Menandatangani berkas-berkas yang menumpuk di meja kerjanya, Marlon melakukannya dengan sangat cepat. Victoria berdiri di dekat pintu, mantan kekasih gelap Miller itu memang selalu giat mencari celah untuk menjadi bagian dari perusahaan. Berulang kali Victoria berusaha mendekati Marlon, tetapi sebanyak itu pula dirinya menentang dengan keras. Bahkan, Marlon sangat terkejut saat mendapat kabar bahwa Victoria yang menggantikan Candice sebagai sekretarisnya.
"Apa aku sudah bisa mengambil berkasnya kembali?" tanya Victoria dengan nada yang mendesah, Marlon menatapnya jijik.
"Segera ambil, dan pergi dari ruanganku."
"Baik." Victoria melangkah.
Tidak langsung mengambil berkas, Victoria malah mendekati Marlon yang sedang muak dengan tingkahnya. Wanita itu berdiri tepat di sisi Marlon, mengayunkan rambut pirangnya, lalu menundukkan kepala untuk melihat lebih jelas wajah Marlon yang tegang.
"Apa maumu?" Marlon menepis tangan wanita itu, lalu bangkit dari du
Jam telah menunjukkan pukul 8 malam, dan keadaan rumah begitu sunyi. Kegiatan di rumah seakan-akan telah usai. Para pelayan sudah pulang ke rumahnya masing-masing, karena mereka bekerja hanya sampai siang. Sang empunya rumah lebih sering berada di lantai atas, apalagi sekarang keluarga kecil tersebut hendak pergi bertamu.Marlon sudah siap dengan penampilannya yang selalu gagah dan tampan, sedangkan Belle masih sibuk menyiapkan William yang ingin terlihat keren seperti ayahnya. Untuk diri sendiri Belle tidak begitu peduli, yang terpenting orang-orang dicintainya tampak mengagumkan.Terlebih lagi Marlon, percaya atau tidak Belle pun mengakuinya jika pamannya itu semakin terlihat mempesona setelah jadi ayah."Daddy, cobalah lihat penampilan William." Anak berusia lima tahun itu berteriak, sambil bercermin William melirik ayahnya."Wow, keren sekali anak Daddy," puji Marlon.Belle tersenyum mendengarnya, sesederhana itu saja dia sudah bahagia.
Malam telah larut, tetapi Marlon tidak kunjung datang menjemput.Hutton kembali sejak setengah jam yang lalu, hal itu tentu membuat Belle segan, apalagi auranya tidak bersahabat dan William pun juga takut padanya. Mengambil ponsel dari tasnya sekali lagi Belle mencoba menghubungi paman Marlon, berharap panggilan kali ini mendapatkan jawaban."Bagaimana, Bell?" tanya Barbara cepat.Untuk ke sekian kali Belle menggeleng, bingung sekaligus malu."Hmm, aku antar saja ya.""Tidak perlu repot." Belle bangkit, lantas mendekati William yang tertidur di sofa."Bell, ini sudah malam, aku bisa ...""Tidak usah, aku bisa naik taksi." Perlahan Belle membelai kepala William, berusaha membangunkannya.Tidak lama William pun terbangun, dengan lembut Belle menghelanya bangkit. Tanpa membuang-buang waktu lagi Belle langsung berpamitan kepada Barbara, dan tentunya juga Claire yang berada dalam dekapan sang ibu. Keduanya saling melempar senyum, la
Tanpa memedulikan perkataan Marlon, dengan penuh keibuan Belle membangunkan William, lalu memeluknya erat. Marlon terus berkata dengan berbagai pembelaan yang tidak masuk akal, sedangkan Belle berusaha menenangkan William yang tampak terkejut. Hanya lewat tatapan anak berusia lima tahun itu sudah mengerti, jika terjadi masalah dan sang ibu hendak membawanya pergi.Belle sangat bersyukur William menurut, dan bersedia ikut dengannya. Tidak membuang waktu lagi Belle pun menggandengnya, kerap kali menepis tangan Marlon yang ingin menjangkau dirinya serta anaknya William."Jangan sentuh aku dan anakku!" Belle berteriak, menyembunyikan Willi di balik punggungnya."Bell, kumohon, dengarkan aku.""Aku sudah muak dengan seluruh sandiwaramu, kau tidak lebih seperti bajingan yang berhati monster.""Silakan kau mencaci, atau bahkan menghinaku sepuasnya." Marlon bersikukuh menghentikan Belle, kedua tangannya kali ini memegang pundak gadis itu, "Tapi aku mohon,
