Rantai besi masih menempel di pergelangan tangan dan kaki. Langkah diseret meski berkali-kali ditancap besi panas di bagian punggung. Rambut depan menjuntai, tidak pernah dipotong barang sekali. Menutupi sebagian pandangan, tidak mau menatap jalan karena semuanya berakhir pada penderitaan.
Tubuhnya dimasukkan ke dalam sebuah karung, lalu dilempar seperti sampah. Dia menyadari posisinya dan tidak berhak melawan.
"Antar dia ke rumah bangsawan Hviezda. Seseorang membelinya dengan harga yang cukup tinggi."
Sekujur tubuhnya sudah mati rasa. Merasakan raganya diangkut ke sebuah kendaraan. Sepertinya gerobak usang yang ditarik oleh kuda, karena suaranya terdengar dengan keras.
Menjadi budak bukanlah inginnya, dia hanya terbiasa diperlakukan seperti ini. Orang tuanya menjualnya kepada seorang saudagar ketika berusia enam tahun dan sejak saat itu dia terus berpindah ke tangan ke majikan yang lain. Kadang dia tak makan sampai tiga hari, kadang bahkan memakan yang tidak layak.
Tapi dia bisa apa? Ini adalah dunia yang kejam, kenyataan yang harus dihadapi. Dia tidak punya apa-apa, dia bukan siapa-siapa. Masih hidup hari ini saja adalah hal yang patut ia syukuri.
"Berapa yang mereka tawarkan?"
"Dua ratus keping emas."
Mendengarnya saja membuatnya menggemerutukkan gigi. Di zaman ini, apapun bisa dibeli. Sejak emas ditemukan dan digunakan sebagai nominal penukar barang berharga.
Ia berusaha melepas tali yang melilit tubuhnya, sementara kusir dan penjualnya sibuk berbincang. Bagaimanapun, ini adalah satu-satunya kesempatan sebelum dirantai majikan baru. Ia tidak mau hidup seperti ini lagi.
"Mau kemana kau, bocah?"
Sialnya, sebelum rencananya sukses si kusir menyadari gerak-geriknya. Kereta mereka terhenti dan bocah itu diikat lebih kuat daripada sebelumnya. Bahkan segumpal kain kini bersarang di mulutnya agar tak berteriak. Padahal tanpa harus seperti itu, si bocah sama sekali tak berniat berteriak bila berhasil kabur.
Tidak akan ada yang menolong kecuali dirinya sendiri, bukan?
Namun tak berapa lama setelahnya, bocah itu melihat bagian atas kereta terbakar entah karena apa. Sang kusir dan penjualnya panik, tetapi tak berapa lama kemudian setelah mereka menengok luar, mereka tidak kembali.
Sayup-sayup mendengar, ada suara langkah kaki di luar sana. Mungkin puluhan orang. Entah karena apa bagai tergesa.
"Cari barang berharga di dalam kereta ini!"
Si bocah memberontak lebih keras daripada sebelumnya. Tetapi ia hanya bisa menitikkan air mata, dia tidak cukup kuat untuk melepaskan diri. Raut ketakutan di wajahnya terlihat jelas ketika beberapa orang menyibak kain penutup, lalu menatap padanya dengan membawa belati.
"Mereka hanya membawa anak kecil! Sialan!"
"Lalu apa yang akan kita lakukan, Bos? Kita harus pergi atau segera tertangkap."
"Tidak apa, bawa dia! Kita tetap bisa menjualnya sebagai budak!"
Apakah takdir memang begitu membencinya?
Kenapa dia harus lahir ke dunia ini?
***
Bocah itu dilelang bersama banyak anak kecil sepertinya. Mereka berbaris rapi dengan tangan dan kaki yang dirantai besi. Tidak ada celah untuk kabur. Ada singa sejauh sepuluh meter, berada dalam kandang dalam kondisi kelaparan. Auman hewan itu cukup membuat mereka ketakutan.
Mereka dihadapkan pada banyak orang, duduk menaik di lingkaran. Mereka berlomba dan menuliskan harga di papan yang mereka bawa. Menginginkan budak untuk dipekerjakan semau mereka.
