Diantara deretan resto-resto kecil di tengah kota itu, Jane dan Theo singgah.
Memilih tempat yang tepat untuk makan malam. Menurut Jane, karena dari awal Theo hanya iya-iya saja ketika gadis ini mengajaknya kemari.
Mereka duduk di meja di luar ruangan, ingin sesekali makan sembari menghirup udara kota malam-malam.
Warung makan dengan signature menu bakso urat ini menjadi bentuk kesenangan Jane, ia tidak lagi memikirkan seberapa banyak mecin yang tertuang di dalam kuah bakso yang sedap itu. anggap saja ini cheating day.
Jane mengulurkan buku menu pada Theo. “Nih, di Jerman nggak ada bakso kan?”
Dan langsung di terima dengan senang hati oleh si lelaki. Theo memeriksa beberapa daftar menunya. Semua bakso. Ya, karena ini memang restoran bakso, jadi ia harus pilih apa?
Theo meletakan buku menu itu di atas meja.
“Saya ikut kamu aja.”
Jane mendengar itu mengangguk mengiyakan. Jemari lentik Jane terangkat di udara. Memanggil wa
Jaket berwarna hitam yang tebal berpadu dengan celana olahraga panjang ssampai mata kaki rasanya tak mampu menutupi sedikitpun hawa atis yang disisakan malam melalui embun pagi. Jane menarik cairan bening yang lagi-lagi mengalir dari hidungnya. Gadis itu bimbang. Sekarang sudah pukul enam kurang namun dinginnya kota metropolitan masih sedingin hawa pagi di pedesaan. Jane memang suka hawa dingin seperti ini, kalau saja cairan ingus yang masih bening belum hadir di hidungnya. Apalagi, hari ini jadwal Jane untuk jogging seperti rutinitas biasa, tetapi dengan gigil yang sebegininya, ia jadi ragu harus tetap berlari atau tidak. Jemari dingin Jane memakaikan tudung jaket yang sedari tadi nganggur ke kepala, menali dengan bentuk pita di bawah dagu ramping miliknya. Berlari sajalah. Batin Jane berbicara. Olahraga itu bagus, namun dengan suhu serendah ini, Jane harus siap dengan dua kemungkinan. Yang pertama, flu di hidungnya akan berhasil ming
Tepat setelah sampai di dalam rumah, Jane tidak menunda untuk segera meminum air hangat, ia terus menggenggam gelas di tanggannya untuk menaikan suhu tubuh. Dan ketika di rasa dingin di tubuhnya tak lagi terasa menusuk Jane tidak menunda untuk bernapas lega, gadis itu merasakan kenyamanan mutlak merasuki tiap-tiap sendi tubuhnya. Jane menarik napas lalu meminum kembali air hangat dari gelasnya satu teguk, kemudian setelah itu tangan pucatnya terangkat untuk membuka box berukuran sedang di atas lemari es. Jane mengambil beberapa buah vitamin dari botol yang berbeda lalu menelannya saat itu juga. Setelah selesai dengan air dan juga vitamin, Jane melajukan langkah menuju kamar, ia harus tidur terlebih dahulu agar bisa melanjutkan hidup. Tak apa, terpejam lima menit pun cukup. Tanpa melepas kaos kaki Jane langsung naik ke atas ranjang, Jane membuka jaketnya lalu ia lemparkan ke sembarang arah, tak lupa Jane juga sudah sempat menyetel alarm untuk j
“Mau tau ada apa kejutan hari ini?” suara Karin lagi-lagi menyapa gendang telinga Theo yang sudah penuh terisi dengan kalimat-kalimat sautan orang berbicara. Satu kali lagi Theo membenarkan tatanan dasinya yang sudah rapih dan tak perlu lagi pembenahan. Sudah hampir tiga puluh menit ia berdiri di sini namun acara ini belum juga di mulai. Pesta sederhana yang katanya hanya di hadiri oleh para keluarga ini nyatanya dibuat dengan skala besar, mengundang lebih banyak orang dari sekedar anggota keluarga dan tentunya tanpa Theo bertanya pun ia tau ini akan memakan waktu yang lama. “Apa?” Theo menoleh kepada gadis yang menggunakan gaun senada dengannya lalu bertanya kembali tentang apa yang baru saja dimaksud Karin dalam kalimatnya. Senyum manis dari bibir putri bungsu keluarga asal negeri ginseng itu terbit. Dengan satu jingkatan Karin melepas tangannya yang sedang menggandeng Theo. Lalu mendekatkan diri ke telinga laki-laki itu. “Om Kevin akan data
