Marco maju dua langkah, membuat genggamannya pada tanganku pun terlepas. Di saat yang sama, efek serudukan banteng di perutku pun mereda. Aku bisa memindai kerut di kening Marco, mungkin berusaha mengenali Nilla. Namun dokter meminta kami semua untuk tidak bicara dulu karena beliau ingin mengajukan beberapa pertanyaan pada Nilla.
Beberapa saat kemudian, kami cuma mendengarkan dokter mengajukan beberapa pertanyaan pada Nilla dan mencatatnya di kartu pasien. Dokter akhirnya memastikan bahwa Nilla menderita kurang gizi. Selain itu, tidak ada masalah serius. Seperti dugaanku, gadis itu memang baru dipukuli. Untungnya tidak ada tulang yang patah atau cedera yang harus mendapat perawatan serius. Untuk itu, dokter meresepkan vitamin dan obat luar untuk mengobati luka-luka yang diderita Nilla.
Begitu kami keluar dari ruang praktik dan menunggu obat disiapkan oleh perawat, Marco menelepon ke Puan Derana. Dia meminta untuk dijemput. Cowok itu berencana membawa Nilla ke tempat it
Air mataku nyaris tumpah. Untungnya saat itu Levi datang, sehingga perhatianku teralihkan. Cowok itu menyerahkan kantong plastik berisi belanjaan kepadaku.“Kamu nggak bakalan dipaksa kerja kayak gitu lagi di Puan Derana,” kata Marco. “Aku juga nggak akan menipumu. Di Puan Derana, ada banyak perempuan yang tinggal di sana dan bisa jadi temanmu. Kamu beneran bisa belajar macam-macam di sana.”“Kalau gitu, aku mau,” putus Nilla tanpa ragu.Aku mengangsurkan roti kepada Nilla. Sementara Levi melepas pembungkus sandal jepit. “Makan dulu ya, Nilla. Setelah itu, baru minum vitaminnya.”“Maaf ya, Kak. Sandalnya hilang sebelah.” Nilla menatapku dengan sorot bersalah. Dia mulai menggigit rotinya dengan perlahan.“Nggak apa-apa. Jangan dipikirin, itu cuma sandal.” Aku membuka segel botol air mineral. Nilla sudah menghabiskan roti suapan pertamanya. “Nih, minum dulu.”&
Perjalanan menuju Puan Derana nyaris kulewatkan dalam diam, hanya menjadi pendengar. Cuma sesekali aku merespons. Itu pun jika memang dibutuhkan. Bukan karena masih terlalu terkesima oleh efek pegangan tangan Marco, lho! Melainkan alasan lain yang berkaitan dengan Nilla.Aku duduk di jok tengah, diapit oleh Marco dan Nilla. Sementara Levi memilih berada di sebelah kiri sopir yang disapanya dengan “Pak Awan”. Saat kami duduk semobil itulah banyak sekali pengalaman mengerikan yang dibagikan Nilla pada semua orang. Membuat bulu kudukku meremang dan berkali-kali harus menahan air mata.“Makasih ya, Kak. Kalau tadi Kakak nggak ada, aku pasti nggak akan ketemu Marco,” kata Nilla padaku, saat mobil baru saja bergerak.“Nggak perlu bilang makasih. Karena aku nggak ngapa-ngapain, La. Kebetulan aja kita bisa ketemu,” ucapku.“Kenapa manggil ‘Marco’ doang, La? Bang Marco, harusnya,” sergah Levi diikuti tawa
“Udah delapan bulan, Co. Awalnya, aku disuruh ke Medan. Karena katanya aku bakalan sekolah sambil kerja di sana. Baru sehari di Medan, tau-tau aku dibawa ke sini. Waktu itu, ada tiga orang cewek lain yang juga sama kayak aku. Sampai di sini, kami diajak ke salon untuk potong rambut. Dibeliin baju, parfum, sepatu, sampai tas. Aku kan cuma bawa pakaian seadanya, nggak terlalu bagus juga. Karena keluargaku hidupnya susah. Jangankan beli baju bagus, untuk makan aja kesulitan, Co.”Perasaanku makin tak keruan. Apalagi ketika Nilla bercerita tentang hari-hari yang harus dilaluinya selama berada di kota kesayanganku ini. Nilla dilarang menghubungi keluarga, belum lagi keharusan untuk melayani sejumlah pria hidung belang setiap harinya. Jika ketahuan membangkang, harus siap mendapat hukuman. Masih menurut Nilla, dipukuli sudah menjadi hal yang lumrah baginya dan teman-temannya.“Kami berdelapan, semua tinggal satu rumah kos-kosan. Bos dan istrinya yang jadi i
