Saat ia sampai, Diana membuka pintu pagar dan pintu rumah dengan kunci cadangan yang selalu ia bawa. Sedangkan kunci utama dibawa oleh David.
Pintu yang terkunci menandakan David belum pulang ke rumah. Setelah masuk ke rumah, Diana melepaskan sepatunya dan menaruhnya di rak sepatu.
Tiba-tiba ponsel Diana berdering tanda sebuah pesan masuk. Diana mengambil ponselnya dari dalam tasnya. Diana membaca pesan itu sambil berjalan di ruang tamu.
Ternyata dari David, batin Diana.
'Diana, apa kau sudah pulang ke rumah? Malam ini aku akan menginap di rumah temanku. Jadi kau tidak usah menungguku, karena aku tidak akan pulang. Tidak apa-apa kan?'
Diana segera mengetik balasan pesan untuk David.
'Ya, tidak apa-apa. Aku mengerti. Aku sudah berada di rumah.'
Setelah pesan terkirim, Diana diam di tempatnya berdiri.
Perhatiannya yang awalnya berfokus pada ponselnya kini berpindah memperhatikan sebuah pintu. Itu adalah pintu kamar utama.
Diana mendekati pintu itu dan hendak membukanya. Belum sempat Diana menyentuh daun pintu, sebuah suara dering ponsel terdengar. Membuat kegiatan Diana terhenti.
Sebuah pesan balasan dari David masuk. Diana membuka dan membacanya.
'Baiklah kalau begitu. Ingat, kau jangan mendekati pintu kamar utama. Kau mengerti, kan?'
Diana tidak membalasnya. Ia kembali melihat pintu itu yang ada di depannya. Jangankan mendekati, Diana bahkan sudah mau membukanya.
Seolah tidak dilarang oleh David, Diana melanjutkan kegiatannya membuka pintu yang tadi sempat terhenti.
Tangannya sudah menyentuh daun pintu, dan saat Diana memutar daun pintu, ternyata pintu itu tidak terbuka.
Terkunci, batinnya.
Saat Diana menghela napas dan melepaskan tangannya dari daun pintu, tiba-tiba ada tangan lain yang menyentuh daun pintu. Diana terkejut, matanya mencari sosok yang memegang daun pintu itu.
Diana melihat seorang gadis kecil di dekatnya. Belum habis keterkejutannya, Diana dibuat lebih terkejut oleh anak itu.
Ternyata anak itu bisa membuka pintu kamar utama, yang tadi tidak bisa dilakukan Diana. Diana melihat anak itu juga masuk ke dalam kamar itu.
"Ayah, aku tidak bisa tidur di kamar. Aku mau tidur di sini dengan ibu dan ayah." Diana mendengar pembicaraan itu dalam kebisuan.
Anak kecil itu memakai piyama dan sedang memeluk sebuah bantal berbentuk hati berwarna merah.
"Ada apa, hm? Kenapa tidak bisa tidur? Sini," ucap orang yang disebut ayah itu menjawab sekaligus memanggil putrinya mendekat.
"Aku berusaha untuk tidur, tapi susah sekali. Ayah, ibu dimana?" anak itu memenuhi panggilan ayahnya dan mendekati orang yang ia sebut ayah tadi.
"Ibu ada di dalam kamar mandi," jawab orang yang disebut ayah itu mengangkat anaknya dan menggendongnya menuju kasur.
Anak kecil itu balas memeluk leher ayahnya.
"Ayah, ayo ceritakan dongeng untukku," pinta anak kecil itu.
Mendengar permintaan itu, ayahnya membelai rambut anak kecil itu.
"Boleh, tapi janji kamu akan tidur secepatnya. Karena besok pagi kamu harus sekolah."
"Janji."
Tiba-tiba pintu kamar mandi yang di dalam kamar terbuka. Seorang wanita keluar dari sana dan berkata, "Eh, kenapa di sini sayang? Kok belum tidur?"
"Ibu aku akan tidur di sini dengan ayah dan ibu. Aku juga akan diceritakan dongeng oleh ayah. Ayo, ibu juga dengarkan dongeng ayah."
