Berdasarkan janji yang sudah dibuat semalam, Jane berserta Lili dan juga Maria akan bertemu di mall kota lantai pertama pada jam tiga sore.
Dan ternyata, tanpa disangka Jane adalah orang yang pertama kali datang. Menunggu pada kursi berderet yang hanya ada dirinya.
Setelah kemarin malam sedikit berbincang dengan ibunya, membicarakan tentang pertemuan dengan laki-laki yang ingin dikenalkan oleh eyang, Jane langsung menaiki tangga untuk kembali ke kamarnya.
Tidak ingin membahas hal seperti itu lebih jauh. Tak apa. Jane hanya perlu menghadiri satu pertemuan lalu menolak lelaki itu, membuat ilfeel dan juga mengatakan hal-hal yang bisa menyebabkan hilangnya rasa tertarik seseorang.
Karena tidak seperti sebelumnya. Kali ini Jane benar-benar tidak ingin terlibat dengan lelaki manapun selain Theo.
Suasana mall tidak terlalu ramai, mungkin karena hari ini bukanlah hari libur hingga tak banyak orang yang datang mencuci mata.
Jane menyibak surain
“Saya bawain belanjaanya.” Jane tidak bisa melakukan apapun, karena saat Theo mengucapkan kalimat yang terdengar seperti kalimat ijin itu tangan Theo juga sudah mengambil belanjaan yang ada di tangan Jane. Dan berhubung Jane juga sedang lelah. Dan merasa amat berterima kasih karena Theo mengurangi beberapa persen lelahnya maka Jane diam saja. Menerima niat baik dari mantan tetangganya itu. Tidak lama. Mungkin hanya beberapa menit, mereka sampai di tempat parkir bawah tanah. Jane bisa mengenali dengan jelas dimana Mendes diantara mobil-mobil mahal yang mengepungnya. Jane berlari kecil menuju mantan mobilnya. Sementara Theo sedikit tersenyum melihat itu, satu tangan lelaki itu yang bebas menekan kunci. Dan kemudian meletakan belanjaan Jane dikursi belakang. Jane duduk dikursi penumpang depan, menunggu Theo yang tengah bersiap-siap dikursinya, memasang seat belt dan juga memasukan kontak pada tempatnya Theo memutar kunci dan kemudian mene
Sudah mampir ke swalayan membeli bahan-bahan masak untuk membuat carbonara seperti yang direncanakan. Sudah pulang kerumah Jane juga berniat memasak makan malam itu karena kebetulan Jane membawa kunci rumahnya di tas. Namun Jane tidak jadi memasak. Kenapa? Karena gadis itu tiba-tiba teringat dengan fakta bahwa Theo yang kekurangan nutrisi hingga tumbang dan harus diinfus beberapa hari yang lalu. Jane tidak jadi masak pasta. Jane harus membuatkan sesuatu yang bergizi untuk Theo. Namun Jane hanya membeli bahan untuk membuat carbonara saja dan tidak dengan bahan yang lain, kulkas di rumahnya sudah mati dan tidak ada apapun didalamnya. Gas juga sudah Jane lepas. Maka Jane memutuskan untuk memesan menu diet dari salah satu akun terpercaya yang sudah pernah dicobanya. Theo juga hanya mengiyakan tanpa banyak protes. Lelaki itu dengan anteng menyetujui apa saja yang Jane mau. Tidak berapa lama. Pintu rumah Jane diketuk
Pasrah dengan apa yang dilakukan lelaki penuh pesona di depannya. Bahkan ketika tangan Theo mulai meninggalkan area larangan dari Jane dan perlahan naik menyelusup kedalam atasan yang gadis itu pakai sembari masih mencumbu keras, Jane hanya bisa menikmatinya. Memejamkan mata dan sesekali desah lirih mengudara, meremas bahu keras Theo ketika Jane merasakan tangan besar merajai kulit perutnya, mengusap lembut lalu memainkan piercing di pusar Jane. Gila! Theo memang gila. Dan Jane mengakui kalau dirinya tidak lebih waras dari itu. “Theo,” Jane mengucapkannya dengan suara selirih desau angin, namun pada jarak sedekat ini, pada keadaan dimana keduanya tak lagi punya ruang privasi, Theo jelas dapat mendengarnya. Mengalun merdu, dan seakan meniup sejuk segenap telinganya yang terasa panas. Theo masih mencumbu Jane seakan-akan Jane adalah nikotin yang pernah dicicipinya saat masa remaja, amat candu, dan sulit untuk berhenti, ga