Cahaya temaram dan juga suara ketik yang lembut memenuhi ruang tidur bernuansa putih itu. Merasakan sebuah kantuk yang telah hilang karena sudah tidur hampir seharian, Jane perlahan-lahan menggerakan kelopak matanya agar tersikap. Lampu kamarnya mati. Yang menyala hanya satu lampu tidur yang terletak di sebelah kanan ranjang. Jane ingat sekali ia tidur waktu sore. Dan ia belum menyalakan satu lampu pun di rumahnya. Jane mulai mengerang amat pelan ketika pening di kepalanya terasa kembali, ia memejam sekilas lalu menggeleng dan membuka mata. Tepat ketika wajahnya menghadap kearah kanan sana, ada seorang laki-laki yang lengan kemejanya di gulung hingga siku duduk manis dengan kaca mata di wajahnya dan juga laptop terbuka di pangkuan. Theo terlihat sangat fokus. Mungkin karena terlalu fokus hingga laki-laki itu tidak menyadari kalau Jane sudah terjaga. Jane menghela napas sembari melirik jam digital di nakas. Sudah tengah malam.
Biasanya jika Jane terserang sakit demam atau hanya sekedar flu biasa, ia akan bisa normal dan kembali sembuh dalam satu hari dan tidak lebih. Tetapi untuk sakit kali ini, Jane jelas butuh dua sampai tiga kali lipat durasi dari biasanya untuk sembuh karena kejadian tak mengenakan yang telah menimpanya. Ralat. Empat kali. Jane sembuh setelah empat hari. Dan setelah menyebabkan penyakitnya bertahan menjadi semakin lama, tentunya Jane tidak akan memaafkan Theo begitu saja. Never! Jane bergidik sekali lagi saat sadar bahwa ia sedang mengingat-ingat malam waktu itu. Jane hanya heran, ia tidak menyangka Theo yang terlihat kalem dan terkontrol ternyata mempunyai sisi lain tak terduga. Namun jangan pikir Jane ketakutan setengah mati seperti tikus got, gadis itu langsung berdiri dari kasurnya lalu mengusir Theo dari rumahnya dengan segenap sisa tenaga yang ada. Jane menggelengkan kepala mengusir segala bentuk pemikiran yang di h
Hari sudah sore. Setelah kue yang dibuatnya selesai dipanggang hingga matang dan tentunya dengan rasa yang memuaskan, chef memperbolehkan Jane untuk pulang lebih dahulu dari tiga orang lainnya.Seperti yang diinginkan gadis itu dari awal. Tapi bukannya sudah berbaring di sofa empuk atau juga ranjangnya yang luas dan nyaman Jane justru masih berdiri di depan bangunan bertingkat tempatnya menjalani kursus beberapa saat lalu, meski banyak taksi driver melintas di jalanan yang sudi mengantar Jane pulang dengan nyaman. Jane menoleh ke samping melihat seberapa sibuknya jalanan ini ketika menjelang sore, sesekali Jane menilik kembali arloji di tengannya. Gadis yang menggunakan kaos santai dan juga celana jeans panjang itu menyentuh telinga polos-nya karena bosan menunggu. Iya. Jane sedang ada janji. Dengan Juni. Jane mengirim pesan megajak sebuah pertemuan dengan Juni beberapa saat lalu ketika kue miliknya masih dalam mesin pemanggang, dan
