"Fritz, aku akan pergi."
Fritz baru saja menyalakan lampu minyak di tendanya ketika Elaine datang. Lelaki berambut hitam itu menatap aneh. "Jam segini? Bagaimana aku harus menjawab mereka? Perjalanan kita masih jauh."
"Itulah mengapa. Kita harus mundur dulu sementara setelah penyerangan pelelangan besar budak beberapa hari lalu." Ujarnya.
Penyerangan pelelangan budak manusia dalam skala besar sudah jelas membuat para bangsawan merasa takut dan mengirimkan pasukan mereka untuk melakukan investigasi menyeluruh. Setidaknya saat ini, mereka harus menyembunyikan diri terlebih dahulu agar tidak ditemukan.
"Bukankah terlalu berbahaya jika kau pergi sendirian, Elaine?" Fritz tidak mengerti jalan pikirannya. Baru saja Elaine bilang berbahaya, tapi sekarang ia mau pergi seorang diri.
Elaine seperti membaca apa yang terlintas di benaknya. "Kau tidak perlu mencemaskanku, kau tahu."
Fritz menghela napas. "Tetap saja, aku tidak bisa membiarkanmu pergi sendirian. Aku akan ikut bersamamu."
"Lalu siapa yang akan menjaga kelompok ini? Fritz, tolong."
Melihat Elaine sampai memohon, akhirnya membuat Fritz luluh juga. "Baiklah, mau ke mana kau?"
"Lian."
"Kepalamu terbentur sesuatu? Mereka punya banyak pasukan tangguh. Kenapa kau kembali ke sana?"
"Hanya mengumpulkan informasi dan mencari senjata seperti biasa. Kita akan bertemu lagi, aku kirimkan pesan nanti."
Selain terkenal dengan pasukannya yang kuat, Lian juga memiliki persenjataan yang lumayan lengkap. Namun sistem buruk birokrasi dan diskriminasi di sana tidak pernah berhenti. Karena itulah kelompok ini bisa terbentuk, mereka mengumpulkan senjata sendiri dari tanah kelahiran mereka.
Perjalanan ini dimaksudkan agar mereka menjauh sementara dari Lian, karena itu Fritz keberatan bila Elaine memutuskan kembali. Pada akhirnya, ia tetap menghormati keinginan Elaine meski tak rela.
"Percuma saja aku mencegahmu pergi, bukan?" Fritz mengenalnya sejak beberapa tahun ini, Elaine merupakan orang yang cukup keras kepala. Bila ia telah memutuskan sesuatu, maka tidak akan ada kata mundur dalam kamusnya.
"Aku ingin menitipkan sesuatu." Elaine menyerahkan sebuah syal rajut pada Fritz. "Berikan pada Claus. Aku takut dia demam karena udara dingin. Tenang, aku memakai sarung tangan tadi."
Fritz ganti mengasah pedangnya. "Dia masih anak-anak, biarkan ia pergi."
"Claus sendiri yang meminta bergabung, kau tidak dengar?" Elaine membalik pernyataannya dengan mudah, sebab itu adalah fakta. Memang benar Claus yang memutuskan sendiri, dia tidak memaksa; tidak ada seorang pun yang memaksanya.
Berdebat dengan Elaine tidak akan berujung, maka Fritz menyudahi topik. "Hati-hati. Jangan sampai kau ditemukan mereka."
"Baik. Aku pergi dulu." Pamitnya untuk terakhir kali.
Sebenarnya, Elaine cukup peduli pada Claus meski bersikap dingin begitu. Fritz hanya berharap bahwa semua akan baik-baik saja hingga Elaine kembali.
***
"Apa? Dia pergi?"
"Elaine memang suka pergi sendiri. Hanya dia yang bisa melakukannya. Kita harus tetap menjaga kelompok."
Pagi hari ketika mereka membereskan tenda dan perapian, Fritz memberitahu Daris mengenai kepergian Elaine. Jelas saja Daris terkejut mendengarnya. "Kenapa dia tak pamit juga padaku? Apa aku ini orang lain baginya?"
