Sementara Liam sedang bersiap-siap, Belle duduk tercenung dengan pandangan yang kosong. Air matanya terus mengalir memikirkan Marlon yang mungkin sangat menderita. Bagaimanapun Belle tidak melupakan bahwa dirinya masih istri sah paman Marlon, dan kesedihannya tentu akan menjadi rasa sakit untuknya. Paman Marlon pasti sangat sedih, bahkan tidak dapat Belle bayangkan seperti apa keadaannya, tetapi ia kekeuh juga tidak ingin pulang ke rumah.
Hal itu jelas membuat Liam bingung.
Sudah berulang kali Liam mengajak Belle untuk ikut bersamanya melayat, sebagai bentuk penghormatan terhadap nyonya Gloe untuk yang terakhir. Namun, Belle menolak, rasa sakitnya yang terlampau besar tidak membuatnya berubah pikiran sedikit saja.
"Bell, aku tahu apa yang kau rasakan." Liam datang, penampilannya yang wibawa selalu membuat Belle kagum.
Gadis itu tersenyum, mencoba terlihat baik-baik saja meski hatinya terasa sakit. "Terima kasih, Liam. Kau memang selalu mengerti aku."
"Kau yakin tidak ikut denganku?" tanyanya sekali lagi memastikan.
Belle menoleh ke arah William yang masih tertidur pulas, lalu mendekatinya dengan bola mata yang berkaca-kaca. "Pergilah, yang aku butuhkan saat ini hanya berada di dekat anakku. William adalah kebahagiaanku."
"Baiklah, aku tinggal dulu ya." Mengusap puncak kepala Belle. Dengan lembut Liam memperlakukannya seolah-olah ia berarti.
Sesaat Liam keluar buru-buru Belle mengintipnya dari jendela, memastikan jika lelaki itu sudah pergi. Sebenarnya, Belle tidak ingin merepotkan siapapun, tetapi sungguh ia tidak ada pilihan selain menerima bantuan Liam. Meski mereka tidak tinggal serumah, tetapi tentu saja Liam sering berkunjung dan membelanjakan keperluan rumah tangga. Belle akui ini adalah sebuah kesalahan, karena secara tidak langsung ia memberikan harapan kepada dokter Liam.
"Maafkan aku dokter Liam, aku masih mencintai paman Marlon, meski rasanya sangat sulit aku terima." Belle berkata lirih.
Setelah dokter Liam tidak terlihat lagi, maka dengan cepat Belle menyiapkan dirinya sendiri. Tidak ada salahnya Belle menghadiri penghormatan terakhir Gloe, hanya saja ia tidak ingin terlihat pergi bersama Liam. Apa jadinya jika orang-orang tahu kehidupan Belle ditanggung oleh Liam? Oh, tentu Belle akan menjaga rahasianya sebaik mungkin.
"Ayo, Sayang! Kita akan menjenguk Nenek untuk yang terakhir kali." Dengan lembut Belle menggendong William, lalu mendekapnya hangat. "Jangan nakal ya."
Untung saja William tidak rewel, sehingga bisa dengan mudah Belle membawanya tanpa takut ketahuan. Penampilannya yang sangat berbeda tentu tidak membuat orang mengenali siapa dirinya. Apalagi nyonya Gloe termasuk seseorang yang terkenal, banyak orang dari segala penjuru hadir, jadi kecil kemungkinan Marlon akan melihatnya.
Kini, Belle duduk di antara para pelayat yang lain. Banyak yang menangis, mengenang seluruh kebaikan nyonya Gloe. Meski selama hidupnya beliau tidak pernah berprilaku baik terhadap Belle, tetapi gadis itu tetap sedih. Air mata Belle menetes mengingat beberapa kejadian yang pernah ia lalui bersama ibu mertua. Hingga matanya mengarah kepada Marlon yang duduk tertunduk, sehingga Belle semakin menangis.
"Belle ..." Marlon menyebut nama Belle di depan mikrofon, dan menangis tersedu-sedu di hadapan mayat ibunya. "Sekarang aku tinggal sendirian."
Istri keduanya Candice yang berada di sebelah Marlon sontak mendelik, saat mendengar rintihan suaminya itu. Kehadirannya yang memang tidak dianggap tidak lagi membuat orang lain heran, jadi mereka biasa saja mendengarnya dan bukan menjadi hal yang aneh.