Dengan mata yang sembap akhirnya Belle bangun, semalaman ia sudah terjaga, dan kini jam telah menunjukkan pukul 10 siang. Hal yang pertama kali Belle pikirkan adalah William karena anaknya harus pergi sekolah. Tanpa membasuh wajah terlebih dulu Belle langsung beranjak menuju kamar sang anak, ternyata Marlon sudah membuka kuncinya sehingga ia tidak perlu repot berteriak.Perlahan, Belle membuka pintu kamarnya William, lalu memanggilnya lantang. "Williaaam."Hening. Tidak ada jawaban.Apalagi ketika Belle tidak melihat William di tempat tidurnya, gadis itu langsung panik. Berlari mengitari ruangan kamar berukuran sedang itu, dengan perasaan yang tidak bisa dijelaskan Belle menangis dan berteriak. Wajahnya merah padam, sambil memegangi kepalanya tubuh mungil Belle pun tumbang."Aaaaah." Dengan frustrasi Belle menjerit, membayangkan segala sesuatu yang buruk.Dari arah luar suara sepatu terdengar berlari cepat, Marlon terkejut melihat Belle yang kini t
Tidak ada alasan lagi untuk meninggalkan Marlon segera mungkin, akhirnya setelah berdebat panjang kali lebar Belle memilih ikut dengan Liam. Awalnya Marlon memang tidak terima, bahkan sampai mengancam mereka berdua dengan pihak yang berwajib. Akan tetapi semua itu tentu tidak terjadi saat dokter Liam mengungkit jasanya beberapa tahun silam.Marlon terdiam dan kalah telak.Lihatlah lelaki tua itu lebih mencintai harta daripada istrinya bukan?"Ayo, kita pergi." Ajak Belle pada Liam, dan mengambilnya langkah duluan.Keputusannya untuk berpisah sudah bulat, Belle memang mencintainya, tetapi itu dulu dan perasaannya sekarang patut dipertimbangkan. Apalagi setelah kehadiran dokter Liam yang seakan-akan selalu menjadi penolong di waktu yang tepat."Dokter, aku sangat berterima kasih padamu," ujar Belle pada lelaki di sampingnya, yang tengah mengendarai mobil."Bukan apa-apa, Bell.""Kau sudah menolongku dua kali, rasanya aku sangat malu pad
"Rose, di mana akal sehatmu?!" Marlon berteriak memasuki sebuah Apartemen.Menoleh kaget Rose bangkit saat melihat pamannya datang, lalu bertanya bingung. "Ada apa kau menemuiku?""Aku tidak habis pikir kau membiarkan Liam membawa Belle pergi."Urat-urat di wajah Marlon menegang, ini kali pertama Rose melihat pamannya sangat marah. Lelaki yang selalu memanjakannya dulu, sekarang berteriak seperti kesetanan. Menghela napas lelah akhirnya Rose berani membalas tatapan Marlon yang berapi-api.Semenjak menikah pamannya itu memang tidak lagi seperti dulu, bahkan mereka jarang bertemu. Pertemuan keduanya terjadi karena acara keluarga atau ada keperluan yang lain, dan kali ini kedatangan Marlon khusus untuk memarahinya. Itu sangat menyebalkan."Salahmu sendiri, Paman, kenapa istrimu bisa mau diajak pergi dengan orang lain?!""Rose, aku bertanya kepadamu!""Aku tidak peduli." Rose balas berteriak.Mengacak rambutnya yang gondrong