"Mana kutahu." Balas Fritz tidak minat. Mereka harus segera berjalan lagi. Claus juga tampak semangat membantu yang lain meski ia masih anak-anak. Fritz merasa sedih bila mengingat Claus memutuskan bergabung ke kelompok mereka. Apa yang sebenarnya dipikirkan Elaine?
Anak-anak harusnya berada di tempat yang aman. Makan, minum dan bermain tanpa harus memikirkan apa-apa. Menurut informasi yang didapat, Claus juga bukan budak baru. Dia telah lama berada di roda kehidupan menyedihkan itu.
Fritz pikir, yang dilakukan Elaine bukanlah menyelamatkannya. Ia hanya menyeretnya ke dalam lubang yang lain. Fritz khawatir mengenai masa depannya. Akan jadi seperti apa dirinya sepuluh tahun lagi? Tidak ada yang tahu, bukan?
Wolfsbane berhenti di pertengahan lembah setelah seminggu berjalan kaki. Mereka menetapkan sebuah lokasi di dekat hutan sebagai tempat tinggal sementara. Claus tidak menemukan Elaine sejak mereka berangkat, tapi ia juga tidak tahu harus mencari kemana. Jadilah ia membantu sebisanya di kelompok ini.
Hari ini sedikit istimewa. Fritz akan membuka kelas bertarungnya, menantang anggota lain agar menyerangnya dan ia akan menangkisnya dengan pedang. Claus tidak tahu banyak soal seni pedang, tapi itu adalah benda tajam ... jadi sangat beresiko bila menggunakannya sembarangan.
"Hari ini aku tidak akan kalah, Fritz!" Seru Daris, menjadi partisipan pertama di hari itu. Fritz menyanggupi dan mereka memulai latihan mereka.
Claus hanya melihat saja. Bagaimana Daris aktif menyerang, Fritz selalu berhasil menghindar dan melancarkan balasan. Pedang mereka bertumbukan, saling mendorong satu sama lain. Claus jadi sedikit takut, meski ia tahu ini hanya latihan. Beginikah cara mereka meningkatkan kekuatan selama ini? Lalu darimana mereka mendapat pasokan senjata?
Claus memang budak, tapi ia tahu bahwa senjata bukanlah sesuatu yang mudah untuk didapatkan. Mengenyampingkan pemikiran itu, ia lebih ingin mencari Elaine. Bagaimana kalau terjadi sesuatu padanya?
"Claus, apa kau tidak ingin mencoba berlatih pedang?"
Claus terperanjat. Fritz melemparkan sebilah pedang padanya, Claus menangkapnya dengan sekuat tenaga.
"Kau juga harus belajar melindungi dirimu sendiri."
Benar. Claus bergabung dengan mereka bukan hanya untuk menjadi beban dalam kelompok. Dia juga harus berusaha melakukan sesuatu demi mereka. Selain itu, ia akan merasa berguna bila dapat melindungi anggota kelompok ini.
"Baiklah. Tolong ajari aku, Kak Fritz."
"Pegang pedangmu dengan benar terlebih dahulu." Fritz memberi saran sembari membetulkan cara Claus memegang pedang.
Anak kecil itu sangat gugup, tapi ia berusaha memberanikan dirinya. Bila bukan sekarang, kapan lagi? Musuh bisa datang kapan saja, mereka harus selalu dalam keadaan siap.
"Ketika kau melangkah, perhatikan sekitarmu. Pastikan kau tidak salah menginjak."
Claus mengangguk. Penjelasan dari Fritz sangat mudah dimengerti olehnya. Lelaki itu membenahi apa yang kurang dari sikap kuda-kuda, mengayunkan, hingga menebas dengan benar. Anggota lain pun bergantian berlatih untuk meningkatkan kemampuan mereka selama dua minggu berada di sini.
Claus lebih dari paham, hanya mereka yang mampu melindungi diri mereka sendiri.
Berlatih terlalu lama akhirnya membuat semua orang menyelesaikan latihan. Claus masih menengok kanan kiri, mencari Elaine. Ia masih belum terlihat. Sudah dua minggu tidak ada kabar darinya, kemana gerangan perginya?
