Share

Bab 4

Author: Dina Dwi
last update Last Updated: 2020-12-21 15:28:17

Selama di kelas Revan tahu bahwa ia selalu diperhatikan semua murid sekelasnya. Tapi ada satu orang yang mengusik pikiran dan membuat perasaan Revan menjadi tidak nyaman.

Ia merasa ditatap dengan pandangan berbeda dari yang lain, entah apa.

Revan menolehkan kepalanya ke kanan untuk memastikan. Ia melihat seorang laki-laki yang sedari tadi menatapnya dengan pandangan berbeda dan tidak ramah.

Mereka tanpa sadar saling melihat satu sama lain selama beberapa saat, sampai akhirnya laki-laki tadi memalingkan wajahnya dan memandang ke arah depan kelas.

Laki-laki itu duduk di paling belakang sebelah kiri sehingga terpisah dua meja dengan tempat duduknya Revan.

Revan masih melihat laki-laki itu.

Sepertinya dia membenciku, batin Revan setelah menyadari arti tatapan menusuk dari laki-laki itu.

Berbeda dengan tatapan teman sekelasnya yang lain.

Terserahlah, aku tidak peduli, ucap Revan dalam hati dan kembali memperhatikan pelajaran. Sampai suara bel tanda istirahat berbunyi.

Revan menghela napas saat melihat para gadis di kelasnya mulai mendekatinya. Guru yang mengajar bahkan belum keluar dari kelas dan mereka dengan tidak sopannya langsung berdiri dari tempat duduk.

Merepotkan sekali, batin Revan mulai memikirkan cara untuk melarikan diri.

*****

Revan menghentikan kegiatan belajarnya, ia mulai membereskan buku-buku pelajaran di meja belajarnya. Jam menunjukkan pukul sepuluh malam.

Perhatiannya sejenak terpaku pada sebuah buku. Buku yang ia pinjam dari perpustakaan sekolah.

Seketika Revan teringat perempuan yang ia temui di perpustakaan. Ia juga ingat perkataan perempuan itu. ‘Kuberi tahu ya, aku tidak mencari-cari perhatian seperti yang kau katakan. Dan kau sudah salah paham.’

Aku rasa dia memang bukan salah satu gadis yang seperti itu, batin Revan.

Menurutnya, jika gadis itu memang mengikutinya, sudah pasti dia memperlakukan Revan dengan perlakuan istimewa dan berkata-kata yang manis.

Sebaliknya gadis itu bersikap biasa dan sewajarnya.

Besok aku akan mengembalikan buku ini, batin Revan lagi.

*****

Revan mengambil sebuah buku dari rak yang berderet di depannya. Saat ini ia berada di perpustakaan.

Ia membuka buku yang tadi diambilnya, hanya sekilas saja. Ia membuka buku itu secara asal.

Revan tidak benar-benar membaca buku itu. Ia lebih fokus pada pikirannya karena ia merasa terganggu.

Ia tahu ada beberapa orang yang mengikutinya. Lebih tepat disebut beberapa gadis yang menguntitnya.

"Menyebalkan," gumam Revan samar yang hanya bisa didengar dirinya sendiri.

Revan kembali memperhatikan deretan buku di rak. Tanpa sengaja Revan melihat sosok gadis yang sedang duduk menghadap ke arah nya. Revan bisa melihatnya lewat sela-sela deretan buku dan rak buku. Sosok itu terlihat fokus membaca.

Tiba-tiba Revan memiliki niat untuk menghampiri sosok itu.

*****

Diana berjalan sambil melihat-lihat deretan buku di rak perpustakaan. Ditangannya sudah ada dua buku yang mau ia baca. Tiba-tiba langkahnya berhenti. Matanya sedikit menyipit untuk memastikan apa yang ia lihat.

Diana memiringkan kepalanya. Ia melihat buku yang kemarin menjadi rebutan antara dirinya dengan murid baru yang bernama Revan.

Bukanya seharusnya buku itu kembali esok hari? Entah siapa yang selesai mengerjakan tugas, batin Diana.

Ia jadi merasa ragu jika ini buku dari murid baru yang kemarin meminjam. Karena buku ini seharusnya ada besok hari dan bukan hari ini sesuai yang ia katakan.

