Aku benar-benar bersyukur karena tidak ada kendala berarti. Dosen pembimbingku adalah Bu Tiur Sidabutar yang gampang dihubungi dan tak pernah keberatan jika diajak berdiskusi. Beliau orang yang sangat kooperatif dan selalu bicara dengan suara lembut. Tanpa bermaksud rasis, itu adalah fakta yang bertolak belakang dibanding tipikal orang Batak pada umumnya, terutama yang tinggal di Sumatera Utara. Aku sendiri yang sama sekali tak memiliki darah Batak, tak bisa bicara dengan suara pelan.
Bu Tiur bukan tipe dosen rewel yang banyak menuntut. Judul, tema, dan isi bab yang kuajukan langsung disetujui. Hanya ada sedikit koreksi agar isi skripsiku lebih fokus dan tajam, tidak melebar ke mana-mana.
Sebenarnya, aku sempat cemas setengah mati sebelum semester baru dimulai. Pasalnya, aku sudah mendengar banyak cerita horor dari kakak tingkatku di masa lalu, tentang kesulitan menyusun skripsi. Seringnya terganjal pada restu dosen pembimbing. Bahkan, menentukan judul saja bisa memaka
“Aku ceroboh luar biasa hari ini. Beberapa kali aku malah kayak ngasih poin untuk Dito. Kontrol bolaku pun jelek. Tadi kamu liat sendiri, kan? Lebih dari sekali kubiarin bola jatuh di lapangan karena mengira posisinya ada di luar garis. Ternyata nggak. Netting-ku pun parah, gagalnya terlalu sering.”“Aku nggak setuju. Buatku, kamu udah berusaha semaksimal mungkin. Berjuang mati-matian. Kadang, faktor X memang nggak bisa dijelasin, Co. Hari ini, Dewi Fortuna berpihak sama Dito,” gumamku pelan.Cliff yang datang menonton bersama Joyce, memiliki cara yang lebih jitu untuk menghibur Marco. Setelah kami meninggalkan gedung olahraga sore itu, dia mentraktir kami semua untuk makan malam. Awalnya, cowok itu mengusulkan untuk makan di restoran steak yang baru dibuka. Lokasinya tak terlalu jauh dari toko roti legendaris di Pematangsiantar, Roti Ganda. Namun, Levi menolak usul itu mentah-mentah.“Ngapain sih makan steak
Kami akhirnya makan malam di restoran padang yang letaknya tak terlalu jauh dari kampus, duduk berenam mengelilingi meja yang dipenuhi makanan menggiurkan. Sebenarnya, restoran berlabel Lamak Bana itu tidak khusus menyajikan menu ala padang. Melainkan juga masakan melayu. Namun, para cowok memilih tempat itu dengan alasan jaraknya yang tak terlalu jauh.Karena itu, aku menyantap sayuran berbeda. Alih-alih mencicipi daun singkong rebus dan gulai kapau, aku memilih anyang pakis yang juga tersedia.Setelah mulai makan, barulah aku tahu alasan Levi mengajukan usul yang sempat ditentang Cliff tadi. Baru paham juga mengapa mereka memilih Lamak Bana yang notabene menyiapkan masakan yang tak terlalu pedas untuk lidahku.Marco memang tak punya waktu untuk terus memikirkan kekalahannya dari Dito karena cowok itu terlalu sibuk melawan rasa pedas di mulutnya. Menyantap komposisi nasi padang dengan rendang daging sebagai lauk utama yang sengaja dipilihkan oleh Yu
“Mulai sekarang, aku bakalan sering ngajak kamu ke resto padang,” gurauku pada Marco. Kami baru tiba di depan gerbang Rumah Borju. “Ide Levi beneran keren. Betemu karena pertandingan tadi udah berkurang, kan?”Marco tertawa kecil. “Iya, sih. Itu cara aneh yang udah lama kulupain. Dulu, anak-anak taunya nggak sengaja. Aku pun nggak ingat awalnya seperti apa. Sejak itu, mereka sering ngajak makan nasi padang tiap kali aku beneran bete. Levi juga benar, dulu aku gampang kesal. Kadang cuma gara-gara hal sepele, bisa gondok setengah mati. Tapi setelah ikut ngurusin Puan Derana, jadi lebih tenang. Aneh, ya?”Aku tak pernah tahu fakta itu. Namun, aku menghargai karena Marco mau berbagi informasi itu padaku. “Nggak aneh,” kataku. “Tiap orang punya cerita uniknya sendiri. Tapi, aku masih nggak sanggup ngebayangin kayak apa rasanya makan rendang dipadu dengan meses. Apa nggak enek?”“Mungkin lidahku ini mem
Alisku bertaut. “Aku nggak punya nomornya.”“Aku punya.” Vicky mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya.“Kalau memang ada perlu, mending kamu aja yang telepon. Aku sungkan karena memang nggak kenal akrab.” Mendadak, aku teringat pada Thea. “Atau, mending Thea aja yang ngontak Bang Redho.”Vicky menggeleng. “Kalau Thea bisa, aku nggak bakalan minta tolong sama kamu. Siapa tau, kali ini dia mau ngangkat teleponnya. Kalau iya, ntar aku yang ngomong.”Kalimat Vicky memang benar. Dia tak perlu minta bantuanku jika Thea tak memiliki kendala apa pun untuk mengontak pacarnya sendiri. Hal itu justru membuatku makin penasaran. Namun, mengajukan banyak pertanyaan pun tak ada artinya. Belum tentu Vicky mau memuaskan rasa ingin tahuku.“Berapa nomornya?” Aku akhirnya mengalah. Kukeluarkan gawaiku dari dalam tas selempang. Vicky menyebutkan angka-angkanya, aku mengulangi sekali lagi sebelum me