Ketika Daris lewat di dekatnya, maka ia bertanya. "Daris, di mana Elaine? Mengapa dia masih—"
"Nanti juga dia akan kembali." Pada dasarnya, ia tidak menjawab pertanyaan Claus sejak hari pertama kepergian Elaine. Bocah itu merasa ada sesuatu yang mereka tutupi. Meski demikian, ia tidak berani bertanya lebih jauh lagi.
Seekor burung datang membawa surat kabar saat sore, diterima oleh Daris. Lantas ia segera mengumpulkan para anggota dan menyampaikan isi surat kabar tersebut.
"Pangeran Mahkota Lian, Giovanni dinyatakan telah tiada."
Hening.
Fritz memecahkan suasana sunyi. "Ini di luar dugaan kita. Sekarang Lian pasti akan mengincar kita habis-habisan. Kita harus berpencar."
Dalam setiap kasus, selalu saja Wolfsbane yang disalahkan. Meski mereka membantah, itu tidak akan mengubah pemikiran bangsawan yang selalu mengincar mereka karena selalu membebaskan para budak dan mencuri uang milik para aristokrat.
"Fritz, tapi Elaine tidak ada di sini. Kemana dia?" Tanya anggota yang lain. Claus juga ingin tahu di mana Elaine saat ini. Dia selalu menyendiri, lalu sekarang menghilang tiba-tiba. Bukankah itu agak aneh?
"Ia sedang mengerjakan hal lain, aku harap kalian mengerti."
***
"Kuharap surat kabarnya sudah sampai."
Elaine memandang alam yang sedang berganti tayang. Hari sebentar lagi malam, hanya ada gelap di semua tempat. Ia harus mencari tempat persembunyian.
Kerajaan Lian masih berduka atas kematian Pangeran Giovanni. Ia diam-diam pergi ke Lian untuk mengumpulkan informasi. Bila kelompok bergerak dalam jumlah banyak ke tempat ini akan terlalu beresiko, lebih baik bila ia pergi seorang diri dalam senyap.
Membenahi tudungnya, ia memutuskan mencari tempat persembunyian malam itu. Jalanan sedikit ramai, ia harus berhati-hati agar tidak terlihat mencurigakan. Melangkah perlahan ke tempat sepi di sebuah taman, ia merasa agak lega.
Ternyata, sudah ada orang lain yang datang mengenakan tudung sama sepertinya. Ia duduk di bangku taman dan terdengar sesenggukan. Elaine harus tetap waspada, maka ia diam saja, walau sepertinya orang itu telah menyadari kehadirannya
"Maaf, kau ingin duduk di sini?" Suara lembut terdengar oleh Elaine. Rupanya dia seorang perempuan. Apa yang dia lakukan di pada jam seperti ini?
" ... "
Sebenernya, Elaine tidak ingin ... namun ia jadi tidak tega membiarkannya sendirian. Ini sudah malam, bagaimana jika terjadi sesuatu padanya? Bisa saja ada penjahat yang muncul secara tiba-tiba, maka ia memutuskan untuk menemaninya hingga pulang.
"Aku tidak akan duduk di sebelahmu, jadi aku berdiri di sini." Kata Elaine.
"Tidak apa."
Perempuan asing itu menunduk. Meski Elaine tak bisa melihat wajahnya, ia tahu bahwa ada kesedihan yang ia sembunyikan.
"Aku baru saja kehilangan seseorang." ujarnya pelan. "Aku tidak pernah menyangka akan sesedih ini setelah kematian orang tuaku."
Elaine mendengarkannya dengan seksama. Ia juga tahu rasanya kehilangan, jadi ia tak akan berkomentar banyak. Setiap orang hanya butuh waktu untuk melaluinya. Sebentar, mau pun lama itu sama saja.
"Kematian akan datang pada semua orang. Hal paling penting adalah apa yang telah mereka lakukan untuk orang banyak. Bukankah begitu?" Elaine memberikan sedikit dorongan padanya. "Kalau kau percaya dia orang baik, maka itu pasti benar."