"Pulanglah, Bell, aku merindukanmu." Marlon mengaitkan jari jemarinya, mengharapkan sesuatu yang tidak pasti.
"Ibu telah meninggal, hanya kau satu-satunya yang aku punya."
"Sungguh, aku sangat menyesal."
"Maafkan aku," katanya menutup pembicaraan.
Setelah itu Candice mengambil mikrofon dan memulai sandiwaranya. Candice yang ahli dalam bermain kata sukses membuat banyak orang menangis. Wanita itu sangat pandai bercerita, bahkan juga mengarang. Candice menunjukkan seolah-olah merasa sangat kehilangan, dan menyayangkan kepergian nyonya Gloe yang amat singkat.
"Begitulah, ada banyak sekali cerita yang ingin aku bagikan pada kalian, tetapi karena waktu yang terbatas jadi hanya sedikit yang bisa aku ceritakan. Intinya aku dan ibu mertua Gloe sangatlah dekat, bahkan kami bagaikan ibu dan anak kandung. Tidak pernah berselisih dan kami saling mengasihi satu sama lain. Sekali lagi aku mencintainya sangat mencintai ibu mertua Gloe."
Riuh rendah suara tepuk tangan terdengar. Seluruh cerita Candice bagaikan terasa nyata dan sangat mengharukan. Namun, semua itu tidak berlaku untuk Liam dan Belle, karena mereka berdua sudah mengetahui siapa Candice yang sebenarnya. Masih menatap ke depan Belle turut menyaksikan tahap demi tahap acara, hingga akhirnya ia melihat paman Marlon mencium dan memeluk Candice. Hati Belle spontan menjerit pilu.
Enggan menunggu acara sampai selesai, Belle pun bangkit meninggalkan pelataran mansion keluarga Marlon Exietera.
"Belle, apa kau di dalam?" tanya Liam sesaat baru tiba, kedua tangannya memegang kantong plastik besar.
"Ya, aku di sini," jawab Belle dari dapur.
"Aku membelikan sesuatu untukmu dan William." Beritahu Liam seraya menaruh buah tangannya di atas meja.
Dengan sebelah alis yang naik Belle mengintip penasaran, dan bertanya. "Boleh aku membukanya?"
"Silakan, dengan senang hati."
Dengan rasa penasaran yang tinggi Belle pun membongkar dua kantong plastik tersebut, batinnya terenyuh saat mendapati beberapa potong pakaian baru. Untuknya dan William. Kepedulian Liam yang sangat besar selalu dapat membuat Belle merasa cukup dengan keadaannya sekarang. Liam tidak hanya memberinya tempat tinggal, makanan, maupun pakaian, tetapi dia juga memberikan kasih sayang. Sungguh! Belle jadi tidak enak.
"Aku memilihnya sendiri, maaf jika tidak cocok." Liam menyengir, kemudian mengambil sepotong kentang yang terhidang.
"Sungguh, aku sangat berterima kasih padamu."
"Tidak, ini bukan apa-apa."
Mengusut dadanya Belle tersenyum penuh haru, tidak seharusnya Liam berbuat seperti ini, tetapi ia juga tidak bisa menolak. Seluruh pemberian Liam semuanya berarti untuk Belle, termasuk pakaian yang baru ia dapat. Setelah menyusun kembali pakaian yang telah dibongkar Belle mendekati Liam, lalu duduk tepat di hadapannya.
"Dokter, maaf, aku sudah merepotkanmu."
"Jujur saja, aku sama sekali tidak merasa terbebani. Aku melakukannya dengan senang hati, Bell, karena melihatmu bahagia adalah caraku untuk membahagiakan diri sendiri." Liam berkata penuh penjiwaan.
Sontak Belle terdiam. Perkataan Liam yang tulus membuatnya menjadi semakin bersalah. Menuang air ke dalam gelas Belle meminumnya secara perlahan, untuk meredakan getaran yang muncul di dada.
"Mungkin, ini akan melukaimu, tapi aku harus mengakuinya." Belle berkata tegas.
Mengangguk sekali Liam tersenyum lebar, semata-mata untuk menyakinkan Belle jika dirinya tidak sepayah itu. "Katakan, Bell."