Pagi-pagi sekali. Jane terbangun dari lelapnya tidur dan juga mimpi indah yang rasanya hanya berlangsung selama dua detik. Semalam Jane memutuskan untuk tidur di sofa setelah memeriksa kamar tidurnya yang tidak bercover, dan Jane rasa sudah terlalu malam untuk memasang seprei hanya untuk tidur satu malam, atau tepatnya Jane terlalu malas, jadi ia tidur di sofa sempit dari pada mau repot-repot. Seperti sudah rutinitas, Jane memejam sembari diam beberapa saat mengumpulkan nyawa, setelahnya gadis itu meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja, memeriksa benda yang ada dalam mode silent itu, Jane mengerjap beberapa kali, ada missed call dari Serin, Mama bahkan Maria. Jane tidak tau ada apa namun yang pasti melalui pesan singkat yang juga sudah sempat ia baca, orang rumah ingin Jane segera pulang. Kemungkinan besar memang ada hal penting yang harus disampaikan, namun dari pada menebak-nebak Jane akhirnya menelfon kembali nomor Ratna.
Jane kembali kerumahnya ketika Theo memasuki kamar mandi dan menutup pintu, Jane bahkan tidak mempermasalahkan scrub, sabun, dan semua alat mandinya yang dirampas oleh Theo. Apa tadi katanya? Saya mandi dulu nanti kita ke Maldives? Bisa ikutan sinting kalau Jane mendengarkanya terus menerus. Apalagi dengan kondisi jantung Jane yang disuguhi pemandangan indah dari pahatan tubuh Theo. Jane benar-benar harus menyingkir. Sebelum niatan untuk mengikuti Theo masuk ke kamar mandi itu merayap di otaknya. Oke. Sekarang berhenti membicarkan seberapa bagusnya tubuh orang lain. Jane mengutip selimut dan bantal yang ia gunakan untuk tidur tadi malam, mengembalikan semua barang-barang itu ketempat masing-masing, kemudian ia menuju dapur, melihat piring sisa makan dan juga gelas kotor disana. Jane menghela napas kecil, air sedang tidak nyala. Jadi mau bagaimana lagi. Jane mengambil sepasang sarung tangan plastic kemudian ia pasang pada dua ta
“Itu Jeje udah sampe.”Kata-kata itu yang pertama kali Jane dengar setelah langkah kakinya baru mengijak ambang pintu.Saat sedang sarapan dengan Theo tadi, ia langsung meminta cepat kembali karena ditelfon oleh Ratna, meski makanan mereka belum habis, tetapi karena Theo mendengar sendiri suara Ratna yang menyuruh putrinya untuk segera pulang, lelaki itu pun langsung berdiri dan mengantar Jane.Netra madu Jane memicing kaget.Siapa yang tidak.Jika tanpa ada angin atau hujan sedikitpun tiba-tiba ada keluarga besar dari Jogja sudah berkumpul di rumahnya, dengan pakaian yang rapih, begitu juga dengan orang tua Jane dan Serin. Padahal di halaman rumahnya tidak terlihat mobil lain selain milik ayah Jane.Sepertinya memang benar ada acara penting.Dua bibi Jane langsung mendekat, merangkul dua tangan Jane hingga gadis itu tak berkutik di tengah dua orang wanita dewasa itu.Jane menoleh bingung pada dua bibinya seca