"Aku mau bocah itu!"
"Seratus keping perak!"
"Lima puluh keping emas!"
"Seratus keping emas dan perak!"
Si bocah itu mendadak teringat memori tak menyenangkan. Ayah Ibunya bertengkar karena tidak punya uang. Kemudian Ayahnya membawa anak semata wayangnya ini ke tempat judi, berharap dapat menang demi melunasi hutang.
Dia kalah.
Karena uangnya habis, maka bocah itu menjadi pengganti. Ia mulai berada di lingkaran ini sejak enam bulan lalu, sering berganti majikan. Tentu saja atas nama uang.
Dia bersikap baik dan tidak membangkang meski semua mantan majikan memperlakukannya dengan kasar. Kian lama harga jualnya meninggi, berpindah tangan dengan cepat ke tangan orang lain. Bahkan sebelum ia berdiri di sini, dirinya hendak dijual kepada keluarga bangsawan.
"Seribu lima ratus keping emas!"
Penawaran tertinggi jatuh kepada bocah itu. Dia mengerti manusia di depannya hanya akan memperbudak dirinya lagi. Dia mengerti semua ini terjadi karena uang.
Mereka memamerkan harta seolah itu bukan apa-apa, sedangkan ia di sini karena kekurangan ekonomi keluarganya. Jika ia sedikit berpikir, sebenarnya itu sangat tidak adil. Bahkan acara kaburnya juga gagal. Mungkin takdirnya berkata demikian.
Takdir, ya?
"Ada penyusup! Wolfsbane!" suara dari ujung memecah perhatian massa. Sebagian terkejut dan langsung melarikan diri mendengar nama itu.
"Sialan! Bawa bocah-bocah ini!"
Bocah itu juga hanya diam ketika ia diseret paksa oleh orang dewasa. Dia tidak punya pilihan, dia harus bertahan hidup bagaimanapun caranya. Dengan harapan suatu hari nanti bisa kembali berjumpa dengan kedua orang tuanya.
Singa yang sejak tadi bersuara mendadak diam ketika jeruji itu turut dipindahkan bersamanya. Bocah itu merasakan tarikan di kerahnya terlepas, lalu cipratan darah mengenainya dari arah belakang.
Ia tak berani menoleh.
Meski ia hanyalah seorang anak kecil, tetapi ia tahu bahwa orang dewasa itu tidak akan takut pada sesuatu bila mereka mampu melakukannya. Mencuri kereta di tengah jalan, misalnya. Mereka tidak merasa takut karena mereka bisa mengatasinya.
Lalu perasaan apa ini? Ketakutan yang luar biasa berkumpul. Ia tidak pernah takut pada apa pun, tetapi sesuatu yang buruk pada orang dewasa berarti akan buruk juga baginya, bukan?
"Kenapa ada anak kecil di sini?"
Bocah itu mendengar sebuah suara asing.
"Apa kita akan membunuhnya sekarang?" tanya seseorang yang lain.
"Tugas kita hanyalah mencuri."
"Lebih baik kita bawa dia dulu."
Meskipun budak, bukan berarti ia tak pernah mendengar julukan itu.
Wolfsbane.
Mereka adalah komplotan pencuri terkenal di negara ini. Majikan-majikannya terkadang membicarakannya ketika tidak sengaja lewat. Nama itu begitu populer karena dikabarkan tidak pernah gagal dalam aksinya. Lagi, salah satu dari mereka terkena kutukan. Entah rumor itu benar atau tidak, bocah itu juga tak bisa memastikan.
Raganya sekarang dibawa oleh orang asing. Kepalanya ditutup oleh tas kulit dan kedua tangannya dililit ke belakang dengan tali.
"Kita harus bergegas pergi."
***
Bocah itu tersadar setelah mencium aroma menyengat. Pelan-pelan ia membuka mata, melihat ada orang selain dirinya di area yang sama.
"Kau sudah bangun?"