Setelah mau-maunya ikut saja kemanapun tujuan pergi yang di inginkan Karina sesore tadi, akhirnya malam pun tiba. Jane hanya duduk tanpa banyak bicara sedari tadi diantara tiga orang lainnya. Jane tidak bohong ketika bilang bahwa ia lelah sekali. Bukan hanya sekedar alasan atau upayanya untuk menghindar dari perkumpulan dimana ada Theo di dalamnya. Meski itu juga salah satu alasan Jane ingin pulang. Lihat saja. Laki-laki itu begitu tidak tau malu, beberapa kali sudah tertangkap basah curi-curi pandang pada Jane. Jane mengangguk sesekali saat Karina mengajaknya bicara, mereka sedang berkumpul di sebuah pub kelas atas yang elit. Dan meski ada di tempat penuh minuman beralkohol yng pastinya mahal dan juga lezat Jane tidak menyentuh minuman memabukan itu sama sekali. Ia punya kenangan buruk saat mabuk. Jane tidak berniat sedikitpun untuk mengulangnya. Jane menilik lagi pada jam di tangannya. Sudah hampir jam delapan. Jane m
Entah apa yang sedang Jane pikirkan sebenarnya sampai mau saja melakukan ini. Memutar setir ke kanan dan juga fokus pada jalan agar Mendes tidak terluka lagi. Jane sesekali melirik orang yang tengah teler di kursi belakang. Dengan bantuan Juni, Jane benar-benar bisa mengikat Theo di kursi belakang. Mungkin kedengarannya sangat tidak berperi kemanusiaan, namun mau bagaimana lagi, ini semua demi keselamatan Jane. “Makan malam hari ini apa?” ditengah suasana hening mobil yang sedag melaju itu sebuah suara terdengar. Jane melirik ke kaca belakang. Melihat Theo masih setengah terpejam dengan dua tangan terikat diatas paha. Makan malam? Jane memutar mata malas. Bersyukur saja Jane mau membawa Theo pulang dengannya dan juga masih menjaga penuh kesadaran tanpa satu tetes alcohol pun. Tidak seperti Theo dulu, di Korea, dia juga ikut minum tapi berani-berani menyetir mobil dengan Jane di dalamnya. Untung saja Jane tidak mati. “Kenapa kam
7 tahun kemudian.- “What the hell!” Umpatan itu terdengar dari mulut anak laki-laki yang tengah duduk dikursi penumpang mobil, mengudara jelas saat hening tengah melanda, ponsel lipat baru pemberian kakeknya yang sedang ia gunakan untuk bermain games tiba-tiba saja berbunyi mengacaukan permainannya. Menampilkan notifikasi panggilan. Theo yang duduk di kursi kemudi menoleh, matanya menyorot sang putra sulung berusia tujuh tahun yang baru saja mengumpat di depan hidungnya. “Siapa yang ngajarin kamu kata itu?” tanya Theo. Anak laki-laki yang memiliki wajah perpaduan apik dari ayah dan ibunya itu menoleh, memerkan raut muka acuh. “Sam sering dengar mommy bilang begitu.” Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Kata orang begitu. Dan Theo sudah membuktikannya sendiri. Bagaimana Samuel memiliki sifat acuh yang diturunkan darinya namun juga memiliki sisi nakal Jane yang sulit diatur. “Dad,” panggil bocah tampan itu, mata
--Suara detik jarum jam mengisi kekosongan dalam hampanya ruang hening yang diputari dinding berwarna putih itu. Ruang yang besar dan berisi satu ranjang lengkap dengan sofa dan meja disana. Ada satu wanita yang tengah berbaring dengan mata menutup diatas brangkar itu, memakai pakaian berwarna biru khas pasien rumah sakit sementara pada tangan kanannya terdapat selang menjuntai yang terhubung dengan satu kantong infus menggantung. Jane bergerak kecil, wajahnya yang cantik megerut tipis kala merasa pilu disetiap sendi tubuh. Bahkan untuk melakukan gerakan kecil saja Jane harus menahan pegal. Wanita dua puluh delapan tahun itu akhirnya membuka mata, menatap segenap putih langit-langit ruangan, sebelum kemudian menggerakan kepala sedikit, Jane sadar betul ia sedang berada dimana jadi tak perlu lagi drama seperti aku dimana, aku siapa. Dan Jane tidak menemukan siapapun kecuali presesi adik perempuannya yang tengah duduk disana. Serin yang semu
