Angin bertiup kencang di tengah kehampaan yang kini mengelilingi Arka. Sosok berjubah emas berdiri tegak, matanya bersinar seperti dua matahari kecil yang menyala dalam kegelapan.
"Jika kau ingin menyelamatkan mereka, kau harus melewatiku terlebih dahulu," ulangnya dengan nada tenang, tetapi penuh ketegasan. Arka merasakan tekanan luar biasa hanya dengan berdiri di hadapan orang ini. Seperti ada beban tak kasatmata yang menghimpit tubuhnya, menguji kekuatan dan tekadnya. "Aku tidak punya waktu untuk ini!" seru Arka, tinjunya mengepal erat. "Teman-temanku dalam bahaya!" Sosok itu mengangkat tangannya, dan tiba-tiba, tubuh Arka seolah-olah terjebak dalam pusaran energi yang tak terlihat. Ia mencoba bergerak, tetapi kakinya seolah tertanam di tanah. "Kekuatan sejati bukan hanya tentang kecepatan dan serangan," kata pria itu. "Tapi juga tentang pengendalian. Jika kau tidak bisa melepaskan diri dari ini, maka kauAngin bertiup kencang, membawa aroma pertempuran yang belum usai. Arka berdiri membeku, matanya terpaku pada sosok yang berdiri di hadapannya—Agathos. Bayangan panjangnya memanjang di tanah yang retak. Mata Agathos tajam, penuh ketenangan, namun di dalamnya menyimpan sesuatu yang jauh lebih mengerikan. "Akhirnya kita bertemu, Arka." Suaranya terdengar datar, tetapi memiliki daya tekan luar biasa. Arka mengepalkan tinjunya, energi emas di sekelilingnya masih berpendar. "Kenapa kau melakukan semua ini, Agathos? Apa tujuanmu sebenarnya?" Agathos tersenyum tipis, lalu melangkah maju. "Kau masih belum mengerti, ya? Semua yang terjadi… adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar." Arka semakin waspada. Setiap langkah Agathos seolah menggetarkan udara di sekelilingnya. "Jika kau berpikir aku hanya sekadar musuh yang harus kau kalahkan, kau salah besar," lanjutnya. "Aku bukan musuhmu, Arka. Aku adalah
Udara terasa berbeda. Arka berdiri di dalam kegelapan absolut, hanya ada Agathos di hadapannya, seakan dunia di sekitar mereka telah lenyap. "Dimensi ini…" gumam Arka, menyadari bahwa ia tak lagi berada di tempat sebelumnya. Agathos tersenyum tipis. "Di sinilah kita akan menyelesaikan semuanya, Arka." Tiba-tiba, angin hitam berputar di sekitar Agathos, membentuk pusaran energi yang berdenyut dengan aura murni kegelapan. "Kita akan lihat apakah kau benar-benar layak melawan takdirmu." Tanpa peringatan, Agathos melesat maju. Arka hanya memiliki sepersekian detik untuk mengangkat tangannya, menangkis pukulan Agathos yang membawa kekuatan luar biasa. Benturan energi mereka meledak, mengguncang ruang kosong itu, menciptakan retakan di dimensi yang mengurung mereka. "Kau tidak akan menang, Agathos!" teriak Arka. Agathos tertawa, seolah menertawakan tekad Arka. "Menang? A
Langit yang semula bersih kini dipenuhi awan hitam pekat, berputar dengan kecepatan mengerikan. Sosok berjubah hitam yang muncul di hadapan mereka berdiri tegak, menatap Arka dan teman-temannya dengan mata bersinar merah. "Aku sudah menunggu kalian," suaranya bergema, berat dan dalam, seperti berasal dari kedalaman kegelapan itu sendiri. Arka menggertakkan giginya. "Siapa kau?" Sosok itu tidak menjawab. Sebaliknya, ia mengangkat satu tangannya. Dalam sekejap, angin kencang berhembus, menciptakan tekanan luar biasa yang membuat tanah bergetar. Genta menghunus senjatanya. "Apa dia lebih kuat dari Agathos?" bisiknya pada Raka. Raka mengangguk, matanya tak lepas dari sosok misterius itu. "Aku tidak tahu… tapi dia jelas bukan lawan yang bisa kita remehkan." Isvara, yang masih lemah, mencoba berdiri. Azura membantunya, wajahnya penuh kecemasan. "Kita harus pergi dari sini," ucap Azura.
