"Ya, aku ..." Suara Belle tercekat, sulit menerangkan yang sebenarnya pada paman Marlon, dia sungguh takut.
"Aku berjanji tidak akan marah. Aku sangat mengerti Bell, jujurlah." Mata paman Marlon menatapnya lembut, sabar menantikan sebuah jawaban.
"Ya, kupikir aku juga memiliki rasa pada dokter Liam. Maafkan aku."
Sejumput air mata jatuh membasahi kedua pipi Belle, tak seharusnya dia mempunyai perasaan aneh tersebut. Apalagi mencintai dua lelaki dalam satu hati, rasanya sangatlah kurang waras mengingat statusnya sendiri. Masih menjadi istri sah Marlon, terlebih Belle sangat mencintai lelaki tua itu. Entah perasaan macam apa ini? Di mana dirinya merasa seperti wanita murahan yang mencintai dua lelaki.
Untuk beberapa saat Marlon terdiam, diikuti dengan tarikan di kedua sudut bibirnya. Senyuman terpaksa. Kemudian lelaki itu membelai halus kepala Belle, menyelipkan anak rambutnya, lantas berbalik menyembunyikan air mata.
"Paman, aku minta maaf." Lagi, Belle
Hampir empat jam Marlon menunggu Belle siuman, rupanya pukulan keras tadi membuat pipi gadis itu membiru. Segala cara sudah dia lakukan selama Belle pingsan. Dengan mengkompres air dingin berikut embusan yang dia berikan agar rasa sakitnya berkurang. Liam dan Rose? Kedua pasangan itu sudah Marlon usir, tidak membiarkan dokter Liam menyentuh wajah Belle."Kau tak seharusnya melindungi Liam sehingga dirimu yang terkena, Bell." Dengan pelan Marlon mengusap dahi Belle, menyeka butiran peluh.Hening.Masih tidak ada jawaban.Faktanya Belle masih belum sadarkan diri entah sampai kapan, Marlon lelah menanti yang tidak pasti. Mengambil napas Marlon pun bangkit saat ingat William, putranya juga sedang sakit. Meski sama-sama tidur, sebagai ayah dia harus bolak balik mengecek untuk memastikan bahwa semuanya aman.Ternyata bocah dua tahun itu sudah bangun, dia duduk di ujung ranjang sambil memandang robot pemberian dokter Liam. Saat Marlon berdiri di had
Tepat satu bulan kepergian lelaki itu, perlahan Belle mulai bangkit dengan kedua kaki yang berjalan kokoh dari satu gedung ke lain tempat. Berusaha mencari keberadaan paman Marlon. Saat kerongkongannya terasa kering, Belle memutuskan berhenti sejenak untuk membeli minum di salah satu warung, dan duduk di dekat trotoar. Tiba-tiba sebuah mobil mendekat, di situ Belle langsung bangkit menepuk rok belakangnya berulang kali. Dari dalam suara dokter Liam menyapa."Selamat siang Nona, apa kau butuh tumpangan ... aaa Belle?" Tidak lama dokter Liam keluar dari mobil, sedang Belle hanya bisa tersenyum kikuk."Eum, siang," jawabnya ramah, sedikit membungkuk seperti orang asing."Kenapa kau bisa di sini, Bell? Kupikir kalian pindah. Aku sudah mencarimu, Marlon, dan Rose di mana-mana.""Ceritanya panjang.""Kita harus bicara, ikut denganku."Tidak menolak, Belle mengikuti Liam masuk ke dalam mobil, hanya butuh beberapa menit untuk mencari kafe yang menye
Sesuai keinginan Belle, gadis itu tidak mengeluh sedikit pun meski tinggal di gubuk derita yang Marlon persiapkan. Jauh dari kota. Kenyataannya Marlon menolak bantuan dokter Liam. Cukup sudah keresahan yang sempat datang nyaris membuat hidupnya mati rasa. Kendati dia tak ingin lagi melibatkan siapa saja terutama orang lain dalam hal ini, rasanya jera bergantung pada Exietera sebagian besar milik Gloe. Di mana Marlon harus manut di pimpin perintah sang ibu, walau rasanya agak melenceng.Seperti permintaannya agar menikahi Candice si kepala badak, walau beliau telah menyesali semua, itu tidak akan pernah mengembalikan kebahagiaan. Momen indah yang seharusnya tidak berantakan seperti sekarang. Tapi, ah sudahlah! Mungkin, rencana Marlon masih terlalu rendah jika dibanding dengan takdir Tuhan di atas gunung. Kesalahan lalu bukan masalah besar, selagi bisa diperbaiki kenapa tidak?Lagi pula Belle tak banyak menuntut, William juga sudah menerima, di sini dia hanya tinggal men
