Universitas Nusa Bangsa merupakan sebuah perguruan tinggi yang terletak di pusat kota Jakarta, didirikan pada tahun 1924. Universitas ini adalah universitas berkelas dunia yang menjadi pelopor perguruan tinggi nasional berkelas dunia yang unggul dan inovatif. Perguruan tinggi inilah tempat Chiara, Evan, beserta teman-temannya menimba ilmu.
Suasana di salah satu ruang kelas yang terletak di lantai 2 itu masih cukup lengang pagi ini. Hanya ada beberapa bangku yang sudah terisi. Salah satunya adalah bangku paling depan paling pojok sebelah kanan, tempat Chiara dan salah satu teman perempuannya sedang bergurau ria.Gadis itu memang berangkat lebih pagi karena hari ini merupakan jadwalnya melakukan piket kelas. Tentu dia berangkat bersama Evan, seperti biasanya. Mereka memang seringkali kedapatan tengah bersama berdua, sehingga jika ada yang tidak tahu tentang keakraban keduanya pasti akan mengira bahwa mereka adalah pasangan kekasih."Menurut Diana, lebih tampan yang mana? Hyunjin Straykids atau Jin BTS?" sambil menunjukkan beberapa koleksi foto Idol Korea di dalam galeri ponselnya, Chiara bertanya. Sedangkan yang ditanya segera menggeserkan layar ponsel Chiara dengan jarinya pada gambar yang gadis itu perlihatkan sebelumnya."Aku pikir yang ini lebih tampan. Aaaa! Senang sekali andaikan bisa jadi pacarnya ya, Chia," jawab gadis bernama Diana. Gadis bermata gelap dengan rambut yang dicat kemerahan itu menjerit tertahan seraya menyentuh kedua pipinya yang sedikit merona.Mendapati respons temannya, Chiara bergegas menjauhkan layar ponselnya dari hadapan Diana kemudian menyimpannya di dada. "Huss ... mana bisa! Yang ini calon pacar aku! Kamu mending sama cowok yang di sana saja." Chiara menunjuk seseorang di sisi bangkunya, seorang pemuda yang notabenenya paling cerdas di angkatan mereka, tetapi dia juga yang terlihat paling pemalas. "Noh, Si Abi masih jomblo.""Sialan!" merasa menjadi bahan omongan, Abigail mengangkat jari tengahnya sambil menguap pelan. Dia kembali menaruh kepalanya di atas permukaan meja, kembali menjemput mimpi. Meladeni ucapan-ucapan gadis seperti mereka tidak akan pernah ada habisnya bagi Si pemuda.Dari arah bangku paling belakang, Evan berjalan cepat lalu berdiri di depan bangku Chiara dan Diana secara tiba-tiba. Kedua lengannya ia tumpukan di atas permukaan meja. Dia bosan juga sedari tadi hanya menjadi pendengar dari celotehan kedua gadis itu."Yuk, pacaran sama aku saja, Chia," ucap pemuda itu seraya mengedipkan sebelah mata pada Chiara.Sedangkan Chiara menghadiahinya dengan dengkusan kesal kemudian memutar kedua bola mata. Bagi gadis itu, candaan Evan sangat tidak lucu. Dia sama sekali tidak menganggap serius ucapan Si pemuda, kendati mungkin saja Evan berkata sesuai keinginan hatinya."Jelas-jelas aku yang lebih tampan dan macho dari mereka berdua." Evan sejenak memandang remeh layar ponsel Chiara yang masih menampilkan foto salah satu member boyband Korea yang namanya sedang mendunia, menyombongkan dirinya."Ciieee ... kode keras, Van." Seakan paham akan situasi, Diana segera menggodanya. Gadis itu menaik-turunkan alisnya, menatap bergantian antara Evan dan juga gadis yang duduk di sisinya."Dih, ogah!" menanggapi hal itu, Chiara memukul kepala kedua temannya dengan buku tulis di tangan kanannya bergantian, tentu saja tidak kencang. Mereka hanya bercanda. Mata gadis itu beralih ke arah Evan setelah itu. "Baru datang langsung nyambar, kamu mirip gledek