Perempuan itu mengangguk perlahan, kedua tangannya terangkat untuk mengusap—mungkin, mungkin saja air matanya karena ia tadi sesenggukan. Kini suara itu telah sirna, entah kemana.
"Terima kasih. Maaf, aku belum bertanya, siapa namamu?"
"Namaku E—" Elaine hampir lupa tidak boleh menyebutkan namanya. "Namaku Carla."
"Terima kasih sudah menghiburku. Apa ada sesuatu yang kau inginkan?"
"Tidak. Aku harus pergi."
"Ah, tunggu!" Orang asing itu menahannya, hingga tidak sengaja membuat tudung Elaine terbuka. Elaine berusaha menaikkannya kembali, tapi perempuan itu tidak mau melepaskannya.
"Aku benar-benar punya urusan penting sekarang."
"Tidak, aku harus berterimakasih padamu dengan benar."
Kain yang menutupi wajahnya turun. Elaine terbeliak melihat siapa yang ia ajak bicara dari tadi.
Lyla Hviezda.
Kecantikannya terkenal kemana-mana, hingga membuat banyak pelukis dari negeri seberang ingin mengabadikan potretnya dalam goresan tinta berwarna. Karena itu, merupakan hal yang wajar bila berasumsi bahwa semua orang pasti mengetahui wajahnya.
"Nona! Saya mencari Anda!"
Dari kejauhan, ada seseorang yang berlari kencang ke arah mereka. Lyla menarik tangan Elaine yang tertutupi sarung tangan, lalu berlari ke arah berlawanan.
"Kita pergi dulu, Carla!"
Elaine terpaksa mengikuti langkahnya.
"Lukisanmu payah!"Begitulah yang sering didengarnya sedari dulu. Karena itu pula, Josephine berusaha sekuat tenaga untuk membuktikan bahwa perkataan orang-orang itu salah. Melukis adalah nyawa, seni, juga representasi pemikiran serta hati. Orang-orang yang tidak menghargainya hanyalah sampah.Ia bermimpi menjadi pelukis istana, karena itu ia berlatih setiap hari. Objek lukis yang paling umum di Lian adalah Nona Lyla Hviezda. Kecantikannya tersohor hingga negeri tetangga, membuat Lian bangga memilikinya.Setiap hari, ada lukisan baru untuknya dari para seniman. Kemudian para budak itu disuruh memajangnya di setiap sudut kota. Tidak sedikit pula yang menghadiahkan budak mereka untuknya. Meski kebanyakan berakhir ditolak karena ia sangat sibuk. Tetapi tidak ada orang yang membencinya, bahkan para budak sekali pun. Mereka bahkan dengan senang hati menghormatinya.Disaat semua bangsawan suka sekali menyik
Oscar bingung harus mencari kemana lagi. Lyla tidak tampak setelah berlari dengan orang asing itu. Pikirannya sudah sangat buruk. Apa sekarang ada orang yang ingin membunuh Lyla? Kemungkinan kecil, tapi bisa saja terjadi."Kalau kau mencari majikanmu, dia di tempat Tuan Gogh."Ada orang memakai tudung muncul begitu saja di hadapannya. Oscar mengambil sikap waspada, hingga akhirnya ia menurunkan tudungnya. Oscar sangat terkejut."Kau ... " Oscar tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Sebagai anggota badan intelijen, sudah tugasnya untuk mencari informasi, dan yang berdiri di depannya sekarang adalah hal yang mereka bahas sebelum pulang ke kerajaan karena penobatan Pangeran Giovanni.Elaine.Pemimpin Wolfsbane.Poster buronnya tidak pernah dibuat, karena tidak ada yang bisa melukis wajahnya secara jelas. Maka dari itu, hanya sedikit orang yang bisa mengingat bila bertemu
