Rong Guo membuka matanya dan mendengar suara air mengalir yang tenang, seperti terapi bunyi yang menenangkan baginya. Suara gemericik air memenuhi udara, memberikan perasaan damai di dalam hati Rong Guo.Dia membuka mata dan melihat samar-samar dua petarung—Jun dan Akai—serta Kusir Tua Yan mengelilinginya. “Aku... di mana ini?” suaranya terdengar lemah dan kebingungan.Mendengar suara Rong Guo, wajah semua orang yang tadinya sangat khawatir, kini terlihat lega.“Adik Guo, syukurlah Anda sudah sadar!” Suara Petarung Yun terdengar jelas di telinga, membuat Rong Guo tersadar sepenuhnya akan kejadian semalam.Wajah Rong Guo meringis menahan sakit, namun bukannya mengeluh, justru hal lain yang ia tanyakan.“Bagaimana nasib delapan serigala iblis itu? Sepertinya aku berhasil membunuh mereka. Namun... apakah ada yang menjadi korban di pihak kita?” tanyanya dengan suara yang masih lemah, ekspresi cemas tak mampu disembunyikan dari wajahnya.Dia langsung duduk, menatap satu per satu orang di h
Malam di Hutan Tanxian amatlah dingin. Angin malam menusuk kulit, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang berguguran. Tak ada sepercik cahaya sedikit pun di jalanan berbatu yang menuruni lereng Gunung Wushen, menambah kesan misteri yang menyelimuti tempat itu.Hanya cahaya lampion di sisi kiri dan kanan kereta kuda yang melaju, samar-samar memberi penerangan jalan ke depan. Keheningan di Hutan Tanxian hanya dipecahkan oleh suara burung hantu, yang sesekali bersiul menambah kelam dan ngeri suasana. Udara malam semakin terasa berat dengan kabut tipis yang perlahan menyelimuti hutan.Tiba-tiba, suara kusir kereta, si Tua Yan, berteriak dengan nada panik."Semuanya perhatian! Ada dua hantu lapar dan satu hantu penasaran sedang menghadang perjalanan kita. Petarung Yun, cepat turun dan lakukan sesuatu!"Rrrr.Saking paniknya, Tua Yan menggedor tirai pembatas antara kursi kusir dengan gerbong kereta tempat tiga orang lainnya duduk di dalamnya. Tirai itu bergoyang keras, hampir robek oleh
Hutan Tanxiang, dini hari. Udara di Hutan Tanxiang begitu dingin, diselimuti embun pagi yang tebal.Suara dentingan pedang yang bersahut-sahutan serta seruan dan teriakan dua petarung—Yun dan Akai—terdengar menggetarkan malam yang sunyi di Hutan Tanxiang.Saat itu, duduk di dalam gerbong kereta yang tersembunyi di antara pepohonan, Rong Guo menganalisis situasi dengan penuh kegelisahan.Dia menduga bahwa kedua petarung, Yun dan Akai, saat ini sedang keteteran."Dari cara mereka berteriak dan suara pedang yang semakin melemah, jelas mereka sudah mulai kehabisan tenaga," pikirnya.Dari balik dinding gerbong kereta, terdengar kekehan tiga hantu kelaparan yang penuh rasa penasaran. Suaranya mirip desahan angin malam yang menambah keseraman suasana, sementara suara desingan pedang para petarung sudah lenyap.Artinya, dua petarung itu tinggal mengandalkan kegesitan untuk menghindari serangan tiga hantu."Bagaimana mungkin tingkat kepandaian mereka yang seperti itu bisa melawan makhluk iblis
