Jane kembali kerumahnya ketika Theo memasuki kamar mandi dan menutup pintu, Jane bahkan tidak mempermasalahkan scrub, sabun, dan semua alat mandinya yang dirampas oleh Theo.
Apa tadi katanya? Saya mandi dulu nanti kita ke Maldives?
Bisa ikutan sinting kalau Jane mendengarkanya terus menerus. Apalagi dengan kondisi jantung Jane yang disuguhi pemandangan indah dari pahatan tubuh Theo. Jane benar-benar harus menyingkir.
Sebelum niatan untuk mengikuti Theo masuk ke kamar mandi itu merayap di otaknya.
Oke. Sekarang berhenti membicarkan seberapa bagusnya tubuh orang lain.
Jane mengutip selimut dan bantal yang ia gunakan untuk tidur tadi malam, mengembalikan semua barang-barang itu ketempat masing-masing, kemudian ia menuju dapur, melihat piring sisa makan dan juga gelas kotor disana.
Jane menghela napas kecil, air sedang tidak nyala. Jadi mau bagaimana lagi.
Jane mengambil sepasang sarung tangan plastic kemudian ia pasang pada dua ta
“Itu Jeje udah sampe.”Kata-kata itu yang pertama kali Jane dengar setelah langkah kakinya baru mengijak ambang pintu.Saat sedang sarapan dengan Theo tadi, ia langsung meminta cepat kembali karena ditelfon oleh Ratna, meski makanan mereka belum habis, tetapi karena Theo mendengar sendiri suara Ratna yang menyuruh putrinya untuk segera pulang, lelaki itu pun langsung berdiri dan mengantar Jane.Netra madu Jane memicing kaget.Siapa yang tidak.Jika tanpa ada angin atau hujan sedikitpun tiba-tiba ada keluarga besar dari Jogja sudah berkumpul di rumahnya, dengan pakaian yang rapih, begitu juga dengan orang tua Jane dan Serin. Padahal di halaman rumahnya tidak terlihat mobil lain selain milik ayah Jane.Sepertinya memang benar ada acara penting.Dua bibi Jane langsung mendekat, merangkul dua tangan Jane hingga gadis itu tak berkutik di tengah dua orang wanita dewasa itu.Jane menoleh bingung pada dua bibinya seca
Pertemuan keluarga itu sudah usai. Seratus dua puluh menit yang terbuang hanya untuk b**a-basi antar dua keluarga untuk pembicaraan bertemakan perkenalkan. Jane terkejut atau tidak? Entah. Harusnya iya. Namun daripada terkejut bahwa lelaki yang akan dikenalkan padanya itu adalah chef yang mengajarinya baking, Jane lebih-lebih tak percaya bahwa Digo terlihat seperti sudah mengetahui ini dan tidak punya sedikit pun niat untuk menolak. Mereka sedang ada di depan rumah.Memisahkan dari gerombolan berisik yang sedari tadi melemparkan godaan pada keduanya. Si gadis cantik berbalut kutu baru berwarna kuning itu menoleh, dua tangannya setia terlipat di depan dada. “Lo tau tentang ini sejak kapan?” tanya Jane, pada Digo yang duduk disebelahnya. Lelaki yang tatanan rambutnya rapih itu ikut menoleh pada Jane. Berbeda dengan wajah Jane yang jelas-jelas tidak punya percikan ramah sama sekali, Digo justru menampakan wajah biasa sa
Besoknya hidup Jane terasa berjalan lebih lambat. Karena ada eyang dirumah Jane jadi tidak diijinkan untuk pergi kemanapun, entah itu mengunjungi Maria, shopping bersama Lili atau bertemu dua-duanya sekaligus untuk mengurangi beban hidup. Jane terkurung dalam kamar. Meski tidak sepenuhnya. Ia boleh pergi ke lokasi dekat sini atau hanya sekitaran rumah, namun karena mood yang sudah terlanjur anjlok apalagi ditambah Jane yang sedang dapat tamu bulanan Jane jadi tidak berhasrat untuk melangkah turun dari kasur sekalipun. Mungkin Ratna yang memberitahukan itu pada sahabat-sahabat Jane hingga Lili datang kerumahnya sementara Maria melakukan panggilan video. Mereka tidak menyenggol perihal masalah rencana perjodohan Jane karena tau itu bisa membuat mood Jane lebih jeblok lagi. Meski Jane yakin mamanya juga sudah memberitahu hal itu. Digo brengsek, umpat Jane dalam hati. Karena setelah konversasi yang berisikan negosiasi antara dirinya dan Di