Wanita yang disebut ibu itu tersenyum dan membalas, "Tentu."
Kemudian wanita itu bergabung bersama anak kecil itu dan sang ayah.
Adegan bahagia itu dilihat oleh Diana dengan pandangan mata berkaca-kaca. Ia merasa sedih. Tanpa sadar ia hendak mengulurkan tangannya ke depan. Tapi sesuatu menghalangi.
Tangannya terhalang oleh pintu. Akhirnya Diana perlahan terduduk dengan tangan yang menyentuh pintu, membuat tangannya itu terseret pelan di permukaan pintu karena mengikuti tubuhnya yang merosot.
Diana berusaha untuk tidak menangis. Dengan tangan lainnya, Diana menutup mulutnya. ia berhasil membuat suaranya tidak terdengar dari mulutnya. Tidak ada suara isakan. Tapi ada air mata yang mengalir di pipinya dengan sangat deras.
Diana menangis di depan pintu yang tertutup rapat setelah melihat adegan bahagia tadi. Menangis setelah menyadari bahwa yang ia lihat adalah masa lalunya. Masa lalu yang bahagia bersama kedua orang tuanya.
*****
Seorang pemuda tampan yang memiliki rambut berwarna hitam dan warna mata sekelam malam terlihat menghela napas.
Ia kemudian memandang sosok pemuda lainnya yang bersama dirinya saat itu.
"Aku mengerti kalau kau mau mengantarku ke sekolah." Pemuda tampan itu buka suara.
"Hm?" gumam pemuda yang diajak bicara dan menoleh kearahnya. Pemuda itu mirip dengannya hanya usianya lebih tua.
"Tapi tidak perlu juga mengantarku sampai di ruang kelas." Tampak pemuda tampan itu mengerutkan keningnya karena rasa kurang senangnya.
"Siapa bilang aku mau mengantarmu ke ruang kelas. Aku mau mengantarmu ke ruang kepala sekolah," balas pemuda yang lebih tua.
Pemuda tampan itu mendengus, "Itu yang aku maksud. Entah itu ruang kelas ataupun ruang kepala sekolah tetap saja kau tidak perlu mengantarku sampai ke sini. Cukup di depan gerbang saja."
Tidak dijawab, pemuda tampan itu melanjutkan, "Aku tidak membutuhkan bantuanmu untuk yang satu ini. Aku bukan anak kecil yang tidak tahu apa-apa."
"Kita sudah sampai," ucap pemuda yang lebih tua seolah tidak mendengar, pemuda yang terlihat lebih tua dari pemuda tampan itu mendekati sebuah pintu lalu membukanya.
Pemuda tampan itu melihat papan nama ruangan yang tergantung. 'Ruang tunggu'. Ruangan ini disarankan untuk didatangi oleh satpam sekolah pada mereka karena belum ada guru yang datang.
Pemuda tampan itu menghela napas lagi. Ia membiarkan pemuda yang lebih tua melakukan apa yang diinginkan.
Terserahlah, dasar kakak yang menyebalkan, batin pemuda tampan itu.
"Revan Gael, kenapa kau masih disitu?" pemuda yang disebut kakak itu memanggilnya.
Ia lagi-lagi mendengus dan menjawab, "Dasar. Kau bersabarlah sedikit, Valen Gael."
"Dan kau juga. Sopanlah sedikit pada kakakmu," balas Valen.
*****
"Silahkan perkenalkan dirimu," ucap sang guru. Dibalas dengan anggukan oleh Revan.
"Perkenalkan nama saya Revan Gael. Mohon bantuan teman-teman untuk kedepannya," Revan memperkenalkan diri secara singkat. Ia tidak mau bicara panjang lebar.
Kelas yang awalnya hening karena penghuninya terlalu fokus memperhatikan sang murid baru, seketika gaduh setelah Revan memperkenalkan diri.
Banyak murid yang bertanya pada Revan.
"Apa kau sudah punya kekasih?"
