Kuhentikan laju mobil saat melihat sebuah plang yang memenuhi jalan sebagai pertanda kendaraan roda empat tidak boleh melintas. Aku segera turun untuk mencari informasi.
"Ada apa ini, Pak? Kenapa jalan ditutup seperti ini?" tanyaku pada seorang pedagang bakso yang mangkal di tepi jalan.
"Ada longsor di depan sana, Mas. Makanya jalan ditutup total," jawabnya ramah.
Kugaruk kepala yang tidak gatal lalu bertanya lagi, "apakah ada jalan lain untuk menuju ke kampung Melati yang ada di depan sana, Pak?"
"Ada, tetapi harus memutar dan itu sangat jauh. Bisa memakan waktu lebih dari satu jam. Kalau Mas mau bisa lewat jalur alternatif, tetapi kalau mobil nggak bisa lewat," jawabnya.
Akhirnya sesuai saran orang itu, kami turun dari mobil dan melanjutkan perjalanan dengan naik ojek dan mobilnya ditinggal di sini.
***
"Jadi, kalian ke sini dengan naik ojek dan tidak punya mobil?" tanya seorang wanita berwajah ayu yang kuketahui bernama Citra.
Aku pernah melihat Citra dari foto yang diberikan ayah dan ternyata aslinya jauh lebih cantik. Tubuh ideal, rambut panjang tergerai indah, bulu mata lentik, hidung mancung, pipi merah merona, dan bibir seksi.
Kami datang ke sini karena ingin melamarnya.
Aku kaget mendengar ucapan Citra yang langsung bilang kami tidak punya mobil sambil berkacak pinggang.
"Ayah ini gimana, sih, masa iya aku mau dijodohkan dengan lelaki miskin seperti dia? Kalau memang mau dijodohkan, setidaknya yang punya mobil mewah sehingga tidak perlu naik ojek yang membuat penampilan nya amburadul seperti itu," imbuhnya lagi dengan bibir mengerucut.
Reflek aku melihat penampilan dan meraba rambutku, lalu melirik celanaku yang terkena lumpur karena jalan yang kami lewati becek.
"Nak, sebenarnya kami__" ucap ayah. Aku tahu ia pasti ingin mengatakan yang sebenarnya kalau kami punya mobil mewah dan toko yang sudah memiliki cabang di mana-mana, tetapi aku memotongnya. Pikiranku ambyar dan mendadak tidak ingin melanjutkan perjodohan dengan wanita yang ternyata sombong ini.
Aku tersenyum. "Iya, maaf, kami tidak punya mobil karena pekerjaan kami hanya serabutan."
Aku mengedipkan mata pada ayah ibu sebagai isyarat agar mengiyakan saja ucapanku. Dahi ayah mengernyit, ia pasti bingung.
"Kalau begitu kita batalkan saja perjodohan ini. Ayah bilang kalian orang kaya sehingga aku mau saat itu, tetapi setelah tahu kondisi kalian seperti ini, pikiranku berubah. Hanya wanita bodoh yang mau menerima lelaki tidak punya apa-apa seperti kalian!" ucap Citra sinis.
"Pur, bukankah kamu punya toko besar dan sudah memiliki cabang di mana-mana? Kenapa sekarang mendadak tidak punya apa-apa? Kalian bercanda, kan?" tanya Pak Arman--ayahnya Citra.
Ia merupakan sahabat ayah. Iya, ayahnya Citra dan ayahku bersahabat saat SMA dan itu yang membuat mereka berdua bermaksud menjodohkan anak-anak mereka--aku dan Citra.
Aku yang sudah bosan dengan wanita yang biasanya hanya memanfaatkan kekayaan ayahku saja pun menerima perjodohan ini dengan harapan Citra adalah gadis yang lain dari pada pada yang lain, tetapi ternyata ia sama saja, matre alias memandang seseorang dari kekayaannya saja.
"Aku tersenyum. "Iya, Pak. Toko kami sudah bangkrut dan kami tidak punya apa-apa lagi."
Ayah melotot mendengar ucapanku, tetapi aku kembali mengedipkan mata agar tidak membantah. Semua ini kulakukan agar Citra membatalkan perjodohan ini karena aku sudah ill feel mau lanjut setelah melihat kesombongannya.