"Aku masih sangat mencintai paman Marlon, dan aku harap kau mengerti."
"Tidak mengapa, aku sama sekali tidak keberatan mencintai seseorang yang masih mencintai orang lain." Liam menjawab dengan lugas, Belle hanya tersenyum getir.
Beranjak dari tempatnya Belle mengangkut kantong plastik tadi, "aku harus menjenguk William, dia sedang tertidur di kamar."
"Baiklah, aku juga hendak pulang. Ada banyak tugas yang mengintaiku. Kau tahu? Marlon meminta seluruh data terkait pemeriksaan penyakit nyonya Gloe."
Sementara Liam mencuci tangannya di wastafel, Belle mengurungkan langkahnya yang ingin menuju kamar. Mungkin akan lebih baik jika Belle yang mengantar Liam keluar, sebagai bentuk rasa terima kasih.
"Kupikir itu sedikit aneh, karena Marlon juga melakukan beberapa kali check up kepada mayat nyonya Gloe di rumah sakit." Liam terus berkata, kali ini Belle pun juga ikut berpikir.
Apa mungkin paman Marlon belum menerima kepergian ibunya?
[2 tahun kemudian]Hap!Dengan tepat Belle menangkap bola yang William lempar ke arahnya, kini mereka tengah bermain di taman. Dua tahun sudah berlalu. Keduanya masih hidup mandiri tanpa peranan lelaki hebat dalam rumah tangga. Di sini meski Belle bergantung kepada Liam, dokter itu tak meminta timbal balik. Sosoknya sangat dermawan.Terkadang hati kecil Belle mengaku malu. Ingin pergi jauh dari kehidupan Liam, tetapi William membutuhkan kasih sayang ayah. Mengingat mereka sudah cukup dekat bahkan lebih. Itu membuat Belle berat meninggalkan. Walau tidak terikat dengan dirinya, Liam menyayangi William sungguh tulus seperti anak kandung.Bukan sebuah keberuntungan, tetapi keajaiban dari Tuhan yang menatap seluruh kejadian menyakitkan dulu. Tuhan mengirim Liam sebagai antar perantara untuk kedamaian William. Belle harap akan tetap seperti ini. Dia bahagia sekalipun terluka oleh masa. 2 tahun bukan waktu yang sebentar. Rasa sakit itu terus menganga lebar. Tiada he
"Beri aku kesempatan, Bell."Masih kekeuh Belle tetap menggeleng. Sekarang hanya tinggal mereka berdua, Ernest sudah membawa William ke dalam gubuk. Di dada ini rasanya masih penuh, bukan Belle tidak sudi memaafkan, wajah ketus Gloe seakan terus menghantui. Bukankah jika suatu hubungan tak direstui akan sia-sia, untuk apa dipertahankan?"Baiklah, apa yang harus aku lakukan agar kau memaafkanku?" tanyanya sambil menyeka sebutir air mata yang keluar, menatap Belle dengan sabar."Aku ingin kau mengurus perceraian kita, aku tidak ingin kembali."Serius? Oh, ya Tuhan! Kepala Marlon rasanya hendak pecah. Pernyataan itu sangat di luar dugaan. Dia pikir Belle akan meminta sesuatu yang bersifat menghibur. Seperti dulu. Tidak pisah."Berpisah denganmu adalah pilihan terakhir yang tidak aku harapkan ketika maut mendekatiku. Jadi jika kita cerai itu sama saja bunuh diri." Kendati alasannya mengapa bertahan hingga detik ini karena Belle. Dia selalu
Demi terbebas dari pertanyaan yang William berikan Belle memantapkan kembali pada paman Marlon, semata anaknya dapat mengenali sang daddy. Mendapatkan kebahagiaan juga kasih sayang dari kedua orang tua lengkap. Bagaimanapun keadaannya lelaki itu tetap ayah kandung dari William. Dia tidak boleh egois apalagi sampai hati mengorbankan perasaan sang anak.Kini, mereka sudah tiba di kediaman Exietera yang menampung beberapa kenangan, pahit, manis, dan asin. Di mana Belle dapat berpikir lebih luas, menjadi dewasa hingga melahirkan William. Sebagai kekuatannya untuk selalu tersenyum meski hati terluka."Kita mulai dari awal, lupakan semua, aku tidak akan menyiakan kalian." Di sebelahnya Marlon berkata, menaruh tas bawaan Belle, lalu membuka lebar daun pintu. Mempersilakan masuk."Di mana Candice?" tanya Belle sesaat tidak menemukan siapa-siapa, seperti rumah kosong yang baru saja dihuni."Aku membelikannya rumah baru, di sini hanya ada kita bertiga