Fritz terheran-heran karena hari ini Claus tidak perlu dipanggil untuk berlatih. Ia pikir Claus masih agak takut, tapi kini sepertinya tidak lagi. Yah, bukankah itu hal yang bagus?"Kau tampak lebih bersemangat hari ini, Claus." Katanya takjub. "Aku yakin jika kau terus berlatih, tidak ada yang tidak mungkin."Claus tidak merespon, ia hanya fokus pada pedang di tangannya. Ucapan Elaine kemarin begitu menamparnya. Jika ia tidak mau berusaha, maka selamanya julukan anak kecil akan terus melekat. Bila kekuatan bisa membuat Elaine berbicara, maka ia hanya harus melakukannya."Tolong, Tuan Fritz."Fritz segera meladeninya. Bakat memang penting, tapi ambisi bisa membuat segalanya terjadi. Hari ini, ia melihat ada ambisi di mata anak kecil itu. Jadi dia pun juga sudah mulai memiliki perasaan terhadap kelompok ini? Fritz tidak pernah merasa lebih bahagia dari ini.Claus mulai mengambil sikap kuda-kuda, bersiap menyerang Fritz. Lelaki dewasa juga tidak boleh len
"Bagaimana dengan rencana kita? Sebagian besar harus tetap berjaga di sini."Jumlah anggota kelompok ini kurang lebih ada dua puluh orang, termasuk Claus. Mereka mempunyai pekerjaan masing-masing dalam misi kali ini. Pelelangan budak akan diadakan tepat pukul delapan malam. Sebagian harus berjaga di tenda, lalu sebagian lainnya pergi ke kota yang jaraknya masih beberapa kilometer dari titik ini."Kami akan pergi. Aku, Fritz dan Daris akan menuju lokasi pelelangan. Kemudian, Byll tolong laporkan keadaan di sekitar sana. Beri tanda dengan sihir anginmu." Elaine menjelaskan. Lalu ia melirik pada satu-satunya anak kecil di sana."Claus, kau juga."Bocah itu terlihat terkejut. "Kenapa?"Elaine menatapnya. "Kuharap kau tidak lupa dengan kata-katamu saat bergabung bersama kami."Claus masih teringat dengan sikap Elaine sebelum mereka berangkat ke Pali. Sangat menyebalkan. Maka dari itu
Nyala sang agni masih terpantul pada kedua matanya. Claus berhenti berlari, menatap ke belakang dengan penuh tanda tanya. Kenapa Elaine belum kembali juga?"Claus, kau mau ke mana?"Fritz panik ketika mengetahui bahwa Claus justru berbalik arah. Ia segera mengejar, bahkan beberapa anggota lain berteriak padanya. Tapi bocah itu sangat lihai menghindar dari tangkapannya. Banyaknya ranting atau semak bukan penghalang berarti baginya. Sesuatu menghentikan Fritz, ia terkejut saat melihat siapa yang menahannya."Fora?""Lama tidak berjumpa, Fritz. Sekarang, kau harus tidur dulu." ***Elaine menatap tetesan darah di sekelilingnya. Kulitnya tergores di beberapa bagian, tapi bukan hal yang besar. Namun jika seperti ini terus, tentu bukanlah hal yang baik. Ia juga punya batas. Ya
Lyla penasaran dengan Carla; Elaine. Ia masih tidak percaya bahwa orang yang ditemuinya dahulu adalah pimpinan kelompok Wolfsbane. Selama ini yang ia dengar bahwa mereka hanya suka merampok bangsawan dan membuat kerugian."Nona, jangan melamun. Apa ada yang bisa Fora bantu?"Kini mereka sedang berada di taman belakang. Fora menunjukkan beberapa sihirnya untuk menghibur Lyla, tapi sepertinya dia tidak tertarik."Sekarang jam makan siang, Fora tidak lapar?" Tanya Lyla."Hahaha, penyihir hanya memakan energi alam. Nona lupa, ya?" Fora tertawa. Lyla tersenyum, tidak mengindahkan. Ia memang hanya mencari-cari alasan."Oh iya, Nona. Aku juga telah menjalankan tugasku dengan baik! Dia beruntung aku tidak membunuhnya! Terlebih, Tuan Oscar sendiri yang memborgolnya!"Lyla tidak tahu mengapa ia menjadi ragu. Bukankah seharusnya semua penjahat itu sama saja? Namun apa yang ia rasakan