Pertemuan keluarga itu sudah usai. Seratus dua puluh menit yang terbuang hanya untuk b**a-basi antar dua keluarga untuk pembicaraan bertemakan perkenalkan. Jane terkejut atau tidak? Entah. Harusnya iya. Namun daripada terkejut bahwa lelaki yang akan dikenalkan padanya itu adalah chef yang mengajarinya baking, Jane lebih-lebih tak percaya bahwa Digo terlihat seperti sudah mengetahui ini dan tidak punya sedikit pun niat untuk menolak. Mereka sedang ada di depan rumah.Memisahkan dari gerombolan berisik yang sedari tadi melemparkan godaan pada keduanya. Si gadis cantik berbalut kutu baru berwarna kuning itu menoleh, dua tangannya setia terlipat di depan dada. “Lo tau tentang ini sejak kapan?” tanya Jane, pada Digo yang duduk disebelahnya. Lelaki yang tatanan rambutnya rapih itu ikut menoleh pada Jane. Berbeda dengan wajah Jane yang jelas-jelas tidak punya percikan ramah sama sekali, Digo justru menampakan wajah biasa sa
Besoknya hidup Jane terasa berjalan lebih lambat. Karena ada eyang dirumah Jane jadi tidak diijinkan untuk pergi kemanapun, entah itu mengunjungi Maria, shopping bersama Lili atau bertemu dua-duanya sekaligus untuk mengurangi beban hidup. Jane terkurung dalam kamar. Meski tidak sepenuhnya. Ia boleh pergi ke lokasi dekat sini atau hanya sekitaran rumah, namun karena mood yang sudah terlanjur anjlok apalagi ditambah Jane yang sedang dapat tamu bulanan Jane jadi tidak berhasrat untuk melangkah turun dari kasur sekalipun. Mungkin Ratna yang memberitahukan itu pada sahabat-sahabat Jane hingga Lili datang kerumahnya sementara Maria melakukan panggilan video. Mereka tidak menyenggol perihal masalah rencana perjodohan Jane karena tau itu bisa membuat mood Jane lebih jeblok lagi. Meski Jane yakin mamanya juga sudah memberitahu hal itu. Digo brengsek, umpat Jane dalam hati. Karena setelah konversasi yang berisikan negosiasi antara dirinya dan Di
7 tahun kemudian.- “What the hell!” Umpatan itu terdengar dari mulut anak laki-laki yang tengah duduk dikursi penumpang mobil, mengudara jelas saat hening tengah melanda, ponsel lipat baru pemberian kakeknya yang sedang ia gunakan untuk bermain games tiba-tiba saja berbunyi mengacaukan permainannya. Menampilkan notifikasi panggilan. Theo yang duduk di kursi kemudi menoleh, matanya menyorot sang putra sulung berusia tujuh tahun yang baru saja mengumpat di depan hidungnya. “Siapa yang ngajarin kamu kata itu?” tanya Theo. Anak laki-laki yang memiliki wajah perpaduan apik dari ayah dan ibunya itu menoleh, memerkan raut muka acuh. “Sam sering dengar mommy bilang begitu.” Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Kata orang begitu. Dan Theo sudah membuktikannya sendiri. Bagaimana Samuel memiliki sifat acuh yang diturunkan darinya namun juga memiliki sisi nakal Jane yang sulit diatur. “Dad,” panggil bocah tampan itu, mata
--Suara detik jarum jam mengisi kekosongan dalam hampanya ruang hening yang diputari dinding berwarna putih itu. Ruang yang besar dan berisi satu ranjang lengkap dengan sofa dan meja disana. Ada satu wanita yang tengah berbaring dengan mata menutup diatas brangkar itu, memakai pakaian berwarna biru khas pasien rumah sakit sementara pada tangan kanannya terdapat selang menjuntai yang terhubung dengan satu kantong infus menggantung. Jane bergerak kecil, wajahnya yang cantik megerut tipis kala merasa pilu disetiap sendi tubuh. Bahkan untuk melakukan gerakan kecil saja Jane harus menahan pegal. Wanita dua puluh delapan tahun itu akhirnya membuka mata, menatap segenap putih langit-langit ruangan, sebelum kemudian menggerakan kepala sedikit, Jane sadar betul ia sedang berada dimana jadi tak perlu lagi drama seperti aku dimana, aku siapa. Dan Jane tidak menemukan siapapun kecuali presesi adik perempuannya yang tengah duduk disana. Serin yang semu