Diana masih belum bergerak. Ia terdiam dan kemudian berpikir bahwa Revan mungkin tidak meminjam buku itu kemarin.

Jika memang seperti itu seharusnya Diana tak perlu memberikan buku itu padanya.

Akhirnya Diana memutuskan mengambil buku itu. Ia tidak mau kejadian kemarin terulang lagi. Berebut dengan siswa lain.

Teman sekelasnya belum ada yang selesai mengerjakan tugas itu. Entah bagaimana mereka mencari materi tugasnya karena bukunya sudah habis dipinjam oleh siswa kelas lain.

Setelah itu Diana duduk di salah satu meja yang ada di perpustakaan. Ia memilih meja yang tidak ada satupun orangnya dan duduk sendirian.

Ditengah-tengah kegiatan membaca yang Diana lakukan, tiba-tiba ia kehilangan fokus membacanya.

Ia mengalihkan perhatiannya dari buku yang dibacanya, beralih pada sosok yang mendekat ke mejanya.

Itulah alasan Diana kehilangan fokus. Sosok itu langsung duduk di seberang meja tepat di depan Diana sehingga mereka saling berhadapan.

Diana merasa canggung, orang itu seolah menganggap keberadaan Diana seperti angin karena tidak mengucapkan apa-apa tapi langsung duduk begitu saja.

Kemudian sebuah suara terdengar, "Jadi kau sudah mengambil buku yang aku pinjam kemarin," ucap sosok itu yang ternyata adalah Revan.

Diana tidak tahu itu sebuah pertanyaan atau pernyataan. Nada ucapannya terdengar datar.

"Begitulah. Kau sudah menggunakan buku ini dan tidak membutuhkannya jadi kau mengembalikannya hari ini?" Diana ikut melirik buku yang diperhatikan Revan.

Jadi Revan memang sudah selesai meminjamnya.

Tapi kenapa tidak ditaruh di tempat yang ditunjuk sih? Bagaimana kalau diambil orang? Atau dia yang tidak mengerti. Itu mungkin saja, karena Diana memang tidak mengatakannya dengan jelas dan hanya menunjuk saja.

Diana menghela napas pelan.

"Hm," Revan bergumam samar mengiyakan pertanyaan Diana.

Bisakah Diana menarik kesimpulan bahwa pemuda itu masih salah paham padanya. Mengira dia adalah salah satu penguntit dan masih tidak bersikap baik pada Diana.

Diana merasa jawaban yang diberikan dan semua ucapan dari pemuda itu terkesan cuek.

Tapi kalau dia masih salah paham padanya, kenapa dia mau duduk didekat Diana. Bukannya masih banyak meja yang kosong di perpustakaan ini.

Percaya atau tidak, sebenarnya Revan justru ingin berbasa-basi dengan Diana. Revan tahu seharusnya dia meminta izin dulu pada Diana sebelum duduk semeja dengan Diana.

Revan hanya bingung bagaimana berbicara pada Diana, sampai akhirnya saat ia duduk dan tidak sengaja melihat buku 'rebutan' di antara buku diatas meja. Revan mencoba membahas tentang itu.

Lalu sekarang Revan bingung apa yang mau dibicarakan lagi. Akhirnya pikiran lainpun datang, perpustakaan bukan tempat mengobrol dan semua meja di perpustakaan adalah hak semua orang.

Jadi ia tidak perlu minta izin dan ia juga tidak perlu berbicara lagi karena perpustakaan bukan tempat mengobrol.

Alhasil dengan pemikiran itu, Revan menghilangkan keinginan berbicaranya.

Mari beri tepuk tangan untuk Revan sebagai penghargaan. Ia memang adalah sosok orang pendiam dan antisosial yang sejati.

Kedengarannya keren tapi sebenarnya konyol. Revan sadarkah kau dengan dirimu ini.

Sekarang mari kita coba maklumi, Revan sebenarnya mendekati Diana karena dia merasa risih.

Risih karena terus dibuntuti oleh beberapa orang. Lebih tepatnya beberapa gadis penggemarnya.

Alasan dia ke perpustakaan untuk menjauh dari penggemarnya kini tidak berhasil untuk kedua kalinya. Kemarin mungkin dia bisa lolos.