Sementara Marlon sibuk membongkar isi lemari Belle hanya diam mengawas, tidak tertarik sedikit pun mencari gaun terbaik untuk hasil maksimal di dalam pemotretan keluarga besar Exietera. Di saat Marlon sudah menemukan kemeja pilihannya, gadis itu tetap masa bodoh. Ah, entahlah! Rasanya Belle tidak minat melakukan apa-apa. Panggilan William saja sejak tadi dia abaikan, anaknya itu menjadi lebih cerewet setelah pindah.Apalagi mereka tidak mempekerjakan pembantu, kesibukan Belle bertambah dua kali lipat semenjak tinggal di kota. Faktanya berada di gubuk lebih santai daripada hidup di singgasana megah. Melebarkan selimut, Belle bergelung manja saat kepalanya sedikit pusing. Membenahi mansion versi kerajaan ternyata sangat melelahkan. Untung saja paman Marlon tidak begitu rewel, kalau tidak dia pasti akan kewalahan."Apa kau sakit?" tanya Marlon sambil memeriksa dahi Belle, dia khawatir."Nggh, tidak, aku hanya kelelahan.""Kau tampak tak bersemangat, Bell, ak
"Baiklah, kita persembahkan bintang tamu panduan suara dari anak didik Treas yang berbakat pada tahun ini," kata si pembawa acara dengan ceria, ke sepuluh anak di depan pun mulai bernyanyi serempak.Saat sebagian besar orang mengambil momen dengan merekam, Belle hanya melongo, terlalu bangga pada William yang begitu cepat tumbuh. Semuanya bernyanyi dengan tepat, bertemakan persatuan dalam sebuah perbedaan. Yakni mengingatkan pada kita semua betapa pentingnya perdamaian agar saling menghargai, memahami, serta menerima segala yang bertentangan."Seperti kisah cinta seorang paman tua dengan gadis seumur jagung, mereka memang berbeda, namun umur tidak membuat keduanya untuk berpisah."Paman ...Spontan Belle menekap mulut saat menangkap paman Marlon datang membawa sebuket bunga, dia tidak pernah menduga rupanya lelaki itu telah merencanakan sesuatu. Air mata Belle meruah tumpah. Terharu. Seaaat anak-anak berhenti bernyanyi, semua orang sontak bertepuk tangan
Menandatangani berkas-berkas yang menumpuk di meja kerjanya, Marlon melakukannya dengan sangat cepat. Victoria berdiri di dekat pintu, mantan kekasih gelap Miller itu memang selalu giat mencari celah untuk menjadi bagian dari perusahaan. Berulang kali Victoria berusaha mendekati Marlon, tetapi sebanyak itu pula dirinya menentang dengan keras. Bahkan, Marlon sangat terkejut saat mendapat kabar bahwa Victoria yang menggantikan Candice sebagai sekretarisnya."Apa aku sudah bisa mengambil berkasnya kembali?" tanya Victoria dengan nada yang mendesah, Marlon menatapnya jijik."Segera ambil, dan pergi dari ruanganku.""Baik." Victoria melangkah.Tidak langsung mengambil berkas, Victoria malah mendekati Marlon yang sedang muak dengan tingkahnya. Wanita itu berdiri tepat di sisi Marlon, mengayunkan rambut pirangnya, lalu menundukkan kepala untuk melihat lebih jelas wajah Marlon yang tegang."Apa maumu?" Marlon menepis tangan wanita itu, lalu bangkit dari du
Jam telah menunjukkan pukul 8 malam, dan keadaan rumah begitu sunyi. Kegiatan di rumah seakan-akan telah usai. Para pelayan sudah pulang ke rumahnya masing-masing, karena mereka bekerja hanya sampai siang. Sang empunya rumah lebih sering berada di lantai atas, apalagi sekarang keluarga kecil tersebut hendak pergi bertamu.Marlon sudah siap dengan penampilannya yang selalu gagah dan tampan, sedangkan Belle masih sibuk menyiapkan William yang ingin terlihat keren seperti ayahnya. Untuk diri sendiri Belle tidak begitu peduli, yang terpenting orang-orang dicintainya tampak mengagumkan.Terlebih lagi Marlon, percaya atau tidak Belle pun mengakuinya jika pamannya itu semakin terlihat mempesona setelah jadi ayah."Daddy, cobalah lihat penampilan William." Anak berusia lima tahun itu berteriak, sambil bercermin William melirik ayahnya."Wow, keren sekali anak Daddy," puji Marlon.Belle tersenyum mendengarnya, sesederhana itu saja dia sudah bahagia.