Dinda yang belum lama tinggal di Rumah Borju, malah lebih getol urusan ibadah dibanding Esther. Gadis itu rutin berpuasa Nabi Daud, sehari puasa dan sehari tidak. Kecuali jika sedang berhalangan.Aku yang paling ala kadarnya jika sudah berkaitan dengan ibadah. Aku hanya mengerjakan ibadah yang wajib saja. Itu pun kadang hampir lupa seperti sekarang ini. Padahal, ada banyak hal yang harus kusyukuri dalam hidup ini, kan? Allah sudah memberi banyak, selalu melindungiku sampai detik ini. Hingga aku tidak mengalami kejadian buruk seperti yang menimpa orang-orang di Puan Derana. Semestinya, itu membuatku lebih banyak bersyukur di tiap kesempatan.Marco sempat mengabari bahwa dia sudah sampai rumah via pesan di WhatsApp. Setelah itu, kuputuskan untuk tidur. Aku hampir terlelap saat pintu kamarku diketuk. Tadinya, aku berniat mengabaikan tamu yang tak kuharapkan sama sekali itu. Namun akhirnya aku berubah pikiran setelah mendengar suara Lita menyebut namaku.“Baru
Aku terlelap tak lama kemudian dan terbangun oleh suara alarm ponselku. Di luar masih gelap dan rasa kantuk belum sepenuhnya lenyap. Aku menelentang dengan mata terbuka. Hari ini aku harus ke kampus. Pukul delapan pagi, aku akan belajar Bisnis dan Ekonomi Indonesia, satu-satunya mata kuliah wajib untuk semester ini. Aku tidak mengulang subjek lain karena sudah kulakukan di semester sebelumnya. Alasannya? Karena aku hendak fokus pada penulisan skripsi.Siangnya, aku juga berencana untuk bertemu Ibu Tiur. Bab dua skripsiku sedang diperiksa dan hari ini kami akan membahas isinya. Bab satu cukup mulus karena hanya memerlukan sedikit koreksi yang bisa kukerjakan sehari penuh. Jika tidak banyak yang harus kuperbaiki pada bab dua, mungkin aku bisa meneruskan skripsiku.Pagi itu, saat aku mendatangi dapur untuk sarapan, suasana di tempat itu cukup ramai. Seolah semua penghuni Rumah Borju tumpah ruah di ruangan yang luas itu. Suara obrolan sempat berhenti saat aku memasuki dapu
Suasana di tempat indekosku berubah seketika. Tidak ada yang berani mendekat ke arah Mbak Titiek yang masih berteriak-teriak sembari mengguncang tubuh Thea. Aku dan teman-temanku saling pandang. Bulu kudukku meremang. Meski tidak ada yang bicara, kami tahu ada satu kesimpulan yang menggantung di udara. Thea mencoba bunuh diri.Teman-temanku mulai berbisik-bisik, tapi telingaku seolah tuli dan tak bisa mendengar detail obrolan mereka. Aku seakan terlempar ke dunia yang berbeda. Kepalaku dipenuhi pertanyaan, apakah ini salah satu bentuk tragedi yang harus kusaksikan? Benarkah Thea memang ingin bunuh diri? Memangnya apa yang dialaminya sampai nekat mengakhiri hidup?“Thea kenapa? Kenapa harus nekat gitu? Masa iya kalau ada masalah, langsung mau bunuh diri? Kan pasti bisa dicarikan jalan keluarnya. ”Entah siapa yang mengucapkan kata-kata itu dengan suara lirih. Namun membuatku kembali pada kekinian dan menyadari apa yang sedang kuhadapi. Aku da
Mbak Titiek berdiri sambil memandang kami semua. Aku merinding melihat lap di tangan kanannya yang memerah oleh darah Thea. Ada tetesan yang jatuh ke lantai.“Thea itu memang suka bikin ulah. Pasti banyak di antara kalian yang nggak suka sama dia. Tapi, jangan sampai kalian nyebarin fitnah. Orang lagi kesusahan, jangan ditambahin. Jangan sampai anaknya jadi betul-betul pengin bunuh diri,” Mbak Titiek mengingatkan. “Jangan ngomong apa-apa dulu di luar sana. Nanti malah jadi makin heboh padahal kenyataannya nggak separah gosip.”Aku seolah baru saja ditonjok. Ucapan Mbak Titiek sangat benar. Karena itu, aku pun membalikkan tubuh untuk kembali ke dapur. Meski tak berselera, aku harus segera menuntaskan sarapan sebelum berangkat ke kampus. Teman-temanku pun memilih kembali ke dapur. Kali ini, tak ada yang bicara. Semua tampaknya terlalu kaget dengan apa yang baru saja terjadi. Entah apa yang terjadi pada Thea. Untuk saat ini, kami semua terpaksa men