Bocah itu tidak menjawab. Ia tidak tahu sekarang di mana. Selain itu, ia tidak mengenal orang yang baru saja bertanya. Mungkin saja dia adalah agen budak yang lain, bukan?
"Kau tidak perlu takut. Namaku Fritz. Anggota Wolfsbane."
Mendengar kata Wolfsbane seketika membuat bocah itu terduduk. Wolfsbane adalah masalah serius di negara ini. Kenapa ia sekarang justru berada di sarang mereka?
"Jangan khawatir. Yang punya racun hanya Elaine."
"Apa maksudmu, Fritz?"
Seseorang datang. Seorang wanita berambut panjang. Ada mahkota yang tersusun dari bunga kecil di kepalanya. Matanya bulat namun bersinar indah. Pula perawakannya yang cukup tinggi. Ia mengenakan gaun panjang berwarna putih.
Kedua tangannya hendak menyentuh pipi putih itu, namun Fritz segera menahannya dengan deheman pelan.
"Namamu Claus, bukan?"
Sang bocah menelan ludah.
" ... darimana Anda tahu?"
Wanita itu tersenyum manis. "Tentu saja aku tahu. Tidak ada hal yang tak diketahui oleh Wolfsbane. Sekarang kau berada di tempat kami."
Claus berkeringat dingin. Benar dugaan awalnya.
"Bisakah kalian membiarkanku pergi?"
Elaine menatap aneh. Firasat Claus buruk soal ini.
"Memangnya kau mau pulang ke mana?"
Claus terjengit. Ia lupa bahwa kini tidak punya tempat kembali. Tidak ke rumah orang tua atau majikan barunya. Mereka semua bukanlah opsi yang harus dipilih. Tersadar bahwa selama ini hidupnya hanyalah rotasi menyedihkan.
Berada di tempat yang tidak diketahui juga membuatnya takut. Ia tidak tahu mereka semua. Bisa saja mereka menipunya. Mengetahui banyak orang dewasa yang licik, mau tak mau menjadikannya berpikir demikian.
"Aku tidak masalah kau pergi dari sini. Tapi jika kau benar hendak bergabung, ini adalah waktu yang tepat. Kami akan segera berpindah lagi. Kami sedang menunggu yang lain kembali." Fritz berbicara.
"Aku permisi sebentar." Elaine pamit pergi entah kemana. Ia menghilang begitu saja di pintu tenda.
***
Claus menghitung mereka setelah empat hari berada di sini. Semua luka di tubuhnya turut diobati. Wolfsbane punya jaringan di mana-mana, tetapi yang ia tahu beberapa orang yang ditunggu telah kembali.
Mereka datang mengendarai kuda, kemudian menyerahkan beberapa bungkus kain, sebenarnya ada banyak. Ada sekitar sepuluh.
"Elaine, kami membawa sesuai inginmu."
Ikatan atas dibuka, pendar emas terlihat benderang. Elaine yang ditemui oleh Claus waktu itu turut membantu menghitung hasil yang entah darimana.
"Claus," ia menoleh pada Claus yang bersembunyi di balik kotak kayu. "Kemarilah." katanya.
Claus sedikit ragu mulanya. Tetapi berhubung kawanan ini telah mengobati lukanya, ia mendekat karena menumbuhkan rasa percaya. Memerlukan sedikit waktu sebelum sampai.
"Ini uang untukmu. Jika kau memang tak ingin mengikuti kami."
Claus diberi satu kantung berisi emas. Jelas saja ia terkejut, sampai menjatuhkannya tanpa sengaja. Claus hanya tidak menyangka akan diberi harta sebanyak itu. Apalagi mereka tidak saling mengenal sebelumnya.
Wanita itu mengambil kantung dan membereskan koin emas yang tercecer. Tanpa banyak bicara ia serahkan kembali pada bocah itu.
"Kenapa kau memberiku?" Tanya Claus.
"Aku hanya bisa melakukan ini. Ambillah."
Kantung diletakkan di tanah. Claus diberi pilihan untuk mengambilnya atau tidak. Bocah itu menelan ludah, ia sedang ditatap banyak orang.