"Boleh aku minta nomor telepon mu, Revan?"
"Aku mau alamat emailmu, bolehkah?"
"Apa hobimu?"
"Makanan apa yang kau sukai? Aku akan membuatnya untukmu besok."
Sang guru merasa perlu untuk bertindak, dia segera menyuruh Revan duduk di bangku yang kosong yang berada di paling belakang bagian sebelah kanan di samping jendela.
Revan menuruti perintah sang guru.
Saat Revan berjalan menuju tempat duduknya, ia masih terus ditanya oleh murid-murid di kelas yang kebanyakan adalah perempuan. Tapi Revan mengabaikan semuanya.
Tepat saat Revan duduk, sang guru langsung memulai proses belajar mengajar agar siswanya bisa mengalihkan perhatian dari Revan dan fokus pada pelajaran.
*****
Selama di kelas Revan tahu bahwa ia selalu diperhatikan semua murid sekelasnya. Tapi ada satu orang yang mengusik pikiran dan membuat perasaan Revan menjadi tidak nyaman. Ia merasa ditatap dengan pandangan berbeda dari yang lain, entah apa. Revan menolehkan kepalanya ke kanan untuk memastikan. Ia melihat seorang laki-laki yang sedari tadi menatapnya dengan pandangan berbeda dan tidak ramah. Mereka tanpa sadar saling melihat satu sama lain selama beberapa saat, sampai akhirnya laki-laki tadi memalingkan wajahnya dan memandang ke arah depan kelas. Laki-laki itu duduk di paling belakang sebelah kiri sehingga terpisah dua meja dengan tempat duduknya Revan. Revan masih melihat laki-laki itu. Sepertinya dia membenciku, batin Revan setelah menyadari arti tatapan menusuk dari laki-laki itu. Berbeda
"Kevin! Kau tidak boleh berteriak. Ini perpustakaan tahu!" Diana mengomel karena kesal dikagetkan oleh teman satu sekolah menengah pertama dengannya dulu. Sekarang mereka berbeda kelas. Sebenarnya Diana tidak akrab dengan Kevin, hanya saja Kevin suka sekali mendekatinya, begitu yang dipikirkan Diana di otaknya. Bukannya tidak tahu kalau Kevin menyukainya, hanya saja Diana sudah menyukai orang lain dan masih tetap menyukainya hingga sekarang. "Apa yang kau baca?" kata Kevin tanpa merasa bersalah. Diana menghela napas, "Memangnya kau tidak lihat?! Aku membaca buku." Kevin cemberut, "Aku tahu kau membaca buku, maksudku buku apa yang kau baca?" tanya Kevin tak menyerah sekalipun Diana membalasnya dengan dingin. "Nih, baca sendiri!" Diana menunjukkan sampul bukunya pada Kevin. Sebenarnya Diana ta
Kevin berjalan menuju halte yang sepi. Ia akan pulang sebelum rumah panti dikunci. Kalau tidak ia bisa terkunci di luar dan tidak bisa tidur di kasurnya karena telat pulang. Tidak ada yang ingin tidur diluar jika punya kasur empuk di kamar. Saat ia hendak duduk di halte itu, penglihatannya tak sengaja menangkap keberadaan orang yang ia kenal di dekatnya. Sebelumnya Kevin tidak sadar pada saat berjaan menuju ke sini. Ia hanya menggunakan sepeda motor saat bekerja dan itu bukan kendaraan miliknya melainkan restoran pizza tempat dimana ia bekerja. Kenapa sekarang ia harus bertemu dengan orang itu? "Kau?! Kenapa kau ada di sini?" Kevin spontan berseru pada orang yang tidak ia sukai itu. Kevin bisa melihat tatapan yang sama dari orang itu. Sama-sama tidak senang dengan keberadaan masing-masing. "Ini