tahu tidak? Sana kamu pacaran sama M**** O**** saja. Aku lihat banyak banget video dia di folder rahasia di ponsel kamu.""Eh? Yang benar, Van?" Diana membelalakkan mata, lalu menutup mulutnya sendiri menggunakan telapak tangan dengan gerakan dramatis yang dibuat-buat saat nama seorang aktris film panas disebut oleh Chiara. "Wah, wah ... aku terkejut!"Wajah Evan berubah panik seketika, bisa hancur reputasinya sebagai pangeran kampus kalau aibnya yang satu itu sampai terbongkar."Jangan dengarkan dia, Di! Fitnah lebih kejam dari pembunuhan ya, Chia!" dia lantas menatap tajam penuh peringatan pada Chiara.Sedangkan yang ditatap hanya menaikkan kedua bahunya acuh. "Itu realita, Van ... kamu mau aku membuktikannya?""T-tidak perlu.""Panik tidak? Panik tidak? Panik, dong. Hahaha." Dan tawa kedua gadis di depannya mengudara, semakin meramaikan suasana pagi di kelas mereka."Apa sih!" karena kehabisan bahan bahan pembelaan, Evan memilih untuk membuang muka. Hanya sebentar, karena setelah itu mata sehitam jelaga pemuda itu kembali mencari mata Chiara, menemukan tatapan. "By the way, nanti pulang bareng aku lagi, 'kan?"Yang ditanya tampak menggelengkan kepala. "Kak Nao sama Kak Nardo yang akan menjemputku setelah pentas Kak Nao selesai nanti sore. Mereka mau mengajak makan-makan.""Yah ... aku tidak diajak?" Evan menampilkan raut wajah kecewa."Tentu saja tidak. Kamu makannya banyak, nanti Kakakku bisa bangkrut.""Sialan kamu, ya!"Chiara tergelak sejenak. Tapi setelahnya raut wajah jelita gadis itu berubah menyendu, entah kenapa. "Doakan pentas menari Kak Nao lancar ya, Van ... entah kenapa aku merasa tidak tenang. Jantungku berdebar-debar dari tadi," ungkapnya kemudian.Sebenarnya sudah sejak semalam Chiara memiliki firasat buruk terhadap kakaknya, bahkan ia sempat bermimpi tak baik mengenai pentas tari yang hari ini dilakukan Naomi. Namun, gadis manis itu berusah berpikiran positif. Mimpi hanyalah bunga tidur, dan dia berharap bahwa kenyataan akan jauh lebih indah, berbanding lurus dari mimpi semalam.Dan pengakuan yang lolos dari mulut Chiara membuat Evan merasa khawatir seketika. "Apakah sakit? Sesak tidak dada kamu?""Tidak kok." Chiara membuang napas, mengukir senyum kecil. "Semoga saja tidak terjadi apa-apa."Evan menghela napas lega, sedangkan Diana tampak tersenyum penuh arti melihat gelagat Evan yang kelewat perhatian pada sahabatnya. Ah, gadis itu sepertinya mencium sesuatu tentang perasaan Sang pemuda yang sebenarnya terhadap Chiara.Meskipun tak pernah terungkap, segala sikap yang Evan tunjukkan pada Chiara sangat menggambarkan perasaannya. Rasa sayang yang kadarnya lebih tinggi lagi dari sekedar sahabat ataupun teman dekat. Rasa sayang itu sangat tergambar jelas dari tatapan mata hitam pemuda itu, tatapan penuh ketertarikan dari seorang lelaki kepada seorang perempuan.Yah, meskipun Si perempuan tidak pernah menyadarinya.Tak lama setelahnya, ponsel yang sedari tadi ada dalam genggaman Chiara bergetar, layarnya menampilkan sebuah panggilan masuk dari Naomi, Kakaknya."Nah, baru saja dibicarakan padahal." Mencoba melupakan segala pemikiran buruk, senyuman Chiara kembali terkembang sempurna. Ia kedapatan menghela napas cukup panjang sebelum menempelkan ponselnya pada salah satu daun telinganya. "Hallo, Kak ... bagaiman—""...."Ketika suara dari ujung telepon sana menyapa indera rungunya, wajah gadis itu menegang, diikuti senyumannya yang turut menghilang. Kalimat yang bahkan belum selesai Chiara ucapkan menggantung di udara. Sesuatu yang terucap dari ujung telepon sana telah sukses membuat tubuh gadis remaja itu terkaku, dunianya seakan runtuh saat itu juga."A-apa?!"