"Aku ... memikirkannya semalam. Kau benar, aku sudah tidak punya tempat untuk pulang. Jadi aku ... "
" ... ingin ikut bersama kami?"
Claus mengangguk. Lagipula ia juga tak tahu hendak kemana bila memang benar pergi dari sini. Mereka sudah mengatakan itu kemarin, dan kenyataan tersebut harus diterima Claus cepat atau lambat; dia hanya sendirian di dunia ini.
"Aku tidak keberatan." Anggota lain berbicara. Sebelum ia mengarahkan tatapan kepada Elaine di sebelahnya.
"Ikut denganku sebentar, bocah."
Claus mengikuti langkah kaki wanita berambut hijau. Mereka menepi ke arah pepohonan.
"Dengar, perjalanan kami selalu penuh dengan bahaya. Kau yakin?"
Claus mengangguk. Ia pikir ini lebih baik daripada tidak punya siapa-siapa. Pola pikir sederhana seorang anak-anak.
"Kami selalu dekat dengan kematian, kau tahu kelompok kami menentang pemerintahan."
Claus tahu itu sedari awal, jadi ia pikir tidak ada masalah ketika memutuskan tujuan baru hidupnya.
"Aku tahu."
"Jangan salahkan aku bila kau mati."
"I-iya!"
[ Mulai hari ini Claus resmi bergabung dengan Wolfsbane ]
"Panas sekali hari ini."Seorang perempuan berambut pirang membuka kipas, memberi angin untuk dirinya sendiri. Dia sedang berada dalam kereta kuda untuk menghadiri penobatan Pangeran Mahkota. Di jalan, banyak orang bersujud padanya.Ini adalah pemandangan yang biasa dilihat sehari-hari. Mereka yang memiliki kasta tinggi akan lebih dihormati. Bagi mereka yang berstatus tidak lebih tinggi, maka tidak boleh melawan. Aturan harus dipatuhi, yang menentang akan dijatuhi hukuman mati.Kerajaan Lian, begitulah orang menyebutnya. Di sini hukum tersebut berlaku dan menghasilkan pasar budak yang lumayan besar. Kebanyakan budak itu datang dari luar, kemudian mereka perjual-belikan. Beberapa hari lalu terjadi insiden sehingga menghambat pengiriman budak untuk sementara waktu.Termasuk untuk perempuan pirang yang sedang memegang kipas sekarang, Lyla Hviezda. Keluarganya sudah lama mempekerjakan para budak untuk bisnis merek
"Fritz, aku akan pergi."Fritz baru saja menyalakan lampu minyak di tendanya ketika Elaine datang. Lelaki berambut hitam itu menatap aneh. "Jam segini? Bagaimana aku harus menjawab mereka? Perjalanan kita masih jauh.""Itulah mengapa. Kita harus mundur dulu sementara setelah penyerangan pelelangan besar budak beberapa hari lalu." Ujarnya.Penyerangan pelelangan budak manusia dalam skala besar sudah jelas membuat para bangsawan merasa takut dan mengirimkan pasukan mereka untuk melakukan investigasi menyeluruh. Setidaknya saat ini, mereka harus menyembunyikan diri terlebih dahulu agar tidak ditemukan."Bukankah terlalu berbahaya jika kau pergi sendirian, Elaine?" Fritz tidak mengerti jalan pikirannya. Baru saja Elaine bilang berbahaya, tapi sekarang ia mau pergi seorang diri.Elaine seperti membaca apa yang terlintas di benaknya. "Kau tidak perlu mencemaskanku, kau tahu."Fritz me