Oh tidak. Kenapa aku begitu ceroboh. Bagaimana bisa aku lupa, batin Diana saat menyadari sesuatu. Diana langsung berdiri setelah menengok sembari menarik napas cepat, lalu, "Sepedaku!" Diana berteriak. Diana reflek mengejar sepedanya yang berjalan. Tentu saja ada yang mengendarainya. Sepeda Diana dipakai tanpa izin. Atau lebih tepatnya sepedanya di bawa kabur. Salahnya Diana yang belum memarkirkan sepedanya dengan benar dan menguncinya. Dia bahkan tak sadar membiarkan sepedanya berbaring di belakang halte. Revan dan Kevin masih bengong, sebelum akhirnya ikut menyusul Diana. "Tidak bisa.." Diana bergumam disela-sela acara larinya. Sepedanya tentu lebih cepat daripada larinya. Diana tak kehabisan akal, ia segera melepas sebelah sepatunya lalu melemparkannya dengan kekuatan penuh dan dengan bidikan yang akurat. "Takkan kubiarkan kau mengambil si merah!" seru Diana. Si merah adalah sebutan sepeda miliknya. Sepatu
Kevin sekarang ada di perpustakaan karena mencari Diana. Ia sebenarnya jarang bisa bersama dengan Diana karena Diana sering ke perpustakaan. Sekarang ia masuk ke dalam perpustakaan hanya untuk mencari Diana. Setelah mengelilingi perpustakaan, ia akhirnya menemukan Diana di meja paling pojok di belakang. Diana tampak serius membaca. Kevin langsung duduk tanpa permisi di kursi yang berhadapan dengan Diana. Diana segera sadar dan melihat Kevin saat Kevin mendekatinya. Kevin belum bicara dan hanya menatap Diana. Hingga akhirnya membuat Diana mengangkat sebelah alisnya setelah semenit berlalu dalam diam. Mereka saling menatap dalam diam selama itu. Diana merasa heran. Kevin sadar dengan reaksi Diana dan mengeluarkan suara dengan ragu-ragu, "Diana kau tahu kan, murid baru dikelasku?" Diana kini mengerutkan dahi mendengar ucapan Kevin.
"Kak Kevin mau kemana? Sekarang kakak piket bersih-bersih, apa kakak lupa?" Seorang anak berumur dua belas tahun menatap Kevin yang sedang membuka pintu. "Oh benarkah? Aku melupakan itu. Apa kau mau membantuku? Sekarang aku harus pergi," Kevin menatap penuh harap. "Memangnya kakak mau kemana? Bukannya kerjaan kakak libur hari ini? Jika aku tahu kemana kakak pergi, mungkin aku akan pertimbangkan membantu kakak," balas bocah itu. "Aku masih harus bekerja, karena sekarang aku menambah pekerjaan baru, yaitu menjadi pegawai swalayan. Jadi tolong bantu aku ya!" Kevin menyatukan telapak tangannya tanda permohonan. "Maaf ya kak. Sayangnya aku juga piket hari ini." Kevin lemas, " Kenapa tidak kau katakan-" Belum selesai perkataan Kevin, bocah itu berkata, "Tapi aku bisa meminta bantuan pada yang lainnya. Kakak tenang saja, mereka pasti mau membantu karena mereka pasti mengerti." Kevin tersenyum. "Jika menyangkut pekerj
"Apa kalian memang dekat?" David bertanya dengan semangat. David jarang melihat Diana bersama temannya. Bahkan Diana tak pernah mengajak seorang pun ke rumahnya. "Kami sebenarnya jarang bertemu." "Oh begitu," balas David kehilangan semangatnya. David menyadari perkataan Revan sebelumnya. "Kalian teman satu sekolah, tapi kalian bukan teman sekelas?" tanya David karena jika mereka teman sekelas Revan akan mengatakannya. Revan mengangguk. "Jadi itu alasannya kalian jarang bertemu," kata David. Hening beberapa saat sampai David menyambung ucapannya, "Oh ya, apa kau pernah melihat dia bersama temannya? Apa kau tahu teman dekat Diana?" Revan menggeleng, "Aku jarang melihatnya bersama temannya. Jadi aku tidak tahu siapa teman dekatnya." Begitu juga denganku, batin David yg tak pernah melihat Diana dekat dengan temannya. Revan tiba-tiba teringat seseorang yang kadang berada didekat Diana. Tapi ia tidak