Arka membuka matanya, tetapi yang ia lihat hanyalah kegelapan. Udara di sekitarnya terasa dingin, menusuk hingga ke tulang. Suara napasnya menggema, menandakan bahwa ia berada di suatu ruang yang luas, namun entah di mana. "Raka? Azura? Genta? Isvara?" panggilnya. Tidak ada jawaban. Arka mulai melangkah, tetapi tanah di bawahnya terasa tak nyata, seperti berjalan di udara. Detak jantungnya meningkat. Di mana dia? Tiba-tiba, dari kegelapan, sebuah suara berat terdengar. "Kau siap menghadapi dirimu sendiri, Arka?" Seketika, cahaya merah menyala di depan Arka, memperlihatkan sosok seseorang yang sangat ia kenal—dirinya sendiri. Namun, versi dirinya yang berdiri di hadapannya bukanlah Arka yang biasa. Matanya berwarna hitam pekat, auranya dipenuhi kegelapan, dan ekspresi wajahnya dingin, tanpa emosi. "Aku adalah bayanganmu," ujar sosok itu. "Dan aku akan membuktikan ba
Arka terbangun dengan tubuh terhempas ke tanah keras. Napasnya memburu, dadanya naik turun, dan kepalanya berdenyut hebat. Saat ia membuka mata, langit di atasnya bukan lagi ungu seperti di kuil Suvarnadvipa. Kini, yang terbentang adalah kegelapan pekat, disertai kilatan petir berwarna merah darah. Di sekelilingnya, Genta, Raka, Azura, dan Isvara juga tergeletak, masih berusaha mengumpulkan kesadaran mereka. "Apa yang terjadi…?" suara Genta terdengar serak. Arka bangkit dengan susah payah, matanya menyapu sekeliling. Mereka tidak berada di tempat yang mereka kenal. Tanah di bawah mereka berwarna hitam legam, seolah terbakar habis. Udara dipenuhi dengan kabut keunguan yang berputar seperti makhluk hidup. Tiba-tiba, terdengar suara langkah berat mendekat. DUK… DUK… DUK… Arka dan yang lainnya serentak menoleh ke arah suara itu. Dari balik kabut, muncul sesosok makhluk tinggi berkulit abu-abu, deng
Begitu mereka melangkah keluar dari portal, hawa panas langsung menyergap tubuh mereka. Langit berwarna merah keunguan, dengan pusaran awan hitam yang bergerak seperti ombak di lautan. Angin bertiup kencang, membawa suara gemuruh dari kejauhan. Di hadapan mereka, terbentang padang pasir hitam yang luas, dengan batu-batu raksasa mencuat dari tanah seperti taring monster yang terkubur. Namun, yang paling mencolok adalah benteng raksasa di kejauhan—tujuan akhir mereka. Genta mengusap keringat di dahinya. "Aku tidak suka tempat ini. Terlalu… mati." Azura mengangguk, matanya tajam menelusuri sekeliling. "Kita harus tetap waspada. Agathos mungkin sudah tahu kita ada di sini." Isvara yang berdiri di belakang mereka tampak gelisah. Tangannya mengepal, matanya menatap tajam ke cakrawala. Ada sesuatu yang mengganggunya. Arka mendekatinya. "Isvara? Ada apa?" Gadis itu menoleh, lalu menghela napas panjang.