"Kalau begitu kita batalkan saja rencana kita, Pur. Aku tidak mau anak perempuanku yang cantik ini menderita jika menikah dengan anakmu. Kemarin aku setuju dengan pernikahan ini karena katanya kamu orang kaya," ucap Pak Arman akhirnya.
Aku menghela napas, anak sama bapak sama saja. Sombong dan matre.
"Tetapi, Man. Kita sudah janji akan menjodohkan anak kita agar persahabatan kita semakin erat dan kuat," ucap ayah lagi meski aku yakin ia hanya ingin menguji lelaki yang katanya sahabatnya ini.
"Lupakan tentang perjanjian itu. Aku hanya mau besanan dengan orang kaya," jawabnya yang membuatku mengelus dada.
"Man, kamu tega kami pulang dengan tangan kosong?" tanya ayah lagi dan kali ini dengan wajah memelas.
"Em, aku ada ide. Bagaimana kalau anakmu ini menikah saja dengan Vira, dia ponakanku tetapi orang tuanya sudah tidak ada sehingga ikut tinggal denganku." Pak Arman mengedipkan mata.
"Betul, Pak. Kalau Vira cocok dengan lelaki ini. Biarkan ia nikah dengannya agar beban kita berkurang," ucap Citra.
Tidak lama kemudian sesosok gadis keluar dari dalam setelah dipanggil. Penampilan gadis itu berbeda jauh dengan Citra. Rambutnya diikat asal, wajahnya kusam dan terlihat letih, serta hanya memakai kaus oblong dan rok model payung di bawah lutut. Namun, aku melihat ada kecantikan alami yang belum tereksplore di sana.
"Vira, demi balas budimu pada kami yang sudah merawatmu selama ini. Menikahlah dengan pemuda ini agar aku tidak merasa sudah ingkar janji."
Aku melotot mendengar ucapannya, tetapi kemudian aku mengangguk. Iya, aku setuju untuk menikah dengan Vira meski awalnya aku berniat melamar Citra.
Aku hanya ingin membalas kesombongan keluarga Citra. Kita lihat apa yang terjadi nanti jika tahu siapa kami sebenarnya. Mereka pasti menyesal sudah menolak lamaranku.
"Baiklah, tidak ada rotan, akar pun jadi." Aku tersenyum.
Aku tunggu kalian jantungan saat aku sudah menikah dengan wanita bernama Vira--wanita sederhana yang entah kenapa langsung membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama.
"A--a--aku?" Gadis berkulit eksotis itu tergagap sambil menunjuk dadanya sendiri. "Iya, kenapa? Kamu pasti senang, kan, ada orang yang mau melamarmu?" kata Citra dengan sinis.Bukan hanya Citra yang menatap sinis padanya, Pak Arman dan istrinya juga sehingga membuat gadis itu ketakutan. Tampak keringat mulai membasahi pelipisnya. "Ta--ta--tapi aku__" Vira tergapap dan mukanya pucat. Aku dapat melihat dengan jelas kalau keluarga ini tatapan keluarga ini tidak bersahabat. " Udah nggak ada tapi-tapian, kamu harus menerima lamaran Elang karena aku sudah terlanjur berjanji pada ayahnya sedangkan Citra tidak mau," kata Pak Arman dengan nada tinggi. "Paman, kalau aku menikah dengannya, lalu bagaimana dengan rencanaku untuk kuliah? Paman dan Bibi sudah berjanji akan membiayai kuliahku setelah Citra lulus, kan? Apa Paman lupa?" kata Vira. Gadis itu menatap lelaki di hadapannya dengan wajah berbinar. "Sudahlah, Vir. Buat apa kuliah segala? Masih mending ada orang yang mau nikahin kamu. K