Lian terletak di lokasi yang strategis, dan semua perdagangan dari kerajaan lain pasti melalui tempat itu. Beberapa kota yang terkenal dari Lian adalah Pali, Malta, dan Hira. Pali merupakan tempat hiburan, Malta adalah pelabuhan, sementara Hira adalah teritori yang terkenal karena hasil peternakan. Wilayah Lian yang luas pun mendukung agar kerajaan itu semakin makmur.Namun berbanding terbalik dengan kemakmuran para bangsawan, manusia yang diperjualbelikan sebagai budak tidak pernah merasakannya. Derajat mereka lebih rendah dari rakyat yang miskin. Selain itu, pajak sangat tinggi. Tidak semua orang mampu membayarnya. Bagi mereka yang tak bisa membayar maka harus menggantinya dengan menjadi budak. Ini adalah hal yang biasa terjadi di zaman ini.Wolfsbane muncul sekitar tiga tahun lalu, untuk menghentikan semua ketidakadilan yang terjadi. Bagaimana, apa, dan siapa saja mereka masih merupakan misteri. Mereka bergerak dalam senyap dan baru-baru
Elaine melihat Ayah dan Ibunya berada di tempat eksekusi. Tidak ada seorang pun yang berusaha menyelamatkan mereka. Justru orang-orang itu bersorak untuk merayakan kematian budak. Bukan hanya orang tuanya, ada beberapa budak lain yang mengalami nasib serupa."Eksekusi! Eksekusi!"Dalam binar mata hijaunya terpantul pemandangan yang begitu menyesakkan dada. Hanya butuh beberapa detik dan semua terjadi begitu cepat. Warna merah menghiasi tempat tersebut, menyisakan kesedihan bagi mereka yang ditinggal.Elaine benci kelemahan. ***Elaine memutuskan mencari Penyihir Kerajaan yang bernama Fora untuk belajar sihir. Awalnya Fora juga tidak mau mengajarinya, namun berkat usaha keras Elaine, akhirnya ia setuju dengan syarat bahwa Elaine harus bersumpah melindungi Lian sama se
Pangeran Joe kembali dengan membawa hasil buruan begitu banyak. Para pelayan bahkan menatap tidak percaya dengan betapa banyak juga yang harus mereka masak. Tapi tentunya ada satu orang yang sangat bersemangat dengan kabar itu. "Pangeran sangat hebat! Luar biasa, aku akan memasak semuanya!"Pangeran Joe hanya tersenyum tipis ke arah pelayan yang sudah lama dikenalnya itu. "Aku mengandalkan dirimu jika demikian, Uni."Uni memberikan hormat. "Siap, pangeran! Serahkan semuanya pada saya!" Pangeran Joe kemudian pergi, sementara orang-orangnya membereskan peralatan dan lain sebagainya. Ia bilang hendak beristirahat dulu akibat lelah. Uni yang berapi-api lantas segera menyingsingkan lengan pakaiannya ketika bahan makanan mulai dibawa ke dapur oleh pelayan laki-laki. Dia tidak akan kalah hari ini! Kemarin dia sudah bisa menyiapkan perbekalan dengan sempurna untuk Pangeran Joe, berikutnya pasti juga berhasil! Keberuntungan sedang ada di pihaknya sekarang, ia tidak boleh menyia-nyiakannya.