Suara gemercik air mengalir masih terdengar deras dari kamar mandi yang pintunya tertutup rapat itu. Hari sudah melewati fajar, jarum jam menunjuk angka tujuh, sementara satu onggok tubuh kecil wanita yang berbalut selimut disana seakan tidak punya niatan untuk membuka mata. Theo sudah selesai dengan ritual mandinya, jelas kalau ia sudah terlambat untuk berangkat ke kantor tetapi meski begitu, Theo dengan santai berpakaian, sesekali melirik istrinya yang masih terlelap tentram tanpa usik kendati Theo bolak-balik diruang tidur mereka. Rampung berpakaian Theo mulai melangkahkan kaki mendekati ranjang, duduk ditepian kasur. Matanya memandangi bagaimana cara oksigen dihirup dengan ritme tenang oleh Jane, melihat cantik dari wajah istrinya yang entah kapan luntur itu. Theo tidak berniat untuk membangunkan Jane sama sekali. Ia cukup tau diri. Setelah semalam dan subuh tadi Jane memenuhi keinginan batinnya, Theo tentunya tidak tega kalau harus membuat Jane d
Siang yang cerah diakhir pekan ini Jane memutuskan untuk menghabiskan waktu dirumah, bermain bersama anjing-anjingnya serta merebah guna menonton serial televisi.Benar. Akhir pekan, yang artinya Theo sedang ada dirumah.Namun dimana pria itu sekarang? Jane pernah bilang kalau Theo itu punya penyakit akut perfeksionis menyangkut pekerjaan bukan? Iya, hari ini pun, bahkan saat akhir pekan yang harusnya digunakan untuk liburan ini Theo masih menerima telfon dari orang kantor, menganggurkan istrinya yang cantik dan seksi, membuatnya menonton sendirian.Untung suami sendiri, rutuk Jane dalam hati. Kalau tidak, sudah Jane tukar tambah.Jane mendesah bosan. Ia meraih remote dimeja dengan ujung kakinya dan segera mengganti saluran televisi yang tengah menyajikan pertengkaran ala anak muda yang sangat iyuh untuk ditonton. Mengganti channel ke acara pergosipan luar negeri.Memeriksa berita panas apa saja yang sempat ia lewatkan selama satu pek
"Apa-apaan kamu? Jangan bercanda, Karin!" Suara keras itu menggema di setiap sudut ruang rumah yang besar ini. Amarah wanita anggun itu sepertinya sudah tak mampu dibendung lagi setelah telinganya mendengar berita yang terlampau mengejutkan. Semburan kalimat yang keras kian lancar mengalir dengan segala raut kecewa yang tak lagi ragu disembunyikan. "Maaf, Mah." sang anak yang matanya sembab dan masih setia menangis itu kembali merisak, menunduk dalam-dalam di sofa dengan jari bertaut, tak mempu menatap mata sang ibu. Jane dan Theo masih terduduk bersebelahan ditempat mereka yang sama. Pada kursi paling jauh dari dua ibu dan anak itu. Menyimak saja, setelah diawal tadi tak disuguhi satu percik ramah pun Jane dan Theo tentunya tidak mau mengatakan hal yang panjang lebar. Jane merestui niat baik Theo yang teringin menuruti kemauan Karin, duduk mendengarkan, menemani wanita itu mengungkapkan kebenaran, dan itu sudah cukup. Jane tidak mau Theo ikut