***Tbc...Tepat jam sebelas menjelang siang ketika Evan memarkirkan motor vespa antiknya di parkiran rumah sakit yang Chiara sebutkan. Seakan tak mau membuang waktu, Chiara segera turun dari boncengannya, melepas helm bogo di kepalanya, lalu menaruhnya asal pada jok motor Evan.Langkahnya tergesa, tertatih. Namun Chiara tetap terus berjalan, terus mengayunkan kedua kakinya menuju bangunan di muka rumah sakit tempat Naomi berada; instalasi gawat darurat. Tangannya tak berhenti memegangi dada kiri, tempat jantungnya bersarang. Di titik itu rasanya sangat sakit, sangat menyesakkan. Saat ini bukan hanya jantungnya saja yang nyeri, hati dan perasaannya juga. Dia masih sulit untuk percaya ketika tadi menerima telepon dari nomor Naomi, tetapi bukan suara Sang Kakak yang menyapa telinganya. Seseorang di ujung telepon sana berkata bahwa Naomi mengalami kecelakaan lalu lintas, menghubungi dirinya karena nomornya adalah nomor terakhir yang Naomi hubungi. Setelah menghubungi kedua orang tuanya, dia dan Eva
Linglung. Naomi tidak pernah menyangka akan bernasib seperti ini. Padahal karirnya sedang bagus-bagusnya, namun malapetaka malah dengan kejam menimpa dirinya, menghancurkan segala mimpi yang ia bangun semenjak masih balita. Kehilangan fungsi kedua kaki, artinya mau tidak mau ia harus merelakan karir menarinya berakhir cukup sampai di sana.Hatinya belum juga merasa lebih baik meskipun di sisi ranjangnya Nardo dengan setia menggenggam tangan kirinya, menciumnya kadang-kadang. Kedua calon mertuanya baru saja datang, mereka berdiri di sisi lain ranjang, menatap dirinya dengan simpati. Sejujurnya, Naomi paling tidak suka dikasihani."Bagaimana keadaan kamu, Nak?" Karina, Sang calon ibu mertua bertanya mengawali pembicaraan. Suara wanita itu begitu lembut, penuh kasih sayang. "Nao baik, Ma." Mau tak mau, Naomi memaksakan sebuah senyuman untuk memberikan respons pada pertanyaan calon ibu mertuanya, mengingkari apa yang ia rasa."Jangan bersedih, ya ... Mama dan Papa juga akan membantu Nard
Jam dinding yang tergantung pada dinding putih ruang Instalasi Gawat Darurat sudah menunjukkan pukul delapan malam ketika Naomi memasukinya menggunakan kursi roda. Di belakang tubuhnya, Nardo tampak begitu setia mendorong kursi roda yang dinaiki calon istrinya itu.Setelah sekali lagi mengusap air mata, sudut bibir Naomi ia paksa tarik untuk mencipta senyuman. Sosok adiknya masih berada di atas ranjang di depan sana, lengkap dengan alat bantu hidup yang terpasang di mana-mana. Hal tersebut berhasil mencipta sesak di dada, namun dirinya pun tak bisa berbuat apa-apa. "Hai, Chia ..." Naomi bersusah payah untuk tidak membuat suaranya bergetar ketika menyapa sang adik. Dan perlahan kedua mata Chiara terbuka saat sapaan halus kakaknya membelai telinga. "Kakak.""Bagaimana kondisimu?""Kakak dulu. Bagaimana kondisi Kakak?" meskipun dengan suara lirih nyaris tak terdengar, Chiara justru balik bertanya."Seperti yang kamu lihat, Kakak baik-baik saja. Yah, meskipun Kakak belum bisa menggerakk