Gurauan Levi mencairkan ketegangan yang terentang di udara. Tawa geliku pun pecah. Begitu juga dengan Marco dan Nilla.“Kurasa, kami semua memang kekurangan gizi, Bang. Bukan cuma aku aja,” gumam Nilla setelah tawanya reda. Suara lirihnya membuatku makin sedih. “Karena tiap hari kami cuma dikasih makan maksimal dua kali. Itu pun lebih sering pakai tahu, tempe, atau tumisan sayur doang,” imbuh gadis itu lagi.Levi meringis sambil kembali menoleh ke belakang. “Umurmu berapa, sih?”“Baru masuk enam belas tahun, Bang.”“Enam belas?” ulang Levi, tak percaya. Tatapan tak berdayanya kemudian diarahkan kepadaku. Sementara aku cuma bisa menggeleng pasrah, tanda tak habis pikir.“He-eh. Aku anak sulung, punya adik tiga. Makanya pengin sekolah supaya bisa biayain adik-adikku. Aku nggak mau hidup susah terus.” Nilla menghela napas. Kepalanya menempel di bahuku. “Selama di sini, semua
“Aku mau cuci muka dulu, ya?” kata Levi, memecah kesunyian. “Butuh air dan udara segar supaya tetap waras. Aku salut sama kamu, Co. Udah sering ketemu cewek-cewek kayak Nilla, tapi kamu bisa tetap santai.”“Santai apaan? Kepaksa, tau! Karena aku nggak boleh pingsan atau muntah di depan mereka. Yang ada, mereka malah nggak mau terbuka kalau aku kagetan,” Marco beralasan.Levi mengacungkan jempol kanannya. “Marco memang nggak ada lawan. Beruntung kamu Nef, punya pacar langka kayak gini. Sebelas dua belas sama orang utan. Harus dilestarikan. Jadi, tolong jangan sakiti sahabatku, ya?”“Astaga,” aku mengerjap. Sementara Marco hanya geleng-geleng kepala, tak sanggup marah pada Levi yang sudah menjauh dengan langkah-langkah panjang. Marco sempat berbalik untuk kembali ke mobil. Dia mengambilkan tas selempangku yang masih tergeletak di jok mobil, sebelum menutup pintunya. Aku bahkan lupa sudah meninggalkan task
Banyak yang terjadi dalam hidupku selama liburan semester ini. Mulai dari menunggui kelahiran Noni hingga membantu menyelamatkan Nilla yang kini menetap di Puan Derana. Tiap kali aku ke sana, gadis itu langsung menemuiku dengan wajah semringah. Eh, jangan lupa hal terpenting yang juga terjadi padaku. Yaitu, memiliki pacar.Kondisi Sonya sudah membaik. Dia tak lagi mengurung diri di kamar. Meski tak pernah menyusui Noni karena ASI-nya tak lagi keluar, gadis itu makin rajin menggendong putrinya. Sonya bahkan sudah ahli mengganti popok, membuat susu, hingga menenangkan Noni jika rewel. Itu fakta yang sangat menggembirakan.“Kayaknya pelan-pelan Sonya mulai bisa menerima Noni ya, Co,” kataku pada Marco. Cowok itu mengangguk untuk membenarkan.“Memang. Perkembangannya pelan tapi bagus. Semua orang senang karena Sonya sekarang lebih tenang dan santai. Keliatan juga kalau dia mulai sayang sama Noni,” ujar Marco.“Iya. Aku ikut hepi