Malam telah larut, tetapi Marlon tidak kunjung datang menjemput.Hutton kembali sejak setengah jam yang lalu, hal itu tentu membuat Belle segan, apalagi auranya tidak bersahabat dan William pun juga takut padanya. Mengambil ponsel dari tasnya sekali lagi Belle mencoba menghubungi paman Marlon, berharap panggilan kali ini mendapatkan jawaban."Bagaimana, Bell?" tanya Barbara cepat.Untuk ke sekian kali Belle menggeleng, bingung sekaligus malu."Hmm, aku antar saja ya.""Tidak perlu repot." Belle bangkit, lantas mendekati William yang tertidur di sofa."Bell, ini sudah malam, aku bisa ...""Tidak usah, aku bisa naik taksi." Perlahan Belle membelai kepala William, berusaha membangunkannya.Tidak lama William pun terbangun, dengan lembut Belle menghelanya bangkit. Tanpa membuang-buang waktu lagi Belle langsung berpamitan kepada Barbara, dan tentunya juga Claire yang berada dalam dekapan sang ibu. Keduanya saling melempar senyum, la
Undangan pernikahan?Kening Marlon mengernyit saat menemukan selembar kertas undangan di meja depan rumahnya, dengan bingung pria itu pun membukanya dan membaca dalam hati. Alangkah terkejutnya dia begitu melihat nama Gloe Exietera dan Robert Downey yang tertera.Apa-apaan ini, kenapa tidak ada pemberitahuan?Dengan wajah yang merah padam dikuasai amarah Marlon pun masuk ke dalam rumah, mengurungkan niatnya yang hendak pergi kerja. Acara itu tidak boleh dilanjutkan, dia harus bersikeras melarang ibunya agar membatalkan pernikahan tersebut."Belle ...""Isabeau Chambell, kemarilah!""Sayaaang," panggilnya terus menerus.Dari arah dapur Belle datang tergopoh-gopoh, dia baru saja selesai dengan tugasnya, tetapi Marlon sudah berteriak-teriak seperti Tarzan liar. Dengan heran Belle menatap pria itu, karena dia pikir Paman Marlon sudah berangkat kerja sejak tadi."Loh, Paman, ada apa?" tanya Belle panik, apalagi saat melihat wajah Paman Marlon yang menegang, lalu dia pun bertanya lagi. "Buk
Dari samping gadis itu Belle menyikut lengan Rose, tetapi sepertinya gadis itu tampak tidak peduli, entah apa yang ada di pikirannya sampai menerima dua orang pria asing. Dengan senyuman yang manis Rose menampilkan wajah terbaiknya, dia begitu ramah sekali, sementara Belle seperti orang kebingungan."Ngomong-ngomong kalian sudah semester berapa?" tanya salah satu pria dari mereka, kalau tidak salah namanya adalah James."Oh ... Aku semester 4, kemungkinan sebentar lagi akan wisuda." Rose mengerjapkan matanya beberapa kali, Belle bisa melihat dengan jelas jika sahabatnya itu sedang tebar pesona. "Kalau kalian?""Kami berdua sudah kerja," jawab yang satu lagi, namanya kalau tidak salah juga Nial.Rose dan kedua teman barunya itu pun langsung akrab, mereka berbicara dengan panjang kali lebar, bahkan melupakan Belle yang masih duduk di situ. Dengan perasaan yang tidak enak semampunya Belle bersikap biasa saja, dia tahu Rose sakit hati oleh Liam, tetapi tidak seperti ini juga caranya.Masi