Oleh karena itu Revan mendekati Diana yang sedang sendirian untuk membuat dirinya nyaman.

Revan merasa Diana tidak seperti penggemarnya. Diana bersikap biasa-biasa saja padanya. Tidak membuat Revan risih.

Di sisi lain, Diana melihat tiga orang gadis saling berbisik-bisik sambil melihat ke arahnya.

Diana sadar mereka sedang memperhatikan Revan. Kemudian salah satu gadis itu didorong oleh kedua temannya untuk mendekati Revan.

Sebelum gadis itu mendekat, seorang pemuda tiba-tiba datang dan duduk di sebelah Diana. Membuat semua aktivitas yang dilakukan Diana dan Revan bahkan gadis yang mau mendekati meja terhenti karena kaget.

Kaget karena pemuda itu berseru dengan keras, "Diana!" serunya sambil duduk di sebelah Diana.

*****

Related chapters

  • We Are   Bab 5

    "Kevin! Kau tidak boleh berteriak. Ini perpustakaan tahu!" Diana mengomel karena kesal dikagetkan oleh teman satu sekolah menengah pertama dengannya dulu. Sekarang mereka berbeda kelas. Sebenarnya Diana tidak akrab dengan Kevin, hanya saja Kevin suka sekali mendekatinya, begitu yang dipikirkan Diana di otaknya. Bukannya tidak tahu kalau Kevin menyukainya, hanya saja Diana sudah menyukai orang lain dan masih tetap menyukainya hingga sekarang. "Apa yang kau baca?" kata Kevin tanpa merasa bersalah. Diana menghela napas, "Memangnya kau tidak lihat?! Aku membaca buku." Kevin cemberut, "Aku tahu kau membaca buku, maksudku buku apa yang kau baca?" tanya Kevin tak menyerah sekalipun Diana membalasnya dengan dingin. "Nih, baca sendiri!" Diana menunjukkan sampul bukunya pada Kevin. Sebenarnya Diana ta

    Last Updated : 2020-12-21
  • We Are   Bab 6

    Kevin berjalan menuju halte yang sepi. Ia akan pulang sebelum rumah panti dikunci. Kalau tidak ia bisa terkunci di luar dan tidak bisa tidur di kasurnya karena telat pulang. Tidak ada yang ingin tidur diluar jika punya kasur empuk di kamar. Saat ia hendak duduk di halte itu, penglihatannya tak sengaja menangkap keberadaan orang yang ia kenal di dekatnya. Sebelumnya Kevin tidak sadar pada saat berjaan menuju ke sini. Ia hanya menggunakan sepeda motor saat bekerja dan itu bukan kendaraan miliknya melainkan restoran pizza tempat dimana ia bekerja. Kenapa sekarang ia harus bertemu dengan orang itu? "Kau?! Kenapa kau ada di sini?" Kevin spontan berseru pada orang yang tidak ia sukai itu. Kevin bisa melihat tatapan yang sama dari orang itu. Sama-sama tidak senang dengan keberadaan masing-masing. "Ini

    Last Updated : 2020-12-21
  • We Are   Bab 7

    Oh tidak. Kenapa aku begitu ceroboh. Bagaimana bisa aku lupa, batin Diana saat menyadari sesuatu. Diana langsung berdiri setelah menengok sembari menarik napas cepat, lalu, "Sepedaku!" Diana berteriak. Diana reflek mengejar sepedanya yang berjalan. Tentu saja ada yang mengendarainya. Sepeda Diana dipakai tanpa izin. Atau lebih tepatnya sepedanya di bawa kabur. Salahnya Diana yang belum memarkirkan sepedanya dengan benar dan menguncinya. Dia bahkan tak sadar membiarkan sepedanya berbaring di belakang halte. Revan dan Kevin masih bengong, sebelum akhirnya ikut menyusul Diana. "Tidak bisa.." Diana bergumam disela-sela acara larinya. Sepedanya tentu lebih cepat daripada larinya. Diana tak kehabisan akal, ia segera melepas sebelah sepatunya lalu melemparkannya dengan kekuatan penuh dan dengan bidikan yang akurat. "Takkan kubiarkan kau mengambil si merah!" seru Diana. Si merah adalah sebutan sepeda miliknya. Sepatu