Aku benar-benar bersyukur karena tidak ada kendala berarti. Dosen pembimbingku adalah Bu Tiur Sidabutar yang gampang dihubungi dan tak pernah keberatan jika diajak berdiskusi. Beliau orang yang sangat kooperatif dan selalu bicara dengan suara lembut. Tanpa bermaksud rasis, itu adalah fakta yang bertolak belakang dibanding tipikal orang Batak pada umumnya, terutama yang tinggal di Sumatera Utara. Aku sendiri yang sama sekali tak memiliki darah Batak, tak bisa bicara dengan suara pelan.Bu Tiur bukan tipe dosen rewel yang banyak menuntut. Judul, tema, dan isi bab yang kuajukan langsung disetujui. Hanya ada sedikit koreksi agar isi skripsiku lebih fokus dan tajam, tidak melebar ke mana-mana.Sebenarnya, aku sempat cemas setengah mati sebelum semester baru dimulai. Pasalnya, aku sudah mendengar banyak cerita horor dari kakak tingkatku di masa lalu, tentang kesulitan menyusun skripsi. Seringnya terganjal pada restu dosen pembimbing. Bahkan, menentukan judul saja bisa memaka
“Aku ceroboh luar biasa hari ini. Beberapa kali aku malah kayak ngasih poin untuk Dito. Kontrol bolaku pun jelek. Tadi kamu liat sendiri, kan? Lebih dari sekali kubiarin bola jatuh di lapangan karena mengira posisinya ada di luar garis. Ternyata nggak. Netting-ku pun parah, gagalnya terlalu sering.”“Aku nggak setuju. Buatku, kamu udah berusaha semaksimal mungkin. Berjuang mati-matian. Kadang, faktor X memang nggak bisa dijelasin, Co. Hari ini, Dewi Fortuna berpihak sama Dito,” gumamku pelan.Cliff yang datang menonton bersama Joyce, memiliki cara yang lebih jitu untuk menghibur Marco. Setelah kami meninggalkan gedung olahraga sore itu, dia mentraktir kami semua untuk makan malam. Awalnya, cowok itu mengusulkan untuk makan di restoran steak yang baru dibuka. Lokasinya tak terlalu jauh dari toko roti legendaris di Pematangsiantar, Roti Ganda. Namun, Levi menolak usul itu mentah-mentah.“Ngapain sih makan steak
Amara sering mendengar kalimat tentang cinta yang bisa mengubah hidup seseorang dengan drastis. Dan selama ini dia kerap mencibir, tidak memercayai hal itu sama sekali. Baginya, orang-orang yang sedang jatuh cinta itu cuma melebih-lebihkan saja.Akan tetapi, kini cibirannya itu justru berbalik menyerang Amara. Menjadi bumerang yang membuatnya jengah. Jika boleh jujur, Amara bahkan tidak tahu kalau efek cinta yang dirasakannya itu ternyata jauh lebih besar dibanding bayangan gadis itu. Amara mengira hidupnya sudah remuk dan takkan bisa lagi kembali normal. Bahagia itu cuma sebuah mimpi lancang yang terlarang untuknya.Hingga Seo Ji Hwan hadir dalam dunianya, memainkan sihir ajaib yang tidak pernah terduga.Membuka hatinya lagi untuk Ji Hwan setelah tahu siapa cowok itu, sama sekali tidak mudah. Akan tetapi, memaksa Ji Hwan menjauh dan membiarkan cowok itu lenyap dari hidup Amara selamanya, jauh lebih tidak tertanggungkan. Cinta Amara untuk cowok itu sudah bertumb
Kata-kata Ji Hwan itu mengejutkan Amara. Dia pun merespons. “Pasti itu melibatkan cewek yang namanya Rita tadi,” tebak Amara dengan perasaan terganggu. Cemburu.“Memang iya,” aku Ji Hwan dengan jujur. Pengakuan itu membuat Amara berjengit.“Dan tadi dia menggandengmu dengan mesra,” Amara menahan diri agar tidak mengomel panjang. “Aku dan Sophie ngeliat semuanya.”“Dia memang menggandengku, Mara. Tapi seingatku, buru-buru kulepaskan. Nggak ada yang bisa dianggap ‘mesra’ di situ,” ralat Ji Hwan. Kedua tangannya terangkat dan membuat tanda petik di udara. “Kalau memang kamu secemburu itu, seharusnya kamu nggak pernah ngelepasin aku,” dia menambahkan.Amara menoleh ke kanan, mengira akan melihat Ji Hwan tersenyum jail. Namun ternyata tidak. Ji Hwan terlihat sangat serius dengan kata-katanya. Matanya yang agak sipit itu menatap Amara dengan kesungguhan yang luar biasa.