“Jadi siapa yang mau jelaskan?” suara senja itu terdengar dari ruangan santai berisi tujuh orang dewasa yang sedari tadi hening dalam ketegangan. Anak perempuan mereka baru kedatangan satu keluarga yang berniat menjadinya sebagai menantu hari kemarin, tiba-tiba kepergok sedang dikecup oleh laki-laki lain. Percayalah, Jane suka kecupan dari Theo. Hanya saja, yang tadi itu situasi dan kondisinya tidak tepat. Tanpa berani melirik nyonya tua yang duduk di seberang sana Jane lagi-lagi hanya menunduk dan memainkan jemari diatas paha. Merasakan suasana mencekam dari sidang dadakan yang terjadi siang ini. Jane harusnya sudah pernah bilang bahwa ia adalah keturunan seorang bangsawan Jogja yang masih amat sangat kolot. Saling kecup di muka umum bukanlah hal yang bagus, Jane tau itu, namun sepertinya Theo belum mengerti. Bukan, mungkin Theo mengerti namun sengaja melakukan itu untuk mengumumkan hubungannya dengan Jane. Theo hanya belum tau konsekuens
Inti masalahnya kembali lagi pada satu pasal itu. Pernikahan. Theo menoleh pada Jane, yang langsung dibalas oleh sang gadis. Mereka saling tatap beberapa detik sebelum Jane memutuskan untuk kembali menoleh pada neneknya. “Dua tahun lagi,” cetus Jane kemudian. Ia tidak berpikir panjang, tidak juga tau kenapa membalas begitu. Jane hanya mencoba melarikan diri dari situasi saat ini. Nantinya, bisa dipikirkan lagi. “Terlalu lama,” balas eyang dengan gelengan pelan. Mata Jane tiba-tiba bergetar. Theo masih menatapnya seakan sudah angkat tangan dan menyerahkan semua keputusan pada Jane. Jane mangangkat satu tangannya, mencoba bernegosiasi. “Satu setengah?” “Ndak tau eyang masih hidup atau enggak kalau nunggu sebegitu lama.” Jane merengek pelan setelah mendengar jawaban dari neneknya yang lagi-lagi menolak jawaban Jane. Kali ini setelah mengatakan hal itu eyang menatap Theo menunggu jawaban versi lelaki itu
'Satu tahun lagi? Baru pacaran berapa hari aja udah begitu apalagi nunggu setaun, bisa-bisa punya anak duluan kamu, Je!’ ‘Mama emang percaya sama Theo, sama kamunya yang enggak!’ ‘Nyosor duluan 'kan kamu? Pokoknya mama nggak terima bantahan, harus bulan depan, nggak mau tau!’ Jane mendesah kecil ketika mengingat apa saja kalimat-kalimat panjang yang ibunya semburkan padanya hari kemarin. Setelah selesai mengadakan sidang satu kali lagi dan juga mengusir Theo pulang, Jane kembali diadili saat mencoba untuk bernegosiasi. Dan begitulah. Akhirnya Jane akan mengadakan sebuah pernikahan atas nama dirinya sendiri tiga puluh hari lagi. Jane menghembuskan napas panjang ketika dirasa angin bersih menyapu permukaan kulitnya yang lembut, balkon kamarnya memang spot paling indah, gadis dengan dress selutut berwarna peach itu menoleh kearah lain. Melihat laki-laki yang memakai kaos putih sedang menyirami tanaman didepan rumah. “Heh duda bolo