Beberapa piagam penghargaan dan berbagai bentuk piala yang terpajang di dalam lemari kaca hanya akan menjadi kenangan bagi Naomi, sebagai simbol jika dirinya pernah memiliki bermacam prestasi di dalam dunia tari-menari, dunia yang telah membesarkan namanya. Naomi menatap semua itu dengan tatapan hampa, sebab ia tahu jika puncak kejayaannya kini telah habis tak bersisa. Setelah menghela napas panjang satu kali, kedua tangannya kembali memutar roda di sisi kanan dan kiri kursi roda yang ia duduki, menggerakkan tempat duduk beroda yang hampir dua minggu ini menjadi teman akrabnya menuju meja rias tempat yang beberapa hari ini ia gunakan untuk merias wajah di kamar barunya. Setelah tidak lagi bisa berjalan, ia memang pindah kamar ke lantai dasar.Dari laci yang berada di sisi kiri, tangan kanan kurus itu meraih sebuah album foto yang tampak usang di makan usia. Sebuah album foto khusus yang berisi segala potret ketika dirinya sedang berlatih menari semenjak masih belia. Air mata itu men
"Serius, ini buatan Diana?" Chiara berucap tak percaya ketika kedua matanya menatapi banyak sekali bangau kertas di dalam kotak di atas pangkuannya, kotak berbahan kardus yang baru saja Evan berikan padanya. Kata pemuda itu, ada seribu jumlah bangaunya."Untuk apa aku bercanda, hm? Tidak ada untungnya." Nada bicara Evan terdengar malas, ia bersedekap menatap Chiara. "Dia berkata, jika kamu menggantung seribu bangau kertas, maka segala keinginanmu akan segera terkabulkan. Makanya dia dan teman-teman yang lain membuat itu banyak-banyak untuk kamu, agar keinginan kamu untuk segera sembuh bisa segera terwujud.""Aku terharu." Mata indah itu berkaca, namun senyuman justru terpetak di wajah ayunya. Sungguh, Chiara merasa tersentuh mendengar kalimat yang Evan lontarkan. Ternyata teman-temannya begitu peduli padanya.Melihatnya, dada pemuda itu menghangat tanpa mampu ia kira. Ia tersenyum, ia begitu bahagia bisa kembali melihat senyuman Chiara. "Banyak orang yang sayang dengan kamu, termasuk
Ada sesuatu yang berbeda dari Naomi hari ini. Wajah jelita itu tampak lebih murung dari biasanya, lebih muram dari sebelumnya. Bahkan gadis itu seakan tak menyadari ketika Nardo beberapa kali memberinya pertanyaan. Sebagai calon suami, tentu Nardo merasa khawatir. Banyak hal yang terlintas di kepalanya, namun satu hal yang paling mendominasi; Naomi marah padanya setelah insiden malam di mana ia menolak untuk 'tidur bersama'.Sedikit menggelengkan kepala, Nardo kembali mendorong kursi roda Naomi menuju bangsal rawat inap Chiara, calon adik iparnya. Nardo adalah seseorang yang paling tahu bagaimana Naomi, tidak mungkin gadis itu menjadi benci padanya hanya karena hal sepele seperti itu, apalagi setelahnya Naomi sempat mengutarakan cinta. Maka dari itu ia mencoba berpikir positif, barangkali Naomi hanya merasa gugup dan kelelahan setelah beberapa jam ini mengecek segala persiapan karena upacara pernikahan mereka akan dilaksanakan keesokan harinya. "Nah, kita udah sampai." Senyuman Nardo
"Kamu jangan begadang malam ini." Nardo memberikan nasihatnya pada sang calon istri. Mereka sudah ada di teras rumah Naomi sekarang, mengantarkan gadis itu pulang. Posisi pria itu berjongkok di depan kursi roda si calon istri, menatap dalam-dalam mata indah yang selalu mampu membuat dadanya bergetar."Siap, kamu juga." Naomi memberikan senyum seadanya. Ia memejamkan mata ketika Nardo memberikan sebuah ciuman di keningnya. "Aku pulang dulu kalau begitu.""Mas Nardo ..."Pria itu urung bangkit berdiri ketika Naomi menyebut namanya. Ketika ia kembali menatap mata sang calon istri, terdapat berbagai macam emosi yang mampu tertangkap oleh kedua mata birunya. Emosi yang entah mengapa tak mampu Nardo mengerti.Sedangkan Naomi tak langsung mengucapkan maksudnya, sesaat gadis itu tampak meragu. Namun, tepat di detik ke sepuluh, pada akhirnya sebuah kalimat mengalir begitu saja dari mulutnya. "Aku mencintaimu. Apa pun yang terjadi nanti, tolong jaga dirimu baik-baik."Janggal.Sungguh, Nardo s
