Sekarang mereka berbeda kelas. Sebenarnya Diana tidak akrab dengan Kevin, hanya saja Kevin suka sekali mendekatinya, begitu yang dipikirkan Diana di otaknya.
Bukannya tidak tahu kalau Kevin menyukainya, hanya saja Diana sudah menyukai orang lain dan masih tetap menyukainya hingga sekarang.
"Apa yang kau baca?" kata Kevin tanpa merasa bersalah.
Diana menghela napas, "Memangnya kau tidak lihat?! Aku membaca buku."
Kevin cemberut, "Aku tahu kau membaca buku, maksudku buku apa yang kau baca?" tanya Kevin tak menyerah sekalipun Diana membalasnya dengan dingin.
"Nih, baca sendiri!" Diana menunjukkan sampul bukunya pada Kevin.
Sebenarnya Diana ta
Kevin berjalan menuju halte yang sepi. Ia akan pulang sebelum rumah panti dikunci. Kalau tidak ia bisa terkunci di luar dan tidak bisa tidur di kasurnya karena telat pulang. Tidak ada yang ingin tidur diluar jika punya kasur empuk di kamar. Saat ia hendak duduk di halte itu, penglihatannya tak sengaja menangkap keberadaan orang yang ia kenal di dekatnya. Sebelumnya Kevin tidak sadar pada saat berjaan menuju ke sini. Ia hanya menggunakan sepeda motor saat bekerja dan itu bukan kendaraan miliknya melainkan restoran pizza tempat dimana ia bekerja. Kenapa sekarang ia harus bertemu dengan orang itu? "Kau?! Kenapa kau ada di sini?" Kevin spontan berseru pada orang yang tidak ia sukai itu. Kevin bisa melihat tatapan yang sama dari orang itu. Sama-sama tidak senang dengan keberadaan masing-masing. "Ini
Oh tidak. Kenapa aku begitu ceroboh. Bagaimana bisa aku lupa, batin Diana saat menyadari sesuatu. Diana langsung berdiri setelah menengok sembari menarik napas cepat, lalu, "Sepedaku!" Diana berteriak. Diana reflek mengejar sepedanya yang berjalan. Tentu saja ada yang mengendarainya. Sepeda Diana dipakai tanpa izin. Atau lebih tepatnya sepedanya di bawa kabur. Salahnya Diana yang belum memarkirkan sepedanya dengan benar dan menguncinya. Dia bahkan tak sadar membiarkan sepedanya berbaring di belakang halte. Revan dan Kevin masih bengong, sebelum akhirnya ikut menyusul Diana. "Tidak bisa.." Diana bergumam disela-sela acara larinya. Sepedanya tentu lebih cepat daripada larinya. Diana tak kehabisan akal, ia segera melepas sebelah sepatunya lalu melemparkannya dengan kekuatan penuh dan dengan bidikan yang akurat. "Takkan kubiarkan kau mengambil si merah!" seru Diana. Si merah adalah sebutan sepeda miliknya. Sepatu
Kevin sekarang ada di perpustakaan karena mencari Diana. Ia sebenarnya jarang bisa bersama dengan Diana karena Diana sering ke perpustakaan. Sekarang ia masuk ke dalam perpustakaan hanya untuk mencari Diana. Setelah mengelilingi perpustakaan, ia akhirnya menemukan Diana di meja paling pojok di belakang. Diana tampak serius membaca. Kevin langsung duduk tanpa permisi di kursi yang berhadapan dengan Diana. Diana segera sadar dan melihat Kevin saat Kevin mendekatinya. Kevin belum bicara dan hanya menatap Diana. Hingga akhirnya membuat Diana mengangkat sebelah alisnya setelah semenit berlalu dalam diam. Mereka saling menatap dalam diam selama itu. Diana merasa heran. Kevin sadar dengan reaksi Diana dan mengeluarkan suara dengan ragu-ragu, "Diana kau tahu kan, murid baru dikelasku?" Diana kini mengerutkan dahi mendengar ucapan Kevin.