    Last Updated : 2020-12-21
  • We Are   Bab 8

    Kevin sekarang ada di perpustakaan karena mencari Diana. Ia sebenarnya jarang bisa bersama dengan Diana karena Diana sering ke perpustakaan. Sekarang ia masuk ke dalam perpustakaan hanya untuk mencari Diana. Setelah mengelilingi perpustakaan, ia akhirnya menemukan Diana di meja paling pojok di belakang. Diana tampak serius membaca. Kevin langsung duduk tanpa permisi di kursi yang berhadapan dengan Diana. Diana segera sadar dan melihat Kevin saat Kevin mendekatinya. Kevin belum bicara dan hanya menatap Diana. Hingga akhirnya membuat Diana mengangkat sebelah alisnya setelah semenit berlalu dalam diam. Mereka saling menatap dalam diam selama itu. Diana merasa heran. Kevin sadar dengan reaksi Diana dan mengeluarkan suara dengan ragu-ragu, "Diana kau tahu kan, murid baru dikelasku?" Diana kini mengerutkan dahi mendengar ucapan Kevin.

    Last Updated : 2020-12-21
  • We Are   Bab 9

    "Kak Kevin mau kemana? Sekarang kakak piket bersih-bersih, apa kakak lupa?" Seorang anak berumur dua belas tahun menatap Kevin yang sedang membuka pintu. "Oh benarkah? Aku melupakan itu. Apa kau mau membantuku? Sekarang aku harus pergi," Kevin menatap penuh harap. "Memangnya kakak mau kemana? Bukannya kerjaan kakak libur hari ini? Jika aku tahu kemana kakak pergi, mungkin aku akan pertimbangkan membantu kakak," balas bocah itu. "Aku masih harus bekerja, karena sekarang aku menambah pekerjaan baru, yaitu menjadi pegawai swalayan. Jadi tolong bantu aku ya!" Kevin menyatukan telapak tangannya tanda permohonan. "Maaf ya kak. Sayangnya aku juga piket hari ini." Kevin lemas, " Kenapa tidak kau katakan-" Belum selesai perkataan Kevin, bocah itu berkata, "Tapi aku bisa meminta bantuan pada yang lainnya. Kakak tenang saja, mereka pasti mau membantu karena mereka pasti mengerti." Kevin tersenyum. "Jika menyangkut pekerj

    Last Updated : 2020-12-21
  • We Are   Bab 10

    "Apa kalian memang dekat?" David bertanya dengan semangat. David jarang melihat Diana bersama temannya. Bahkan Diana tak pernah mengajak seorang pun ke rumahnya. "Kami sebenarnya jarang bertemu." "Oh begitu," balas David kehilangan semangatnya. David menyadari perkataan Revan sebelumnya. "Kalian teman satu sekolah, tapi kalian bukan teman sekelas?" tanya David karena jika mereka teman sekelas Revan akan mengatakannya. Revan mengangguk. "Jadi itu alasannya kalian jarang bertemu," kata David. Hening beberapa saat sampai David menyambung ucapannya, "Oh ya, apa kau pernah melihat dia bersama temannya? Apa kau tahu teman dekat Diana?" Revan menggeleng, "Aku jarang melihatnya bersama temannya. Jadi aku tidak tahu siapa teman dekatnya." Begitu juga denganku, batin David yg tak pernah melihat Diana dekat dengan temannya. Revan tiba-tiba teringat seseorang yang kadang berada didekat Diana. Tapi ia tidak

    Last Updated : 2020-12-21
  • We Are   Bab 11

    "Aku bisa mengambilkan tasmu dikelas. Kau sekelas dengan Kevin, kan?" Diana berkata sembari berdiri dari kursinya yang ada di sebelah Revan. Revan mengangguk. "Tunggu dulu, jadi aku tertidur disini dan kau juga membolos?" "Iya, kau sudah diberi izin. Jika kau khawatir ketinggalan materi aku bisa membantumu." Revan menggeleng menolak bantuan Diana. Sebenarnya bukan itu maksud Revan. Dia sama sekali tidak khawatir tentang pelajaran, tapi ia heran dengan Diana yang menghabiskan waktu berjam-jam menemaninya? Dia bisa meninggalkannya. Semuanya dilakukan Diana karena rasa bersalah. Oh iya, Revan belum sempat menjawab permintaan maaf dari Diana tadi. Diana sekarang sudah pergi keluar ruangan. Revan baru sadar. Setelah Diana membawakan tas Revan. Ia menunggu kelas Revan kosong dan mencari tas yang tersisa dan tertinggal. Ia juga mengambil ta