PoV CitraKupandang foto lelaki bernama Elang Purnama yang akan datang besok untuk melamarku. Lumayan tampan alias tidak jelek-jelek amat. Serasi lah jika bersanding denganku yang cantik ini. Kata bapak, zsdia ini anak orang kaya sehingga tanpa ragu kuterima saja lamarannya. Bukannya aku nggak laku sehingga mau dijodohkan dengan laki-laki anak sahabat bapak itu meski zaman sekarang perjodohan sudah jarang terjadi. Namun, aku sudah capek melanglang buana mencari pasangan yang pada akhirnya berakhir jadi mantan. Iya, aku pernah punya hubungan dengan banyak cowok, apalagi aku termasuk gadis cantik dan populer saat di kampus, tetapi sejauh ini tidak ada yang sreg, hanya untuk main-main saja. Parahnya, aku baru saja diselingkuhi oleh pacarku sendiri. Nyesek banget rasanya, gadis cantik seperti diriku diselingkuhi. "Betapa cantiknya diriku ini." Aku berbicara sendiri saat melihat bayangan di cermin. Aku ingin menunjukkan pada lelaki yang sudah membuatku menangis itu kalau aku bisa mendap
Elang dan ayahnya berpamitan keluar sebentar sepertinya mereka berdua ingin membicarakan sesuatu yang sangat rahasia yang tidak ingin kami semua tahu.Namun, aku enggak peduli. Yang penting aku sudah merelakan Vira menggantikan aku untuk menjadi istrinya. Tidak lama kemudian mereka berdua masuk dan duduk kembali dan sang ayah berkata, "Elang tidak keberatan menerima Vira."Bapak tersenyum dan berkata, "deal, ya lamaran Elang untuk Vira kami terima. Utangku lunas, ya, Pur, karena aku sudah menepati janjiku untuk mempersatukan anak-anak kita. Yah, meski bukan anak kandungku, tetapi sama saja lah."Lelaki yang tadi dipanggil Pur oleh bapak itu terlihat menepuk tangan Elang yang duduk di sampingnya. "Iya, Man. Sekarang kita tinggal memikirkan kapan pernikahan ini akan dilangsungkan," kata lelaki yang menurutku masih lumayan tampan di usianya yang sudah tidak muda lagi itu. "Oh, iya tentu saja. Lebih cepat lebih baik dan kalian nggak usah khawatir, untuk mahar juga nggak akan minta y
Kami bertiga berpandangan mendengar ucapan calon mertuanya Vira yang ingin mengadakan pesta secara besar-besaran. Tidak lama meledaklah tawa kami hingga suaranya menggema di ruangan ini. Air mata ibuku sampai berderai. Mungkin ia juga merasakan apa yang kurasakan saat ini yaitu heran dengan ayahnya Elang yang tingkat kehaluannya tidak tanggung-tanggung itu. Bagaimana mungkin mereka bisa mengadakan pesta mewah? Apakah mereka pikir tidak butuh biaya? "Anda sehat?" tanyaku setelah puas tertawa hingga perutku sakit. "Kenapa?" lelaki berkumis itu malah balik tanya. Sepertinya ia tidak sadar kalau ucapannya cukup menggelitik. "Tadi bilang ingin mengadakan pesta besar-besaran pada pernikahan Vira dan Elang, kan?" tanyaku sambil mengusap air mata tawa."Iya. Memangnya kenapa? Salah?" Pak Purnama mengendikkan bahu. Berulang kali Elang mencubit tangan ayahnya itu, tetapi tidak digubris. Mulutnya masih saja mencerocos. "Elang adalah anak laki-laki kami satu-satunya. Kamu tahu sendiri, kan
Kuusap dada perlahan untuk menetralkan irama jantung yang mendadak tidak karuan. Aku mengorek telinga, barangkali kotor sehingga salah dengar. Mana mungkin bapak punya utang sebanyak itu? Kalau iya, kenapa selama ini terlihat tenang-tenang saja dan seolah tidak ada beban? "Bapak punya utang 50 juta? Nggak salah utangnya sebanyak itu? Lima juta kali?" tanyaku masih dengan berbisik dan kututup mulutku dengan tangan agar Pak Purnama tidak ikut mendengarnya.Bapak menghela napas panjang. "Iya, benar emang segitu. Kamu pikir usaha peternakan bebek Itu modalnya sedikit apa? Menyewa lahan, beli bebeknya yang sudah siap bertelur itu lumayan mahal dan dalam jumlah banyak, beli vitamin, beli pakan, gaji karyawan karena kita tidak bisa mengerjakan sendiri. Kamu tahu sendiri, kan, karyawan kita banyak dan semuanya minta digaji kecuali Vira? Belum lagi untuk beli lampu sebagai penerangan, serta printilan yang lainnya. Yah pokoknya banyak lah. Bapak jelaskan panjang lebar dan detail kamu juga ng