"Kak Kevin mau kemana? Sekarang kakak piket bersih-bersih, apa kakak lupa?" Seorang anak berumur dua belas tahun menatap Kevin yang sedang membuka pintu. "Oh benarkah? Aku melupakan itu. Apa kau mau membantuku? Sekarang aku harus pergi," Kevin menatap penuh harap. "Memangnya kakak mau kemana? Bukannya kerjaan kakak libur hari ini? Jika aku tahu kemana kakak pergi, mungkin aku akan pertimbangkan membantu kakak," balas bocah itu. "Aku masih harus bekerja, karena sekarang aku menambah pekerjaan baru, yaitu menjadi pegawai swalayan. Jadi tolong bantu aku ya!" Kevin menyatukan telapak tangannya tanda permohonan. "Maaf ya kak. Sayangnya aku juga piket hari ini." Kevin lemas, " Kenapa tidak kau katakan-" Belum selesai perkataan Kevin, bocah itu berkata, "Tapi aku bisa meminta bantuan pada yang lainnya. Kakak tenang saja, mereka pasti mau membantu karena mereka pasti mengerti." Kevin tersenyum. "Jika menyangkut pekerj
"Apa kalian memang dekat?" David bertanya dengan semangat. David jarang melihat Diana bersama temannya. Bahkan Diana tak pernah mengajak seorang pun ke rumahnya. "Kami sebenarnya jarang bertemu." "Oh begitu," balas David kehilangan semangatnya. David menyadari perkataan Revan sebelumnya. "Kalian teman satu sekolah, tapi kalian bukan teman sekelas?" tanya David karena jika mereka teman sekelas Revan akan mengatakannya. Revan mengangguk. "Jadi itu alasannya kalian jarang bertemu," kata David. Hening beberapa saat sampai David menyambung ucapannya, "Oh ya, apa kau pernah melihat dia bersama temannya? Apa kau tahu teman dekat Diana?" Revan menggeleng, "Aku jarang melihatnya bersama temannya. Jadi aku tidak tahu siapa teman dekatnya." Begitu juga denganku, batin David yg tak pernah melihat Diana dekat dengan temannya. Revan tiba-tiba teringat seseorang yang kadang berada didekat Diana. Tapi ia tidak
"Aku bisa mengambilkan tasmu dikelas. Kau sekelas dengan Kevin, kan?" Diana berkata sembari berdiri dari kursinya yang ada di sebelah Revan. Revan mengangguk. "Tunggu dulu, jadi aku tertidur disini dan kau juga membolos?" "Iya, kau sudah diberi izin. Jika kau khawatir ketinggalan materi aku bisa membantumu." Revan menggeleng menolak bantuan Diana. Sebenarnya bukan itu maksud Revan. Dia sama sekali tidak khawatir tentang pelajaran, tapi ia heran dengan Diana yang menghabiskan waktu berjam-jam menemaninya? Dia bisa meninggalkannya. Semuanya dilakukan Diana karena rasa bersalah. Oh iya, Revan belum sempat menjawab permintaan maaf dari Diana tadi. Diana sekarang sudah pergi keluar ruangan. Revan baru sadar. Setelah Diana membawakan tas Revan. Ia menunggu kelas Revan kosong dan mencari tas yang tersisa dan tertinggal. Ia juga mengambil ta
