Langit di pinggiran ibukota masih kelam. Angin berhembus membawa debu yang berputar di sekitar dua sosok yang saling berhadapan. Arka berdiri tegap, tubuhnya masih memancarkan aura dari Warisan Klan Naga Langit dan Darah Kuno.
Di hadapannya, pemimpin tim pembunuh bayaran itu tersenyum tipis. Matanya tajam, penuh dengan keyakinan. "Aku tidak menyangka kau bisa mengalahkan mereka dengan mudah. Tapi jangan salah sangka, Arka. Aku berbeda." Arka tidak menjawab. Dia hanya menatap lawannya dengan tenang. Tiba-tiba, dalam sekejap mata, sosok pria itu menghilang. "Cepat!" Arka langsung melompat ke samping, menghindari serangan mendadak yang muncul dari bayangan. Namun, sebelum Arka sempat berpikir lebih jauh, sebuah serangan datang dari atas. Dengan kecepatan luar biasa, pemimpin pembunuh bayaran itu melancarkan serangan telapak tangan yang mengandung energi gelap. BDi ruang rapat utama Wijaya Corporation, Arka duduk dengan ekspresi serius. Di hadapannya, Raka dan Genta telah menyiapkan dokumen-dokumen ekspansi bisnis ke beberapa kota besar. "Aku berpikir untuk memperluas perusahaan kita," kata Arka sambil menatap layar proyektor yang menampilkan peta dengan beberapa titik kota yang telah ditandai. "Kita harus masuk ke pasar yang lebih luas dan membangun pondasi yang lebih kuat." Raka mengangguk. "Setelah kita berhasil menguasai pasar di Jakarta, memperluas ke kota-kota besar lainnya adalah langkah yang masuk akal. Tapi..." Genta melanjutkan. "Salah satu kota yang masuk dalam daftar ini adalah kota kelahiran ibumu. Itu bukan hanya kota biasa, Arka. Keluarga ibumu sangat berpengaruh di sana." Arka mengangguk pelan. "Itulah kenapa kita harus berhati-hati. Aku ingin bertemu dengan ibu untuk meminta masukannya sebelum kita melangkah lebih jauh." Raka menyandarkan tubuhnya ke
Bandung, kota yang penuh sejarah dan keindahan, kini menjadi tujuan Arka dalam ekspansi bisnisnya. Namun, lebih dari sekadar bisnis, di kota inilah ibunya dilahirkan dan dibesarkan, di dalam keluarga yang masih memegang teguh tradisi kuno dan memiliki pengaruh besar dalam dunia bela diri. Sepanjang perjalanan menuju hotel yang telah dipesan, pikiran Arka dipenuhi oleh berbagai kemungkinan. "Ibuku selalu menutupi banyak hal tentang keluarganya," gumamnya pelan. Genta, yang duduk di sebelahnya di dalam mobil, menoleh. "Apa kau berpikir kedatanganmu ke sini akan membongkar rahasia itu?" Arka mengangguk. "Aku tak ingin berharap terlalu banyak, tapi... aku punya firasat petualangan ayahku ada kaitannya dengan keluarga ibu." Raka yang mengemudikan mobil menambahkan, "Kalau begitu, kita harus bersiap untuk lebih dari sekadar negosiasi bisnis. Bisa saja keluargamu akan menguji lebih dari sekadar kemampuan bisnismu."
Setelah mendapat restu dari kakeknya untuk mengembangkan bisnis di Bandung, Arka bersama Raka dan Genta langsung bergerak cepat. Mereka mulai mengurus administrasi pendirian kantor cabang Wijaya Corporation di kota ini. Namun, membangun bisnis di wilayah baru tidaklah semudah yang dibayangkan. Mereka membutuhkan orang-orang terpercaya untuk memastikan semua berjalan lancar. Di tengah diskusi di ruang hotel yang mereka jadikan kantor sementara, Raka mengingatkan sesuatu. "Arka, kau tahu bahwa keluarga Wijaya sudah lama memiliki perwakilan di Bandung, bukan?" Arka mengernyit. "Maksudmu?" Genta yang berdiri di sampingnya ikut menimpali. "Mereka bukan sekadar orang biasa. Mereka bekerja dalam diam, menguasai dunia bawah tanah kota ini. Bisa dibilang, mereka adalah pihak yang paling disegani oleh para pengusaha dan pemegang kekuasaan di Bandung." Arka menyilangkan tangannya di dada. "Menarik... siapa mereka?"