Dalam perjalanan menembus hutan yang lebat dan penuh misteri, Rong Guo mendapati kenyataan yang membuat hatinya girang.Udara dini hari yang dingin menyusup di antara pepohonan, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang membusuk, menciptakan suasana yang menyeramkan. Kabut tebal melayang rendah, membuat setiap bayangan tampak seperti hantu yang mengintai."Asalkan kesehatanku pulih," gumam Rong Guo sambil melompat dari satu dahan ke dahan lain, merasakan kekuatan di kakinya. "Meskipun tidak dapat memanfaatkan energi hawa murni sejati, namun ketrampilan meringankan tubuhku masihlah piawai."Setiap gerakan meringankan tubuh Rong Guo tampak ringan, seperti burung layang-layang saja.“Well, meskipun ketrampilan meringankan tubuhku kini tidak sehebat ketika menjadi Raja Kelelawar, namun untuk disandingkan dengan ahli-ahli kelas Pendekar Lotus Emas, aku masih mampu bertanding kecepatan," lanjutnya dengan senyum tipis menghiasi wajahnya. Matanya berbinar menatap kegelapan hutan.Ini adalah
“Adik Guo! Apa yang terjadi?” Suara Petarung Yun penuh kekhawatiran.Saat itu matahari pagi mulai menyinari hutan. Wajahnya tampak terkejut ketika menyadari bahwa sosok misterius yang baru datang ternyata adalah Rong Guo. Ia sampai tidak bisa berkata-kata lagi sesudah berbicara tadi.Giliran petarung Akai dengan keterkejutannya...“Kamu – kamu... Bagaimana bisa kamu terlihat sesegar ini?” tanya Petarung Akai, ekspresi keheranan mendalam terlihat jelas di wajahnya. Dia mendekati Rong Guo dengan langkah cepat, mengamati dari wajah hingga tangan Rong Guo dengan penuh perhatian. “Biasanya anda sepucat mayat hidup!” katanya dengan suara serak.“Kamu tidak lagi pucat seperti mayat, adik kecil. Kamu tampak segar bugar, seperti bayi yang baru lahir!” desis Akai, matanya membelalak, menunjukkan kekaguman yang mendalam.Sudah hilang ketegangannya, Petarung Yun menimpali. “Jangan-jangan... kamu melakukan hal yang sama seperti semalam? Menghabisi hantu-hantu kelaparan di tengah hutan?” tanya Peta
Di persimpangan jalan, tepat di gerbang Utara Kota Lengyang, matahari senja mulai tenggelam, mewarnai langit dengan semburat oranye dan merah. Angin dingin bertiup, membawa kesegaran khas musim dingin yang menggigit kulit.“Well... Petarung Yun, Petarung Akai, dan Paman Yan,” kata Rong Guo, suaranya terdengar tenang di antara desiran angin senja. Rambutnya berkibar sehingga menambah kesan dramatis Jika dilihat dari kejauhan.Saat itu, jalanan di Kota Lengyang mulai sepi. Hanya sesekali ada kereta kuda yang berlalu lalang, atas sejumlah orang yang tampaknya baru selesai berdagang pulang ke rumah. Rong Guo, Petarung Yun, dan Akai, serta Kusir Yan diatas kereta, tampak berdiskusi.Lampu-lampu minyak satu per satu dinyalakan di depan rumah penduduk, menciptakan cahaya hangat yang menari-nari di dinding rumah penududuk. Hanya mereka bertiga yang berdiri di jalanan yang lengang, dengan bayangan panjang yang mengikuti gerak-gerik mereka.“Aku harus mengucapkan selamat berpisah. Sudah saatnya
Di Kota Lengyang yang sedang dilanda krisis talisman, kebutuhan akan benda ini sangat mendesak. Kota yang terkenal dengan banyak sekte dan akademi bela diri ini sangat mengandalkan talisman untuk melindungi dan memperkuat para prajurit di medan laga.Beberapa waktu yang lalu, Li Shangyin, pemimpin dari Aula Koi Keberuntungan, melakukan perjalanan ke Dataran Tengah.Perjalanan ini awalnya tidak dianggap istimewa.Namun, kabar menyebar dengan cepat bahwa tujuan perjalanan itu adalah untuk mencari seorang master talisman yang akan dipekerjakan di Aula Koi Keberuntungan. Desas-desus itu mengundang kehebohan di kalangan paviliun pesaing.Paviliun Merak, sebagai pesaing utama Aula Koi Keberuntungan, tentu saja tidak tinggal diam. Dengan langkah cepat dan penuh rahasia, pihak yang berwenang dari Paviliun Merak juga melakukan perjalanan ke Dataran Tengah untuk merekrut master talisman yang dianggap sangat kompeten.“Kita jangan kalah cepat dari pihak Aula Koi Keberuntungan! Biar mereka tahu s