Jane dan Theo sampai di square park setelah mengendarai mobil selama kurang lebih tiga puluh menit lamanya. Kenapa Jane mengajak Theo kesana? Tidak ada alasan khusus sebenarnya. Jane hanya asal menawarkan karena Theo bilang laki-laki itu belum pernah kemanapun selama tinggal di Tanggerang, dan Jane juga bukan tipe gadis yang suka pergi hangout ke taman atau kebun binatang dan tempat wisata yang ramai lainnya. Jadi mumpung bisa, kenapa tidak. Waktu berpacaran mereka habiskan dengan berjalan sembari bergandengan tangan, banyak mata yang terang-terangan menatap mereka namun Jane tidak terlalu mempedulikan. Melanjutkan kencan dengan memberi makan hewan-hewan, melihat anak-anak berkebun dan juga bermain dengan anjing. "Theo, pengen guguk," pinta Jane ketika gadis itu merasakan kegemasan yang memuncak saat bermain dengan anjing pudel berwarna putih di sana. Theo ikut menoleh pada Jane, gadisnya menampilkan mata yang berbinar-binar, pertanda bahwa Jane benar
Detik berganti menit, menit berubah menjadi satuan waktu lebih lama lagi, lalu waktu tiba-tiba saja sudah berlalu menjadi satu pekan yang terlewati. Setelah beberapa bulan menganggur, Jane tidak tau bahwasanya menjadi seorang wanita sibuk bisa membuatnya melupakan waktu. Seminggu ini ia ikut mempersiapkan beberapa tetek bengek pernikahan meski bibi bilang kalau Jane hanya perlu duduk dan menunggu, karena menjadi pengantin itu melelahkan, Jane harus pintar jaga energi. Tetapi, hei, seorang Janela mana bisa cuma duduk-duduk manja. Jemarinya gatal kalau tidak buru-buru nimbrung. Setelah rampung memilih gaun dan jas, baju adat, dekorasi serta lainnya akhirnya persiapan yang biasanya memerlukan waktu lama itu bisa dirangkap menjadi tujuh hari saja, dan Jane hanya tinggal menyiapkan mental. Hari ini, tepatnya malam ini, di rumah Jane yang biasanya hanya berisi sound sinetron India, terdengar suara-suara orang dewasa berbicara, ramai, dan juga menghasilkan s
7 tahun kemudian.- “What the hell!” Umpatan itu terdengar dari mulut anak laki-laki yang tengah duduk dikursi penumpang mobil, mengudara jelas saat hening tengah melanda, ponsel lipat baru pemberian kakeknya yang sedang ia gunakan untuk bermain games tiba-tiba saja berbunyi mengacaukan permainannya. Menampilkan notifikasi panggilan. Theo yang duduk di kursi kemudi menoleh, matanya menyorot sang putra sulung berusia tujuh tahun yang baru saja mengumpat di depan hidungnya. “Siapa yang ngajarin kamu kata itu?” tanya Theo. Anak laki-laki yang memiliki wajah perpaduan apik dari ayah dan ibunya itu menoleh, memerkan raut muka acuh. “Sam sering dengar mommy bilang begitu.” Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Kata orang begitu. Dan Theo sudah membuktikannya sendiri. Bagaimana Samuel memiliki sifat acuh yang diturunkan darinya namun juga memiliki sisi nakal Jane yang sulit diatur. “Dad,” panggil bocah tampan itu, mata
--Suara detik jarum jam mengisi kekosongan dalam hampanya ruang hening yang diputari dinding berwarna putih itu. Ruang yang besar dan berisi satu ranjang lengkap dengan sofa dan meja disana. Ada satu wanita yang tengah berbaring dengan mata menutup diatas brangkar itu, memakai pakaian berwarna biru khas pasien rumah sakit sementara pada tangan kanannya terdapat selang menjuntai yang terhubung dengan satu kantong infus menggantung. Jane bergerak kecil, wajahnya yang cantik megerut tipis kala merasa pilu disetiap sendi tubuh. Bahkan untuk melakukan gerakan kecil saja Jane harus menahan pegal. Wanita dua puluh delapan tahun itu akhirnya membuka mata, menatap segenap putih langit-langit ruangan, sebelum kemudian menggerakan kepala sedikit, Jane sadar betul ia sedang berada dimana jadi tak perlu lagi drama seperti aku dimana, aku siapa. Dan Jane tidak menemukan siapapun kecuali presesi adik perempuannya yang tengah duduk disana. Serin yang semu