Seperti sebelum kepergiannya dari rumah Belle bangun 30 menit lebih awal. Memasak makanan kesukaan paman Marlon, serta membuatkan menu sehat untuk anaknya William. Keuletan ibu muda satu anak itu tak dapat diragukan lagi semenjak dua tahun hidup mandiri. Belle bekerja dengan sukses, aroma masakannya sampai membangunkan Marlon yang tertidur lelap karena kelelahan.Belle berjingkat saat merasa embusan napas Marlon di tengkuknya, lantas berbalik dengan cepat. Yang ditatap hanya tersenyum miring. Mentowel hidung bangir Belle, lalu mencomot kentang krispi di atas penggorengan. Lelaki itu makan dengan santai, tak memedulikan tatapan sangar Belle. Kendati Marlon tahu jika istrinya si cerewet, paling benci melihat dirinya mengunyah sebelum basuh muka."Kau jorok sekali, Paman, iewh." Belle menonjok lengan kekar Marlon, lalu memindahkan kentang ke nampan."Bell, ayolah, biarkan aku habiskan sarapanku." Tidak menyerah, Marlon mengejar Belle. Berusaha mengambil
Sejujurnya Belle tak pernah bermimpi setinggi langit, akan tetapi mimpi itu sendiri yang mengejar. Membawanya seperti berada di dalam kisah seorang putri raja berparas cantik jelita. Kini, gaun bersurai sutra membalut tubuh Belle hingga menjulur ke lantai. Elok sekali. Jika ada kata yang lebih bagus dari sempurna, dia dapat menerima. Tepat di hari pernikahan mereka ke tiga tahun, Marlon dan Belle duduk berdampingan. Merayakan pernikahan yang ketiga tahun sebagai bentuk doa restu dari nyonya Gloe.Di depan seluruh tamu paman Marlon mencium bibir Belle, untuk ke sekian kali terhitung sejak pertemuan awal mereka yang secara tidak disengaja. Marlon menginginkan gadis kecil itu. Sedikit berfantasi nakal dengan Belle sehingga tercetus ide melepas status lajangnya dan melangsungkan pernikahan. Dari pernikahan, keduanya menerima hadiah begitu beharga yaitu William yang menjadi bukti cinta mereka di atas suci."Aku masih mencintaimu, selalu ingin mencintai dirimu. Rasa cint
Terhitung sejak perayaan tiga tahun pernikahan mereka, paman Marlon semakin mengerahkan seluruh cintanya pada Belle dan William. Sama sekali tidak perhitungan beliau selalu memberi apapun yang William minta. Kadang Belle merasa lelaki itu berlebihan. Memanjakan anak boleh saja, tetapi jangan keterluan. Belle takut prilaku paman Marlon dapat merusak otak anaknya sehingga menjadi bodoh.Dug!"Aaw!" Refleks Belle memegang jidat lebarnya, bersamaan dengan Marlon datang untuk memastikan."Apa kau baik-baik saja?" tanyanya sambil mengusap beberapa kali, air muka beliau tampak pucat. Padahal hanya kepentok bola William.Entah kenapa, melihat paman Marlon seperti ini mengingatkan Belle pada dokter Liam yang sangat perhatian. Aneh ya? Batin Belle meringis, lantas menggeleng pelan dan tersenyum.Marlon menghela Belle menuju bangku taman, memberikan minum sambil memerhatikan William yang bermain bola sendirian. Firasatnya mengatakan jika Belle tak baik-baik saja t