    Last Updated : 2020-12-21
  • We Are   Bab 12

    "Aku pernah bertemu dengannya sekali. Saat itu aku menabraknya setelah mengantarmu di hari pertama kau sekolah." "Menabrak?" Revan menajamkan pandangannya. Itu terdengar seperti kecelakaan. Memang kecelakaan tapi kecelakaan kecil. "Maksudku menabraknya saat berjalan kaki pergi dari sekolahmu. Dia tidak memperhatikan jalannya karena terlalu fokus membaca." Valen menjelaskan tergesa karena sedikit panik. Revan mengiranya menabrak dengan mobil. "Kau tidak bisa menghindar?" Valen tersenyum, "Aku? Tentu saja bisa." Revan sudah menghilangkan tatapan tajamnya tapi sekarang menyipitkan matanya lagi. Ia mengerutkan kening. "Aku sengaja membiarkan dia menabrakku. Dia kelihatan terlalu fokus membaca. Saat itu tak ada orang atau siswa lain. Mungkin karena itu dia tidak memperhatika

    Last Updated : 2020-12-21

Latest chapter

  • We Are   Bab 90 (END)

    Suasana di sekitar mereka terasa lebih tenang setelah hiruk-pikuk acara kelulusan berakhir. Di sudut taman, Kevin dan Revan duduk di bangku kayu, menikmati hembusan angin yang sejuk.Diana sibuk berbicara dengan David, kakaknya, beberapa meter dari mereka. Ini kesempatan langka bagi Kevin dan Revan untuk berbicara empat mata tanpa gangguan.Kevin, dengan gaya santainya, menyandarkan punggung ke bangku dan menatap Revan dengan wajah penasaran. “Revan, aku penasaran dengan sesuatu.”Revan, seperti biasa, tetap tenang. Ia melirik Kevin sekilas sebelum kembali menatap langit yang mulai berubah warna. “Kenapa?”Kevin mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap Revan dengan rasa ingin tahu yang jelas terpancar di matanya. “Aku ingin bertanya padamu. Kenapa sampai sekarang kau belum juga mengungkapkan perasaanmu pada Diana? Kita sudah lulus, tapi kau tetap diam saja. Padahal aku ingat kau pernah bilang kalau kau menyukai Diana.”Revan tidak langsung menjawab. Kevin bertanya sesuatu yang diluar

  • We Are   Bab 89

    Beberapa bulan berlalu, waktu demi waktu terlewati.Langit biru cerah membentang luas, seakan merestui hari istimewa ini. Aula sekolah dipenuhi oleh para siswa, guru, dan keluarga yang datang dengan wajah penuh kebanggaan. Setelan rapi memenuhi ruangan, menciptakan suasana formal yang berbeda dari hari-hari biasa di sekolah.Kevin berdiri di antara kerumunan, mengenakan setelan jas seragamnya dengan dasi yang sedikit longgar. Ia merapikan rambutnya dan menghela napas panjang.“Sudah siap?” tanya Diana, berdiri di sampingnya.Kevin menyeringai. “Siap atau tidak, aku tetap harus lulus, bukan?”Diana tersenyum, lalu menoleh ke arah Revan yang berdiri di sisi lain. Berbeda dengan Kevin yang tampak santai, Revan terlihat tenang seperti biasa. Jas seragamnya terpasang sempurna, membuatnya tampak lebih dewasa.“Kau tidak gugup?” tanya Kevin, melirik sahabatnya.Revan mengangkat bahu. “Tidak ada alasan untuk gugup.”Kevin terkekeh. “Ya, tentu saja. Kau sudah tahu bahwa kau yang akan menjadi l