Mendengar hal tersebut, Li Shangyin segera meninggalkan ruang kerjanya dan melangkah cepat menuju lobi. Setiap langkahnya terasa berat, diiringi dengan ketegangan yang semakin membesar di dalam dirinya.“Celaka, orang tua marga Shu itu. Berani-beraninya membuat kegaduhan di tempatku!” gerutunya dengan marah, wajahnya merah padam.Sebagai tambahan informasi, Paviliun Merak adalah perusahaan yang baru berdiri.Shu Wei, pemimpin cabang Paviliun Merak, dulunya bekerja di Koi Keberuntungan. Namun, seiring berjalannya waktu, keluarga bangsawan Shu memilih untuk membuka usaha sendiri. Shu Wei, yang masih merupakan anggota keluarga bangsawan, dipilih menjadi kepala cabang di Kota Lengyang dan kini bersaing melawan Lin Shangyin, mantan bosnya.Tentu saja, Li Shangyin tidak terima jika Shu Wei bekas anak buahnya datang untuk mengacau di Koi Keberuntungan.Sesampainya di lobby Aula Koi Keberuntungan, ekspresi wajah Li Shangyin tampak terkejut. Ia tak percaya, mendapati ruang aula yang biasanya p
Namun, betapa terkejutnya Sima Cheng ketika ia tiba di lokasi kejadian. Keadaan yang seharusnya penuh hiruk-pikuk kini sunyi sepi. Tak ada keramaian sama sekali, hanya ada seorang pemuda yang berdiri tegak, memegang pedang yang masih berlumuran darah segar.Wajah pemuda itu tampak muram, penuh kebencian dan kekesalan. Di bawah kakinya, tergeletak sosok Raja Kera, makhluk spiritual peringkat Transcendent yang seharusnya sangat sulit untuk ditaklukkan.Aura berbahaya yang menyelimuti jasad makhluk itu masih menguar, menyelubungi udara di sekitar mereka dengan ketegangan yang menakutkan. Bahkan, Sima Cheng merasakan degup jantungnya semakin cepat, menjadi sebuah ketegangan yang sulit diabaikan.“Hunter Guo?” tanya Sima Cheng dengan nada penuh keheranan, suaranya bergetar. “Apa yang kamu lakukan? Mengapa kamu membunuh makhluk spiritual peringkat Transcendent ini?”Rasa gelisah memenuhi hati Sima Cheng. Dalam pikirannya, ia merasa marah sekaligus bingung. Mahluk kontrak peringkat Transcend
Sima Cheng, pemimpin Organisasi Tangan Besi, duduk dengan wibawa di atas tandu mewah yang dipikul oleh empat anak buahnya. Setiap langkah mereka terdengar ringan namun kokoh, menggema di jalanan sempit dan berliku dalam hutan yang remang-remang.Tandu tersebut, dilukis dengan warna emas dan merah, dihiasi ukiran naga dan phoenix yang melambangkan kekuasaan dan keabadian. Cahaya rembulan yang menembus celah-celah dedaunan menerangi ukiran tersebut sehingga tampak hidup.Di sebelah tandu, Zhang Fen, anggota elit organisasi, menunggang seekor harimau iblis.Hewan besar itu melangkah dengan anggun, membuat Zhang Fen tidak perlu repot mengeluarkan tenaga untuk berjalan atau berlari. Bulu harimau yang berkilauan di bawah sinar rembulan memberikan kesan yang sangat intimidatif dan megah."Saudara Zhang," suara Sima Cheng terdengar, memecah keheningan hutan yang hanya sesekali diisi oleh suara serangga dan hembusan angin malam. Meski terdengar tenang, ada nada khawatir yang tersirat di dalamn