PoV ElangAku semakin geram saat mendengar Pak Arman dan keluarganya yang terus menyombongkan diri. Ingin kubungkam mulut mereka dengan apa yang kami punya, tetapi tidak sekarang karena aku yakin jika mereka tahu siapa kami yang sebenarnya pasti akan berubah pikiran. Aku berencana memberi kejutan setelah aku dan Vira resmi nikah nanti agar sudah tidak ada yang mengganggu gugat lagi. Katanya orang kaya, tetapi aplikasi M-banking saja tidak tahu. Orang kaya macam apa itu. "Jelaskan padaku, tetapi bukan isi hatimu, ya, karena kalau itu lagu.Jelaskan padaku apa yang kamu sebutkan tadi? M m apa itu?""M-banking, Pak. Itu adalah aplikasi untuk mengirimkan uang tanpa harus datang ke bank," jawabku. Tatapannya menerawang ke atas dan tangannya memegang dagu. Ia Sedang berpikir keras lalu ia berkata. "Ya ampun, aku sudah bilang, kan kalau uangku aku simpan di bank. Kalian tahu, kan, apa itu bank? Semua orang juga tahu kalau bank adalah tempat penyimpanan uang yang paling aman. Jangan-jangan
Citra masih mengulurkan tangannya untuk meminta ponselku."Ayolah berikan ponselmu padaku agar bapak tahu aplikasi M-banking itu seperti apa.""Pakai saja ponselmu biar aku tunjukkan." Aku menolak memberikan karena tadi aku dan ayah sudah berencana untuk tidak membongkar rahasia kami dulu. "Kenapa kamu nggak mau nunjukin ponselmu? Oh, aku tahu pasti malu karena ponsel kamu sudah jelek atau mungkin jadul? Atau karena ponselnya sudah retak sana-sini dan udah nggak sanggup untuk ganti lagi? Jelek juga nggak papa yang penting masih bisa digunakan sebagai mana mestinya. Kamu nggak usah khawatir, saat kamu menikah dengan Vira nanti, bisa pakai ponsel Vira meski miliknya juga nggak bagus-bagus amat." Rasa kesal yang sudah bergemuruh dalam dada membuatku refleks mengeluarkan benda pipih yang kupunya. "Ini adalah aplikasi M-banking yang kumaksud, Pak. Dengan aplikasi ini Bapak bisa transfer uang tanpa harus ke bank." Aku menyodorkan ponsel pada Pak Arman agar dilihat. Lelaki itu mengambil
Mataku memanas saat melihat pengantinku yang sudah duduk di kursi dengan menunduk. Ternyata kenyataan tidak sesuai ekspektasi. Aku yang sudah membayangkan Vira terlihat cantik dan beda saat make up, ternyata tidak diapa-apakan sama sekali. Wajahnya masih kusam seperti saat pertama kali aku melihatnya. Pakaiannya juga sederhana berupa kain jarik batik berwarna cokelat dan atasan kebaya berwarna putih dan kerudung panjang dengan warna senada. Yang membuatku semakin masygul adalah semua pakaian yang melekat di tubuhnya itu tidaklah baru. Ibu menggenggam erat tanganku seolah tahu apa yang kurasakan saat ini. Kutahan rasa sesak di dada sambil mensugesti diri kalau semua ini tidak akan lama. Aku tercengang saat melihat penampilan Citra dan ibunya yang terlihat sangat berbeda karena mereka berdua memakai baju baru dan dandan. "Ayo masuk. Kenapa masih berdiri di situ? nggak pengen cepet-cepet halalin si Vira? Dia sudah menunggu dari tadi, lho," kata Citra dengan senyum lebar. Apa maksu