Suara gemercik air mengalir masih terdengar deras dari kamar mandi yang pintunya tertutup rapat itu. Hari sudah melewati fajar, jarum jam menunjuk angka tujuh, sementara satu onggok tubuh kecil wanita yang berbalut selimut disana seakan tidak punya niatan untuk membuka mata. Theo sudah selesai dengan ritual mandinya, jelas kalau ia sudah terlambat untuk berangkat ke kantor tetapi meski begitu, Theo dengan santai berpakaian, sesekali melirik istrinya yang masih terlelap tentram tanpa usik kendati Theo bolak-balik diruang tidur mereka. Rampung berpakaian Theo mulai melangkahkan kaki mendekati ranjang, duduk ditepian kasur. Matanya memandangi bagaimana cara oksigen dihirup dengan ritme tenang oleh Jane, melihat cantik dari wajah istrinya yang entah kapan luntur itu. Theo tidak berniat untuk membangunkan Jane sama sekali. Ia cukup tau diri. Setelah semalam dan subuh tadi Jane memenuhi keinginan batinnya, Theo tentunya tidak tega kalau harus membuat Jane d
Siang yang cerah diakhir pekan ini Jane memutuskan untuk menghabiskan waktu dirumah, bermain bersama anjing-anjingnya serta merebah guna menonton serial televisi.Benar. Akhir pekan, yang artinya Theo sedang ada dirumah.Namun dimana pria itu sekarang? Jane pernah bilang kalau Theo itu punya penyakit akut perfeksionis menyangkut pekerjaan bukan? Iya, hari ini pun, bahkan saat akhir pekan yang harusnya digunakan untuk liburan ini Theo masih menerima telfon dari orang kantor, menganggurkan istrinya yang cantik dan seksi, membuatnya menonton sendirian.Untung suami sendiri, rutuk Jane dalam hati. Kalau tidak, sudah Jane tukar tambah.Jane mendesah bosan. Ia meraih remote dimeja dengan ujung kakinya dan segera mengganti saluran televisi yang tengah menyajikan pertengkaran ala anak muda yang sangat iyuh untuk ditonton. Mengganti channel ke acara pergosipan luar negeri.Memeriksa berita panas apa saja yang sempat ia lewatkan selama satu pek
"Apa-apaan kamu? Jangan bercanda, Karin!" Suara keras itu menggema di setiap sudut ruang rumah yang besar ini. Amarah wanita anggun itu sepertinya sudah tak mampu dibendung lagi setelah telinganya mendengar berita yang terlampau mengejutkan. Semburan kalimat yang keras kian lancar mengalir dengan segala raut kecewa yang tak lagi ragu disembunyikan. "Maaf, Mah." sang anak yang matanya sembab dan masih setia menangis itu kembali merisak, menunduk dalam-dalam di sofa dengan jari bertaut, tak mempu menatap mata sang ibu. Jane dan Theo masih terduduk bersebelahan ditempat mereka yang sama. Pada kursi paling jauh dari dua ibu dan anak itu. Menyimak saja, setelah diawal tadi tak disuguhi satu percik ramah pun Jane dan Theo tentunya tidak mau mengatakan hal yang panjang lebar. Jane merestui niat baik Theo yang teringin menuruti kemauan Karin, duduk mendengarkan, menemani wanita itu mengungkapkan kebenaran, dan itu sudah cukup. Jane tidak mau Theo ikut