Mao Shen adalah pemimpin Organisasi Rajawali Iblis. Nama Rong Guo telah ia dengar sejak dari lantai pertama, namun tak sekalipun ia menyangka akan bertemu langsung dengan pria itu."Bagaimana Anda bisa tahu aku? Kita baru pertama bertemu, bukan?" Mao Shen akhirnya bertanya, suaranya masih terdengar serak setelah batuk-batuknya mereda. Dalam hati, ia menyesal telah meremehkan seni Tapak Angin Puyuh yang nyaris membuatnya muntah darah tadi.Meskipun merasa malu, Mao Shen mencoba menyembunyikan perasaan itu di balik tatapan datar. "Kamu memiliki kemampuan yang cukup hebat," katanya perlahan. "Bisa mengeksekusi Tapak Angin Puyuh—seni bela diri peringkat rendah—menjadi sesuatu yang luar biasa seperti tadi. Itu jelas bukan hal yang mudah."Rong Guo hanya tertawa. Suaranya menggema di antara desiran angin malam dan gemerisik dedaunan, menciptakan suasana penuh tekanan."Dari mana aku tahu Anda?" Rong Guo membalas dengan nada santai, namun sorot matanya tajam menusuk. "Mengapa tidak bertanya
"Ayo masuk, sama-sama kita mencari makhluk kontrak!""Hei! Biarkan aku masuk dulu!""Apa-apaan ini? Mengapa menyerobot?"Suara-suara protes dari para hunter menggema di depan pintu portal. Kerumunan mereka penuh sesak, dengan masing-masing orang berusaha mendahului yang lain. Riuh rendah suara itu memekakkan telinga, menciptakan suasana penuh ambisi dan ketegangan.Namun, ketika Rong Guo melangkah melewati portal itu, semua kegaduhan seketika lenyap. Dunia yang baru saja ia masuki begitu sunyi, seolah waktu di dalamnya berjalan dengan cara yang berbeda.Di kiri dan kanan, pohon-pohon ek yang besar dan menjulang tinggi menyambut pandangannya. Cabang-cabangnya membentang lebar, menciptakan bayangan gelap yang hampir menutupi langit. Di bawahnya, akar-akar besar mencengkeram tanah dengan kokoh, membentuk lanskap yang terasa kuno dan penuh misteri.Suara gemerisik lembut terdengar saat angin bertiup di antara dedaunan, menciptakan harmoni alami yang menenangkan.Rong Guo memperhatikan sek
Sementara itu, Ayong dan Yizhan masih sibuk menyelesaikan duyung-duyung terakhir yang tersisa. Mereka bekerja sama dengan baik hingga tak satu pun musuh berhasil melarikan diri. Ketika suasana kembali tenang dan bayangan dungeon mulai memudar, Rong Guo mendekati kedua kawannya.“Kita langsung pulang saja,” katanya tegas, suaranya terdengar serius. “Kalau kalian ingin merayakan kemenangan dengan minum arak, silakan. Tapi aku punya urusan penting yang harus kuselesaikan.”Ayong dan Yizhan saling melirik dengan raut wajah penuh tanda tanya. Meski penasaran, mereka memilih untuk tidak bertanya lebih jauh. Mereka tahu Rong Guo jarang menjelaskan rencananya, dan mendesaknya hanya akan membuang waktu.Ketiganya berpisah di pintu keluar dungeon. Rong Guo melangkah cepat menuju tempat peristirahatan di perkampungan hunter. Tangannya menggenggam erat Kalung Bintang Abadi, satu-satunya benda yang telah lama ia cari. Benda itu terasa hangat, seolah memancarkan energi misterius.Apakah dalam semal
Setelah beberapa waktu berlalu... setelah Rong Guo melewati dungeon ganda yang menimbulkan rasa cemburu bagi setiap hunter, akhirnya Festival Perburuan Malam dimulai.Namun, ada suatu kejadian yang mengejutkan terjadi, membuat Rong Guo sangat bahagia.Hari ini, tepat sehari sebelum festival dimulai, Rong Guo bersama dua kawannya – Ayong dan Yizhan – masuk ke dalam dungeon.Dungeon yang mereka masuki kali ini berwujud lautan yang maha luas.Lawan mereka adalah kaum duyung yang sangat merepotkan. Selain sakti dengan rata-rata keahlian setara Pendekar Naga Giok, kemampuan sihir para duyung benar-benar luar biasa.“Jangan tergoda dengan nyanyian mereka!” kata Rong Guo tegas. Tangan kanannya melambaikan Pedang Phoenix dan Naga, sementara tangan kirinya merapalkan Teknik Cakra Tengkorak Putih.“Nyanyian duyung mengandung magis, dan bisa membuat jiwa kalian terikat!” tambahnya. “Jika tak kuat, pakailah penutup telinga!”Rong Guo berkelebat cepat, pedangnya meliuk-liuk seperti naga yang menga