Seperti pagi biasanya Belle bangun lebih awal untuk mempersiapkan sarapan, meski hari ini William tidak pergi sekolah tentu tidak mengubah apapun. Tugas seorang ibu akan tetap ada, memenuhi kebutuhan anaknya dan membersamainya dalam setiap waktu. Urusan hati dan pikiran yang kacau Belle enyahkan jika sedang berhadapan dengan William. Bagaimanapun caranya Belle ingin selalu terlihat ceria di depan sang anak, tersenyum dan tertawa gembira."Pagi, Sayang." Mengecup kening sang anak, sambil lalu Belle merapikan selimut yang bergelung."Mom, apa hari sudah siang?" tanyanya dengan sebelah mata mengintip, Belle pun mengangguk.Sontak William bangkit, dan melotot."Kenapa kau tidak membangunkanku, Mom? Ada upacara bendera hari ini, dan aku harus datang lebih awal.""Untuk sementara waktu William temani Mom di sini ya, dan libur sekolah." Dengan lembut Belle berkata, menatapnya sangat hangat. "Kau tidak keberatan kan?""Tentu saja tidak, Mom." Willia
Gugatan perceraian sampai pada meja kerja Marlon, entah siapa yang mengirimnya, yang jelas surat itu membuat hidupnya bertambah suram. Meremas rambutnya yang gersang Marlon terduduk dengan pandangan kosong. Harapannya mempertahankan Belle mungkin tidak ada lagi, tetapi untuk mengambil hak asuh William jalan untuknya terbuka lebar. William jauh lebih berhak jatuh padanya. Jika, Belle ingin pisah darinya, maka dirinya juga harus siap berpisah dengan William. Kedudukan dan statusnya sebagai ayah kandung jauh lebih besar daripada seorang ibu. William anak laki-laki yang akan menjadi penerus generasi Exietera. "Aku baru saja menandatangani gugatan perceraian yang dikirim untukku, secepatnya aku akan datang ke persidangan." Marlon berkata pada Victoria, percaya atau tidak hanya keloyalannya yang selalu menemani. Hari-hari terburuk Marlon seakan menjadi hal yang biasa saja ketika ada Victoria. "Apa kau akan menikahiku setelah bercerai dengan Belle?"
Undangan pernikahan?Kening Marlon mengernyit saat menemukan selembar kertas undangan di meja depan rumahnya, dengan bingung pria itu pun membukanya dan membaca dalam hati. Alangkah terkejutnya dia begitu melihat nama Gloe Exietera dan Robert Downey yang tertera.Apa-apaan ini, kenapa tidak ada pemberitahuan?Dengan wajah yang merah padam dikuasai amarah Marlon pun masuk ke dalam rumah, mengurungkan niatnya yang hendak pergi kerja. Acara itu tidak boleh dilanjutkan, dia harus bersikeras melarang ibunya agar membatalkan pernikahan tersebut."Belle ...""Isabeau Chambell, kemarilah!""Sayaaang," panggilnya terus menerus.Dari arah dapur Belle datang tergopoh-gopoh, dia baru saja selesai dengan tugasnya, tetapi Marlon sudah berteriak-teriak seperti Tarzan liar. Dengan heran Belle menatap pria itu, karena dia pikir Paman Marlon sudah berangkat kerja sejak tadi."Loh, Paman, ada apa?" tanya Belle panik, apalagi saat melihat wajah Paman Marlon yang menegang, lalu dia pun bertanya lagi. "Buk
Dari samping gadis itu Belle menyikut lengan Rose, tetapi sepertinya gadis itu tampak tidak peduli, entah apa yang ada di pikirannya sampai menerima dua orang pria asing. Dengan senyuman yang manis Rose menampilkan wajah terbaiknya, dia begitu ramah sekali, sementara Belle seperti orang kebingungan."Ngomong-ngomong kalian sudah semester berapa?" tanya salah satu pria dari mereka, kalau tidak salah namanya adalah James."Oh ... Aku semester 4, kemungkinan sebentar lagi akan wisuda." Rose mengerjapkan matanya beberapa kali, Belle bisa melihat dengan jelas jika sahabatnya itu sedang tebar pesona. "Kalau kalian?""Kami berdua sudah kerja," jawab yang satu lagi, namanya kalau tidak salah juga Nial.Rose dan kedua teman barunya itu pun langsung akrab, mereka berbicara dengan panjang kali lebar, bahkan melupakan Belle yang masih duduk di situ. Dengan perasaan yang tidak enak semampunya Belle bersikap biasa saja, dia tahu Rose sakit hati oleh Liam, tetapi tidak seperti ini juga caranya.Masi