Angin dingin berdesir melalui celah-celah tembok batu yang menjulang tinggi. Cahaya merah samar dari bulan di langit yang kelam menciptakan bayangan aneh di atas tanah. Arka dan teman-temannya berdiri di depan gerbang raksasa yang setengah terbuka, memperlihatkan lorong gelap yang tampak tak berujung di dalam benteng. "Rasanya seperti kita melangkah ke dalam mulut monster," gumam Genta, menggenggam erat gagang pedangnya. Azura mengangguk, mata hijaunya menyala dengan waspada. "Kita tidak punya pilihan. Agathos ada di dalam, dan kita harus menghadapinya." Arka melangkah maju, merasakan hawa pekat yang menyelimuti sekelilingnya. Setiap pori-porinya seakan berteriak memperingatkan bahaya, tetapi ia sudah terlalu jauh untuk mundur. Tiba-tiba, sebuah suara bergaung di udara. "Kalian benar-benar nekat datang ke sini." Dari kegelapan, muncul sosok yang tidak asing bagi Arka. Jubah hitam yang berkibar,
Angin malam berhembus tajam, membawa aroma logam dan debu yang pekat. Arka, Azura, Raka, dan Genta berdiri membeku, tak percaya dengan apa yang mereka lihat. Di depan mereka, Isvara berdiri dengan tatapan dingin, matanya bersinar merah kehitaman, auranya penuh dengan kegelapan yang menyesakkan dada. "Isvara… apa yang terjadi padamu?" suara Arka bergetar, mencoba memahami situasi. Isvara tersenyum tipis, tanpa sedikit pun kehangatan yang mereka kenal. "Aku hanya kembali ke tempatku seharusnya berada, Arka. Kalian terlalu percaya diri menganggapku sebagai sekutu." Azura menggertakkan giginya. "Jangan bercanda, Isvara! Kita sudah melalui begitu banyak hal bersama! Kau tidak mungkin mengkhianati kami!" Kael, yang berdiri di samping Isvara, terkekeh. "Kalian memang terlalu mudah percaya. Sejak awal, Isvara tidak pernah benar-benar berpihak pada kalian." Arka merasakan emosinya bergejolak, tetapi ses
Langit Jakarta diguyur cahaya senja yang lembut saat helikopter hitam mendarat di atap gedung utama Wijaya Corporation. Bilah-bilah rotor melambat, meniupkan debu dan kenangan di udara. Dari dalam kabin, Arka turun lebih dulu, mengenakan jaket hitam bertuliskan WJ Core di lengannya. “Masih terasa aneh ya,” gumam Kiara di belakangnya. “Kita barusan keluar dari altar kehendak… dan sekarang berdiri di atap kantor pusat.” Genta menyeringai sambil menenteng tas data. “Aneh itu kalau kita tiba-tiba bangun di kebun belakang dengan piyama.” Raka menepuk bahunya. “Jangan beri semesta ide aneh, Gen.” Mereka berempat berdiri berjejer, menatap siluet kota yang perlahan berubah warna. Di bawah mereka, gedung-gedung menjulang seperti urat nadi dari ambisi yang pernah hampir dibajak oleh kehendak jahat. Arka menarik napas panjang. “Kita berhasil. Dunia masih berdiri.” “Dan kita masih satu,” Kiara menambahkan,
Altar kehendak bergema dengan getaran lembut, seolah menghela napas terakhir setelah ribuan tahun terbungkam. Dinding kubah yang retak menyala dengan pola cahaya yang bergerak pelan, membentuk simbol-simbol purba yang tak dikenali, tapi terasa akrab bagi Arka dan yang lain. “Tempat ini hidup,” bisik Genta, mengamati garis cahaya yang menjalar di sepanjang lantai. “Tapi bukan seperti teknologi. Ini… sesuatu yang lain.” Kiara menyentuh salah satu simbol, dan cahaya melesat cepat, menyusuri lengannya tanpa melukai. “Seolah-olah tempat ini mengenali kita.” Raka melangkah mendekati pusat altar, di mana sebuah pilar kristal muncul perlahan dari bawah tanah. Di dalamnya, pusaran kehendak berwarna emas berdenyut pelan seperti jantung. “Tunggu,” ucap Arka sambil menatap sekeliling. “Kalian dengar itu?” Detak. Lembut, tapi dalam. Seperti jantung raksasa yang berdetak dari dalam dunia itu sendiri. Kiara m