Nardo sudah memiliki firasat tidak enak saat calon ayah mertuanya menelepon dirinya di pagi buta, padahal dirinya sedang berlatih dan bersiap-siap untuk upacara pernikahan. Ia sudah menduga bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi. Pikirannya memburuk, namun ia berusaha membuangnya jauh-jauh. Meskipun sukar, ia tetap berusaha berpikir positif. Selama perjalanan ia hanya diam, sedangkan ayah dan ibunya yang duduk di kursi mobil depan tampak menunjukkan raut wajah tegang. Kepala kedua orang tua si calon mempelai pria tentu sedang menerka-nerka apa yang akan mereka temui di dalam gedung putih yang cukup besar di depan sana."Sebenarnya apa yang telah terjadi? Kenapa pihak besan meminta kita untuk ke rumah sakit? Apakah ini ada hubungannya dengan kondisi adiknya Naomi?" Karina membuka suara saat suaminya sedang melajukan mobil dengan teramat pelan menuju parkiran. Wajah ayunya menunjukkan kebingungan."Papa juga tidak tahu, Ma. Namun, Papa rasa bukan karena Chiara." Sembari memutar kemudi M
Chiara keluar dari kamar mandinya dengan mengenakan bathrobe berwarna biru muda. Rambutnya masih terlihat lembab, menguarkan wangi sampo favoritnya. Setelah mengguyur seluruh tubuhnya dengan air hangat, rasa lelahnya semakin berkurang secara signifikan. Ah, dia ingin tidur cepat malam ini.Wanita itu segera melangkah menuju lemari pakaiannya. Tepat ketika dia menyentuh gagang lemari, di detik itu sosok Nardo baru saja memasuki kamar mereka, membuat pergerakan Chiara sejenak terhenti dengan kepala menoleh ke arah suaminya."Kyra sudah tidur?""Sudah. Baru saja aku tidurkan." Nardo menutup pintu kamar, menguncinya sekalian. Dia tersenyum jahil saat pandangan mereka bertemu. "Sekarang giliran Mamanya yang harus aku tiduri.""Dasar!" Chiara terkekeh kecil menanggapi godaan sang suami. Dia kembali menghadap lemari pakaiannya, membukanya untuk mencari baju tidur. Sedangkan sosok Nardo terlihat mendekat ke arahnya dari pantulan kaca di daun pintu lemarinya. "Sudah selesai mandi?" tanya pria
Baju couple berbahan batik warna marun membalut tubuh keduanya. Pasangan itu tampak sangat serasi dan terlihat enak dipandang. Yah, meskipun sebenarnya si wanita masih belum mandi, sebab Chiara memang belum sempat pulang ke rumah. Bahkan dia berganti pakaian dan retouch make up di dalam mobil.Chiara dan Nardo memang baru pulang dari resepsi pernikahan Evan dan Selena. Mereka mampir ke pesta setelah Chiara pulang kuliah. Ya, pada akhirnya Chiara memutuskan untuk kembali berkuliah, untuk mengejar gelar magister, sesuai impiannya. "Aku benar-benar tidak menyangka kalau Evan benar-benar sudah menikah!" Chiara berucap begitu seraya menatap menerawang ke depan, pada mobil dan motor yang sama-sama sedang melaju di jalan raya menuju arah pulang."Kamu senang?" sembari mengemudi Nardo menyempatkan diri untuk melirik ke sisinya, tempat Chiara berada."Tentu saja! Apalagi dia menikah dengan Selena. Demi apapun! Gadis itu begitu sempurna, cantik dan baik hati secara bersamaan. Sangat cocok bers