"Lihat, ada seseorang!"Para nelayan berkumpul di sekitar garis pantai ketika mendengar sebuah seruan. Pagi ini mereka baru saja kembali dari laut dan menemukan seorang lelaki yang tak sadarkan diri di tempat ini. Saat ada seorang nelayan yang memeriksanya, ia masih bernapas. Maka akhirnya diputuskan bahwa tubuh itu akan diletakkan di salah satu rumah nelayan hingga siuman."Dia pasti orang asing karena kita tidak pernah melihatnya, apa kita harus menghubungi pejabat setempat?""Kau benar, dia mungkin mata-mata. Tapi kita harus menanyainya beberapa hal terlebih dahulu. Kita tunggu sampai dia sadar."Orang tersebut sadar setelah dua hari, ia tampak begitu lemah ketika membuka sepasang matanya. Ia terbangun di tempat asing, merasa pusing hingga akhirnya memegangi kepalanya. Saat duduk, ia melihat ada orang lain yang tak jauh darinya dan memutuskan untuk bertanya. "Aku di mana?""Kau berada di Yilan." Jawabnya. "Kau sendiri siapa? Apakah kau mata-mata?""Ah, bukan, namaku—"Orang itu in
"Selamat datang, Lyla Hviezda."Lyla membungkuk hormat pada lelaki yang menyambut kedatangannya ke kediaman Ratte. "Hormat saya, Tuan Voic."Voic, lelaki itu hanya tersenyum. "Jangan begitu formal, Lyla. Panggil aku Voic saja."Lyla mengangkat kepala, memberi gestur tangan kepada Oscar yang tengah membawa suatu kotak. Lantas pelayannya itu memberikan benda persegi tersebut kepada Voic. "Sedikit oleh-oleh dari Lian, harap Tuan berkenan dengan pemberian dari Nona Lyla.""Oh." Voic mengambil kotak itu sendiri karena tidak begitu besar, dan ketika memegangnya memang tidaklah berat. "Tidak perlu repot-repot, tapi terima kasih."Voic kemudian memandu mereka menuju ruangan besar. Sudah banyak bangsawan dari berbagai penjuru negeri yang hadir. Lyla duduk di sebuah kursi, bersama Oscar yang berdiri di belakangnya. Selayaknya pesta lain, semua orang tampak bersenang-senang di tempat ini. Ada yang mengobrol saja, atau mulai melangkah menuju lantai d
"Pekerja baru?""Iya. Dia adalah budak yang menghilang sewaktu pengiriman saat itu akibat Wolfsbane."Lyla pulang kembali ke kediaman Hviezda, mendapati ada seorang anak kecil yang ada di salah satu kamar budak. Oscar terpaksa mengunci pintu karena suaranya sangat mengganggu. Lyla yang kasihan akhirnya meminta lelaki itu membukakannya."Bagaimanapun dia masih anak-anak, Oscar."Mau tak mau akhirnya Oscar menurut. Anak itu langsung keluar dan tak sengaja terjatuh karena pintunya yang tiba-tiba terbuka."Saya tidak mengerti mengapa Anda ingin budak anak-anak seperti ini.""Kau juga sama dulu."Oscar mendecih pelan. Apalagi ketika melihat Lyla justru mendekat pada anak itu dan memeluknya. "Tenang, aku tidak akan menyakitimu."Bocah itu mulai tenang, lalu mereka kemudian berbicara beberapa hal. Hanya dengan b
Claus berlari.Mengapa orang dewasa selalu saja bersikap seenaknya? Ia tidak mengerti dan tidak mau mengerti. Berkali-kali ia terjatuh karena tidak memperhatikan jalan. Ketika kakinya telah menjerit kesakitan, alam telah berganti tayang. Claus lelah berlarian tanpa tujuan. Pada akhirnya ia pingsan.Ketika ia terbangun, bias cahaya mengenai permukaan kulitnya dari sebuah pintu yang terbuka. Tidak ada dingin menyapa, karena sebuah selimut diletakkan di atas tubuhnya. Dinding kayu terlihat ketika ia mengamati. Di mana ia berada saat ini?"Kau sudah bangun?"Seorang lelaki datang memberi salam dan bertanya. Nampan berisi sarapan ia letakkan di atas meja dekatnya. Claus merasa pernah berjumpa dengannya, tapi ia tak begitu mengingatnya."Katakan siapa namamu. Bisa repot kalau kau anak hilang dan sedang dicari orang tuamu."Nama?Claus tidak bisa menging