Wanita yang menolak lamaran ku 56Buru-buru aku mengambil ponsel untuk menghubungi Citra, sementara Mas Elang keluar menyusul ibunya Malik untuk memberitahukan berita gembira ini.Aku lega, jika Malik sadar, itu artinya Citra bisa keluar dari rumahku. Iya, selama Citra ada di rumah, aku memang sedikit was-was akan terjadi sesuatu yang buruk, apalagi Mas Elang begitu perhatian pada Citra dan anaknya itu. Saat aku menghubungi Citra, terdengar bayinya sedang menangis. "Halo, Cit. Kamu harus ke rumah sakit sekarang juga. Malik__Telepon terputus sebelum aku selesai berbicara dan saat aku hendak menghubunginya lagi, sudah tidak diangkat. Ya sudahlah, yang penting dia akan segera ke sini untuk menjemput MalikBu Retno bersama Mas Elang berjalan tergesa menuju ruangan, namun dokter segera datang memeriksa keadaan Malik dan memberi isyarat agar kami tidak mendekat dulu karena dia sedang diperiksa. Setelah beberapa lama akhirnya dokter mempersilahkan kami untuk mendekat usai memastikan bahwa
Wanita yang menolak lamaran ku 55PoV Vira"Kamu pasti akan meminta Citra untuk pulang ke rumahnya setelah Malik sembuh, kan, Mas?" tanyaku saat kami berdua berada di dalam kamar.Entah kenapa perasaanku tidak enak semenjak Citra serta kedua orang tuanya ikut tinggal di sini meski mereka bilang hanya sementara, sampai Malik sadar. Ketakutanku ini bukan tanpa alasan. Tadi aku ingin memanggil Citra untuk ikut makan bersama, tetapi sudah keduluan Mas Elang. Akhirnya aku hanya berhenti di depan pintu. "Sini bayinya biar sama aku dulu kalau kamu mau makan," kata Mas Elang. Bayi mungil itu sedang dalam pangkuan Citra sementara paman dan bibi juga tidak ada di kamar. Mereka berdua sedang berjalan-jalan berkeliling rumah ini. "Enggak usah, Lang. Dia bisa di tidurkan saat aku makan." Citra tersenyum lalu meletakkan bayi itu di kasur lalu memberinya selimut kecil berwarna biru bergambar kartun. Bayi yang awalnya diam dan tertidur nyenyak itu menangis saat diletakkan dan tangisannya cukup k
Wanita yang menolak lamaran ku 54"Ada rencana apa, ya, kok sepertinya serius?" tanya Vira sambil menurunkan minuman yang dibawanya. Aku dan ibu saling berpandangan, lalu ibu nyengir dan menggaruk tengkuk. "Itu rencana Citra untuk punya anak laki-laki. Jadi gini, Vir, saat hamil, Citra itu selalu makan makanan yang mengandung protein agar anaknya laki-laki dan sekarang anaknya beneran laki-laki, kan? Itu artinya apa yang terjadi sesuai dengan yang ia rencanakan. Iya, kan, Cit?"Vira manggut-manggut. "Oh, iya, tetapi setiap aku datang ke rumah Citra, ia pasti sedang makan sayur-sayuran hijau," Tepuk jidat. Entah kenapa setiap kali Vira datang ke rumahku pasti sedang makan dan seperti biasa aku sedang makan dengan sayuran karena hanya itu yang ada. Makan telur rebus hanya dua kali sehari dan bukan pada saat Vira datang. "Ya udah. Sekarang minum dulu, ya. Kalau ada apa-apa nanti bilang saja sama Bik Nur." Vira tersenyum manis. Kubalas senyumannya dan mengangguk. Dia memang beruntung
Wanita yang Menolak Lamaranku 53"Aku nggak mau pulang, Bu. Aku ingin tetap di sini. Belahan jiwaku ada disini, tidak mungkin aku pergi meninggalkannya begitu saja." Aku menunduk. "Aku merasa seperti pengecut jika pulang meninggalkan suamiku di sini dalam keadaan koma. Aku ingin dia melihat aku yang pertama kali saat ia sadar nanti." "Citra, kamu harus pulang. Kasihan anak kamu. Kamu juga perlu istirahat. Percayalah, Malik pasti akan baik-baik saja. Kalau dia sadar, Ibu pasti akan segera hubungi kamu," kata ibu mertua mengusap pundakku dengan lembut. Wanita yang beberapa saat yang lalu sempat pingsan setelah mendengar berita mengenai musibah yang menimpa anaknya tersenyum dan mengangguk padaku untuk memberi isyarat agar aku mau menerima tawaran Vira. "Semua ini salahku, Bu. Seandainya aku tidak memaksa Mas Malik untuk mengantarku beli es buah, pasti tidak akan seperti ini keadaannya." Ibu mertua mengulurkan tangan lalu mendekatkan telunjuk di bibirku. "Ssst, jangan bilang sepert
