Angin dingin berdesir melalui celah-celah tembok batu yang menjulang tinggi. Cahaya merah samar dari bulan di langit yang kelam menciptakan bayangan aneh di atas tanah. Arka dan teman-temannya berdiri di depan gerbang raksasa yang setengah terbuka, memperlihatkan lorong gelap yang tampak tak berujung di dalam benteng.
"Rasanya seperti kita melangkah ke dalam mulut monster," gumam Genta, menggenggam erat gagang pedangnya. Azura mengangguk, mata hijaunya menyala dengan waspada. "Kita tidak punya pilihan. Agathos ada di dalam, dan kita harus menghadapinya." Arka melangkah maju, merasakan hawa pekat yang menyelimuti sekelilingnya. Setiap pori-porinya seakan berteriak memperingatkan bahaya, tetapi ia sudah terlalu jauh untuk mundur. Tiba-tiba, sebuah suara bergaung di udara. "Kalian benar-benar nekat datang ke sini." Dari kegelapan, muncul sosok yang tidak asing bagi Arka. Jubah hitam yang berkibar,Angin malam berhembus tajam, membawa aroma logam dan debu yang pekat. Arka, Azura, Raka, dan Genta berdiri membeku, tak percaya dengan apa yang mereka lihat. Di depan mereka, Isvara berdiri dengan tatapan dingin, matanya bersinar merah kehitaman, auranya penuh dengan kegelapan yang menyesakkan dada. "Isvara… apa yang terjadi padamu?" suara Arka bergetar, mencoba memahami situasi. Isvara tersenyum tipis, tanpa sedikit pun kehangatan yang mereka kenal. "Aku hanya kembali ke tempatku seharusnya berada, Arka. Kalian terlalu percaya diri menganggapku sebagai sekutu." Azura menggertakkan giginya. "Jangan bercanda, Isvara! Kita sudah melalui begitu banyak hal bersama! Kau tidak mungkin mengkhianati kami!" Kael, yang berdiri di samping Isvara, terkekeh. "Kalian memang terlalu mudah percaya. Sejak awal, Isvara tidak pernah benar-benar berpihak pada kalian." Arka merasakan emosinya bergejolak, tetapi ses
Isvara mengatur napasnya, mencoba memahami situasi di sekitarnya. Rantai energi merah yang membelenggu tubuhnya bukan sekadar penjara biasa—ia bisa merasakan kekuatan yang mengalir di dalamnya, seolah menghisap setiap tetes energinya sedikit demi sedikit. Di ruangan gelap itu, hanya ada cahaya redup dari kristal yang tertanam di dinding, berdenyut seperti jantung makhluk hidup. Udara terasa dingin, dan ada aroma besi yang pekat, seolah darah telah lama meresap ke dalam batu. Sosok berjubah hitam yang tadi berbicara dengannya masih berdiri di sudut ruangan, wajahnya tersembunyi dalam bayang-bayang. "Siapa kau?" suara Isvara terdengar lemah, namun matanya tetap tajam. Sosok itu tertawa pelan, suaranya bergema seperti angin yang berbisik di dalam gua. "Pertanyaan yang bagus, tapi jawabannya tidak akan mengubah nasibmu." Isvara menggertakkan giginya. "Kenapa aku di sini? Apa tujuan kalian?" Sosok i
Suara gemuruh terdengar di balik pintu batu yang mengurung Isvara. Ia menahan napas, jantungnya berdegup kencang. Apakah itu pertolongan? Atau ancaman baru? Tiba-tiba, retakan muncul di permukaan pintu. Cahaya biru berkilauan dari sela-selanya. Dengan satu ledakan keras, pintu itu hancur berkeping-keping, menghamburkan serpihan batu ke segala arah. Sosok yang berdiri di ambang pintu membuat Isvara terkejut. "Arka…?" suaranya serak, hampir tidak percaya. Arka berdiri dengan pedangnya terangkat, wajahnya penuh amarah dan keteguhan. Di belakangnya, Azura, Genta, dan Raka memasuki ruangan dengan waspada. Azura menghela napas lega. "Akhirnya, kami menemukannya." Namun sebelum mereka bisa mendekat, suara tawa menggema di udara. "Kalian benar-benar datang… seperti yang sudah kuduga." Dari bayang-bayang ruangan, sosok berjuba