"Aku pernah bertemu dengannya sekali. Saat itu aku menabraknya setelah mengantarmu di hari pertama kau sekolah." "Menabrak?" Revan menajamkan pandangannya. Itu terdengar seperti kecelakaan. Memang kecelakaan tapi kecelakaan kecil. "Maksudku menabraknya saat berjalan kaki pergi dari sekolahmu. Dia tidak memperhatikan jalannya karena terlalu fokus membaca." Valen menjelaskan tergesa karena sedikit panik. Revan mengiranya menabrak dengan mobil. "Kau tidak bisa menghindar?" Valen tersenyum, "Aku? Tentu saja bisa." Revan sudah menghilangkan tatapan tajamnya tapi sekarang menyipitkan matanya lagi. Ia mengerutkan kening. "Aku sengaja membiarkan dia menabrakku. Dia kelihatan terlalu fokus membaca. Saat itu tak ada orang atau siswa lain. Mungkin karena itu dia tidak memperhatika
Diana memasukkan kunci di daun pintu lalu membuka pintu rumahnya. Setelah masuk Diana melepas sepatunya dan menaruhnya di rak khusus sandal dan sepatu. Ia menatap sosok yang tiba-tiba berada di hadapannya beberapa meter. Pandangannya yang awalnya kosong seperti tak bernyawa, berubah berkaca-kaca. "Kakak.." Diana memanggil sosok di depannya itu. Ia melihat sosok itu tersenyum membuatnya mendekat perlahan sambil berucap lirih, "Kakak, berjanjilah... Berjanji bahwa kau tidak akan pergi. Berjanjilah kau akan selalu bersamaku. Berjanjilah.." suara Diana bergetar. "...Kau tidak akan meninggalkanku. Kau akan selalu menemaniku, apapun yang terjadi, jangan biarkan aku sendirian.." Diana sudah berada dihadapan sosok itu. Diana bersusah payah menelan ludahnya yang terasa menyakitkan di tenggorokannya. Ia berusaha tidak menangis. Diana menatap sosok itu yang tidak menjawabnya. Sosok itu hanya terus tersenyum lembut padanya.
Di suatu waktu, Diana merasa sedikit cemas. Dia akan melakukan pemeriksaan psikiater untuk pertama kalinya sejak kecelakaan itu. Ini bukan hanya tentang kesehatan fisiknya, tapi juga tentang dirinya, tentang ingatannya yang hilang dan apa yang akan datang selanjutnya.David tahu betul perasaan cemas Diana, dan meskipun dia tidak bisa sepenuhnya menghilangkan kecemasannya, dia berusaha memberikan dukungan sebanyak yang dia bisa.“Jangan khawatir, Diana. Aku akan tetap di sini bersamamu,” kata David dengan nada penuh keyakinan, meskipun ia sendiri merasa sedikit gugup.David ingin tahu bagaimana kondisi mental Diana setelah ia lupa ingatan. Apakah ada yang berubah dengan trauma Diana atau tidak.Diana tersenyum tipis, tetapi tidak bisa menyembunyikan rasa ragu yang masih ada di matanya.David terus berbicara dengan lembut, berusaha untuk menenangkan perasaan Diana. “Aku tahu ini bisa terasa menakutkan, tapi kita akan menghadapinya bersama. Aku tidak akan pergi ke mana-mana,” ucapnya lag
Hari-hari berlalu dengan cepat, tetapi rutinitas Diana tidak banyak berubah sejak pertama kali ia mengunjungi kamar Kevin. Setiap pagi, setelah dokter selesai melakukan pemeriksaan rutin di kamarnya, David akan datang dan menawarinya untuk berjalan-jalan di sekitar lantai rumah sakit. Namun, Diana hanya punya satu tujuan: kamar rawat Kevin."Sudah siap?" tanya David suatu pagi saat ia mendorong kursi roda Diana ke dekat pintu.Diana mengangguk kecil. “Iya. Terima kasih sudah menemaniku lagi.”David tersenyum. “Tidak masalah. Aku senang kau ingin menjenguk Kevin.”Perjalanan menuju kamar Kevin kini sudah menjadi kebiasaan yang Diana lakukan. Meski Kevin masih terbaring dalam kondisi koma, Diana merasa dirinya perlu lebih sering menjenguk Kevin, mungkin karena ia merasa punya hutang budi pada Kevin.Sesampainya di kamar Kevin, David membantunya duduk di kursi yang biasa ia tempati di sebelah tempat tidur Kevin. Setelah memastikan Diana baik-baik saja, David berpamitan untuk kembali beke