"Ya, aku ..." Suara Belle tercekat, sulit menerangkan yang sebenarnya pada paman Marlon, dia sungguh takut."Aku berjanji tidak akan marah. Aku sangat mengerti Bell, jujurlah." Mata paman Marlon menatapnya lembut, sabar menantikan sebuah jawaban."Ya, kupikir aku juga memiliki rasa pada dokter Liam. Maafkan aku."Sejumput air mata jatuh membasahi kedua pipi Belle, tak seharusnya dia mempunyai perasaan aneh tersebut. Apalagi mencintai dua lelaki dalam satu hati, rasanya sangatlah kurang waras mengingat statusnya sendiri. Masih menjadi istri sah Marlon, terlebih Belle sangat mencintai lelaki tua itu. Entah perasaan macam apa ini? Di mana dirinya merasa seperti wanita murahan yang mencintai dua lelaki.Untuk beberapa saat Marlon terdiam, diikuti dengan tarikan di kedua sudut bibirnya. Senyuman terpaksa. Kemudian lelaki itu membelai halus kepala Belle, menyelipkan anak rambutnya, lantas berbalik menyembunyikan air mata."Paman, aku minta maaf." Lagi, Belle
Hampir empat jam Marlon menunggu Belle siuman, rupanya pukulan keras tadi membuat pipi gadis itu membiru. Segala cara sudah dia lakukan selama Belle pingsan. Dengan mengkompres air dingin berikut embusan yang dia berikan agar rasa sakitnya berkurang. Liam dan Rose? Kedua pasangan itu sudah Marlon usir, tidak membiarkan dokter Liam menyentuh wajah Belle."Kau tak seharusnya melindungi Liam sehingga dirimu yang terkena, Bell." Dengan pelan Marlon mengusap dahi Belle, menyeka butiran peluh.Hening.Masih tidak ada jawaban.Faktanya Belle masih belum sadarkan diri entah sampai kapan, Marlon lelah menanti yang tidak pasti. Mengambil napas Marlon pun bangkit saat ingat William, putranya juga sedang sakit. Meski sama-sama tidur, sebagai ayah dia harus bolak balik mengecek untuk memastikan bahwa semuanya aman.Ternyata bocah dua tahun itu sudah bangun, dia duduk di ujung ranjang sambil memandang robot pemberian dokter Liam. Saat Marlon berdiri di had
Undangan pernikahan?Kening Marlon mengernyit saat menemukan selembar kertas undangan di meja depan rumahnya, dengan bingung pria itu pun membukanya dan membaca dalam hati. Alangkah terkejutnya dia begitu melihat nama Gloe Exietera dan Robert Downey yang tertera.Apa-apaan ini, kenapa tidak ada pemberitahuan?Dengan wajah yang merah padam dikuasai amarah Marlon pun masuk ke dalam rumah, mengurungkan niatnya yang hendak pergi kerja. Acara itu tidak boleh dilanjutkan, dia harus bersikeras melarang ibunya agar membatalkan pernikahan tersebut."Belle ...""Isabeau Chambell, kemarilah!""Sayaaang," panggilnya terus menerus.Dari arah dapur Belle datang tergopoh-gopoh, dia baru saja selesai dengan tugasnya, tetapi Marlon sudah berteriak-teriak seperti Tarzan liar. Dengan heran Belle menatap pria itu, karena dia pikir Paman Marlon sudah berangkat kerja sejak tadi."Loh, Paman, ada apa?" tanya Belle panik, apalagi saat melihat wajah Paman Marlon yang menegang, lalu dia pun bertanya lagi. "Buk
Dari samping gadis itu Belle menyikut lengan Rose, tetapi sepertinya gadis itu tampak tidak peduli, entah apa yang ada di pikirannya sampai menerima dua orang pria asing. Dengan senyuman yang manis Rose menampilkan wajah terbaiknya, dia begitu ramah sekali, sementara Belle seperti orang kebingungan."Ngomong-ngomong kalian sudah semester berapa?" tanya salah satu pria dari mereka, kalau tidak salah namanya adalah James."Oh ... Aku semester 4, kemungkinan sebentar lagi akan wisuda." Rose mengerjapkan matanya beberapa kali, Belle bisa melihat dengan jelas jika sahabatnya itu sedang tebar pesona. "Kalau kalian?""Kami berdua sudah kerja," jawab yang satu lagi, namanya kalau tidak salah juga Nial.Rose dan kedua teman barunya itu pun langsung akrab, mereka berbicara dengan panjang kali lebar, bahkan melupakan Belle yang masih duduk di situ. Dengan perasaan yang tidak enak semampunya Belle bersikap biasa saja, dia tahu Rose sakit hati oleh Liam, tetapi tidak seperti ini juga caranya.Masi
