Rong Guo bergegas meninggalkan jantung Hutan Tanxiang. Langkahnya mantap, penuh rasa percaya diri.Suara dedaunan yang bergesekan lembut di bawah kakinya menambah suasana sunyi yang hanya ditemani oleh bisikan angin pagi.Cahaya matahari mulai menembus sela-sela pepohonan, menerangi jalur yang membelah hutan, mengarahkan Rong Guo menuju ke pinggiran hutan, tempat di mana kusir kereta Aula Koi Keberuntungan menunggunya dengan penuh kecemasan.Wajah sang kusir, yang tadinya diselimuti oleh kerutan kekhawatiran, seketika berubah bersinar ketika melihat sosok Rong Guo mendekat. Matanya yang letih mendadak penuh semangat, senyumnya merekah seolah beban berat baru saja terangkat dari pundaknya.“Master Guo, syukurlah Anda sudah tiba!” seru sang kusir dengan nada lega yang tak dapat disembunyikan.“Tadinya aku berpikir telah terjadi sesuatu. Aku hampir saja bergegas pergi ke kota untuk memanggil bantuan dan mencari Anda...” Suaranya terdengar serak, mencerminkan betapa cemasnya dia selama in
Rong Guo tahu-tahu sudah menginjakkan kakinya di sebuah area yang lebih gelap dan sempit di Pasar Lengyang, dikenal sebagai pasar gelap.Tempat ini memiliki nuansa yang berbeda—misterius dan penuh rahasia. Lorong-lorongnya yang sempit dipenuhi kios-kios yang menjual barang-barang antik, senjata kuno, dan benda-benda langka yang tidak dapat ditemukan di tempat lain.Rong Guo berdiri di depan sebuah kios yang menjual barang antik.Matahari yang mulai tenggelam membuat bayangannya memanjang di jalanan berbatu yang dilalui oleh para pembeli dan pedagang yang hilir mudik.Di hadapannya, ada sebuah buku kuno menarik perhatiannya.Buku itu terlihat tua, dengan sampul yang usang dan kertas yang hampir lapuk, seolah menyimpan rahasia dari masa lalu.Ketika tangannya hendak menyentuh buku itu, tiba-tiba ia merasakan tatapan yang tajam dan berbahaya, seolah ada seseorang yang mengincarnya.Rong Guo spontan berpaling, mengikuti instingnya yang selalu waspada.“Duan Jiexin... Talisman Master Pavil
Di kamar khusus untuk Master Talisman, Rong Guo duduk tegak di atas bangku kayu.Ruangan itu luas, dindingnya dihiasi kaligrafi puisi dan ajaran Tao yang mendalam.Cahaya lampu minyak yang temaram memantulkan bayangan lembut pada dinding. Jendela berkisi-kisi dengan kertas Xuan menambah nuansa kuno dan misterius. Bayangan pengawal yang berpatroli terlihat samar mondar mandir, di balik jendela dan pintu.Cahaya lampu minyak itu kembali bergoyang, menciptakan permainan bayang-bayang yang menambah kedalaman pada wajah Rong Guo.Sorot matanya yang tajam berkilat saat ia dengan penuh konsentrasi menelusuri halaman demi halaman sebuah buku kuno. Buku itu baru saja ia beli dari Pasar Gelap, di sebuah kios milik Pedagang Qiang yang terkenal akan koleksi barang-barangnya yang langka dan berharga.“Sungguh harta terpendam yang tersia-sia di Pasar Gelap Kota Lengyang ini,” bisik Rong Guo, suaranya nyaris tidak terdengar namun penuh dengan rasa kagum yang membuncah dari dalam hatinya.“Tak ada ya