Ji Hwan tertawa geli. Amara benar-benar merasa lega karena akhirnya bisa melihat cowok itu tergelak lagi. Lesung pipitnya begitu menyihir. Amara sekarang baru menyadari betapa dia sangat merindukan Ji Hwan. Dia tidak tahu bagaimana selama ini bisa bertahan, bahkan sampai bersikap memusuhi cowok itu. Amara pun tak sudi mendengar semua pembelaan diri dari Ji Hwan.“Sophie juga udah ngingetin aku tentang kamu yang gengsi banget untuk mengakui perasaanmu sama aku,” aku Ji Hwan.Amara mendesah tak berdaya. “Kalau nanti ketemu Sophie, aku akan menjahit mulutnya,” ucap gadis itu. “Dia sama sekali nggak bisa menjaga rahasia.”Ji Hwan tertawa kecil. “Sophie nggak punya maksud jelek. Dia cuma ingin membantu kita berdua,” katanya. “Heartling, bisa nggak sih, kita berhenti berantem dan ngucapin kata-kata yang nyakitin hati? Aku beneran jatuh cinta sama kamu. Aku menyesali semua yang harus kamu alami. Aku lebih nyesal lag
Wajah Amara menghangat. Kata-kata Ji Hwan itu membuatnya jengah. Dia sempat mengerjap sambil menatap sang mantan, tak yakin bagaimana Ji Hwan tampak berbeda dibanding kemarin. Hari ini, Ji Hwan tampak lebih santai dan bisa mengucapkan kata-kata yang mengejutkan. Meski tak terlihat lesung pipitnya yang begitu disukai Amara.“Kenapa aku harus cemburu?” Amara mengerutkan glabelanya. “Ji Hwan, kita beneran konyol banget karena ngebahas hal-hal yang nggak penting. Sekarang, balik ke masalah yang sebenarnya. Kamu ngajak aku ke sini untuk ngebahas apa?” tanya Amara. Dia berusaha bersikap setenang mungkin meski nyatanya jantung Amara terasa menggila lagi.“Bukannya kamu merindukanku?” Ji Hwan malah balas bertanya. Pertanyaan itu begitu mengejutkan, seperti bom yang dijatuhkan di keheningan malam.“Apa?” Amara yakin dia sudah salah dengar.Ji Hwan menjawab dengan sabar. Nada sinis yang tadi tertangkap di telinga Amar
“Kamu sakit ya, Mara? Wajahmu agak pucat,” cetus Ji Hwan dengan napas memburu. Menurut tebakan Amara, cowok itu pasti berlari saat kembali ke tempatnya menunggu.“Aku nggak sakit.” Seisi dada Amara dipenuhi permohonan, berharap Ji Hwan mau memanggilnya “Heartling” lagi. Permohonan yang tidak mampu dilisankan Amara di depan cowok itu. Sesaat kemudian, gadis itu memarahi dirinya sendiri. Memangnya apa yang diharapkannya? Ji Hwan sudah melakuakan segalanya untuk mempertahankan Amara. Akan tetapi, Amara sendiri yang menolak Ji Hwan berkali-kali.Ji Hwan melihat ke arah jam tangannya. “Kita bisa pergi sekarang? Atau kamu mau makan siang dulu?”Amara menggeleng. “Aku nggak lapar.”Setelahnya, gadis itu berjalan bersisian dengan Ji Hwan menuju tempat parkir motor di fakultas cowok itu. Tak ada yang membuka mulut. Amara pun sama sekali tidak berkomentar saat mantan pacarnya menyerahkan sebuah helm kepada
Namun Amara tidak mampu mensterilkan diri dari perasaan senang saat melihat Rita menjadi salah tingkah dengan wajah agak pias. Mereka saling sapa dengan canggung. Amara juga merasa lega karena Ji Hwan tidak mengoreksi kata-kata Sophie tadi.Kurang dari tiga menit kemudian Rita pamit dengan alasan harus masuk kelas. Tak lama kemudian Sophie pun menyusul. Tidak ada tanda-tanda bahwa gadis itu menyesali caranya mengintimidasi Rita. Sophie malah terkesan puas dengan kelakuannya barusan. Kini, yang tinggal hanya Amara, berdiri berhadapan dengan mantan pacarnya dengan canggung. Gadis itu memindahkan berat badannya dari kaki kanan ke kaki kiri. Tidak ada yang bicara hingga berdetik-detik. Sementara mahasiswa berlalu-lalang di sekitar mereka.“Amara, kenapa belum pulang? Masih ada kuliah, ya?”Tanpa melihat pun Amara tahu bahwa Reuben yang barusan menyapanya. Dosennya itu berhenti sambil menatap Amara. Berdiri di depan dua pria yang pernah menjanjikan hati m