"Lukisanmu payah!"Begitulah yang sering didengarnya sedari dulu. Karena itu pula, Josephine berusaha sekuat tenaga untuk membuktikan bahwa perkataan orang-orang itu salah. Melukis adalah nyawa, seni, juga representasi pemikiran serta hati. Orang-orang yang tidak menghargainya hanyalah sampah.Ia bermimpi menjadi pelukis istana, karena itu ia berlatih setiap hari. Objek lukis yang paling umum di Lian adalah Nona Lyla Hviezda. Kecantikannya tersohor hingga negeri tetangga, membuat Lian bangga memilikinya.Setiap hari, ada lukisan baru untuknya dari para seniman. Kemudian para budak itu disuruh memajangnya di setiap sudut kota. Tidak sedikit pula yang menghadiahkan budak mereka untuknya. Meski kebanyakan berakhir ditolak karena ia sangat sibuk. Tetapi tidak ada orang yang membencinya, bahkan para budak sekali pun. Mereka bahkan dengan senang hati menghormatinya.Disaat semua bangsawan suka sekali menyik
Oscar bingung harus mencari kemana lagi. Lyla tidak tampak setelah berlari dengan orang asing itu. Pikirannya sudah sangat buruk. Apa sekarang ada orang yang ingin membunuh Lyla? Kemungkinan kecil, tapi bisa saja terjadi."Kalau kau mencari majikanmu, dia di tempat Tuan Gogh."Ada orang memakai tudung muncul begitu saja di hadapannya. Oscar mengambil sikap waspada, hingga akhirnya ia menurunkan tudungnya. Oscar sangat terkejut."Kau ... " Oscar tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Sebagai anggota badan intelijen, sudah tugasnya untuk mencari informasi, dan yang berdiri di depannya sekarang adalah hal yang mereka bahas sebelum pulang ke kerajaan karena penobatan Pangeran Giovanni.Elaine.Pemimpin Wolfsbane.Poster buronnya tidak pernah dibuat, karena tidak ada yang bisa melukis wajahnya secara jelas. Maka dari itu, hanya sedikit orang yang bisa mengingat bila bertemu
Fritz terheran-heran karena hari ini Claus tidak perlu dipanggil untuk berlatih. Ia pikir Claus masih agak takut, tapi kini sepertinya tidak lagi. Yah, bukankah itu hal yang bagus?"Kau tampak lebih bersemangat hari ini, Claus." Katanya takjub. "Aku yakin jika kau terus berlatih, tidak ada yang tidak mungkin."Claus tidak merespon, ia hanya fokus pada pedang di tangannya. Ucapan Elaine kemarin begitu menamparnya. Jika ia tidak mau berusaha, maka selamanya julukan anak kecil akan terus melekat. Bila kekuatan bisa membuat Elaine berbicara, maka ia hanya harus melakukannya."Tolong, Tuan Fritz."Fritz segera meladeninya. Bakat memang penting, tapi ambisi bisa membuat segalanya terjadi. Hari ini, ia melihat ada ambisi di mata anak kecil itu. Jadi dia pun juga sudah mulai memiliki perasaan terhadap kelompok ini? Fritz tidak pernah merasa lebih bahagia dari ini.Claus mulai mengambil sikap kuda-kuda, bersiap menyerang Fritz. Lelaki dewasa juga tidak boleh len
"Bagaimana dengan rencana kita? Sebagian besar harus tetap berjaga di sini."Jumlah anggota kelompok ini kurang lebih ada dua puluh orang, termasuk Claus. Mereka mempunyai pekerjaan masing-masing dalam misi kali ini. Pelelangan budak akan diadakan tepat pukul delapan malam. Sebagian harus berjaga di tenda, lalu sebagian lainnya pergi ke kota yang jaraknya masih beberapa kilometer dari titik ini."Kami akan pergi. Aku, Fritz dan Daris akan menuju lokasi pelelangan. Kemudian, Byll tolong laporkan keadaan di sekitar sana. Beri tanda dengan sihir anginmu." Elaine menjelaskan. Lalu ia melirik pada satu-satunya anak kecil di sana."Claus, kau juga."Bocah itu terlihat terkejut. "Kenapa?"Elaine menatapnya. "Kuharap kau tidak lupa dengan kata-katamu saat bergabung bersama kami."Claus masih teringat dengan sikap Elaine sebelum mereka berangkat ke Pali. Sangat menyebalkan. Maka dari itu