Seperti rutinitas pagi biasanya Belle menyiapkan keperluan Paman Marlon dan William sebelum berangkat, wanita berumur 23 tahun itu dengan gesit menjalankan tugas yang sudah menjadi santapannya sehari-hari. Semua itu Belle lakukan dengan hati yang riang dan bahagia.Tidak lupa sebagai istri dan ibu yang baik Belle juga memberikan bekal makanan bergizi, selain untuk kesehatan, tentunya bisa lebih sedikit menghemat. Bukan Belle pelit, hanya saja dia baru menyadari ternyata keuangannya menurun drastis sejak William lahir hingga saat ini."Paman, hari ini makan malam di rumah saja ya," pesan Belle sambil menaruh bekal di hadapan Paman Marlon yang sedang mengenakan sepatu."Kau memasak makanan kesukaanku?" tanyanya."Ah, tidak, aku hanya ingin kau sedikit berhemat saja.""Berhemat?" Kening Marlon mengernyit, tetapi belum sempat dia bertanya lagi Belle sudah berlalu di depan sambil menggandeng William.Sejenak Marlon terdiam, dia melirik bekal yang sudah Belle siapkan di depan matanya. Bekal
Hari ini Marlon sangat badmood, suasana hatinya yang tidak menentu membuat pikiran meracau ke mana-mana, entah apa yang sebenarnya terjadi pada Gloe. Sebagai seorang anak Marlon tahu persis pria seperti apa Edward, dia pasti hanya memanfaatkan ibunya, apalagi perbedaan umur mereka sangatlah jauh.Tetapi yang lebih menjengkelkan Belle malah membela Edward, bahkan mendukung ibunya yang sedang puber kedua itu."Paman, kenapa William belum pulang ya?" Belle bangkit dari duduknya, wajah wanita itu tampak cemas, wajar saja karena sudah hampir pukul 10 malam William juga tidak kunjung pulang."Mungkin saja menginap di rumahnya Rose," jawab Marlon sambil memijat pelipisnya yang mulai terasa berat, dia tidak bisa menutupi betapa bingungnya saat ini, apalagi mengingat sang ibu meminta restu."Tapi teleponku tidak jawab oleh Rose, dokter Liam juga ponselnya tidak aktif," keluhnya benar-benar begitu cemas, dengan gusar Belle pun berjalan ke arah jendela dan mengintipnya sedikit.Enggan menyahut l
Wajah Belle merah padam, Paman Marlon memang paling bisa membuat dirinya tersipu hingga memerah sampai di sekujur tubuhnya. Untuk pertama kali setelah sekian lama menikah pria itu mengajak Belle melakukan sesuatu yang baru, dan memberikan sensasi yang beda terhadap tubuh polosnya tersebut.Menepuk pipinya berulang kali dengan semaksimal mungkin Belle berusaha mengembalikan napas dan pikirannya yang kacau, semua itu berkat ulah Paman Marlon, dengan segala trik dan permainan yang aneh."Kau sudah siap, Sayang?" tanya Marlon sambil membawa segelas teh hangat untuk Belle, sebagai suami yang baik dia tentu tahu apa yang istrinya butuhkan setelah berendam bathtub selama 4 jam.Belle menoleh, tangannya masih menggosokkan handuk pada rambutnya yang basah, lalu dia bertanya. "Aku ingin susu cokelat hangat, Paman.""Oh, iya?" Paman Marlon tampak menggaruk tengkuknya, lalu dia menyengir. "Tidak apa-apa, minum teh saja dulu, biar tubuhmu menjadi hangat."Tanpa persetujuan Belle, dengan cepat Marl