Amara belum pernah merasakan siksaan luar biasa saat mengikuti kuliah. Ji Hwan yang sudah memperkenalkannya pada perasaan asing yang membuatnya tak berdaya itu. Amara mengutuki waktu yang melamban dan jarum jam yang seakan tidak bergerak. Seolah-olah waltu membeku begitu saja.“Mara, bisa duduk diam nggak, sih?” protes Sophie. “Kalau kamu bergerak-gerak terus di kursimu, mungkin bakalan dikira kena wasir.”Kalimat seenaknya dari Sophie itu membuat Amara menendang kaki sahabatnya dengan gerakan pelan. Sophie malah terkikik geli dan buru-buru menundukkan wajah agar tak ketahuan dosen sedang tertawa.“Pasti kamu udah nggak sabar pengin buru-buru keluar dari sini, kan?” tebak Sophie ketika akhirnya kelas berakhir. Seringai jailnya tidak mampu membuat perasaan Amara membaik. “Tersiksa banget kan, Mara?”Amara mengabaikan gurauan sahabatnya. “Sophie, nanti kalau ketemu Ji Hwan, aku harus ngomong apa? Aku ben
Amara melangkah pelan dengan kepala tertunduk. Sophie menggandeng lengan kanannya. Setelah menghabiskan waktu di kantin, mereka akhirnya menuju ruang kelas. Perkuliahan akan dimulai sekitar sepuluh menit lagi. Perbincangan Amara dan Sophie tidak mendapat titik temu seputar jalan keluar untuk soal Ji Hwan. Amara sudah kehilangan semangat. Dia yakin, kini dia merasakan patah hati dalam arti sebenarnya.Amara tahu, rasa sakit yang harus ditanggungnya pasti tak akan ringan. Setelah semua kemarahannya mereda dan akal sehat yang berbicara, pastilah rasanya berbeda dibanding malam tahun baru itu. Saat dia memutuskan hubungan dengan Ji Hwan tanpa perasaan.“Kamu terlalu jauh dijajah gengsi. Itu kebiasaan jelek, Mara. Gengsi itu perlu tapi ya harus pada tempatnya. Kalau memang....” Sophie tidak melanjutkan kalimatnya.Heran karena Sophie tak lagi bicara, Amara berujar, “Silakan terus mengejek dan menceramahiku. Masa sih kamu udah capek? Kayaknya ini bar
Sophie sudah digariskan menjadi orang yang tak mudah dipuaskan. Dan meski sudah ikut melihat adegan tadi, gadis itu merasa bahwa reaksi Amara terlalu berlebihan. Cemburu yang tidak pada tempatnya. Bagi Sophie, tak seharusnya semangat Amara melempem begitu saja. Gadis itu tanpa sungkan mengutarakan opininya.“Katanya rindu, tapi udah langsung nyerah cuma karena ngeliat ada pengagum Ji Hwan yang lagi usaha untuk narik perhatian,” sindirnya. Sophie tidak menyembunyikan rasa gelinya. Tawanya menyusul kemudian, membuat Amara merengut sekaligus kesal.“Aku nggak cemburu, kalau itu yang kamu maksud,” balas Amara, defensif.Sophie mengabaikan kata-kata Amara. “Kamu ingat nama cewek itu? Rita kan, ya?”Amara berusaha keras menggali memorinya tapi gagal total. “Entahlah, aku sama sekali nggak ingat. Cuma kenal mukanya doang.”“Hmmm, aku maklum, sih. Sebelum ini, kamu terlalu asyik berdua sama Ji Hwan, sih