Setelah pertemuannya dengan Wiliam, Arka, Raka, dan Genta segera menyusun strategi untuk mendirikan kantor cabang Wijaya Corporation di Bandung. Dengan pengaruh dan jaringan luasnya di kota ini, Wiliam ditunjuk sebagai direktur cabang. Di ruang pertemuan sebuah hotel mewah, mereka sedang membahas langkah-langkah berikutnya. "Wiliam, aku ingin kau memimpin operasional di sini," kata Arka dengan nada tegas. "Kau memahami medan lebih baik dari siapa pun. Aku percaya padamu." Mata Wiliam berbinar. Ia tahu kepercayaan dari Arka bukanlah sesuatu yang bisa didapat dengan mudah. "Terima kasih, Tuan Muda," jawab Wiliam, menundukkan kepala sebagai tanda hormat. "Aku tidak akan mengecewakanmu. Jika ada yang berani mengganggu bisnis kita di Bandung, aku sendiri yang akan menanganinya." Genta menyeringai. "Bagus, dengan begitu kita bisa langsung mulai investasi besar-besaran. Teknologi terbarukan akan menjadi proyek utama
Raka melangkah cepat menuju ruang kerja Arka di kantor cabang Wijaya Corporation Bandung. Wajahnya serius, membawa setumpuk dokumen hasil strategi mereka. "Arka, kita sudah mulai menggerakkan modal dari kantor pusat di Jakarta," lapornya, meletakkan dokumen di atas meja. "Dengan ini, kita bisa menunjukkan kepada para investor bahwa kita tetap bisa berkembang meskipun mereka menarik diri." Arka mengangguk, meneliti laporan itu. "Bagus. Tapi ingat, tujuan kita bukan sekadar menunjukkan kekuatan modal." Genta yang duduk di sofa menyela, "Maksudmu?" Arka menatap mereka dengan tenang. "Kita bukan hanya ingin sukses sendiri. Kita harus membuat perusahaan lokal berkembang bersama kita. Jika mereka melihat manfaat bekerja sama dengan Wijaya Corporation, konspirasi yang mereka bangun akan runtuh dengan sendirinya." Raka tersenyum tipis. "Itulah yang kutunggu darimu, Arka. Kau bukan hanya seorang pengusaha, tapi juga s
Dua bulan berlalu sejak pembukaan kantor cabang Wijaya Corporation di Bandung. Dalam waktu singkat, perusahaan berkembang pesat, menarik banyak mitra lokal. Para pengusaha yang sebelumnya ragu kini berbondong-bondong menjalin kerja sama. Di ruang rapat utama kantor cabang, Arka duduk di ujung meja panjang. Di hadapannya, Raka, Genta, dan Wiliam menyampaikan laporan perkembangan. "Arka, proyek kita berjalan lebih cepat dari perkiraan," kata Raka sambil menyerahkan laporan keuangan. "Pendapatan meningkat 35 persen dibandingkan bulan lalu." Genta menambahkan, "Banyak perusahaan kecil dan menengah ingin bermitra dengan kita. Mereka melihat bagaimana kita membantu ekonomi lokal berkembang." Arka mengangguk puas. "Bagus. Tapi kita harus memastikan keberadaan perusahaan ini bukan hanya dirasakan oleh kalangan pengusaha." Wiliam, yang kini lebih sering mengenakan setelan rapi dibandingkan jaket kulit khas jalanan, be