  • We Are   Bab 88

    Pagi itu, udara terasa segar dengan langit biru cerah. Kevin berdiri di depan rumah, merapikan seragamnya dengan satu tangan sementara tangan lainnya menggenggam tongkat yang masih ia gunakan untuk berjalan. Rasanya aneh mengenakan seragam lagi setelah sekian lama, tapi juga menyenangkan.Sebuah mobil hitam berhenti di depannya. Albert keluar dari kursi pengemudi dan melangkah mendekat. “Siap?”Kevin mengangguk mantap. “Tentu.”Albert membukakan pintu untuknya, dan Kevin masuk dengan hati-hati. Perjalanan menuju sekolah terasa sedikit nostalgik baginya. Ia menatap keluar jendela, melihat jalanan yang dulu begitu akrab, kini terasa sedikit berbeda setelah sekian lama absen.Begitu sampai di depan gerbang sekolah, Kevin menarik napas dalam-dalam. Ia bisa merasakan tatapan beberapa murid yang melihatnya turun dengan tongkat. Tapi sebelum ia sempat merasa canggung, suara familiar menyapanya.“Kevin.” Diana berlari kecil ke arahnya, diikuti oleh Revan yang berjalan lebih santai.Kevin ters

  • We Are   Bab 87

    Ruangan itu dipenuhi kehangatan. Lampu-lampu gantung berpendar lembut, menciptakan nuansa nyaman yang menyelimuti setiap sudut. Meja panjang tertata rapi dengan berbagai hidangan lezat, mengeluarkan aroma menggugah selera. Di dinding, sebuah spanduk besar bertuliskan "Selamat Kembali, Kevin!" tergantung dengan megah, seolah menjadi pusat dari semua perhatian.Kevin berdiri di ambang pintu, matanya berbinar saat melihat semua yang telah dipersiapkan untuknya. Setelah berbulan-bulan di rumah sakit, akhirnya ia bisa merasakan suasana seperti ini lagi—berada di antara orang-orang yang peduli padanya, dalam perayaan yang dibuat khusus untuknya.Di sampingnya, Albert menepuk pundaknya ringan. “Selamat datang kembali.”Kevin menoleh dan tersenyum. “Kak Albert, kau benar-benar tidak main-main.”“Tentu saja tidak,” ujar Albert sambil terkekeh. “Ini adalah hari istimewamu.”Mereka melangkah masuk, disambut oleh Diana dan Revan yang sudah menunggu di dalam. Beberapa orang lainnya juga hadir, memb

  • We Are   Bab 86

    Ruang terapi dipenuhi cahaya sore yang hangat, memantul di lantai putih yang mengilap. Suasana sunyi, hanya terdengar suara langkah-langkah pasien lain dan peralatan medis yang sesekali berbunyi.Di tengah ruangan, Kevin berdiri di antara dua batang besi paralel. Tangan kanannya mencengkeram erat besi, sementara tangan kirinya sedikit lebih longgar. Napasnya berat, matanya tertuju lurus ke depan.Diana dan Revan berdiri di sisi ruangan, menjaga jarak. Mereka mengawasi Kevin dengan seksama.Sebenarnya Albert juga menemani Kevin saat terapi di hari-hari sebelumnya, namun untuk kali ini ada pekerjaan yang membuatnya tidak hadir.Diana meremas jemarinya sendiri, matanya fokus memperhatikan Kevin, tapi ia menahan diri untuk tidak bersuara. Sementara itu, Revan berdiri dengan tangan bersedekap, ekspresinya tenang, tapi sorot matanya tajam, memperhatikan setiap gerakan Kevin dengan penuh harapan.Tidak jauh dari mereka, seorang dokter berusia sekitar empat puluhan berdiri dengan clipboard di

  • We Are   Bab 85

    Beberapa hari berlalu sejak pembahasan sekolah Diana.Saat ini Diana berdiri di depan cermin, mengenakan seragam sekolahnya. Ada perasaan aneh saat ia melihat pantulan dirinya sendiri. Seolah-olah ia mengenakan sesuatu yang familiar, tapi juga asing di saat yang bersamaan.Ia menatap dirinya lebih lama, mencoba mengingat sesuatu—apa pun. Tetapi pikirannya tetap kosong.Ketukan di pintu membuyarkan lamunannya.“Diana, ayo turun! Revan sudah datang menjemputmu!” suara David terdengar dari luar kamarnya.Diana mengernyit mendengar nama yang disebut kakaknya. “Revan?”“Iya, aku sudah menghubunginya semalam. Aku ingin dia menjagamu di sekolah,” sahut David menjelaskan pada Diana yang bingung.Diana merasa sedikit terkejut mendengar perkataan David. Namun, ia tidak membantah. Ia mengambil tasnya dan melangkah ke ruang tamu, di mana seorang laki-laki dengan rambut hitam berdiri dengan ekspresi datar namun tenang.“Hai,” sapa Revan singkat.Diana menatapnya beberapa detik, merasa sedikit bers