Suara gemercik air mengalir masih terdengar deras dari kamar mandi yang pintunya tertutup rapat itu. Hari sudah melewati fajar, jarum jam menunjuk angka tujuh, sementara satu onggok tubuh kecil wanita yang berbalut selimut disana seakan tidak punya niatan untuk membuka mata. Theo sudah selesai dengan ritual mandinya, jelas kalau ia sudah terlambat untuk berangkat ke kantor tetapi meski begitu, Theo dengan santai berpakaian, sesekali melirik istrinya yang masih terlelap tentram tanpa usik kendati Theo bolak-balik diruang tidur mereka. Rampung berpakaian Theo mulai melangkahkan kaki mendekati ranjang, duduk ditepian kasur. Matanya memandangi bagaimana cara oksigen dihirup dengan ritme tenang oleh Jane, melihat cantik dari wajah istrinya yang entah kapan luntur itu. Theo tidak berniat untuk membangunkan Jane sama sekali. Ia cukup tau diri. Setelah semalam dan subuh tadi Jane memenuhi keinginan batinnya, Theo tentunya tidak tega kalau harus membuat Jane d
Siang yang cerah diakhir pekan ini Jane memutuskan untuk menghabiskan waktu dirumah, bermain bersama anjing-anjingnya serta merebah guna menonton serial televisi.Benar. Akhir pekan, yang artinya Theo sedang ada dirumah.Namun dimana pria itu sekarang? Jane pernah bilang kalau Theo itu punya penyakit akut perfeksionis menyangkut pekerjaan bukan? Iya, hari ini pun, bahkan saat akhir pekan yang harusnya digunakan untuk liburan ini Theo masih menerima telfon dari orang kantor, menganggurkan istrinya yang cantik dan seksi, membuatnya menonton sendirian.Untung suami sendiri, rutuk Jane dalam hati. Kalau tidak, sudah Jane tukar tambah.Jane mendesah bosan. Ia meraih remote dimeja dengan ujung kakinya dan segera mengganti saluran televisi yang tengah menyajikan pertengkaran ala anak muda yang sangat iyuh untuk ditonton. Mengganti channel ke acara pergosipan luar negeri.Memeriksa berita panas apa saja yang sempat ia lewatkan selama satu pek
"Apa-apaan kamu? Jangan bercanda, Karin!" Suara keras itu menggema di setiap sudut ruang rumah yang besar ini. Amarah wanita anggun itu sepertinya sudah tak mampu dibendung lagi setelah telinganya mendengar berita yang terlampau mengejutkan. Semburan kalimat yang keras kian lancar mengalir dengan segala raut kecewa yang tak lagi ragu disembunyikan. "Maaf, Mah." sang anak yang matanya sembab dan masih setia menangis itu kembali merisak, menunduk dalam-dalam di sofa dengan jari bertaut, tak mempu menatap mata sang ibu. Jane dan Theo masih terduduk bersebelahan ditempat mereka yang sama. Pada kursi paling jauh dari dua ibu dan anak itu. Menyimak saja, setelah diawal tadi tak disuguhi satu percik ramah pun Jane dan Theo tentunya tidak mau mengatakan hal yang panjang lebar. Jane merestui niat baik Theo yang teringin menuruti kemauan Karin, duduk mendengarkan, menemani wanita itu mengungkapkan kebenaran, dan itu sudah cukup. Jane tidak mau Theo ikut