"Aku bisa mengambilkan tasmu dikelas. Kau sekelas dengan Kevin, kan?" Diana berkata sembari berdiri dari kursinya yang ada di sebelah Revan. Revan mengangguk. "Tunggu dulu, jadi aku tertidur disini dan kau juga membolos?" "Iya, kau sudah diberi izin. Jika kau khawatir ketinggalan materi aku bisa membantumu." Revan menggeleng menolak bantuan Diana. Sebenarnya bukan itu maksud Revan. Dia sama sekali tidak khawatir tentang pelajaran, tapi ia heran dengan Diana yang menghabiskan waktu berjam-jam menemaninya? Dia bisa meninggalkannya. Semuanya dilakukan Diana karena rasa bersalah. Oh iya, Revan belum sempat menjawab permintaan maaf dari Diana tadi. Diana sekarang sudah pergi keluar ruangan. Revan baru sadar. Setelah Diana membawakan tas Revan. Ia menunggu kelas Revan kosong dan mencari tas yang tersisa dan tertinggal. Ia juga mengambil ta
Suasana di sekitar mereka terasa lebih tenang setelah hiruk-pikuk acara kelulusan berakhir. Di sudut taman, Kevin dan Revan duduk di bangku kayu, menikmati hembusan angin yang sejuk.Diana sibuk berbicara dengan David, kakaknya, beberapa meter dari mereka. Ini kesempatan langka bagi Kevin dan Revan untuk berbicara empat mata tanpa gangguan.Kevin, dengan gaya santainya, menyandarkan punggung ke bangku dan menatap Revan dengan wajah penasaran. “Revan, aku penasaran dengan sesuatu.”Revan, seperti biasa, tetap tenang. Ia melirik Kevin sekilas sebelum kembali menatap langit yang mulai berubah warna. “Kenapa?”Kevin mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap Revan dengan rasa ingin tahu yang jelas terpancar di matanya. “Aku ingin bertanya padamu. Kenapa sampai sekarang kau belum juga mengungkapkan perasaanmu pada Diana? Kita sudah lulus, tapi kau tetap diam saja. Padahal aku ingat kau pernah bilang kalau kau menyukai Diana.”Revan tidak langsung menjawab. Kevin bertanya sesuatu yang diluar
Beberapa bulan berlalu, waktu demi waktu terlewati.Langit biru cerah membentang luas, seakan merestui hari istimewa ini. Aula sekolah dipenuhi oleh para siswa, guru, dan keluarga yang datang dengan wajah penuh kebanggaan. Setelan rapi memenuhi ruangan, menciptakan suasana formal yang berbeda dari hari-hari biasa di sekolah.Kevin berdiri di antara kerumunan, mengenakan setelan jas seragamnya dengan dasi yang sedikit longgar. Ia merapikan rambutnya dan menghela napas panjang.“Sudah siap?” tanya Diana, berdiri di sampingnya.Kevin menyeringai. “Siap atau tidak, aku tetap harus lulus, bukan?”Diana tersenyum, lalu menoleh ke arah Revan yang berdiri di sisi lain. Berbeda dengan Kevin yang tampak santai, Revan terlihat tenang seperti biasa. Jas seragamnya terpasang sempurna, membuatnya tampak lebih dewasa.“Kau tidak gugup?” tanya Kevin, melirik sahabatnya.Revan mengangkat bahu. “Tidak ada alasan untuk gugup.”Kevin terkekeh. “Ya, tentu saja. Kau sudah tahu bahwa kau yang akan menjadi l