Diana masih duduk di tempat tidurnya, memandangi jendela dengan tatapan kosong. Kamar rumah sakit itu terasa begitu sepi, hanya suara denyut mesin monitor yang menemani. Meski fisiknya mulai pulih, pikirannya masih penuh dengan kebingungan. Ingatannya yang hilang membuatnya merasa seperti hidup di dunia asing.David masuk ke dalam kamar dengan membawa senyuman tipis. Ia menutup pintu dengan perlahan dan mendekati adiknya. Di tangannya ada sebuah gelas berisi teh hangat, yang ia letakkan di meja samping tempat tidur.“Diana, bagaimana perasaanmu hari ini?” tanya David dengan suara lembut.Diana menoleh, lalu mengangguk pelan. “Aku baik-baik saja, Kak. Tapi… semuanya masih terasa asing. Aku masih sulit mengingat apa pun,” jawab Diana lirih.David duduk di kursi di sampingnya, menatap wajah Diana dengan penuh kasih. “Itu wajar, Diana. Jangan terlalu memaksakan dirimu.”Diana menghela napas panjang. “Aku hanya merasa… hidup tanpa mengingat apa-apa terasa sangat kosong. Aku ingin tahu apa s
"Diana dan Kevin.. mereka sekarang sedang dirawat di rumah sakit. Kondisi keduanya..." Jeremy ragu untuk melanjutkan perkataannya. Di depannya, raut wajah Revan semakin pucat.Revan merasa napasnya tertahan. Sama seperti beberapa murid yang mendengarnya.Mereka tahu, dari ekspresi Jeremy, bahwa kondisi kedua sahabat Revan jelas tidak dalam kondisi yang baik.Revan segera melepaskan tangannya dari pundak Jeremy. Ia berbalik dan melangkah hendak keluar kelas."Revan! Kau mau ke mana?!" tanya Jeremy sedikit mengeraskan suaranya.Pertanyaan itu membuat langkah Revan tertunda sejenak. Ia menoleh pada Jeremy yang ada dibelakangnya tanpa menjawab.Jeremy bisa menduga tujuan Revan.Karena itu ia menyahut lagi, "Kita akan menjenguk mereka berdua setelah jam pelajaran berakhir. Kita pergi bersama-sama. Jadi tahan dulu langkahmu."Revan tidak langsung membalas dan memilih memandang kembali jalan koridor depan pintu kel
Diana tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.Semuanya terjadi begitu cepat. Saat tubuhnya berputar dalam pelukan seseorang. Diana tidak sempat bereaksi.Yang ia rasakan adalah tubuhnya terangkat membentur kap mobil yang menabraknya.Tubuhnya berguling hingga memecahkan kaca mobil. Lalu ia jatuh menggelinding di jalan aspal.Semua itu terjadi saat dirinya dipeluk.Tepat ketika tubuhnya mendarat di aspal dengan menyakitkan, Diana merasa pelukan di tubuhnya terlepas.Ia berusaha mengabaikan rasa sakit di kepala dan tubuhnya. Matanya berusaha terbuka.Diana berusaha mengerakkan tangannya. Suaranya serak dan hampir tidak terdengar."K-ke..vin.."Hal terakhir yang ia ingat adalah wajah Kevin yang menutup kedua matanya.*****Albert melihat jam tangan yang melingkari pergelangan tangannya. Ia menghela napas. Kepalanya ke terangkat kembali memandang keluar jendela kantornya.