"Tidak, aku lupa membeli telur!"Uni segera berlari setelah mengecek persediaan bahan makanan di dapur istana. Pangeran Joe sangat suka makan telur dan daging, itulah alasannya. Uni memang belum secakap mendiang ibunya dalam melakukan segala sesuatunya. Salah satunya adalah sifat pelupanya ini."Jangan lari, Uni." Peringat Hilda, salah satu rekannya. Namun Uni telah menghilang terlebih dahulu di balik pintu. Hilda hanya menggeleng pelan sembari melanjutkan pekerjaannya kembali."Telur, telur!"Uni sudah hampir gila. Pangeran Joe sedang dilukis oleh Josephine di halaman belakang bersama Nona Lyla. Uni harus kembali sebelum mereka selesai. Tapi ia tidak yakin akan sanggup atau tidak. Ah, sudahlah! Rasanya otaknya makin buntu bila kian dipikirkan.Ia berlari begitu kencang hingga membuat beberapa orang menatapnya heran. Tidak berhati-hati mengendalikan laju lari, Uni tidak sempat berhenti ket
Yue dan Leo belum melihat tanda-tanda keberadaan Elaine meski telah mengalahkan para prajurit yang berjaga di sekitar menara. Mereka kebetulan bersimpangan dan bertemu. "Kau menemukan sesuatu?" "Belum, aku tidak melihat yang lain. Sebaiknya kita tetap di sini sambil menunggu sinyal." Keduanya mendengar sesuatu seperti suara tawa. Agak sedikit jauh dari posisi mereka, ada seseorang yang datang sembari menyeret tubuh manusia. Orang aneh itu mengenakan jubah dan membawa tas kulit di pinggangnya. Fanla yang sedang membawa mayat Elaine berhenti sejenak setelah merasakan ada sesuatu di sekitarnya. Dari dua arah berlawanan, ada beberapa benda tajam melayang ke arahnya. Fanla menghindar dengan baik, kemudian menilik siapa yang berani menghalangi jalannya. "Mau kau bawa ke mana Elaine?" Fanla menyeringai. Jadi rupanya mereka adalah teman Elaine; mayat yang tengah ia bawa ini. Fanla mengeluarkan sebuah benda magis dari kantungnya, kemudian menarik kedua orang yang menghadangnya barusan. "
"Fanla, apa yang kau lakukan?!"Fora kesal karena Fanla melakukan hal yang tidak berguna dengan membawanya keluar dari ruang penuh kabut racun itu. Mereka berada di lorong depan ruangan tersebut, melihat sisa kabut menyelinap melalui celah bawah pintu. Apa Fanla pikir ia lemah dan bisa dikalahkan oleh racun Elaine?"Fora, aku tidak ingin terjadi sesuatu padamu. Kau adalah temanku." ujarnya menjelaskan maksud tindakannya tadi."Bagaimana kalau Elaine kabur?!""Tidak mungkin, ia sudah kehilangan banyak darah. Kita tunggu sampai kabut racunnya hilang."Fora menunjuk-nunjuk wajahnya. "Lalu kau menyuruhku diam saja, begitu? Aku yang bertanggung jawab atas semua ini. Aku tidak mau mengecewakan Pangeran Joe.""Fora," panggil Fanla. "Kau tidak bisa melakukan semuanya sendirian. Aku heran kenapa kau bahkan melarang Oscar ikut campur.""Manusia itu," Fora menghadap
Byll mengamati keadaan sekitar terlebih dahulu. Menara barat terlihat sepi, ada yang tidak beres. Mungkinkah mereka mengganti formasi untuk berjaga? Tapi melihat situasi kerajaan, rasanya itu hampir tidak mungkin.Ia juga belum berjumpa dengan Yue atau pun Leo. Prioritasnya sekarang adalah mencari Elaine terlebih dahulu. Ia tidak boleh lengah barang sedikit pun. Baru beberapa langkah berjalan, ia terhenti.Oscar rupanya sudah menunggunya di balik dinding."Byll Galsch, mari selesaikan pertarungan kita waktu itu."Byll melihat Oscar membawa senjata yang sama seperti bertahun-tahun silam. Sebuah pedang yang tampak tajam dan mengkilat, serta rubi yang berada di gagangnya. Aura kehitaman menguar ketika Byll menangkapnya dengan retina.Sama seperti waktu itu.Byll mengeluarkan sihir anginnya secepat yang ia bisa, tetapi Oscar terlebih dulu hendak menebasnya. Beruntung Byll dapa