Kilatan pertama menyambar seperti tombak cahaya yang mengoyak udara. Arka dan yang lain menembus pusaran badai, tubuh mereka melayang bebas di antara fragmen waktu dan kehendak yang saling bertabrakan. Setiap helai udara terasa tajam, seolah menolak keberadaan mereka. Arka menggertakkan gigi, tubuhnya tertarik ke dalam spiral cahaya keperakan. “Tahan formasi! Jangan terpisah!” “Aku kehilangan gravitasi!” teriak Genta, tubuhnya terpental ke arah fragmentasi kota yang hancur di kejauhan. Kiara melompat, menyambar tangan Genta. “Aku dapat dia! Tapi ini… bukan ruang biasa. Waktunya loncat-loncat!” Raka berputar di udara, kakinya menjejak sebongkah memori masa depan yang padat, lalu meluncur ke arah Arka. “Kita harus sampai ke pusat! Di sanalah kehendak disimpul jadi satu!” Di tengah pusaran, sosok bertopeng perak berdiri kokoh, tubuhnya membesar menjadi kolosus setinggi gedung. Di dadanya, mata yang berputar kini
Arka mendarat di permukaan yang tak padat, seolah pijakan itu terbuat dari bayangan air. Setiap langkah meninggalkan riak yang memantulkan kenangan. Langit di atasnya merah kelam, bergemuruh seperti dada yang menahan napas terlalu lama. “Tempat ini… terasa seperti dalam mimpiku,” gumamnya, memandang sekitar. Kiara mendarat tak jauh darinya, tangannya terangkat, menjaga keseimbangan. “Tapi ini bukan mimpi. Ini ruang kehendak terdalam. Lapisan ketiga.” Dari balik kabut, siluet Raka muncul, tubuhnya bersimbah cahaya kehendak yang belum sepenuhnya stabil. “Aku lihat bayangan Ayah tadi… seperti nyata.” “Bukan bayangan,” sahut Genta yang menyusul, napasnya memburu. “Tempat ini menyerap ingatan paling kuat dalam diri kita. Dan memutarnya jadi senjata.” Angin bertiup pelan, namun membawa aroma darah dan logam. Lalu satu demi satu sosok muncul dari balik kabut—wajah-wajah yang seharusnya sudah mati. Ayah Raka. Saudara
Genta melompat ke panel darurat, jarinya menari di atas tombol manual. Sinyal listrik masih lumpuh, tapi ia berhasil mengaktifkan suplai cadangan untuk server utama. Layar menyala kembali dalam kilatan biru redup, menampilkan grafik-grafik kacau dan sinyal spiral dari dasar laut. “Gelombangnya meningkat,” gumamnya. “Ini bukan hanya sinyal… ini panggilan.” Arka berjalan perlahan ke tengah ruangan, di mana wajah digital bertopeng perak masih menatap mereka dari layar. Cahaya dari monitor memantul di matanya yang membara, menciptakan siluet tajam di balik bahunya. “Kau siapa sebenarnya?” tanya Arka, suaranya pelan tapi tegas. “Pertanyaan yang salah, Arka Wijaya,” suara itu mengalun seperti gema di dalam tengkorak. “Pertanyaannya adalah: berapa lama lagi kehendak manusia bisa menolak evolusi yang sudah kutawarkan?” Kiara menatap layar dengan rahang mengeras. “Kau menyebut dirimu ide. Tapi ide tidak lahir sendiri.