"Lu amatiran ya?" Jane menoleh cepat ketika telinganya mendengar suara Maria berbicara demikian. Dengan badan yang masih bergerak karena ada Ares dipangkuannya Jane menaikan alis kebingungan, ia bahkan menoleh ke sekeliling, mengira kalau Maria berbicara bukan padanya. "Apaan?" jawab Jane dengan pertanyaan juga ketika ia yakin kalau pertanyaan tentang amatir itu memang ditujukan untuknya. Wanita cantik yang rambutnya blonde itu mendecak-decak sembari menggelengkan kepala, dia kemudian mengukurkan tangan dan menyentuh sekitaran leher Jane. Jane mendelik kecil. "Nanti kakak ajarin adek cara menutup hickey dengan baik dan benar ya." Jangan lupa dengan nada suara Maria saat mengatakan itu. Jane bahkan sampai harus memicing sebal. Kalian tau kalau orang sedang mengejek sambil sok-sok mengajari? Seperti itulah Maria tadi. Tapi Jane juga tidak menyangka kalau tato yang Theo buat tadi pagi tidak tersamarkan dengan benar. Padaha
Pagi ini adalah jadwal rutin Jane untuk berolahraga. Memakai setelan ketat berwarna abu-abu tua dan juga rambut diikat satu Jane masih semangat melakukan gerakan-gerakan yang dilakukan instruktur di televisi sana. Lili memang niat sekali membantu Jane. Bumil itu bahkan memberikan CD senam yang lain, ada yoga, aerobik dan juga senam SKJ. Jane tinggal pilih mau olahraga jenis apa yang sedang ia inginkan. Padahal dari pada sendirian dirumah, Jane inginnya olahraga bersama dengan dua temannya itu. Tapi apalah daya, yang lain sedang sok sibuk dan Jane jadi satu-satunya orang yang kesepian.Jane menyeka sedikit keringat yang mulai muncul di dahinya. Menghela napas panjang sementara ia duduk guna menetralkan lelah, setelah dirasa cukup Jane segera berdiri, mematikan televisi dan menggulung matras berwarna merah muda yang ia gunakan tadi.Beralih melangkahkan kaki menuju dapur, mengambil satu gelas air putih kemudian diteguknya sembari berjalan menuju kamar.
Jika Jane selalu mengagum-agumkan kelebihan Theo pada setiap kesempatan, entah itu fisik atau kemampuannya, kali ini sebuah kejutan mendatanginya, sebuah pembuktian akan kalimat terkenal yang berbunyi ‘Tuhan itu maha adil’. Karena jika sebelumnya Jane pikir Theo sempurna dengan semua kelebihannya, kini Jane tau satu hal, bahwa Theo takut ketinggian. Dan tentunya Jane memang istri yang laknat karena bukannya khawatir ia justru tertawa terbahak-bahak sembari mengabadikan video dan foto wajah Theo yang pucat ketika berada di puncak. Bahkan Jane mengunggah video singkat saat Theo melakukan lepas landas ke beranda social medianya. ‘Kalo takut tinggi harusnya bilang dari awal dong, babe, denial teross sampe semaput.’ Padahal Theo tidak pingsan, hanya gemetaran dan pucat. Jane tidak henti menggoda Jane akan hal itu bahkan saat mereka sudah sampai di rumah dengan baik hari ini. Setelah pulang dari paralayang, Jane dan Theo langsung pulang ke Tangerang karena
Jane pernah mendengar nasihat ini dari seseorang. ‘Hiduplah dalam kebahagiaan, bersyukur, jangan terjun bebas hanya karena sebuah masalah, kalau ada masalah besar anggap kecil. Ada masalah kecil? Anggap tidak ada.’ Dan setuju serratus persen dengan itu. Kalian tau? Hidup tidak selalu harus berpikir atau tentang nelangsa. Meski, tentu saja tidak akan selalu bahagia, sedih juga bagian dari indahnya hidup, namun amat penting untuk manusia bisa menyikapi dengan benar kesedihan itu. Sebab beberapa kali angin menyampaikan, manusia-manusia terlampau frustasi dan menyalahkan masalah yang tengah dihadapi. Kanapa bicara panjang lebar sih, Je. Apa intinya? Jadi intinya, Jane tidak telalu memikirkan hasutan-hasutan negative yang Bu RT dan juga Serin berikan padanya. Jane memikirkannya tentu, hanya saja ia memilih untuk menunggu Theo menjelaskan. Terbukti dengan hari ini. Setelah berkeliling melawat dan berbelanja di Malioboro siang tadi, Jane dan Theo lan