Pagi itu, udara terasa segar dengan langit biru cerah. Kevin berdiri di depan rumah, merapikan seragamnya dengan satu tangan sementara tangan lainnya menggenggam tongkat yang masih ia gunakan untuk berjalan. Rasanya aneh mengenakan seragam lagi setelah sekian lama, tapi juga menyenangkan.Sebuah mobil hitam berhenti di depannya. Albert keluar dari kursi pengemudi dan melangkah mendekat. “Siap?”Kevin mengangguk mantap. “Tentu.”Albert membukakan pintu untuknya, dan Kevin masuk dengan hati-hati. Perjalanan menuju sekolah terasa sedikit nostalgik baginya. Ia menatap keluar jendela, melihat jalanan yang dulu begitu akrab, kini terasa sedikit berbeda setelah sekian lama absen.Begitu sampai di depan gerbang sekolah, Kevin menarik napas dalam-dalam. Ia bisa merasakan tatapan beberapa murid yang melihatnya turun dengan tongkat. Tapi sebelum ia sempat merasa canggung, suara familiar menyapanya.“Kevin.” Diana berlari kecil ke arahnya, diikuti oleh Revan yang berjalan lebih santai.Kevin ters
Ruangan itu dipenuhi kehangatan. Lampu-lampu gantung berpendar lembut, menciptakan nuansa nyaman yang menyelimuti setiap sudut. Meja panjang tertata rapi dengan berbagai hidangan lezat, mengeluarkan aroma menggugah selera. Di dinding, sebuah spanduk besar bertuliskan "Selamat Kembali, Kevin!" tergantung dengan megah, seolah menjadi pusat dari semua perhatian.Kevin berdiri di ambang pintu, matanya berbinar saat melihat semua yang telah dipersiapkan untuknya. Setelah berbulan-bulan di rumah sakit, akhirnya ia bisa merasakan suasana seperti ini lagi—berada di antara orang-orang yang peduli padanya, dalam perayaan yang dibuat khusus untuknya.Di sampingnya, Albert menepuk pundaknya ringan. “Selamat datang kembali.”Kevin menoleh dan tersenyum. “Kak Albert, kau benar-benar tidak main-main.”“Tentu saja tidak,” ujar Albert sambil terkekeh. “Ini adalah hari istimewamu.”Mereka melangkah masuk, disambut oleh Diana dan Revan yang sudah menunggu di dalam. Beberapa orang lainnya juga hadir, memb
Ruang terapi dipenuhi cahaya sore yang hangat, memantul di lantai putih yang mengilap. Suasana sunyi, hanya terdengar suara langkah-langkah pasien lain dan peralatan medis yang sesekali berbunyi.Di tengah ruangan, Kevin berdiri di antara dua batang besi paralel. Tangan kanannya mencengkeram erat besi, sementara tangan kirinya sedikit lebih longgar. Napasnya berat, matanya tertuju lurus ke depan.Diana dan Revan berdiri di sisi ruangan, menjaga jarak. Mereka mengawasi Kevin dengan seksama.Sebenarnya Albert juga menemani Kevin saat terapi di hari-hari sebelumnya, namun untuk kali ini ada pekerjaan yang membuatnya tidak hadir.Diana meremas jemarinya sendiri, matanya fokus memperhatikan Kevin, tapi ia menahan diri untuk tidak bersuara. Sementara itu, Revan berdiri dengan tangan bersedekap, ekspresinya tenang, tapi sorot matanya tajam, memperhatikan setiap gerakan Kevin dengan penuh harapan.Tidak jauh dari mereka, seorang dokter berusia sekitar empat puluhan berdiri dengan clipboard di
Beberapa hari berlalu sejak pembahasan sekolah Diana.Saat ini Diana berdiri di depan cermin, mengenakan seragam sekolahnya. Ada perasaan aneh saat ia melihat pantulan dirinya sendiri. Seolah-olah ia mengenakan sesuatu yang familiar, tapi juga asing di saat yang bersamaan.Ia menatap dirinya lebih lama, mencoba mengingat sesuatu—apa pun. Tetapi pikirannya tetap kosong.Ketukan di pintu membuyarkan lamunannya.“Diana, ayo turun! Revan sudah datang menjemputmu!” suara David terdengar dari luar kamarnya.Diana mengernyit mendengar nama yang disebut kakaknya. “Revan?”“Iya, aku sudah menghubunginya semalam. Aku ingin dia menjagamu di sekolah,” sahut David menjelaskan pada Diana yang bingung.Diana merasa sedikit terkejut mendengar perkataan David. Namun, ia tidak membantah. Ia mengambil tasnya dan melangkah ke ruang tamu, di mana seorang laki-laki dengan rambut hitam berdiri dengan ekspresi datar namun tenang.“Hai,” sapa Revan singkat.Diana menatapnya beberapa detik, merasa sedikit bers