Seperti rutinitas pagi biasanya Belle menyiapkan keperluan Paman Marlon dan William sebelum berangkat, wanita berumur 23 tahun itu dengan gesit menjalankan tugas yang sudah menjadi santapannya sehari-hari. Semua itu Belle lakukan dengan hati yang riang dan bahagia.Tidak lupa sebagai istri dan ibu yang baik Belle juga memberikan bekal makanan bergizi, selain untuk kesehatan, tentunya bisa lebih sedikit menghemat. Bukan Belle pelit, hanya saja dia baru menyadari ternyata keuangannya menurun drastis sejak William lahir hingga saat ini."Paman, hari ini makan malam di rumah saja ya," pesan Belle sambil menaruh bekal di hadapan Paman Marlon yang sedang mengenakan sepatu."Kau memasak makanan kesukaanku?" tanyanya."Ah, tidak, aku hanya ingin kau sedikit berhemat saja.""Berhemat?" Kening Marlon mengernyit, tetapi belum sempat dia bertanya lagi Belle sudah berlalu di depan sambil menggandeng William.Sejenak Marlon terdiam, dia melirik bekal yang sudah Belle siapkan di depan matanya. Bekal
Hari ini Marlon sangat badmood, suasana hatinya yang tidak menentu membuat pikiran meracau ke mana-mana, entah apa yang sebenarnya terjadi pada Gloe. Sebagai seorang anak Marlon tahu persis pria seperti apa Edward, dia pasti hanya memanfaatkan ibunya, apalagi perbedaan umur mereka sangatlah jauh.Tetapi yang lebih menjengkelkan Belle malah membela Edward, bahkan mendukung ibunya yang sedang puber kedua itu."Paman, kenapa William belum pulang ya?" Belle bangkit dari duduknya, wajah wanita itu tampak cemas, wajar saja karena sudah hampir pukul 10 malam William juga tidak kunjung pulang."Mungkin saja menginap di rumahnya Rose," jawab Marlon sambil memijat pelipisnya yang mulai terasa berat, dia tidak bisa menutupi betapa bingungnya saat ini, apalagi mengingat sang ibu meminta restu."Tapi teleponku tidak jawab oleh Rose, dokter Liam juga ponselnya tidak aktif," keluhnya benar-benar begitu cemas, dengan gusar Belle pun berjalan ke arah jendela dan mengintipnya sedikit.Enggan menyahut l
Wajah Belle merah padam, Paman Marlon memang paling bisa membuat dirinya tersipu hingga memerah sampai di sekujur tubuhnya. Untuk pertama kali setelah sekian lama menikah pria itu mengajak Belle melakukan sesuatu yang baru, dan memberikan sensasi yang beda terhadap tubuh polosnya tersebut.Menepuk pipinya berulang kali dengan semaksimal mungkin Belle berusaha mengembalikan napas dan pikirannya yang kacau, semua itu berkat ulah Paman Marlon, dengan segala trik dan permainan yang aneh."Kau sudah siap, Sayang?" tanya Marlon sambil membawa segelas teh hangat untuk Belle, sebagai suami yang baik dia tentu tahu apa yang istrinya butuhkan setelah berendam bathtub selama 4 jam.Belle menoleh, tangannya masih menggosokkan handuk pada rambutnya yang basah, lalu dia bertanya. "Aku ingin susu cokelat hangat, Paman.""Oh, iya?" Paman Marlon tampak menggaruk tengkuknya, lalu dia menyengir. "Tidak apa-apa, minum teh saja dulu, biar tubuhmu menjadi hangat."Tanpa persetujuan Belle, dengan cepat Marl
Dengan sempoyongan Marlon pulang sedikit larut, untuk menghilangkan stres yang menikam kepalanya dia berhasil menghabiskan dua botol alkohol, dan sedikit hiburan. Telepon sengaja dia matikan, Marlon seakan lupa akan janjinya yang baru kemarin dia tangguhkan. Perkataan Miller saudaranya itu cukup mempengaruhi, sehingga Marlon menjadi pusing."Kau habis dari mana saja, Paman?" tanya Belle yang berdiri di ambang pintu, wajahnya begitu merah membara."Aku habis bertemu dengan Miller," jawab Marlon."Ayahnya Rose?" Wanita itu bertanya lagi, kali ini Marlon hanya mengangguk, lalu melewati Belle begitu saja. "Kenapa kau tidak membawaku ke rumah Ibu mertua, aku kan juga ingin berkunjung menemuinya.""Aku hanya bertemu dengan Miller." Dia menegaskan, seraya mengambil handuk yang menggantung di rak.Menghela napas lelah Belle hanya menatap kepergian Paman Marlon, lalu menghilang di balik pintu kamar mandi. Entah apa yang merasukinya? Terus terang, Belle merasa bingung dengan sikapnya Paman Marl