Seperti rutinitas pagi biasanya Belle menyiapkan keperluan Paman Marlon dan William sebelum berangkat, wanita berumur 23 tahun itu dengan gesit menjalankan tugas yang sudah menjadi santapannya sehari-hari. Semua itu Belle lakukan dengan hati yang riang dan bahagia.Tidak lupa sebagai istri dan ibu yang baik Belle juga memberikan bekal makanan bergizi, selain untuk kesehatan, tentunya bisa lebih sedikit menghemat. Bukan Belle pelit, hanya saja dia baru menyadari ternyata keuangannya menurun drastis sejak William lahir hingga saat ini."Paman, hari ini makan malam di rumah saja ya," pesan Belle sambil menaruh bekal di hadapan Paman Marlon yang sedang mengenakan sepatu."Kau memasak makanan kesukaanku?" tanyanya."Ah, tidak, aku hanya ingin kau sedikit berhemat saja.""Berhemat?" Kening Marlon mengernyit, tetapi belum sempat dia bertanya lagi Belle sudah berlalu di depan sambil menggandeng William.Sejenak Marlon terdiam, dia melirik bekal yang sudah Belle siapkan di depan matanya. Bekal
Hari ini Marlon sangat badmood, suasana hatinya yang tidak menentu membuat pikiran meracau ke mana-mana, entah apa yang sebenarnya terjadi pada Gloe. Sebagai seorang anak Marlon tahu persis pria seperti apa Edward, dia pasti hanya memanfaatkan ibunya, apalagi perbedaan umur mereka sangatlah jauh.Tetapi yang lebih menjengkelkan Belle malah membela Edward, bahkan mendukung ibunya yang sedang puber kedua itu."Paman, kenapa William belum pulang ya?" Belle bangkit dari duduknya, wajah wanita itu tampak cemas, wajar saja karena sudah hampir pukul 10 malam William juga tidak kunjung pulang."Mungkin saja menginap di rumahnya Rose," jawab Marlon sambil memijat pelipisnya yang mulai terasa berat, dia tidak bisa menutupi betapa bingungnya saat ini, apalagi mengingat sang ibu meminta restu."Tapi teleponku tidak jawab oleh Rose, dokter Liam juga ponselnya tidak aktif," keluhnya benar-benar begitu cemas, dengan gusar Belle pun berjalan ke arah jendela dan mengintipnya sedikit.Enggan menyahut l
Wajah Belle merah padam, Paman Marlon memang paling bisa membuat dirinya tersipu hingga memerah sampai di sekujur tubuhnya. Untuk pertama kali setelah sekian lama menikah pria itu mengajak Belle melakukan sesuatu yang baru, dan memberikan sensasi yang beda terhadap tubuh polosnya tersebut.Menepuk pipinya berulang kali dengan semaksimal mungkin Belle berusaha mengembalikan napas dan pikirannya yang kacau, semua itu berkat ulah Paman Marlon, dengan segala trik dan permainan yang aneh."Kau sudah siap, Sayang?" tanya Marlon sambil membawa segelas teh hangat untuk Belle, sebagai suami yang baik dia tentu tahu apa yang istrinya butuhkan setelah berendam bathtub selama 4 jam.Belle menoleh, tangannya masih menggosokkan handuk pada rambutnya yang basah, lalu dia bertanya. "Aku ingin susu cokelat hangat, Paman.""Oh, iya?" Paman Marlon tampak menggaruk tengkuknya, lalu dia menyengir. "Tidak apa-apa, minum teh saja dulu, biar tubuhmu menjadi hangat."Tanpa persetujuan Belle, dengan cepat Marl
Dengan sempoyongan Marlon pulang sedikit larut, untuk menghilangkan stres yang menikam kepalanya dia berhasil menghabiskan dua botol alkohol, dan sedikit hiburan. Telepon sengaja dia matikan, Marlon seakan lupa akan janjinya yang baru kemarin dia tangguhkan. Perkataan Miller saudaranya itu cukup mempengaruhi, sehingga Marlon menjadi pusing."Kau habis dari mana saja, Paman?" tanya Belle yang berdiri di ambang pintu, wajahnya begitu merah membara."Aku habis bertemu dengan Miller," jawab Marlon."Ayahnya Rose?" Wanita itu bertanya lagi, kali ini Marlon hanya mengangguk, lalu melewati Belle begitu saja. "Kenapa kau tidak membawaku ke rumah Ibu mertua, aku kan juga ingin berkunjung menemuinya.""Aku hanya bertemu dengan Miller." Dia menegaskan, seraya mengambil handuk yang menggantung di rak.Menghela napas lelah Belle hanya menatap kepergian Paman Marlon, lalu menghilang di balik pintu kamar mandi. Entah apa yang merasukinya? Terus terang, Belle merasa bingung dengan sikapnya Paman Marl