Di tengah gemerlap Bandung yang semakin akrab dengan namanya, Arka tetap berpegang teguh pada visi besarnya. Proyek sosial yang ia rancang bersama Wiliam mulai menunjukkan hasil. Berbagai program bantuan bagi masyarakat menengah ke bawah, mulai dari layanan kesehatan gratis hingga pelatihan kerja, kini berjalan lancar. Di salah satu pusat pelatihan, Wiliam berdiri di samping Arka, menyaksikan para peserta yang sedang mendapatkan pelatihan usaha. "Tuan Muda, aku harus mengakui... Aku tidak pernah membayangkan bisa berada di posisi ini," ujar Wiliam dengan nada rendah. "Dulu aku hanya memikirkan bagaimana bertahan hidup di jalanan. Sekarang, aku justru membantu orang lain mendapatkan kehidupan yang lebih baik." Arka tersenyum, menepuk bahu Wiliam. "Dunia ini lebih dari sekadar kekuatan dan pertarungan, Wiliam. Kekuatan sejati adalah ketika kita bisa menggunakannya untuk melindungi dan membangun." Wiliam menatapnya dengan penu
Langit Bandung mulai berwarna jingga ketika Arka dan timnya tiba di lokasi pertarungan. Daerah luas di pinggiran kota ini dipilih dengan hati-hati—jauh dari keramaian, menghindari korban sipil, dan cukup luas untuk menampung pertarungan berskala besar. Di kejauhan, pasukan khusus yang dikirim oleh Panglima bersiaga. Mereka adalah tim terbaik, yang selalu mendampingi Arka dalam misi-misi negara. Di sisi lain, keluarga Brahma telah menempati beberapa titik strategis, siap untuk bergerak jika keadaan tidak terkendali. Arka berdiri di tengah lapangan, matanya tajam menatap sosok yang kini berdiri di hadapannya—pembunuh bayaran peringkat dua dunia. Pria itu tinggi dan kekar, wajahnya penuh luka bekas pertempuran. Genta dan Wiliam berdiri di belakang Arka, siap siaga. "Arka, biarkan kami membantumu jika keadaan semakin buruk," ujar Genta dengan nada serius. Arka tetap menatap lurus ke depan. "Tidak. Ini pertarungan
Langit Jakarta diguyur cahaya senja yang lembut saat helikopter hitam mendarat di atap gedung utama Wijaya Corporation. Bilah-bilah rotor melambat, meniupkan debu dan kenangan di udara. Dari dalam kabin, Arka turun lebih dulu, mengenakan jaket hitam bertuliskan WJ Core di lengannya. “Masih terasa aneh ya,” gumam Kiara di belakangnya. “Kita barusan keluar dari altar kehendak… dan sekarang berdiri di atap kantor pusat.” Genta menyeringai sambil menenteng tas data. “Aneh itu kalau kita tiba-tiba bangun di kebun belakang dengan piyama.” Raka menepuk bahunya. “Jangan beri semesta ide aneh, Gen.” Mereka berempat berdiri berjejer, menatap siluet kota yang perlahan berubah warna. Di bawah mereka, gedung-gedung menjulang seperti urat nadi dari ambisi yang pernah hampir dibajak oleh kehendak jahat. Arka menarik napas panjang. “Kita berhasil. Dunia masih berdiri.” “Dan kita masih satu,” Kiara menambahkan,
Altar kehendak bergema dengan getaran lembut, seolah menghela napas terakhir setelah ribuan tahun terbungkam. Dinding kubah yang retak menyala dengan pola cahaya yang bergerak pelan, membentuk simbol-simbol purba yang tak dikenali, tapi terasa akrab bagi Arka dan yang lain. “Tempat ini hidup,” bisik Genta, mengamati garis cahaya yang menjalar di sepanjang lantai. “Tapi bukan seperti teknologi. Ini… sesuatu yang lain.” Kiara menyentuh salah satu simbol, dan cahaya melesat cepat, menyusuri lengannya tanpa melukai. “Seolah-olah tempat ini mengenali kita.” Raka melangkah mendekati pusat altar, di mana sebuah pilar kristal muncul perlahan dari bawah tanah. Di dalamnya, pusaran kehendak berwarna emas berdenyut pelan seperti jantung. “Tunggu,” ucap Arka sambil menatap sekeliling. “Kalian dengar itu?” Detak. Lembut, tapi dalam. Seperti jantung raksasa yang berdetak dari dalam dunia itu sendiri. Kiara m