Pada sore hari yang penuh keheningan itu, Pengemis Baju Bersih bernama Huang Fu akhirnya setuju dengan penawaran yang diajukan oleh Rong Guo.“Sepakat, untuk biaya makan selama sebulan penuh, aku akan melatih Anda melukis!” kata Huang Fu dengan mantap, sambil menjabat tangan Rong Guo dengan penuh semangat.Sekantong onde-onde wijen yang masih hangat langsung berpindah tangan, memenuhi janji kecil yang telah disepakati.Begitu kantong tersebut mendarat di tangannya, Huang Fu tanpa ragu membuka bungkusan itu. Aroma harum onde-onde wijen yang manis dan gurih segera memenuhi udara, menggelitik indera penciuman mereka berdua.Tanpa malu-malu, Huang Fu melahap sepuluh onde-onde itu dengan rakus, setiap gigitan membawa kenikmatan tersendiri hingga tak tersisa sedikit pun.Setelah menyelesaikan makanannya, Huang Fu mengangkat wajahnya, matanya berbinar saat dia menatap Rong Guo. “Kapan kita mulai pelajaran melukis?” tanyanya dengan nada serius.Rong Guo, yang sedari tadi memperhatikan dengan
Rong Guo baru saja akan terlelap ketika telinganya, yang terlatih sebagai ahli bela diri tingkat tinggi, menangkap suara samar-samar dari gerakan kaki di atas bubungan Aula Koi Keberuntungan.Instingnya langsung bereaksi, menegaskan bahwa ada sesuatu yang tidak biasa sedang terjadi di sekitar paviliun yang biasanya tenang ini."Meskipun kemampuanku dalam mengerahkan energi sejati sedang tertutup, semua indra dan instingku sebagai seorang praktisi di tingkat Lotus Emas tetap tajam dan waspada," batinnya, merasakan detak jantungnya yang tetap stabil meski situasi mendadak menjadi tegang.Dengan hati-hati, Rong Guo mengintip dari balik jendela di paviliunnya. Tangannya perlahan membuka jendela, membiarkan angin malam yang sejuk masuk dan membawa aroma bunga yang samar namun menenangkan.Di bawah sinar bulan yang redup, ia melihat sosok manusia bergerak dengan kelincahan luar biasa, seolah burung walet yang terbang melintasi langit malam. Sosok itu melompat dari satu bangunan ke bangunan
“Si—siapa kamu? Bukankah kamu sudah mati? Ba—bagaimana bisa hidup lagi?”Pembunuh bayaran itu menatap dengan mata yang melebar, kebingungan meliputi wajahnya. Dia bukanlah orang yang percaya pada sihir atau ilmu hitam. Baginya, di dunia ini, kekuatan sejati terletak pada kemampuan menguasai seni bela diri.Tidak ada ruang untuk takhayul dalam benaknya yang keras dan penuh dengan logika tempur.Ketika sosok Talisman Master itu berjalan pelan mendekatinya, setiap langkahnya terasa menggema di malam yang sunyi.Bayangan tubuhnya yang tinggi menjulang terlihat jelas di bawah sinar rembulan yang pucat, menambah kesan angker pada dirinya.Pembunuh bayaran itu dengan cepat mengeluarkan belatinya. Cahaya bulan memantul pada bilah belati itu, memancarkan kilauan tajam yang menegaskan niatnya untuk melawan.“Jangan mendekat!” ancamnya dengan suara gemetar yang tak bisa disembunyikan, mencoba memulihkan ketenangan dalam dirinya. “Aku petarung dari ranah Pendekar Merak Emas. Satu lambaian tangan
Kecakapan para pekerja di Aula Koi Keberuntungan memang patut dipuji; gerakan mereka cekatan dan terampil, seolah-olah perintah Rong Guo, adalah bagian dari pekerjaan sehari-hari.Perlengkapan seperti peti mati, dan kereta kuda seketika di sipakan, penuh dengan bendera dan simbol kedukaan, untuk mengiringi sang pembunuh bayaran ituMalam pun berlalu, tak ada lagi hal yang mengejutkan yang terjadi.Keesokan harinya, saat fajar masih menyelimuti Kota Lengyang dengan kabut tipis, sebuah kereta kuda yang ditarik seekor kuda perlahan melintasi jalanan yang sunyi.Suasana pagi yang sepi diperkuat oleh udara dingin yang menusuk, membuat napas terlihat seperti asap tipis.Namun, yang menarik perhatian adalah iring-iringan pengawal Aula Koi Keberuntungan yang berjalan dengan tertib, langkah mereka teratur dan penuh kehormatan.Derap kaki mereka yang teratur, menggema di sepanjang jalan seperti bunyi tambur, menambah kesan angker pada suasana kota yang masih terlelap.Dari balik jendela yang te