Dengan dagu yang terangkat tinggi Belle menghadap Victoria, tatapannya setajam silet, dan wajahnya yang manis seketika berubah sangar. Inilah wanita murahan yang telah menggoda Paman Marlon, dia pikir Belle takut dengannya. Oh tidak! Sekalipun Belle hanya ibu rumah tangga biasa dan tidak berpendidikan tinggi, dia termasuk wanita yang cerdas bahkan pemberani.Marlon menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, dia jelas bingung dan serba salah, terlebih lagi ini masih dalam kawasan Kantor.Seharusnya, Marlon tidak membawa Belle, tetapi karena istri kecilnya itu memaksa, jadi dia tidak ada pilihan selain mengikuti keinginannya yang aneh."Ayo, tadi katanya ada yang mau diomongin sama Victoria," ujar Belle sambil melipat tangannya di dada, dia mendorong pundak Paman Marlon ke arah Victoria yang syok melihat kehadirannya.Pria itu mengangguk, lalu dia melewati Belle, dan duduk bersebelahan dengan Victoria. "Bagaimana dengan rapat pagi ini, Vic?""Semuanya berjalan baik, Tuan, hanya saja mereka
Mobil hitam milik Marlon berhenti di depan sekolah Internasional yang dipilihnya setahun lalu, King William begitu tampak ceria dan bersemangat, tentu setelah beberapa hari bolos sekolah karena suatu hal. Dengan wajah yang berseri-seri anak kecil itu melompat dari mobil, lalu melambaikan tangannya kepada sang ibu."Kau tidak jadi mengantarnya, Bell?" tanya Paman Marlon dengan bingung, karena Belle tidak kunjung turun menyusul William, bahkan dia malah membalas lambaian tangannya."Tidak jadi.""Loh, kenapa?" Marlon tampak berpikir, dia semakin bingung melihat tingkah Belle yang aneh."Aku ingin ikut ke Kantor bersama, Paman," jawabnya.Untuk seperkian detik Marlon terdiam, dia menatap tajam, lalu menggeleng dengan gusar."Kenapa, tidak boleh ya? Takut ketahuan selingkuh? Atau mungkin malu punya istri yang aneh begini." Belle mengomel seraya memajukan bibirnya yang tipis, terlalu kesal membayangkan berbagai persepsi yang baru saja dilontarkannya.Marlon menggaruk tengkuknya yang tidak
"Ugh, menyebalkan!" Belle mencibir Marlon yang tengah berolahraga di gazebo depan, sedangkan dia baru saja selesai dengan ritual mandinya.Pria memang seperti itu, katanya saja tidak akan melakukan apapun jika si wanita enggan, tetapi yang terjadi Paman Marlon tetap memaksanya untuk bercocok tanam.Sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk, Belle mengamati Paman Marlon yang merenggangkan otot-otot tubuhnya, dia memang kelihatan seksi dan panas di usia yang tidak lagi muda. Mulai dari otot lengan, otot tubuh, sampai otot yang di bawah semua terbentuk dengan sempurna."Bell, kau sudah selesai, Sayang?" tanyanya sesaat mendapati dirinya yang bersandar di ambang pintu.Wanita itu mengangguk, Belle masih berdiam diri tanpa mengubah posisinya sedikitpun. "Sudah, dan aku sangat menyesal karena tidur denganmu tadi malam.""Menyesal atau nagih?" Marlon menyeringai lebar."Menyesal." Dengan wajah yang merah padam Belle membuang muka, dia paling tidak bisa jika Paman Marlon sudah menggodanya.