Nardo benar-benar menepati janjinya. Malam itu juga dia datang bersama kedua orang tuanya, tentu tujuan pria itu adalah untuk melamar sang pujaan hati secara resmi. Kedua keluarga mereka sudah berkumpul di ruang tamu keluarga Chiara sekarang, menunggu waktunya tiba untuk membahas perihal kedatangan keluarga si pria.Ada Manfredo Austerlitz dan Karina yang duduk mengapit putra semata wayang mereka di sofa sebelah kanan, berseberangan dengan Indra Wardhana dan Ambar yang terlihat duduk bersisihan di sisi kiri, mengapit sang putri. Dua keluarga yang akan segera menyatu itu duduk bersama bersekatkan meja oval berbahan kaca tebal, yang di atasnya terdapat berbagai macam hidangan spesial. Raut bahagia terpancar di setiap wajah, terutama pada si pasangan muda di setiap kali mereka kedapatan mencuri pandang."Jadi, maksud kedatangan kami malam ini adalah untuk melamar Chiara secara resmi untuk Nardo, putra kami. Saya sebagai seorang ayah, mewakili anak kami untuk meminta Chiara pada keluarga
"Oke. Kita break dulu. Terima kasih atas kerja keras kalian." Atas instruksi sang sutradara, semua pemain beserta kru yang bertugas di sana segera membubarkan diri untuk beristirahat. Sedangkan si sutradara muda mulai memeriksa layar periksa kamera dengan senyum puas, melihat hasil syuting yang baru saja diambil.Sempurna, sesuai apa yang dia bayangkan di dalam kepala.Ketika pria itu masih fokus menatap layar, dia tersentak. Dua telapak tangan halus yang menutupi kelopak matanya membuat dia terkejut bukan main."Coba tebak, aku siapa?"Tetapi, setelah mendengar suara halus yang begitu akrab di telinganya, garis bibir pria itu melengkung ke atas. Jelas dia tahu siapa pelakunya."Siapa, ya?" Nardo terkekeh, pura-pura tidak tahu."Calon istri kamu." Setelah menjawab begitu, Chiara menjauhkan telapak tangannya, berganti memeluk leher Nardo dari belakang. "Aku rindu kamu!"Senyum pria blasteran itu melebar, dia menoleh ke kanan seraya meraih tengkuk kekasihnya, lalu ... kedua bibir merek
Hening adalah bagian dari sebuah kedamaian. Hal itulah yang Nardo dan Chiara dapati ketika memasuki pintu Paradise columbarium sore ini. Tenang, setenang jiwa-jiwa yang beristirahat di sana.Mereka berdua sudah berdiri bersisian di depan laci penyimpanan abu Naomi sekarang. Chiara melepas genggaman tangannya yang semula bertaut di tangan besar Nardo, hanya untuk meletakkan sebuket bunga anyelir merah di depan foto mendiang kakaknya."Kami datang, Kak. Bagaimana kabar Kakak di sana?" gadis itu bertanya pada udara, dengan senyuman yang dia buat ceria. Sedangkan tatapan mata itu lurus pada potret sang mendiang, seakan Chiara sedang bertatap muka secara langsung dengan mendiang kakaknya. Sedangkan Nardo tampak memperhatikannya tanpa jeda. "Chia yakin Kakak sudah bahagia di Surga sekarang." Setelah dia berkata begitu, kedua matanya memanas secara tiba-tiba. Namun, ketika telapak tangan besar nan hangat itu kembali menggenggam tangannya, Chiara mulai merasa lebih baik. Dia tidak lagi send
"Tidak bisakah kita mulai siang saja?"Chiara menghentikan langkah kaki di ambang pintu ruang keluarga saat mendengar Nardo sedang berbincang dengan seseorang di telepon genggam. Posisi pria itu sedang duduk di sofa, dengan notebook yang menyala."Oh, begitu." Entah jawaban apa yang Nardo dapatkan dari ujung telepon, kepala dengan rambut pirang itu mengangguk pelan. "Tapi, aku sedang tidak di rumah," lanjut pria itu.Chiara menyandarkan punggungnya di sisi pintu, menunggu sang kekasih menyelesaikan panggilannya. Tangannya dia simpan di dada seraya terus mencuri dengar percakapan pria itu dengan entah siapa."Hahhh, apa boleh buat? Kemungkinan setengah jam lagi aku akan sampai di sana."Dan ketika telepon sudah dimatikan kemudian Nardo terlihat menyimpan ponselnya di atas meja, barulah Chiara berjalan mendekatinya."Telepon dari siapa?" tanya gadis itu sembari memutus jarak di antara mereka. Dia tampak segar dengan rambut yang terlihat masih lembab, sebab Chiara baru saja selesai mandi