Waktu berlalu, kira-kira seberapa lama diperlukan untuk meneguk secangkir teh hingga habis. Namun, sosok yang dinantikan untuk bertemu—Master Dhuan—tak kunjung keluar menemui Ming San dan para pengawal dari Aula Koi Keberuntungan.Ketenangan yang tadinya menyelimuti suasana kini mulai terasa tegang, seolah-olah setiap detik yang berlalu memperbesar ketegangan di udara.Kegelisahan mulai merayap di antara kerumunan yang semakin bertambah banyak. Rasa ingin tahu yang begitu besar membuat mereka tak sabar, ingin segera melihat akhir dari drama misterius yang berlangsung di pagi itu.Bisikan-bisikan mulai terdengar, dan tak lama kemudian, teriakan-teriakan provokatif mulai muncul dari tengah kerumunan, semakin memperkeruh suasana.“Ayo... keluarkan Master Dhuan itu! Jangan hanya bersembunyi di dalam Paviliun saja!” teriak seorang pria tua dengan suara serak yang menggelegar, matanya tajam menatap pintu gerbang Paviliun Merak yang tertutup rapat.“Apakah pihak Paviliun Merak sudah begitu k
Namun, betapa terkejutnya Sima Cheng ketika ia tiba di lokasi kejadian. Keadaan yang seharusnya penuh hiruk-pikuk kini sunyi sepi. Tak ada keramaian sama sekali, hanya ada seorang pemuda yang berdiri tegak, memegang pedang yang masih berlumuran darah segar.Wajah pemuda itu tampak muram, penuh kebencian dan kekesalan. Di bawah kakinya, tergeletak sosok Raja Kera, makhluk spiritual peringkat Transcendent yang seharusnya sangat sulit untuk ditaklukkan.Aura berbahaya yang menyelimuti jasad makhluk itu masih menguar, menyelubungi udara di sekitar mereka dengan ketegangan yang menakutkan. Bahkan, Sima Cheng merasakan degup jantungnya semakin cepat, menjadi sebuah ketegangan yang sulit diabaikan.“Hunter Guo?” tanya Sima Cheng dengan nada penuh keheranan, suaranya bergetar. “Apa yang kamu lakukan? Mengapa kamu membunuh makhluk spiritual peringkat Transcendent ini?”Rasa gelisah memenuhi hati Sima Cheng. Dalam pikirannya, ia merasa marah sekaligus bingung. Mahluk kontrak peringkat Transcend
Sima Cheng, pemimpin Organisasi Tangan Besi, duduk dengan wibawa di atas tandu mewah yang dipikul oleh empat anak buahnya. Setiap langkah mereka terdengar ringan namun kokoh, menggema di jalanan sempit dan berliku dalam hutan yang remang-remang.Tandu tersebut, dilukis dengan warna emas dan merah, dihiasi ukiran naga dan phoenix yang melambangkan kekuasaan dan keabadian. Cahaya rembulan yang menembus celah-celah dedaunan menerangi ukiran tersebut sehingga tampak hidup.Di sebelah tandu, Zhang Fen, anggota elit organisasi, menunggang seekor harimau iblis.Hewan besar itu melangkah dengan anggun, membuat Zhang Fen tidak perlu repot mengeluarkan tenaga untuk berjalan atau berlari. Bulu harimau yang berkilauan di bawah sinar rembulan memberikan kesan yang sangat intimidatif dan megah."Saudara Zhang," suara Sima Cheng terdengar, memecah keheningan hutan yang hanya sesekali diisi oleh suara serangga dan hembusan angin malam. Meski terdengar tenang, ada nada khawatir yang tersirat di dalamn