Setelah pertemuan panjang dengan para petinggi istana berakhir, Khagan Aruqai melangkah memasuki kamarnya yang megah di dalam istana Kaisar Kota Kaejin.Ruangan itu luas dan penuh kemewahan, dihiasi dengan ukiran-ukiran rumit yang bernilai seni tinggi. Dindingnya dicat dengan lapisan warna emas dan perak yang berkilauan, seakan memantulkan sinar setiap kali cahaya menerpa.Beberapa tembikar berkualitas tinggi terletak di sudut ruangan, semakin menegaskan kesan agung dan megah yang menyelimuti tempat itu.Dalam diam, Khagan berjalan menuju meja tulis yang terbuat dari kayu ebony, tampak eksotis seolah dibawa langsung dari negeri tropis yang jauh. Dengan gerakan tenang, ia duduk dan mengeluarkan selembar kertas khusus yang hanya diperuntukkan bagi para pejabat istana. Ia menulis beberapa kata dengan tangan yang halus dan terlatih.“Tuan, semua sudah siap. Mesin Penghimpun Qi akan segera dieksekusi. Kami juga akan mulai mengumpulkan energi darah yang diperlukan untuk mencapai kesempurnaa
Setelah titah terakhirnya selesai, suasana di balairung menjadi mencekam. Hawa dingin yang tidak nyata menyelimuti ruangan.Tak seorang pun berani menatap langsung ke arah Kaisar. Mereka tahu betul bahwa perintah ini tidak hanya mengancam mereka, tetapi juga melibatkan darah rakyat yang tak bersalah.Mesin itu bukan sekadar alat, melainkan mesin pembantaian yang haus akan darah. Harus dihasilkan energi Qi yang maksimal, dan darah manusia menjadi syarat utamanya. Ini menjadi kendala besar bagi ketiga ahli spiritual, yang berusaha menciptakan mesin tanpa menggunakan pengorbanan manusia.Namun, dengan titah baru Kaisar, dilema itu lenyap. Darah akan ditumpahkan, apa pun akibatnya.Mereka semua meninggalkan balairung dengan tubuh menggigil. Tak ada yang berani berbicara, meski nurani mereka bergejolak dalam jiwanya.Keesokan harinya, keanehan mulai terjadi. Laporan tentang hilangnya orang-orang meruak, jadi bahan gunjingan dimana-mana.Di satu desa kecil, seluruh penghuninya menghilang ta
Di istana Hei Tian, Kaisar Jue Tian Yu duduk di singgasana megahnya. Kursi besar itu dihiasi ukiran kepala Phoenix yang tampak anggun, seolah mengawasi seluruh ruangan.Di bawah singgasana, tiga ahli ternama berlutut dengan tubuh gemetar, menghadapi amarah Kaisar Jue Tian Yu.“Bagaimana mungkin kalian begitu lama menyelesaikan Mesin Penghimpun Energi Qi? Bukankah sudah ada tiga blueprint, dan tinggal membuat sesuai contoh?” hardiknya dengan suara menggelegar, membuat udara balairung terasa berat.Ketiga pria paruh baya—Guo Yong, sang Alkemis, Li Hua, ahli array, dan Hui Jian, penyuling senjata spiritual—semakin menundukkan kepala mereka, wajah dipenuhi rasa takut. Akhirnya, Guo Yong memberanikan diri untuk bicara, meski suaranya parau dan penuh permohonan.“Ampun, Yang Mulia. Meski ketiga blueprint sudah ada, terlalu banyak penyimpangan dan jebakan di dalamnya. Kami sudah berusaha merakit mesin itu sesuai petunjuk, tetapi bahkan pada percobaan kesepuluh, kami tetap gagal...” ujarnya m