Isvara berdiri terpaku, tubuhnya masih terikat rantai energi merah yang berdenyut seperti makhluk hidup. Di hadapannya, sosok berjubah hitam mengulurkan tangan, menunggu jawaban. "Bergabunglah denganku... atau saksikan teman-temanmu mati satu per satu." Suaranya berbisik, namun terasa seperti petir yang menggelegar di telinga Isvara. Arka, Azura, Raka, dan Genta bersiap di belakangnya. Mata mereka penuh ketegangan, menunggu apa yang akan dilakukan Isvara. "Jangan dengarkan dia, Isvara!" seru Arka. "Kau bukan bagian dari mereka!" Isvara menatap teman-temannya. Ada sesuatu dalam sorot mata mereka yang membuat hatinya goyah—kepercayaan. Namun, bayangan dalam pikirannya masih mengusik. Ingatan yang samar-samar, tentang siapa dirinya sebenarnya. Tentang mengapa ia begitu penting bagi orang-orang ini. Sosok berjubah itu tertawa pelan. "Lihatlah mereka... mereka tidak tahu siapa dirimu
Suasana di dalam ruangan itu semakin mencekam. Portal hitam di atas mereka semakin melebar, dan dari dalamnya, sosok raksasa dengan mata merah menyala turun ke tanah, menggetarkan seluruh tempat. Arka menggenggam pedangnya erat. "Kita harus keluar dari sini sebelum semuanya semakin buruk." Azura mengangkat belatinya, bersiap menyerang. "Pertanyaannya, bagaimana? Kita bahkan belum tahu apa makhluk itu!" Raka menatap Isvara dengan serius. "Kau bilang ingatanmu kembali... apakah kau tahu apa itu?" Isvara menatap makhluk raksasa itu dengan ekspresi tegang. "Itu... Guardian Kegelapan." Genta menelan ludah. "Guardian? Kau bercanda, kan?" Isvara menggeleng pelan. "Dia adalah penjaga tempat ini... dan hanya bisa dikendalikan oleh seseorang yang memiliki darah dari garis keturunan tertentu." Sosok berjubah hitam tertawa. "Tepat sekali, Isvara. Dan kau adalah satu-satunya yang bisa menghen
Dingin menusuk saat Arka dan yang lainnya melangkah melewati pintu batu raksasa itu. Udara di dalam terasa berat, seolah mengandung sesuatu yang tak terlihat. Cahaya biru samar melayang di udara seperti kunang-kunang, menerangi jalan berbatu yang tampak seperti bagian dari kuil kuno. Azura menyentuh dinding yang dipenuhi ukiran aneh. "Tempat ini... bukan sekadar reruntuhan biasa." Raka berjalan di sampingnya, mengamati pola-pola yang terpahat. "Aku pernah melihat simbol-simbol ini dalam buku kuno... Ini adalah bahasa kuno dari peradaban yang sudah lama hilang." Genta melirik sekeliling dengan waspada. "Jadi kita berada di tempat yang bahkan sejarah pun tidak mencatatnya? Menyenangkan sekali." Arka tetap diam, pikirannya masih tertuju pada Isvara. "Kalau ini tempat yang tersembunyi, berarti ada alasan kenapa kita dibawa ke sini." Tiba-tiba, suara lirih menggema di udara, seperti bisikan angin. "