Kilatan pertama menyambar seperti tombak cahaya yang mengoyak udara. Arka dan yang lain menembus pusaran badai, tubuh mereka melayang bebas di antara fragmen waktu dan kehendak yang saling bertabrakan. Setiap helai udara terasa tajam, seolah menolak keberadaan mereka. Arka menggertakkan gigi, tubuhnya tertarik ke dalam spiral cahaya keperakan. “Tahan formasi! Jangan terpisah!” “Aku kehilangan gravitasi!” teriak Genta, tubuhnya terpental ke arah fragmentasi kota yang hancur di kejauhan. Kiara melompat, menyambar tangan Genta. “Aku dapat dia! Tapi ini… bukan ruang biasa. Waktunya loncat-loncat!” Raka berputar di udara, kakinya menjejak sebongkah memori masa depan yang padat, lalu meluncur ke arah Arka. “Kita harus sampai ke pusat! Di sanalah kehendak disimpul jadi satu!” Di tengah pusaran, sosok bertopeng perak berdiri kokoh, tubuhnya membesar menjadi kolosus setinggi gedung. Di dadanya, mata yang berputar kini
Arka mendarat di permukaan yang tak padat, seolah pijakan itu terbuat dari bayangan air. Setiap langkah meninggalkan riak yang memantulkan kenangan. Langit di atasnya merah kelam, bergemuruh seperti dada yang menahan napas terlalu lama. “Tempat ini… terasa seperti dalam mimpiku,” gumamnya, memandang sekitar. Kiara mendarat tak jauh darinya, tangannya terangkat, menjaga keseimbangan. “Tapi ini bukan mimpi. Ini ruang kehendak terdalam. Lapisan ketiga.” Dari balik kabut, siluet Raka muncul, tubuhnya bersimbah cahaya kehendak yang belum sepenuhnya stabil. “Aku lihat bayangan Ayah tadi… seperti nyata.” “Bukan bayangan,” sahut Genta yang menyusul, napasnya memburu. “Tempat ini menyerap ingatan paling kuat dalam diri kita. Dan memutarnya jadi senjata.” Angin bertiup pelan, namun membawa aroma darah dan logam. Lalu satu demi satu sosok muncul dari balik kabut—wajah-wajah yang seharusnya sudah mati. Ayah Raka. Saudara
Genta melompat ke panel darurat, jarinya menari di atas tombol manual. Sinyal listrik masih lumpuh, tapi ia berhasil mengaktifkan suplai cadangan untuk server utama. Layar menyala kembali dalam kilatan biru redup, menampilkan grafik-grafik kacau dan sinyal spiral dari dasar laut. “Gelombangnya meningkat,” gumamnya. “Ini bukan hanya sinyal… ini panggilan.” Arka berjalan perlahan ke tengah ruangan, di mana wajah digital bertopeng perak masih menatap mereka dari layar. Cahaya dari monitor memantul di matanya yang membara, menciptakan siluet tajam di balik bahunya. “Kau siapa sebenarnya?” tanya Arka, suaranya pelan tapi tegas. “Pertanyaan yang salah, Arka Wijaya,” suara itu mengalun seperti gema di dalam tengkorak. “Pertanyaannya adalah: berapa lama lagi kehendak manusia bisa menolak evolusi yang sudah kutawarkan?” Kiara menatap layar dengan rahang mengeras. “Kau menyebut dirimu ide. Tapi ide tidak lahir sendiri.