Nyala sang agni masih terpantul pada kedua matanya. Claus berhenti berlari, menatap ke belakang dengan penuh tanda tanya. Kenapa Elaine belum kembali juga?"Claus, kau mau ke mana?"Fritz panik ketika mengetahui bahwa Claus justru berbalik arah. Ia segera mengejar, bahkan beberapa anggota lain berteriak padanya. Tapi bocah itu sangat lihai menghindar dari tangkapannya. Banyaknya ranting atau semak bukan penghalang berarti baginya. Sesuatu menghentikan Fritz, ia terkejut saat melihat siapa yang menahannya."Fora?""Lama tidak berjumpa, Fritz. Sekarang, kau harus tidur dulu." ***Elaine menatap tetesan darah di sekelilingnya. Kulitnya tergores di beberapa bagian, tapi bukan hal yang besar. Namun jika seperti ini terus, tentu bukanlah hal yang baik. Ia juga punya batas. Ya
Lyla penasaran dengan Carla; Elaine. Ia masih tidak percaya bahwa orang yang ditemuinya dahulu adalah pimpinan kelompok Wolfsbane. Selama ini yang ia dengar bahwa mereka hanya suka merampok bangsawan dan membuat kerugian."Nona, jangan melamun. Apa ada yang bisa Fora bantu?"Kini mereka sedang berada di taman belakang. Fora menunjukkan beberapa sihirnya untuk menghibur Lyla, tapi sepertinya dia tidak tertarik."Sekarang jam makan siang, Fora tidak lapar?" Tanya Lyla."Hahaha, penyihir hanya memakan energi alam. Nona lupa, ya?" Fora tertawa. Lyla tersenyum, tidak mengindahkan. Ia memang hanya mencari-cari alasan."Oh iya, Nona. Aku juga telah menjalankan tugasku dengan baik! Dia beruntung aku tidak membunuhnya! Terlebih, Tuan Oscar sendiri yang memborgolnya!"Lyla tidak tahu mengapa ia menjadi ragu. Bukankah seharusnya semua penjahat itu sama saja? Namun apa yang ia rasakan
Pangeran Joe kembali dengan membawa hasil buruan begitu banyak. Para pelayan bahkan menatap tidak percaya dengan betapa banyak juga yang harus mereka masak. Tapi tentunya ada satu orang yang sangat bersemangat dengan kabar itu. "Pangeran sangat hebat! Luar biasa, aku akan memasak semuanya!"Pangeran Joe hanya tersenyum tipis ke arah pelayan yang sudah lama dikenalnya itu. "Aku mengandalkan dirimu jika demikian, Uni."Uni memberikan hormat. "Siap, pangeran! Serahkan semuanya pada saya!" Pangeran Joe kemudian pergi, sementara orang-orangnya membereskan peralatan dan lain sebagainya. Ia bilang hendak beristirahat dulu akibat lelah. Uni yang berapi-api lantas segera menyingsingkan lengan pakaiannya ketika bahan makanan mulai dibawa ke dapur oleh pelayan laki-laki. Dia tidak akan kalah hari ini! Kemarin dia sudah bisa menyiapkan perbekalan dengan sempurna untuk Pangeran Joe, berikutnya pasti juga berhasil! Keberuntungan sedang ada di pihaknya sekarang, ia tidak boleh menyia-nyiakannya.