Dengan dagu yang terangkat tinggi Belle menghadap Victoria, tatapannya setajam silet, dan wajahnya yang manis seketika berubah sangar. Inilah wanita murahan yang telah menggoda Paman Marlon, dia pikir Belle takut dengannya. Oh tidak! Sekalipun Belle hanya ibu rumah tangga biasa dan tidak berpendidikan tinggi, dia termasuk wanita yang cerdas bahkan pemberani.Marlon menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, dia jelas bingung dan serba salah, terlebih lagi ini masih dalam kawasan Kantor.Seharusnya, Marlon tidak membawa Belle, tetapi karena istri kecilnya itu memaksa, jadi dia tidak ada pilihan selain mengikuti keinginannya yang aneh."Ayo, tadi katanya ada yang mau diomongin sama Victoria," ujar Belle sambil melipat tangannya di dada, dia mendorong pundak Paman Marlon ke arah Victoria yang syok melihat kehadirannya.Pria itu mengangguk, lalu dia melewati Belle, dan duduk bersebelahan dengan Victoria. "Bagaimana dengan rapat pagi ini, Vic?""Semuanya berjalan baik, Tuan, hanya saja mereka
Mobil hitam milik Marlon berhenti di depan sekolah Internasional yang dipilihnya setahun lalu, King William begitu tampak ceria dan bersemangat, tentu setelah beberapa hari bolos sekolah karena suatu hal. Dengan wajah yang berseri-seri anak kecil itu melompat dari mobil, lalu melambaikan tangannya kepada sang ibu."Kau tidak jadi mengantarnya, Bell?" tanya Paman Marlon dengan bingung, karena Belle tidak kunjung turun menyusul William, bahkan dia malah membalas lambaian tangannya."Tidak jadi.""Loh, kenapa?" Marlon tampak berpikir, dia semakin bingung melihat tingkah Belle yang aneh."Aku ingin ikut ke Kantor bersama, Paman," jawabnya.Untuk seperkian detik Marlon terdiam, dia menatap tajam, lalu menggeleng dengan gusar."Kenapa, tidak boleh ya? Takut ketahuan selingkuh? Atau mungkin malu punya istri yang aneh begini." Belle mengomel seraya memajukan bibirnya yang tipis, terlalu kesal membayangkan berbagai persepsi yang baru saja dilontarkannya.Marlon menggaruk tengkuknya yang tidak
"Ugh, menyebalkan!" Belle mencibir Marlon yang tengah berolahraga di gazebo depan, sedangkan dia baru saja selesai dengan ritual mandinya.Pria memang seperti itu, katanya saja tidak akan melakukan apapun jika si wanita enggan, tetapi yang terjadi Paman Marlon tetap memaksanya untuk bercocok tanam.Sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk, Belle mengamati Paman Marlon yang merenggangkan otot-otot tubuhnya, dia memang kelihatan seksi dan panas di usia yang tidak lagi muda. Mulai dari otot lengan, otot tubuh, sampai otot yang di bawah semua terbentuk dengan sempurna."Bell, kau sudah selesai, Sayang?" tanyanya sesaat mendapati dirinya yang bersandar di ambang pintu.Wanita itu mengangguk, Belle masih berdiam diri tanpa mengubah posisinya sedikitpun. "Sudah, dan aku sangat menyesal karena tidur denganmu tadi malam.""Menyesal atau nagih?" Marlon menyeringai lebar."Menyesal." Dengan wajah yang merah padam Belle membuang muka, dia paling tidak bisa jika Paman Marlon sudah menggodanya.