Arka menatap sosok di hadapannya—Isvara, atau setidaknya tubuhnya. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Mata merah itu bersinar dingin, penuh dengan kekuatan yang tak dikenal. Azura menggenggam belatinya erat. "Isvara...? Apa itu benar-benar kau?" Tidak ada jawaban. Sosok itu hanya berdiri diam, menatap mereka dengan ekspresi yang kosong. Raka melangkah maju. "Kalau kau bisa mendengar kami, lawan pengaruh itu! Kau bukan musuh kami!" Tiba-tiba, angin di sekitar mereka berputar dengan dahsyat. Isvara mengangkat satu tangan, dan bayangan mulai menjalar dari kakinya, membentuk lingkaran rune di tanah. Genta tersentak. "Mundur! Ada sesuatu yang akan terjadi!" Sebelum mereka sempat bereaksi, ledakan energi gelap meledak dari tubuh Isvara, menghempaskan mereka ke segala arah. Arka jatuh berguling ke tanah, kepalanya berdenging. Ketika ia membuka matanya, Isvara sudah melayang di udara, dike
Angin kencang berputar liar saat tangan raksasa itu keluar dari lubang hitam yang terbuka di tengah kuil. Sisiknya berwarna obsidian, memancarkan kilauan merah saat terkena cahaya kristal yang berpendar di dinding. Arka menggenggam pedangnya erat, merasakan tekanan luar biasa yang memenuhi udara. "Kita tidak bisa membiarkannya keluar sepenuhnya!" seru Genta. Raka mengangguk. "Jika dia bangkit sepenuhnya, kita tidak akan punya kesempatan untuk menang." Azura menatap sosok berjubah hitam yang masih berdiri di sudut ruangan. "Kau yang melakukan ini, bukan?" Sosok itu hanya tertawa pelan. "Aku hanya mempercepat takdir. Lagipula, kalian sudah terlalu lama menghalangi jalan kami." Tanpa peringatan, tangan raksasa itu menghantam lantai, menciptakan gelombang kejut yang menghempaskan mereka ke berbagai arah. Arka terhuyung, tetapi dengan cepat menancapkan pedangnya ke tanah untuk menjaga
Langit Jakarta diguyur cahaya senja yang lembut saat helikopter hitam mendarat di atap gedung utama Wijaya Corporation. Bilah-bilah rotor melambat, meniupkan debu dan kenangan di udara. Dari dalam kabin, Arka turun lebih dulu, mengenakan jaket hitam bertuliskan WJ Core di lengannya. “Masih terasa aneh ya,” gumam Kiara di belakangnya. “Kita barusan keluar dari altar kehendak… dan sekarang berdiri di atap kantor pusat.” Genta menyeringai sambil menenteng tas data. “Aneh itu kalau kita tiba-tiba bangun di kebun belakang dengan piyama.” Raka menepuk bahunya. “Jangan beri semesta ide aneh, Gen.” Mereka berempat berdiri berjejer, menatap siluet kota yang perlahan berubah warna. Di bawah mereka, gedung-gedung menjulang seperti urat nadi dari ambisi yang pernah hampir dibajak oleh kehendak jahat. Arka menarik napas panjang. “Kita berhasil. Dunia masih berdiri.” “Dan kita masih satu,” Kiara menambahkan,
Altar kehendak bergema dengan getaran lembut, seolah menghela napas terakhir setelah ribuan tahun terbungkam. Dinding kubah yang retak menyala dengan pola cahaya yang bergerak pelan, membentuk simbol-simbol purba yang tak dikenali, tapi terasa akrab bagi Arka dan yang lain. “Tempat ini hidup,” bisik Genta, mengamati garis cahaya yang menjalar di sepanjang lantai. “Tapi bukan seperti teknologi. Ini… sesuatu yang lain.” Kiara menyentuh salah satu simbol, dan cahaya melesat cepat, menyusuri lengannya tanpa melukai. “Seolah-olah tempat ini mengenali kita.” Raka melangkah mendekati pusat altar, di mana sebuah pilar kristal muncul perlahan dari bawah tanah. Di dalamnya, pusaran kehendak berwarna emas berdenyut pelan seperti jantung. “Tunggu,” ucap Arka sambil menatap sekeliling. “Kalian dengar itu?” Detak. Lembut, tapi dalam. Seperti jantung raksasa yang berdetak dari dalam dunia itu sendiri. Kiara m