"Lihat, ada seseorang!"Para nelayan berkumpul di sekitar garis pantai ketika mendengar sebuah seruan. Pagi ini mereka baru saja kembali dari laut dan menemukan seorang lelaki yang tak sadarkan diri di tempat ini. Saat ada seorang nelayan yang memeriksanya, ia masih bernapas. Maka akhirnya diputuskan bahwa tubuh itu akan diletakkan di salah satu rumah nelayan hingga siuman."Dia pasti orang asing karena kita tidak pernah melihatnya, apa kita harus menghubungi pejabat setempat?""Kau benar, dia mungkin mata-mata. Tapi kita harus menanyainya beberapa hal terlebih dahulu. Kita tunggu sampai dia sadar."Orang tersebut sadar setelah dua hari, ia tampak begitu lemah ketika membuka sepasang matanya. Ia terbangun di tempat asing, merasa pusing hingga akhirnya memegangi kepalanya. Saat duduk, ia melihat ada orang lain yang tak jauh darinya dan memutuskan untuk bertanya. "Aku di mana?""Kau berada di Yilan." Jawabnya. "Kau sendiri siapa? Apakah kau mata-mata?""Ah, bukan, namaku—"Orang itu in
"Selamat datang, Lyla Hviezda."Lyla membungkuk hormat pada lelaki yang menyambut kedatangannya ke kediaman Ratte. "Hormat saya, Tuan Voic."Voic, lelaki itu hanya tersenyum. "Jangan begitu formal, Lyla. Panggil aku Voic saja."Lyla mengangkat kepala, memberi gestur tangan kepada Oscar yang tengah membawa suatu kotak. Lantas pelayannya itu memberikan benda persegi tersebut kepada Voic. "Sedikit oleh-oleh dari Lian, harap Tuan berkenan dengan pemberian dari Nona Lyla.""Oh." Voic mengambil kotak itu sendiri karena tidak begitu besar, dan ketika memegangnya memang tidaklah berat. "Tidak perlu repot-repot, tapi terima kasih."Voic kemudian memandu mereka menuju ruangan besar. Sudah banyak bangsawan dari berbagai penjuru negeri yang hadir. Lyla duduk di sebuah kursi, bersama Oscar yang berdiri di belakangnya. Selayaknya pesta lain, semua orang tampak bersenang-senang di tempat ini. Ada yang mengobrol saja, atau mulai melangkah menuju lantai d
"Pekerja baru?""Iya. Dia adalah budak yang menghilang sewaktu pengiriman saat itu akibat Wolfsbane."Lyla pulang kembali ke kediaman Hviezda, mendapati ada seorang anak kecil yang ada di salah satu kamar budak. Oscar terpaksa mengunci pintu karena suaranya sangat mengganggu. Lyla yang kasihan akhirnya meminta lelaki itu membukakannya."Bagaimanapun dia masih anak-anak, Oscar."Mau tak mau akhirnya Oscar menurut. Anak itu langsung keluar dan tak sengaja terjatuh karena pintunya yang tiba-tiba terbuka."Saya tidak mengerti mengapa Anda ingin budak anak-anak seperti ini.""Kau juga sama dulu."Oscar mendecih pelan. Apalagi ketika melihat Lyla justru mendekat pada anak itu dan memeluknya. "Tenang, aku tidak akan menyakitimu."Bocah itu mulai tenang, lalu mereka kemudian berbicara beberapa hal. Hanya dengan b
Claus berlari.Mengapa orang dewasa selalu saja bersikap seenaknya? Ia tidak mengerti dan tidak mau mengerti. Berkali-kali ia terjatuh karena tidak memperhatikan jalan. Ketika kakinya telah menjerit kesakitan, alam telah berganti tayang. Claus lelah berlarian tanpa tujuan. Pada akhirnya ia pingsan.Ketika ia terbangun, bias cahaya mengenai permukaan kulitnya dari sebuah pintu yang terbuka. Tidak ada dingin menyapa, karena sebuah selimut diletakkan di atas tubuhnya. Dinding kayu terlihat ketika ia mengamati. Di mana ia berada saat ini?"Kau sudah bangun?"Seorang lelaki datang memberi salam dan bertanya. Nampan berisi sarapan ia letakkan di atas meja dekatnya. Claus merasa pernah berjumpa dengannya, tapi ia tak begitu mengingatnya."Katakan siapa namamu. Bisa repot kalau kau anak hilang dan sedang dicari orang tuamu."Nama?Claus tidak bisa menging