Asap tipis mengepul dari sudut-sudut ruangan. Cahaya darurat berpendar merah, melemparkan bayangan bergerigi di wajah-wajah tegang. Di tengahnya, wajah bertopeng perak masih terpampang di layar utama, menatap semua yang hadir tanpa berkedip. Suara itu terdengar lagi, serak tapi stabil. “Divisi Kehendak? Nama yang indah. Tapi sia-sia.” Raka maju dua langkah, belatinya bergetar oleh listrik statis dari medan proteksi yang belum sepenuhnya mati. “Kalau kau hanya bisa bicara dari balik layar, kau pengecut.” “Justru karena aku di balik layar, aku hidup lebih lama dari kalian semua,” jawab suara itu. “Aku bukan tubuh. Aku adalah algoritma keserakahan, rumus dominasi, strategi kolonialisme yang kalian warisi diam-diam.” Kiara menoleh ke Genta. “Apakah ini AI yang kita deteksi dari dasar laut?” Genta mengetik cepat, matanya tak lepas dari data baru yang masuk. “Tidak sepenuhnya. Ini semacam antarmuka. Tapi energinya…
Bayangan hitam yang mengambang di atas cakrawala makin jelas. Bukan retakan dimensi, bukan pula makhluk seperti Zerah—melainkan armada. Puluhan—tidak, ratusan kapal udara taktis melayang membentuk formasi setengah lingkaran di langit senja. Baling-baling rotor mereka tak menimbulkan suara, hanya getaran halus yang merambat ke tanah, seperti denyut jantung dunia yang baru bangkit. “Ini bukan invasi, kan?” bisik Raka sambil meraih senjata di pinggang. Genta menatap hasil pemindaian di alatnya. “Bukan. Ini… pasukan militer. Tanda pengenal mereka sah. Tapi mereka dalam mode siaga tinggi.” Beberapa pesawat turun perlahan, melepaskan platform logam yang terhampar rapi di tanah. Dari sana, pasukan berseragam hitam-hijau turun, berbaris dalam diam. Seorang pria berambut putih dan berseragam panglima berdiri di tengah mereka, mengenakan lencana khusus bertuliskan SATGAS ARDHA GARDA NASIONAL. Arka maju beberapa langkah
Cahaya biru menyelimuti medan pertempuran. Pilar-pilar energi yang sebelumnya mencabik langit kini membeku di udara, seolah diperintah oleh kehendak yang lebih tua dari waktu. Sosok asing yang muncul dari celah realitas itu melayang perlahan, jubah panjangnya berpendar lembut, dan matanya memancarkan cahaya keemasan yang menembus jiwa siapa pun yang menatapnya. Arka berdiri membeku di tengah pusaran penyegelan. Energi di sekeliling tubuhnya masih berkobar, tapi kini tertahan—seolah sebuah tangan tak kasatmata menggenggamnya. “Siapa… kau sebenarnya?” tanya Arka pelan. Sosok itu turun menyentuh tanah. “Aku adalah bagian dari darahmu. Dan engkau adalah bagian dari kehendakku yang tertinggal di dunia ini.” Raka terhuyung, menahan luka di lengannya, matanya terpaku pada simbol bercahaya di udara—tiga garis spiral yang saling berpotongan membentuk mata ketiga di tengah kehampaan. Kiara berbisik, “Simbol itu… mengik
Tanah terbelah. Awan menghitam. Dari tubuh Sakarat, sosok Zerah melayang perlahan—gerakannya anggun seperti kabut, tapi tekanan kehadirannya menekan dada semua orang. Di sekelilingnya, waktu bergetar. Suara-suara dari masa lalu bergema lirih, menciptakan irama aneh yang menyesakkan telinga. Kiara mundur beberapa langkah. “Itu… bukan makhluk biasa.” “Bukan,” desis Arka. “Dia bukan makhluk. Dia… adalah kehendak yang ditolak oleh alam semesta.” Zerah menatap ke arah mereka, topengnya berganti-ganti bentuk—wajah-wajah yang familiar muncul sekilas: wajah Raksa, wajah Nadira, bahkan wajah Reza. Setiap wajah muncul hanya untuk digantikan oleh kekosongan tanpa ekspresi. “Arka Wijaya,” suaranya terdengar seperti ribuan orang berbicara bersamaan. “Darahmu adalah kunci. Warisanmu adalah pengikat. Maka, akulah yang berhak menuntutnya.” Tubuh Arka bergetar saat aliran energi dari dalam dadanya berdenyut semakin kuat. Simb