Kilatan pertama menyambar seperti tombak cahaya yang mengoyak udara. Arka dan yang lain menembus pusaran badai, tubuh mereka melayang bebas di antara fragmen waktu dan kehendak yang saling bertabrakan. Setiap helai udara terasa tajam, seolah menolak keberadaan mereka. Arka menggertakkan gigi, tubuhnya tertarik ke dalam spiral cahaya keperakan. “Tahan formasi! Jangan terpisah!” “Aku kehilangan gravitasi!” teriak Genta, tubuhnya terpental ke arah fragmentasi kota yang hancur di kejauhan. Kiara melompat, menyambar tangan Genta. “Aku dapat dia! Tapi ini… bukan ruang biasa. Waktunya loncat-loncat!” Raka berputar di udara, kakinya menjejak sebongkah memori masa depan yang padat, lalu meluncur ke arah Arka. “Kita harus sampai ke pusat! Di sanalah kehendak disimpul jadi satu!” Di tengah pusaran, sosok bertopeng perak berdiri kokoh, tubuhnya membesar menjadi kolosus setinggi gedung. Di dadanya, mata yang berputar kini
Arka mendarat di permukaan yang tak padat, seolah pijakan itu terbuat dari bayangan air. Setiap langkah meninggalkan riak yang memantulkan kenangan. Langit di atasnya merah kelam, bergemuruh seperti dada yang menahan napas terlalu lama. “Tempat ini… terasa seperti dalam mimpiku,” gumamnya, memandang sekitar. Kiara mendarat tak jauh darinya, tangannya terangkat, menjaga keseimbangan. “Tapi ini bukan mimpi. Ini ruang kehendak terdalam. Lapisan ketiga.” Dari balik kabut, siluet Raka muncul, tubuhnya bersimbah cahaya kehendak yang belum sepenuhnya stabil. “Aku lihat bayangan Ayah tadi… seperti nyata.” “Bukan bayangan,” sahut Genta yang menyusul, napasnya memburu. “Tempat ini menyerap ingatan paling kuat dalam diri kita. Dan memutarnya jadi senjata.” Angin bertiup pelan, namun membawa aroma darah dan logam. Lalu satu demi satu sosok muncul dari balik kabut—wajah-wajah yang seharusnya sudah mati. Ayah Raka. Saudara
Genta melompat ke panel darurat, jarinya menari di atas tombol manual. Sinyal listrik masih lumpuh, tapi ia berhasil mengaktifkan suplai cadangan untuk server utama. Layar menyala kembali dalam kilatan biru redup, menampilkan grafik-grafik kacau dan sinyal spiral dari dasar laut. “Gelombangnya meningkat,” gumamnya. “Ini bukan hanya sinyal… ini panggilan.” Arka berjalan perlahan ke tengah ruangan, di mana wajah digital bertopeng perak masih menatap mereka dari layar. Cahaya dari monitor memantul di matanya yang membara, menciptakan siluet tajam di balik bahunya. “Kau siapa sebenarnya?” tanya Arka, suaranya pelan tapi tegas. “Pertanyaan yang salah, Arka Wijaya,” suara itu mengalun seperti gema di dalam tengkorak. “Pertanyaannya adalah: berapa lama lagi kehendak manusia bisa menolak evolusi yang sudah kutawarkan?” Kiara menatap layar dengan rahang mengeras. “Kau menyebut dirimu ide. Tapi ide tidak lahir sendiri.