"Tidak, aku lupa membeli telur!"Uni segera berlari setelah mengecek persediaan bahan makanan di dapur istana. Pangeran Joe sangat suka makan telur dan daging, itulah alasannya. Uni memang belum secakap mendiang ibunya dalam melakukan segala sesuatunya. Salah satunya adalah sifat pelupanya ini."Jangan lari, Uni." Peringat Hilda, salah satu rekannya. Namun Uni telah menghilang terlebih dahulu di balik pintu. Hilda hanya menggeleng pelan sembari melanjutkan pekerjaannya kembali."Telur, telur!"Uni sudah hampir gila. Pangeran Joe sedang dilukis oleh Josephine di halaman belakang bersama Nona Lyla. Uni harus kembali sebelum mereka selesai. Tapi ia tidak yakin akan sanggup atau tidak. Ah, sudahlah! Rasanya otaknya makin buntu bila kian dipikirkan.Ia berlari begitu kencang hingga membuat beberapa orang menatapnya heran. Tidak berhati-hati mengendalikan laju lari, Uni tidak sempat berhenti ket
Yue dan Leo belum melihat tanda-tanda keberadaan Elaine meski telah mengalahkan para prajurit yang berjaga di sekitar menara. Mereka kebetulan bersimpangan dan bertemu. "Kau menemukan sesuatu?" "Belum, aku tidak melihat yang lain. Sebaiknya kita tetap di sini sambil menunggu sinyal." Keduanya mendengar sesuatu seperti suara tawa. Agak sedikit jauh dari posisi mereka, ada seseorang yang datang sembari menyeret tubuh manusia. Orang aneh itu mengenakan jubah dan membawa tas kulit di pinggangnya. Fanla yang sedang membawa mayat Elaine berhenti sejenak setelah merasakan ada sesuatu di sekitarnya. Dari dua arah berlawanan, ada beberapa benda tajam melayang ke arahnya. Fanla menghindar dengan baik, kemudian menilik siapa yang berani menghalangi jalannya. "Mau kau bawa ke mana Elaine?" Fanla menyeringai. Jadi rupanya mereka adalah teman Elaine; mayat yang tengah ia bawa ini. Fanla mengeluarkan sebuah benda magis dari kantungnya, kemudian menarik kedua orang yang menghadangnya barusan. "
"Fanla, apa yang kau lakukan?!"Fora kesal karena Fanla melakukan hal yang tidak berguna dengan membawanya keluar dari ruang penuh kabut racun itu. Mereka berada di lorong depan ruangan tersebut, melihat sisa kabut menyelinap melalui celah bawah pintu. Apa Fanla pikir ia lemah dan bisa dikalahkan oleh racun Elaine?"Fora, aku tidak ingin terjadi sesuatu padamu. Kau adalah temanku." ujarnya menjelaskan maksud tindakannya tadi."Bagaimana kalau Elaine kabur?!""Tidak mungkin, ia sudah kehilangan banyak darah. Kita tunggu sampai kabut racunnya hilang."Fora menunjuk-nunjuk wajahnya. "Lalu kau menyuruhku diam saja, begitu? Aku yang bertanggung jawab atas semua ini. Aku tidak mau mengecewakan Pangeran Joe.""Fora," panggil Fanla. "Kau tidak bisa melakukan semuanya sendirian. Aku heran kenapa kau bahkan melarang Oscar ikut campur.""Manusia itu," Fora menghadap
Byll mengamati keadaan sekitar terlebih dahulu. Menara barat terlihat sepi, ada yang tidak beres. Mungkinkah mereka mengganti formasi untuk berjaga? Tapi melihat situasi kerajaan, rasanya itu hampir tidak mungkin.Ia juga belum berjumpa dengan Yue atau pun Leo. Prioritasnya sekarang adalah mencari Elaine terlebih dahulu. Ia tidak boleh lengah barang sedikit pun. Baru beberapa langkah berjalan, ia terhenti.Oscar rupanya sudah menunggunya di balik dinding."Byll Galsch, mari selesaikan pertarungan kita waktu itu."Byll melihat Oscar membawa senjata yang sama seperti bertahun-tahun silam. Sebuah pedang yang tampak tajam dan mengkilat, serta rubi yang berada di gagangnya. Aura kehitaman menguar ketika Byll menangkapnya dengan retina.Sama seperti waktu itu.Byll mengeluarkan sihir anginnya secepat yang ia bisa, tetapi Oscar terlebih dulu hendak menebasnya. Beruntung Byll dapa