Mao Shen adalah pemimpin Organisasi Rajawali Iblis. Nama Rong Guo telah ia dengar sejak dari lantai pertama, namun tak sekalipun ia menyangka akan bertemu langsung dengan pria itu."Bagaimana Anda bisa tahu aku? Kita baru pertama bertemu, bukan?" Mao Shen akhirnya bertanya, suaranya masih terdengar serak setelah batuk-batuknya mereda. Dalam hati, ia menyesal telah meremehkan seni Tapak Angin Puyuh yang nyaris membuatnya muntah darah tadi.Meskipun merasa malu, Mao Shen mencoba menyembunyikan perasaan itu di balik tatapan datar. "Kamu memiliki kemampuan yang cukup hebat," katanya perlahan. "Bisa mengeksekusi Tapak Angin Puyuh—seni bela diri peringkat rendah—menjadi sesuatu yang luar biasa seperti tadi. Itu jelas bukan hal yang mudah."Rong Guo hanya tertawa. Suaranya menggema di antara desiran angin malam dan gemerisik dedaunan, menciptakan suasana penuh tekanan."Dari mana aku tahu Anda?" Rong Guo membalas dengan nada santai, namun sorot matanya tajam menusuk. "Mengapa tidak bertanya
"Ayo masuk, sama-sama kita mencari makhluk kontrak!""Hei! Biarkan aku masuk dulu!""Apa-apaan ini? Mengapa menyerobot?"Suara-suara protes dari para hunter menggema di depan pintu portal. Kerumunan mereka penuh sesak, dengan masing-masing orang berusaha mendahului yang lain. Riuh rendah suara itu memekakkan telinga, menciptakan suasana penuh ambisi dan ketegangan.Namun, ketika Rong Guo melangkah melewati portal itu, semua kegaduhan seketika lenyap. Dunia yang baru saja ia masuki begitu sunyi, seolah waktu di dalamnya berjalan dengan cara yang berbeda.Di kiri dan kanan, pohon-pohon ek yang besar dan menjulang tinggi menyambut pandangannya. Cabang-cabangnya membentang lebar, menciptakan bayangan gelap yang hampir menutupi langit. Di bawahnya, akar-akar besar mencengkeram tanah dengan kokoh, membentuk lanskap yang terasa kuno dan penuh misteri.Suara gemerisik lembut terdengar saat angin bertiup di antara dedaunan, menciptakan harmoni alami yang menenangkan.Rong Guo memperhatikan sek
Sementara itu, Ayong dan Yizhan masih sibuk menyelesaikan duyung-duyung terakhir yang tersisa. Mereka bekerja sama dengan baik hingga tak satu pun musuh berhasil melarikan diri. Ketika suasana kembali tenang dan bayangan dungeon mulai memudar, Rong Guo mendekati kedua kawannya.“Kita langsung pulang saja,” katanya tegas, suaranya terdengar serius. “Kalau kalian ingin merayakan kemenangan dengan minum arak, silakan. Tapi aku punya urusan penting yang harus kuselesaikan.”Ayong dan Yizhan saling melirik dengan raut wajah penuh tanda tanya. Meski penasaran, mereka memilih untuk tidak bertanya lebih jauh. Mereka tahu Rong Guo jarang menjelaskan rencananya, dan mendesaknya hanya akan membuang waktu.Ketiganya berpisah di pintu keluar dungeon. Rong Guo melangkah cepat menuju tempat peristirahatan di perkampungan hunter. Tangannya menggenggam erat Kalung Bintang Abadi, satu-satunya benda yang telah lama ia cari. Benda itu terasa hangat, seolah memancarkan energi misterius.Apakah dalam semal
Setelah beberapa waktu berlalu... setelah Rong Guo melewati dungeon ganda yang menimbulkan rasa cemburu bagi setiap hunter, akhirnya Festival Perburuan Malam dimulai.Namun, ada suatu kejadian yang mengejutkan terjadi, membuat Rong Guo sangat bahagia.Hari ini, tepat sehari sebelum festival dimulai, Rong Guo bersama dua kawannya – Ayong dan Yizhan – masuk ke dalam dungeon.Dungeon yang mereka masuki kali ini berwujud lautan yang maha luas.Lawan mereka adalah kaum duyung yang sangat merepotkan. Selain sakti dengan rata-rata keahlian setara Pendekar Naga Giok, kemampuan sihir para duyung benar-benar luar biasa.“Jangan tergoda dengan nyanyian mereka!” kata Rong Guo tegas. Tangan kanannya melambaikan Pedang Phoenix dan Naga, sementara tangan kirinya merapalkan Teknik Cakra Tengkorak Putih.“Nyanyian duyung mengandung magis, dan bisa membuat jiwa kalian terikat!” tambahnya. “Jika tak kuat, pakailah penutup telinga!”Rong Guo berkelebat cepat, pedangnya meliuk-liuk seperti naga yang menga
