendaraan yang hendak melintas untuk sedikit melamban.“Kamu nggak apa-apa?” tanya Marco dengan suara lembut. Dia membantuku berdiri. “Bagian mana yang sakit, Nef?”Aku agak mendongak seraya menegakkan tubuh. “Aku nggak apa-apa. Kita ke dokter dulu, yuk. Kasian cewek tadi,” kataku. Kaki
Marco maju dua langkah, membuat genggamannya pada tanganku pun terlepas. Di saat yang sama, efek serudukan banteng di perutku pun mereda. Aku bisa memindai kerut di kening Marco, mungkin berusaha mengenali Nilla. Namun dokter meminta kami semua untuk tidak bicara dulu karena beliau ingin mengajukan beberapa pertanyaan pada Nilla.Beberapa saat kemudian, kami cuma mendengarkan dokter mengajukan beberapa pertanyaan pada Nilla dan mencatatnya di kartu pasien. Dokter akhirnya memastikan bahwa Nilla menderita kurang gizi. Selain itu, tidak ada masalah serius. Seperti dugaanku, gadis itu memang baru dipukuli. Untungnya tidak ada tulang yang patah atau cedera yang harus mendapat perawatan serius. Untuk itu, dokter meresepkan vitamin dan obat luar untuk mengobati luka-luka yang diderita Nilla.Begitu kami keluar dari ruang praktik dan menunggu obat disiapkan oleh perawat, Marco menelepon ke Puan Derana. Dia meminta untuk dijemput. Cowok itu berencana membawa Nilla ke tempat it
Air mataku nyaris tumpah. Untungnya saat itu Levi datang, sehingga perhatianku teralihkan. Cowok itu menyerahkan kantong plastik berisi belanjaan kepadaku.“Kamu nggak bakalan dipaksa kerja kayak gitu lagi di Puan Derana,” kata Marco. “Aku juga nggak akan menipumu. Di Puan Derana, ada banyak perempuan yang tinggal di sana dan bisa jadi temanmu. Kamu beneran bisa belajar macam-macam di sana.”“Kalau gitu, aku mau,” putus Nilla tanpa ragu.Aku mengangsurkan roti kepada Nilla. Sementara Levi melepas pembungkus sandal jepit. “Makan dulu ya, Nilla. Setelah itu, baru minum vitaminnya.”“Maaf ya, Kak. Sandalnya hilang sebelah.” Nilla menatapku dengan sorot bersalah. Dia mulai menggigit rotinya dengan perlahan.“Nggak apa-apa. Jangan dipikirin, itu cuma sandal.” Aku membuka segel botol air mineral. Nilla sudah menghabiskan roti suapan pertamanya. “Nih, minum dulu.”&