Bibir yang saling bertaut membuat keduanya terlena. Waktu menjadi berjalan lebih cepat dari seharusnya. Dan ketika Nardo hendak menyudahi ciumannya, Chiara justru mendorong tubuh kekar pria itu sehingga jatuh ke atas permukaan ranjang. Chiara yang mendominasi kali ini. Dia berada di atas tubuh kekar itu, kembali mencari mulut kekasihnya untuk kembali menciumnya, membuat rambutnya jatuh menutupi wajah mereka. Napasnya terdengar tak beraturan, terengah-engah. Hal itu sukses membangkitkan sesuatu di satu bagian tubuh Nardo, tanpa sepengetahuannya. Chiara benar-benar berhasil memancing gairah terpendam miliknya."Chia?" sesaat setelah Chiara menjauhkan wajah demi memasok oksigen untuk tetap bernapas, Nardo menatap intens wajah merahnya. Jenis tatapan bertanya, meskipun sejujurnya Nardo tahu persis apa yang Chiara inginkan, dia hanya memastikan."Berikan aku suntikan semangat untuk mengerjakan kuis besok." Setelah berucap begitu, tanpa menunggu persetujuan, Chiara kembali menyatukan bibir
Sebuah plastik putih besar berlogo minimarket yang berjarak cukup dekat dengan rumah Chiara tampak dalam jinjingan tangan kiri Nardo. Pria jangkung itu baru saja kembali dari berbelanja, untuk mengisi stok makanan di kulkas milik keluarga sang kekasih. Sesuai permintaan ibunda si gadis, Nardo benar-benar berniat untuk menginap.Memasuki area dapur, pria itu meletakkan barang bawaannya pada meja makan. Mengabaikan barang lainnya, dia memilih untuk mengambil kardus-kardus susu terlebih dahulu. Rencananya dia akan menata belanjaannya nanti setelah membuatkan segelas susu hangat untuk gadis yang dia cintai."Kira-kira Chia lebih suka rasa Vanila atau Cokelat?" Nardo mengguman bertanya pada udara, tengah menimbang-nimbang keputusan seraya memperhatikan bungkus produk susu di kedua tangannya.Jujur saja, Nardo memang belum tahu susu rasa apa yang menjadi kesukaan sang kekasih, dia hanya tahu bahwa Chiara menyukai es krim cokelat. Gadis itu selalu memesan itu jika pergi bersamanya.Ah, cokel
Pertengkaran merupakan bumbu sebuah hubungan percintaan. Biasanya setelah konflik itu usai, hubungan akan terasa lebih hangat dan semakin kuat. Kejujuran dan saling terbuka adalah kunci dari langgengnya ikatan asmara, dan hal tersebut sudah Nardo dan Chiara lakukan bersama. Saling memahami, saling mengerti perasaan masing-masing, dan tidak lagi menyimpan sesuatu yang terasa mengganjal di hati seorang diri.Mobil yang Nardo kendarai sudah berhenti tidak jauh dari gerbang kampus sang kekasih, sudah lebih dari lima menit lalu. Namun, kepala dengan surai lurus berkilauan gadis itu masih saja betah berlama-lama menempel di dada bidang kekasihnya, menikmati sentuhan lembut jari-jari Nardo di sela-sela helai rambutnya."Nyaman. Dada kamu memang sandarable sekali ya, Kak?" Chiara semakin menyamankan diri dalam dekapan hangat Nardo. Hidung mungil nan mancung itu sesekali tampak mengendus aroma parfum pria di permukaan kemeja bagian dada."Nanti lagi, ya? Sepertinya kamu harus masuk ke dalam sa