Asap tipis mengepul dari sudut-sudut ruangan. Cahaya darurat berpendar merah, melemparkan bayangan bergerigi di wajah-wajah tegang. Di tengahnya, wajah bertopeng perak masih terpampang di layar utama, menatap semua yang hadir tanpa berkedip. Suara itu terdengar lagi, serak tapi stabil. “Divisi Kehendak? Nama yang indah. Tapi sia-sia.” Raka maju dua langkah, belatinya bergetar oleh listrik statis dari medan proteksi yang belum sepenuhnya mati. “Kalau kau hanya bisa bicara dari balik layar, kau pengecut.” “Justru karena aku di balik layar, aku hidup lebih lama dari kalian semua,” jawab suara itu. “Aku bukan tubuh. Aku adalah algoritma keserakahan, rumus dominasi, strategi kolonialisme yang kalian warisi diam-diam.” Kiara menoleh ke Genta. “Apakah ini AI yang kita deteksi dari dasar laut?” Genta mengetik cepat, matanya tak lepas dari data baru yang masuk. “Tidak sepenuhnya. Ini semacam antarmuka. Tapi energinya…
Bayangan hitam yang mengambang di atas cakrawala makin jelas. Bukan retakan dimensi, bukan pula makhluk seperti Zerah—melainkan armada. Puluhan—tidak, ratusan kapal udara taktis melayang membentuk formasi setengah lingkaran di langit senja. Baling-baling rotor mereka tak menimbulkan suara, hanya getaran halus yang merambat ke tanah, seperti denyut jantung dunia yang baru bangkit. “Ini bukan invasi, kan?” bisik Raka sambil meraih senjata di pinggang. Genta menatap hasil pemindaian di alatnya. “Bukan. Ini… pasukan militer. Tanda pengenal mereka sah. Tapi mereka dalam mode siaga tinggi.” Beberapa pesawat turun perlahan, melepaskan platform logam yang terhampar rapi di tanah. Dari sana, pasukan berseragam hitam-hijau turun, berbaris dalam diam. Seorang pria berambut putih dan berseragam panglima berdiri di tengah mereka, mengenakan lencana khusus bertuliskan SATGAS ARDHA GARDA NASIONAL. Arka maju beberapa langkah
Cahaya biru menyelimuti medan pertempuran. Pilar-pilar energi yang sebelumnya mencabik langit kini membeku di udara, seolah diperintah oleh kehendak yang lebih tua dari waktu. Sosok asing yang muncul dari celah realitas itu melayang perlahan, jubah panjangnya berpendar lembut, dan matanya memancarkan cahaya keemasan yang menembus jiwa siapa pun yang menatapnya. Arka berdiri membeku di tengah pusaran penyegelan. Energi di sekeliling tubuhnya masih berkobar, tapi kini tertahan—seolah sebuah tangan tak kasatmata menggenggamnya. “Siapa… kau sebenarnya?” tanya Arka pelan. Sosok itu turun menyentuh tanah. “Aku adalah bagian dari darahmu. Dan engkau adalah bagian dari kehendakku yang tertinggal di dunia ini.” Raka terhuyung, menahan luka di lengannya, matanya terpaku pada simbol bercahaya di udara—tiga garis spiral yang saling berpotongan membentuk mata ketiga di tengah kehampaan. Kiara berbisik, “Simbol itu… mengik
Tanah terbelah. Awan menghitam. Dari tubuh Sakarat, sosok Zerah melayang perlahan—gerakannya anggun seperti kabut, tapi tekanan kehadirannya menekan dada semua orang. Di sekelilingnya, waktu bergetar. Suara-suara dari masa lalu bergema lirih, menciptakan irama aneh yang menyesakkan telinga. Kiara mundur beberapa langkah. “Itu… bukan makhluk biasa.” “Bukan,” desis Arka. “Dia bukan makhluk. Dia… adalah kehendak yang ditolak oleh alam semesta.” Zerah menatap ke arah mereka, topengnya berganti-ganti bentuk—wajah-wajah yang familiar muncul sekilas: wajah Raksa, wajah Nadira, bahkan wajah Reza. Setiap wajah muncul hanya untuk digantikan oleh kekosongan tanpa ekspresi. “Arka Wijaya,” suaranya terdengar seperti ribuan orang berbicara bersamaan. “Darahmu adalah kunci. Warisanmu adalah pengikat. Maka, akulah yang berhak menuntutnya.” Tubuh Arka bergetar saat aliran energi dari dalam dadanya berdenyut semakin kuat. Simb