Setelah pertemuan panjang dengan para petinggi istana berakhir, Khagan Aruqai melangkah memasuki kamarnya yang megah di dalam istana Kaisar Kota Kaejin.Ruangan itu luas dan penuh kemewahan, dihiasi dengan ukiran-ukiran rumit yang bernilai seni tinggi. Dindingnya dicat dengan lapisan warna emas dan perak yang berkilauan, seakan memantulkan sinar setiap kali cahaya menerpa.Beberapa tembikar berkualitas tinggi terletak di sudut ruangan, semakin menegaskan kesan agung dan megah yang menyelimuti tempat itu.Dalam diam, Khagan berjalan menuju meja tulis yang terbuat dari kayu ebony, tampak eksotis seolah dibawa langsung dari negeri tropis yang jauh. Dengan gerakan tenang, ia duduk dan mengeluarkan selembar kertas khusus yang hanya diperuntukkan bagi para pejabat istana. Ia menulis beberapa kata dengan tangan yang halus dan terlatih.“Tuan, semua sudah siap. Mesin Penghimpun Qi akan segera dieksekusi. Kami juga akan mulai mengumpulkan energi darah yang diperlukan untuk mencapai kesempurnaa
Setelah titah terakhirnya selesai, suasana di balairung menjadi mencekam. Hawa dingin yang tidak nyata menyelimuti ruangan.Tak seorang pun berani menatap langsung ke arah Kaisar. Mereka tahu betul bahwa perintah ini tidak hanya mengancam mereka, tetapi juga melibatkan darah rakyat yang tak bersalah.Mesin itu bukan sekadar alat, melainkan mesin pembantaian yang haus akan darah. Harus dihasilkan energi Qi yang maksimal, dan darah manusia menjadi syarat utamanya. Ini menjadi kendala besar bagi ketiga ahli spiritual, yang berusaha menciptakan mesin tanpa menggunakan pengorbanan manusia.Namun, dengan titah baru Kaisar, dilema itu lenyap. Darah akan ditumpahkan, apa pun akibatnya.Mereka semua meninggalkan balairung dengan tubuh menggigil. Tak ada yang berani berbicara, meski nurani mereka bergejolak dalam jiwanya.Keesokan harinya, keanehan mulai terjadi. Laporan tentang hilangnya orang-orang meruak, jadi bahan gunjingan dimana-mana.Di satu desa kecil, seluruh penghuninya menghilang ta
Di istana Hei Tian, Kaisar Jue Tian Yu duduk di singgasana megahnya. Kursi besar itu dihiasi ukiran kepala Phoenix yang tampak anggun, seolah mengawasi seluruh ruangan.Di bawah singgasana, tiga ahli ternama berlutut dengan tubuh gemetar, menghadapi amarah Kaisar Jue Tian Yu.“Bagaimana mungkin kalian begitu lama menyelesaikan Mesin Penghimpun Energi Qi? Bukankah sudah ada tiga blueprint, dan tinggal membuat sesuai contoh?” hardiknya dengan suara menggelegar, membuat udara balairung terasa berat.Ketiga pria paruh baya—Guo Yong, sang Alkemis, Li Hua, ahli array, dan Hui Jian, penyuling senjata spiritual—semakin menundukkan kepala mereka, wajah dipenuhi rasa takut. Akhirnya, Guo Yong memberanikan diri untuk bicara, meski suaranya parau dan penuh permohonan.“Ampun, Yang Mulia. Meski ketiga blueprint sudah ada, terlalu banyak penyimpangan dan jebakan di dalamnya. Kami sudah berusaha merakit mesin itu sesuai petunjuk, tetapi bahkan pada percobaan kesepuluh, kami tetap gagal...” ujarnya m