  • We Are   Bab 84

    Diana berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya yang ia ikat ke belakang dengan sederhana. Matanya menatap bayangannya sendiri.Suara notifikasi handphone berbunyi pelan membuyarkan lamunannya. Ia meraih handphonenya dan melihat pesan bahwa Revan sudah datang.Diana segera mengambil tasnya dan bergegas keluar. Tidak lupa mengunci pintu rumahnya.Di depan rumah, Revan sudah menunggunya di balik kemudi mobil hitamnya. Jendela di sisi pengemudi terbuka, memperlihatkan wajahnya yang seperti biasa, datar, tapi ada sedikit kelembutan di matanya.“Duduklah di samping kemudi,” katanya singkat pada Diana.Diana mengangguk sambil masuk ke mobil. Begitu pintu tertutup, Revan kembali melajukan mobil ke jalan. Beberapa saat berlalu dalam keheningan, hanya suara lembut musik dari radio yang mengisi ruang di antara mereka.“Kau kelihatan tegang,” kata Revan akhirnya, tanpa menoleh.Diana menarik napas. “Aku... cuma masih sedikit khawatir. Meski ini kedua kalinya aku menjenguk Kevin, tetap saja a

  • We Are   Bab 83

    Lorong rumah sakit dipenuhi bau antiseptik yang khas, bercampur dengan suara langkah kaki perawat yang berlalu-lalang. Lampu-lampu putih menerangi setiap sudutnya dengan cahaya dingin yang sedikit menyilaukan.Diana berjalan di samping David, kedua tangannya menggenggam ujung jaketnya dengan erat. Jantungnya berdebar tanpa alasan yang jelas. Ada kegelisahan aneh di dalam dirinya, sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan.Saat mereka berjalan di lorong, Diana melihat seseorang berjalan mendekat dari arah kanan mereka.Seorang pria dengan jaket hitam dan ekspresi tenang. Matanya tajam, namun ada sedikit kehangatan di balik sorotannya.Diana langsung mengenalinya. “Revan?”Revan menghentikan langkahnya dan menatap mereka. “Diana."Revan kemudian menoleh ke arah David, memberi anggukan kecil sebagai salam.Revan menatap mereka berdua sebelum akhirnya bertanya, “Kalian juga menjenguk Kevin?”David mengangguk. “Baru dapat kabar tadi pagi, Kevin sudah siuman sejak tadi malam. Kami ingin melihat

  • We Are   Bab 82

    Ruangan itu sunyi, hanya diisi suara alat monitor jantung yang berbunyi pelan. Lampu redup rumah sakit menerangi wajah seorang pria yang duduk di sofa samping tempat tidur pasien, matanya lelah, garis wajahnya penuh kecemasan yang telah menumpuk berhari-hari.Sudah berminggu-minggu Kevin koma setelah kecelakaan itu. Albert hampir kehilangan harapan, tapi ia tetap datang setiap hari, menunggu, berharap adiknya akan membuka mata dan memanggil namanya seperti dulu.Albert tampak duduk dengan mata tertutup, seolah sedang tidur. Tidak menyadari gerakan kecil dari arah kasur.Kelopak mata Kevin berkedut, lalu perlahan terbuka. Cahaya putih dari lampu rumah sakit menyilaukan pandangan kevin, membuatnya mengerjap beberapa kali. Nafasnya tersengal, dadanya naik turun pelan.Dunia di sekelilingnya terasa asing—bau antiseptik memenuhi hidungnya. Tubuhnya terasa lelah, kepalanya nyeri, seolah ada sesuatu yang dipaksakan masuk ke dalam pikirannya tetapi tetap tak bisa ia pahami.Kevin mengerang

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status