"Lu amatiran ya?" Jane menoleh cepat ketika telinganya mendengar suara Maria berbicara demikian. Dengan badan yang masih bergerak karena ada Ares dipangkuannya Jane menaikan alis kebingungan, ia bahkan menoleh ke sekeliling, mengira kalau Maria berbicara bukan padanya. "Apaan?" jawab Jane dengan pertanyaan juga ketika ia yakin kalau pertanyaan tentang amatir itu memang ditujukan untuknya. Wanita cantik yang rambutnya blonde itu mendecak-decak sembari menggelengkan kepala, dia kemudian mengukurkan tangan dan menyentuh sekitaran leher Jane. Jane mendelik kecil. "Nanti kakak ajarin adek cara menutup hickey dengan baik dan benar ya." Jangan lupa dengan nada suara Maria saat mengatakan itu. Jane bahkan sampai harus memicing sebal. Kalian tau kalau orang sedang mengejek sambil sok-sok mengajari? Seperti itulah Maria tadi. Tapi Jane juga tidak menyangka kalau tato yang Theo buat tadi pagi tidak tersamarkan dengan benar. Padaha
Pagi ini adalah jadwal rutin Jane untuk berolahraga. Memakai setelan ketat berwarna abu-abu tua dan juga rambut diikat satu Jane masih semangat melakukan gerakan-gerakan yang dilakukan instruktur di televisi sana. Lili memang niat sekali membantu Jane. Bumil itu bahkan memberikan CD senam yang lain, ada yoga, aerobik dan juga senam SKJ. Jane tinggal pilih mau olahraga jenis apa yang sedang ia inginkan. Padahal dari pada sendirian dirumah, Jane inginnya olahraga bersama dengan dua temannya itu. Tapi apalah daya, yang lain sedang sok sibuk dan Jane jadi satu-satunya orang yang kesepian.Jane menyeka sedikit keringat yang mulai muncul di dahinya. Menghela napas panjang sementara ia duduk guna menetralkan lelah, setelah dirasa cukup Jane segera berdiri, mematikan televisi dan menggulung matras berwarna merah muda yang ia gunakan tadi.Beralih melangkahkan kaki menuju dapur, mengambil satu gelas air putih kemudian diteguknya sembari berjalan menuju kamar.
Jika Jane selalu mengagum-agumkan kelebihan Theo pada setiap kesempatan, entah itu fisik atau kemampuannya, kali ini sebuah kejutan mendatanginya, sebuah pembuktian akan kalimat terkenal yang berbunyi ‘Tuhan itu maha adil’. Karena jika sebelumnya Jane pikir Theo sempurna dengan semua kelebihannya, kini Jane tau satu hal, bahwa Theo takut ketinggian. Dan tentunya Jane memang istri yang laknat karena bukannya khawatir ia justru tertawa terbahak-bahak sembari mengabadikan video dan foto wajah Theo yang pucat ketika berada di puncak. Bahkan Jane mengunggah video singkat saat Theo melakukan lepas landas ke beranda social medianya. ‘Kalo takut tinggi harusnya bilang dari awal dong, babe, denial teross sampe semaput.’ Padahal Theo tidak pingsan, hanya gemetaran dan pucat. Jane tidak henti menggoda Jane akan hal itu bahkan saat mereka sudah sampai di rumah dengan baik hari ini. Setelah pulang dari paralayang, Jane dan Theo langsung pulang ke Tangerang karena
Jane pernah mendengar nasihat ini dari seseorang. ‘Hiduplah dalam kebahagiaan, bersyukur, jangan terjun bebas hanya karena sebuah masalah, kalau ada masalah besar anggap kecil. Ada masalah kecil? Anggap tidak ada.’ Dan setuju serratus persen dengan itu. Kalian tau? Hidup tidak selalu harus berpikir atau tentang nelangsa. Meski, tentu saja tidak akan selalu bahagia, sedih juga bagian dari indahnya hidup, namun amat penting untuk manusia bisa menyikapi dengan benar kesedihan itu. Sebab beberapa kali angin menyampaikan, manusia-manusia terlampau frustasi dan menyalahkan masalah yang tengah dihadapi. Kanapa bicara panjang lebar sih, Je. Apa intinya? Jadi intinya, Jane tidak telalu memikirkan hasutan-hasutan negative yang Bu RT dan juga Serin berikan padanya. Jane memikirkannya tentu, hanya saja ia memilih untuk menunggu Theo menjelaskan. Terbukti dengan hari ini. Setelah berkeliling melawat dan berbelanja di Malioboro siang tadi, Jane dan Theo lan