Diana berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya yang ia ikat ke belakang dengan sederhana. Matanya menatap bayangannya sendiri.Suara notifikasi handphone berbunyi pelan membuyarkan lamunannya. Ia meraih handphonenya dan melihat pesan bahwa Revan sudah datang.Diana segera mengambil tasnya dan bergegas keluar. Tidak lupa mengunci pintu rumahnya.Di depan rumah, Revan sudah menunggunya di balik kemudi mobil hitamnya. Jendela di sisi pengemudi terbuka, memperlihatkan wajahnya yang seperti biasa, datar, tapi ada sedikit kelembutan di matanya.“Duduklah di samping kemudi,” katanya singkat pada Diana.Diana mengangguk sambil masuk ke mobil. Begitu pintu tertutup, Revan kembali melajukan mobil ke jalan. Beberapa saat berlalu dalam keheningan, hanya suara lembut musik dari radio yang mengisi ruang di antara mereka.“Kau kelihatan tegang,” kata Revan akhirnya, tanpa menoleh.Diana menarik napas. “Aku... cuma masih sedikit khawatir. Meski ini kedua kalinya aku menjenguk Kevin, tetap saja a
Lorong rumah sakit dipenuhi bau antiseptik yang khas, bercampur dengan suara langkah kaki perawat yang berlalu-lalang. Lampu-lampu putih menerangi setiap sudutnya dengan cahaya dingin yang sedikit menyilaukan.Diana berjalan di samping David, kedua tangannya menggenggam ujung jaketnya dengan erat. Jantungnya berdebar tanpa alasan yang jelas. Ada kegelisahan aneh di dalam dirinya, sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan.Saat mereka berjalan di lorong, Diana melihat seseorang berjalan mendekat dari arah kanan mereka.Seorang pria dengan jaket hitam dan ekspresi tenang. Matanya tajam, namun ada sedikit kehangatan di balik sorotannya.Diana langsung mengenalinya. “Revan?”Revan menghentikan langkahnya dan menatap mereka. “Diana."Revan kemudian menoleh ke arah David, memberi anggukan kecil sebagai salam.Revan menatap mereka berdua sebelum akhirnya bertanya, “Kalian juga menjenguk Kevin?”David mengangguk. “Baru dapat kabar tadi pagi, Kevin sudah siuman sejak tadi malam. Kami ingin melihat
Ruangan itu sunyi, hanya diisi suara alat monitor jantung yang berbunyi pelan. Lampu redup rumah sakit menerangi wajah seorang pria yang duduk di sofa samping tempat tidur pasien, matanya lelah, garis wajahnya penuh kecemasan yang telah menumpuk berhari-hari.Sudah berminggu-minggu Kevin koma setelah kecelakaan itu. Albert hampir kehilangan harapan, tapi ia tetap datang setiap hari, menunggu, berharap adiknya akan membuka mata dan memanggil namanya seperti dulu.Albert tampak duduk dengan mata tertutup, seolah sedang tidur. Tidak menyadari gerakan kecil dari arah kasur.Kelopak mata Kevin berkedut, lalu perlahan terbuka. Cahaya putih dari lampu rumah sakit menyilaukan pandangan kevin, membuatnya mengerjap beberapa kali. Nafasnya tersengal, dadanya naik turun pelan.Dunia di sekelilingnya terasa asing—bau antiseptik memenuhi hidungnya. Tubuhnya terasa lelah, kepalanya nyeri, seolah ada sesuatu yang dipaksakan masuk ke dalam pikirannya tetapi tetap tak bisa ia pahami.Kevin mengerang