Semua siswa tampak bersemangat saat mulai memasuki kebun binatang. Mereka dipandu oleh salah satu staf yang bekerja dan bertugas memandu para pengunjung.Mereka harus mengikuti pemandu dan tidak boleh berkeliaran seenaknya karena jumlah mereka yang lumayan banyak. Kalau tidak, Jeremy akan kesulitan mencari mereka saat kegiatan menjelajahi isi kebun binatang telah selesai.Setelah selesai menjelajahi kebun binatang itu, mereka menaiki bus dan lanjut pergi ke tujuan selanjutnya. Tujuan selanjutnya adalah taman reakreasi.Berbeda dengan di kebun binatang, saat di taman rekreasi mereka diizinkan pergi sendiri-sendiri ke mana saja oleh Jeremy.Mereka juga dibiarkan berlama-lama karena setelah ini mereka tidak perlu pulang dengan bus yang sama lagi.Mereka akan pulang dengan menggunakan transportasi yang mereka mau. Seperti Revan yang langsung dijemput oleh Valen, atau Diana dan Kevin yang memilih untuk berjalan kaki menuju halte bus
"Hei, Jeremy." Kevin merangkul pundak Jeremy dan menariknya menjauh dari kerumunan siswa di kelas."Ada apa?" tanya Jeremy sembari menaikkan alisnya."Apa benar kau yang memberi hadiah ini?" tanya Kevin di hadapan Diana dan Revan.Jeremy memandang kotak pink di tangan Kevin lalu mengangguk dan menjawab, "Iya."Kevin melepaskan rangkulannya dari pundak Jeremy. Diana dan Revan tertarik mendengar percakapan itu.Jeremy menaikkan kacamatanya yang sedikit menurun. Ia melanjutkan, "Aku memberikan ini sebagai bentuk apresiasi untuk Diana dan Revan. Kalian sudah bekerja keras menampilkan pertunjukan yang luar biasa saat pembukaan mewakili kelas ini."Diana dan Revan berpandangan melihat Jeremy yang tersenyumJeremy melanjutkan lagi, "Bahkan kepala sekolah memuji kalian dan mengatakan jika pertunjukan kalian adalah yang terbaik diantara yang lain.
Saat Diana masuk ke dalam kelas, beberapa siswa langsung menatap ke arahnya. Diana mengabaikan hal itu dan sama sekali tidak merasa aneh.Tapi kemudian ia terpaku menatap ke arah meja dan kursinya di dalam kelas. Ia mengusap matanya dengan punggung tangan memastikan kalau itu memang adalah meja dan kursi miliknya.Bagaimana mungkin ada begitu banyak kotak warna warni yang memenuhi meja dan tempat duduknya.Kotak-kotak itu adalah hadiah pemberian untuk Diana dari para pengagumnya. Diana tidak tahu jika dirinya telah memiliki penggemar rahasia sebanyak itu.Bukan hanya itu, beberapa detik kemudian banyak murid perempuan di kelasnya datang beramai-ramai mengelilingi Diana.Revan dan Kevin yang baru masuk ke dalam kelas melihat Diana sedang kebingungan. Kebingungan membalas banyak pujian dari siswi di dalam kelas. Ternyata penggemar Diana bukan hanya laki-laki saja.Setelah beberapa menit y
Kevin menghela napasnya. Jika ia berada di posisi Albert, maka ia juga akan mengira ayahnya memang meminta untuk pergi dan berada di sisi ibu Albert.Tapi Kevin ingat semua percakapan yang terjadi kemudian antara dirinya dan Oliver di rumah sakit setelah Albert keluar dari ruangan. Kevin belum memberitahu Albert tentang itu.Kevin akhirnya mulai menjelaskan, "Aku juga awalnya berpikir hal yang sama denganmu. Tapi setelah itu, ayah menjelaskan padaku bahwa jika kau menolak permintaannya dan bersikeras untuk berada di sisi ayah dari pada ibumu, maka ayah tidak akan memaksamu. Ayah bahkan akan mempertahankanmu di sisinya apa pun yang terjadi."Kerutan di wajah Albert semakin dalam setelah mendengar perkataan Kevin."Hanya saja, ayah tidak ingin kau membenci ibumu. Karena menurutnya, apa pun yang terjadi, dia adalah ibumu yang telah melahirkanmu," lanjut Kevin.Albert terdiam. Berusaha memproses semua perkataan Kevin padanya.