Asap tipis mengepul dari sudut-sudut ruangan. Cahaya darurat berpendar merah, melemparkan bayangan bergerigi di wajah-wajah tegang. Di tengahnya, wajah bertopeng perak masih terpampang di layar utama, menatap semua yang hadir tanpa berkedip. Suara itu terdengar lagi, serak tapi stabil. “Divisi Kehendak? Nama yang indah. Tapi sia-sia.” Raka maju dua langkah, belatinya bergetar oleh listrik statis dari medan proteksi yang belum sepenuhnya mati. “Kalau kau hanya bisa bicara dari balik layar, kau pengecut.” “Justru karena aku di balik layar, aku hidup lebih lama dari kalian semua,” jawab suara itu. “Aku bukan tubuh. Aku adalah algoritma keserakahan, rumus dominasi, strategi kolonialisme yang kalian warisi diam-diam.” Kiara menoleh ke Genta. “Apakah ini AI yang kita deteksi dari dasar laut?” Genta mengetik cepat, matanya tak lepas dari data baru yang masuk. “Tidak sepenuhnya. Ini semacam antarmuka. Tapi energinya…
Bayangan hitam yang mengambang di atas cakrawala makin jelas. Bukan retakan dimensi, bukan pula makhluk seperti Zerah—melainkan armada. Puluhan—tidak, ratusan kapal udara taktis melayang membentuk formasi setengah lingkaran di langit senja. Baling-baling rotor mereka tak menimbulkan suara, hanya getaran halus yang merambat ke tanah, seperti denyut jantung dunia yang baru bangkit. “Ini bukan invasi, kan?” bisik Raka sambil meraih senjata di pinggang. Genta menatap hasil pemindaian di alatnya. “Bukan. Ini… pasukan militer. Tanda pengenal mereka sah. Tapi mereka dalam mode siaga tinggi.” Beberapa pesawat turun perlahan, melepaskan platform logam yang terhampar rapi di tanah. Dari sana, pasukan berseragam hitam-hijau turun, berbaris dalam diam. Seorang pria berambut putih dan berseragam panglima berdiri di tengah mereka, mengenakan lencana khusus bertuliskan SATGAS ARDHA GARDA NASIONAL. Arka maju beberapa langkah
Cahaya biru menyelimuti medan pertempuran. Pilar-pilar energi yang sebelumnya mencabik langit kini membeku di udara, seolah diperintah oleh kehendak yang lebih tua dari waktu. Sosok asing yang muncul dari celah realitas itu melayang perlahan, jubah panjangnya berpendar lembut, dan matanya memancarkan cahaya keemasan yang menembus jiwa siapa pun yang menatapnya. Arka berdiri membeku di tengah pusaran penyegelan. Energi di sekeliling tubuhnya masih berkobar, tapi kini tertahan—seolah sebuah tangan tak kasatmata menggenggamnya. “Siapa… kau sebenarnya?” tanya Arka pelan. Sosok itu turun menyentuh tanah. “Aku adalah bagian dari darahmu. Dan engkau adalah bagian dari kehendakku yang tertinggal di dunia ini.” Raka terhuyung, menahan luka di lengannya, matanya terpaku pada simbol bercahaya di udara—tiga garis spiral yang saling berpotongan membentuk mata ketiga di tengah kehampaan. Kiara berbisik, “Simbol itu… mengik
Tanah terbelah. Awan menghitam. Dari tubuh Sakarat, sosok Zerah melayang perlahan—gerakannya anggun seperti kabut, tapi tekanan kehadirannya menekan dada semua orang. Di sekelilingnya, waktu bergetar. Suara-suara dari masa lalu bergema lirih, menciptakan irama aneh yang menyesakkan telinga. Kiara mundur beberapa langkah. “Itu… bukan makhluk biasa.” “Bukan,” desis Arka. “Dia bukan makhluk. Dia… adalah kehendak yang ditolak oleh alam semesta.” Zerah menatap ke arah mereka, topengnya berganti-ganti bentuk—wajah-wajah yang familiar muncul sekilas: wajah Raksa, wajah Nadira, bahkan wajah Reza. Setiap wajah muncul hanya untuk digantikan oleh kekosongan tanpa ekspresi. “Arka Wijaya,” suaranya terdengar seperti ribuan orang berbicara bersamaan. “Darahmu adalah kunci. Warisanmu adalah pengikat. Maka, akulah yang berhak menuntutnya.” Tubuh Arka bergetar saat aliran energi dari dalam dadanya berdenyut semakin kuat. Simb