Dengan sempoyongan Marlon pulang sedikit larut, untuk menghilangkan stres yang menikam kepalanya dia berhasil menghabiskan dua botol alkohol, dan sedikit hiburan. Telepon sengaja dia matikan, Marlon seakan lupa akan janjinya yang baru kemarin dia tangguhkan. Perkataan Miller saudaranya itu cukup mempengaruhi, sehingga Marlon menjadi pusing."Kau habis dari mana saja, Paman?" tanya Belle yang berdiri di ambang pintu, wajahnya begitu merah membara."Aku habis bertemu dengan Miller," jawab Marlon."Ayahnya Rose?" Wanita itu bertanya lagi, kali ini Marlon hanya mengangguk, lalu melewati Belle begitu saja. "Kenapa kau tidak membawaku ke rumah Ibu mertua, aku kan juga ingin berkunjung menemuinya.""Aku hanya bertemu dengan Miller." Dia menegaskan, seraya mengambil handuk yang menggantung di rak.Menghela napas lelah Belle hanya menatap kepergian Paman Marlon, lalu menghilang di balik pintu kamar mandi. Entah apa yang merasukinya? Terus terang, Belle merasa bingung dengan sikapnya Paman Marl
Dengan dagu yang terangkat tinggi Belle menghadap Victoria, tatapannya setajam silet, dan wajahnya yang manis seketika berubah sangar. Inilah wanita murahan yang telah menggoda Paman Marlon, dia pikir Belle takut dengannya. Oh tidak! Sekalipun Belle hanya ibu rumah tangga biasa dan tidak berpendidikan tinggi, dia termasuk wanita yang cerdas bahkan pemberani.Marlon menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, dia jelas bingung dan serba salah, terlebih lagi ini masih dalam kawasan Kantor.Seharusnya, Marlon tidak membawa Belle, tetapi karena istri kecilnya itu memaksa, jadi dia tidak ada pilihan selain mengikuti keinginannya yang aneh."Ayo, tadi katanya ada yang mau diomongin sama Victoria," ujar Belle sambil melipat tangannya di dada, dia mendorong pundak Paman Marlon ke arah Victoria yang syok melihat kehadirannya.Pria itu mengangguk, lalu dia melewati Belle, dan duduk bersebelahan dengan Victoria. "Bagaimana dengan rapat pagi ini, Vic?""Semuanya berjalan baik, Tuan, hanya saja mereka
Mobil hitam milik Marlon berhenti di depan sekolah Internasional yang dipilihnya setahun lalu, King William begitu tampak ceria dan bersemangat, tentu setelah beberapa hari bolos sekolah karena suatu hal. Dengan wajah yang berseri-seri anak kecil itu melompat dari mobil, lalu melambaikan tangannya kepada sang ibu."Kau tidak jadi mengantarnya, Bell?" tanya Paman Marlon dengan bingung, karena Belle tidak kunjung turun menyusul William, bahkan dia malah membalas lambaian tangannya."Tidak jadi.""Loh, kenapa?" Marlon tampak berpikir, dia semakin bingung melihat tingkah Belle yang aneh."Aku ingin ikut ke Kantor bersama, Paman," jawabnya.Untuk seperkian detik Marlon terdiam, dia menatap tajam, lalu menggeleng dengan gusar."Kenapa, tidak boleh ya? Takut ketahuan selingkuh? Atau mungkin malu punya istri yang aneh begini." Belle mengomel seraya memajukan bibirnya yang tipis, terlalu kesal membayangkan berbagai persepsi yang baru saja dilontarkannya.Marlon menggaruk tengkuknya yang tidak
"Ugh, menyebalkan!" Belle mencibir Marlon yang tengah berolahraga di gazebo depan, sedangkan dia baru saja selesai dengan ritual mandinya.Pria memang seperti itu, katanya saja tidak akan melakukan apapun jika si wanita enggan, tetapi yang terjadi Paman Marlon tetap memaksanya untuk bercocok tanam.Sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk, Belle mengamati Paman Marlon yang merenggangkan otot-otot tubuhnya, dia memang kelihatan seksi dan panas di usia yang tidak lagi muda. Mulai dari otot lengan, otot tubuh, sampai otot yang di bawah semua terbentuk dengan sempurna."Bell, kau sudah selesai, Sayang?" tanyanya sesaat mendapati dirinya yang bersandar di ambang pintu.Wanita itu mengangguk, Belle masih berdiam diri tanpa mengubah posisinya sedikitpun. "Sudah, dan aku sangat menyesal karena tidur denganmu tadi malam.""Menyesal atau nagih?" Marlon menyeringai lebar."Menyesal." Dengan wajah yang merah padam Belle membuang muka, dia paling tidak bisa jika Paman Marlon sudah menggodanya.