"Lu amatiran ya?" Jane menoleh cepat ketika telinganya mendengar suara Maria berbicara demikian. Dengan badan yang masih bergerak karena ada Ares dipangkuannya Jane menaikan alis kebingungan, ia bahkan menoleh ke sekeliling, mengira kalau Maria berbicara bukan padanya. "Apaan?" jawab Jane dengan pertanyaan juga ketika ia yakin kalau pertanyaan tentang amatir itu memang ditujukan untuknya. Wanita cantik yang rambutnya blonde itu mendecak-decak sembari menggelengkan kepala, dia kemudian mengukurkan tangan dan menyentuh sekitaran leher Jane. Jane mendelik kecil. "Nanti kakak ajarin adek cara menutup hickey dengan baik dan benar ya." Jangan lupa dengan nada suara Maria saat mengatakan itu. Jane bahkan sampai harus memicing sebal. Kalian tau kalau orang sedang mengejek sambil sok-sok mengajari? Seperti itulah Maria tadi. Tapi Jane juga tidak menyangka kalau tato yang Theo buat tadi pagi tidak tersamarkan dengan benar. Padaha
Pagi ini adalah jadwal rutin Jane untuk berolahraga. Memakai setelan ketat berwarna abu-abu tua dan juga rambut diikat satu Jane masih semangat melakukan gerakan-gerakan yang dilakukan instruktur di televisi sana. Lili memang niat sekali membantu Jane. Bumil itu bahkan memberikan CD senam yang lain, ada yoga, aerobik dan juga senam SKJ. Jane tinggal pilih mau olahraga jenis apa yang sedang ia inginkan. Padahal dari pada sendirian dirumah, Jane inginnya olahraga bersama dengan dua temannya itu. Tapi apalah daya, yang lain sedang sok sibuk dan Jane jadi satu-satunya orang yang kesepian.Jane menyeka sedikit keringat yang mulai muncul di dahinya. Menghela napas panjang sementara ia duduk guna menetralkan lelah, setelah dirasa cukup Jane segera berdiri, mematikan televisi dan menggulung matras berwarna merah muda yang ia gunakan tadi.Beralih melangkahkan kaki menuju dapur, mengambil satu gelas air putih kemudian diteguknya sembari berjalan menuju kamar.
Jika Jane selalu mengagum-agumkan kelebihan Theo pada setiap kesempatan, entah itu fisik atau kemampuannya, kali ini sebuah kejutan mendatanginya, sebuah pembuktian akan kalimat terkenal yang berbunyi ‘Tuhan itu maha adil’. Karena jika sebelumnya Jane pikir Theo sempurna dengan semua kelebihannya, kini Jane tau satu hal, bahwa Theo takut ketinggian. Dan tentunya Jane memang istri yang laknat karena bukannya khawatir ia justru tertawa terbahak-bahak sembari mengabadikan video dan foto wajah Theo yang pucat ketika berada di puncak. Bahkan Jane mengunggah video singkat saat Theo melakukan lepas landas ke beranda social medianya. ‘Kalo takut tinggi harusnya bilang dari awal dong, babe, denial teross sampe semaput.’ Padahal Theo tidak pingsan, hanya gemetaran dan pucat. Jane tidak henti menggoda Jane akan hal itu bahkan saat mereka sudah sampai di rumah dengan baik hari ini. Setelah pulang dari paralayang, Jane dan Theo langsung pulang ke Tangerang karena
Jane pernah mendengar nasihat ini dari seseorang. ‘Hiduplah dalam kebahagiaan, bersyukur, jangan terjun bebas hanya karena sebuah masalah, kalau ada masalah besar anggap kecil. Ada masalah kecil? Anggap tidak ada.’ Dan setuju serratus persen dengan itu. Kalian tau? Hidup tidak selalu harus berpikir atau tentang nelangsa. Meski, tentu saja tidak akan selalu bahagia, sedih juga bagian dari indahnya hidup, namun amat penting untuk manusia bisa menyikapi dengan benar kesedihan itu. Sebab beberapa kali angin menyampaikan, manusia-manusia terlampau frustasi dan menyalahkan masalah yang tengah dihadapi. Kanapa bicara panjang lebar sih, Je. Apa intinya? Jadi intinya, Jane tidak telalu memikirkan hasutan-hasutan negative yang Bu RT dan juga Serin berikan padanya. Jane memikirkannya tentu, hanya saja ia memilih untuk menunggu Theo menjelaskan. Terbukti dengan hari ini. Setelah berkeliling melawat dan berbelanja di Malioboro siang tadi, Jane dan Theo lan