Wanita yang Menolak Lamaranku 52Es buah di tanganku terlepas melihat Mas Malik tertabrak mobil karena menyelamatkan Vira dan Elang yang akan ditabrak mobil dengan cara mendorong mereka ke tepi jalan. Ia terpental hingga membentur aspal. Sedangkan mobil yang menabraknya langsung tancap gas, tidak peduli dengan orang yang sudah ditabraknya. Aku tidak peduli, yang ada di pikiranku saat ini hanya satu yaitu keselamatan Mas Malik. Mengenai si penabrak bisa diurus nanti. Semua terjadi begitu cepat. Aku berlari dan menjerit histeris memanggil namanya yang sudah tergeletak di jalan. Entah apa yang ada di pikirannya sehingga ia memutuskan membahayakan diri sendiri seperti ini demi orang lain. Apakah ia tidak tahu kalau aku begitu membutuhkannya. Suasana jalan yang tadinya rame lancar mendadak macet karena adanya kecelakaan ini.Aku berlari tanpa mempedulikan perutku yang besar ini. Kakiku terasa ringan seolah tidak membawa ada apa-apa di perutku ini. Vira dan Elang masih terjerembab di pin
Wanita yang Menolak Lamaranku 51Ibu terlihat lebih segar daripada dulu saat aku berkunjung ke rumah. Tubuhnya juga sedikit lebih berisi, wajahnya cerah, tidak pucat lagi. Pun dengan bapak, lelaki yang merupakan cinta pertamaku itu terlihat gagah di usianya yang sudah tidak lagi muda. Saat bapak dan ibu datang, aku sedang makan dan kali ini aku makan dengan lauk telur rebus plus oseng labu. Lidah ini memang sudah terbiasa mengecap makanan sederhana tapi jangan ditanya nikmatnya luar biasa.Awalnya mau berangkat ke rumah ibu, tetapi ibu mertua meminta kami untuk makan dulu. Iya, sejak aku hamil, wanita yang sudah melahirkan suamiku itu paling cerewet mengenai urusan makan dan nggak boleh makan sembarangan. "Kamu makan menggunakan alas cobek seperti ini, sedangkan yang lain menggunakan piring?" tanya ibu.Tepuk jidat. Kalau diperhatikan sekilas, aku memang seperti dibedakan di rumah ini. Yang lain makan memakai piring dan aku cukup dengan cobek saja. Kesannya aku adalah menantu yang t
Wanita yang Menolak Lamaranku 50Aku tertegun melihat wanita yang dulu selalu tampil cantik meski usianya sudah tidak muda lagi itu kini terlihat pucat. Tubuh yang dulu segar dan seksi ini kurus bahkan bisa dibilang sangat kurus, matanya juga cekung. Nyesek rasanya aku melihat ini.Wanita yang saat terakhir kali melihatnya ia memintaku untuk berpisah dengan suamiku ini terlihat sangat memprihatinkan.Tatapannya menerawang dan kosong. Ia sedang merobek-robek kertas dan membuangnya secara asal. "Bu?" Lidahku terasa kelu. Ia hanya menoleh sebentar lalu membuang muka, seolah tidak ingin melihat anaknya ini. "Apa yang terjadi dengan Ibu, Pak?" tanyaku beralih menatap bapak yang sepertinya juga tidak senang melihat kedatanganku. Aku pikir kedatanganku ini akan disambut dengan riang gembira dan mendapat pelukan hangat, tetapi ternyata aku salah. Mereka berdua bahkan cuek dan sinar matanya tidak memancarkan kerinduan. "Kamu senang melihat ibumu seperti ini, hah?" tanya bapak dengan nada t
Wanita yang menolak lamaran ku 49"Sini biar Ibu saja yang nyapu." Ibu mengambil alih sapu ijuk dari tanganku. Aku tersenyum dan dengan senang hati memberikan sapu itu. Tetapi bukan berarti aku bisa duduk ongkang-ongkang kaki karena masih ada pekerjaan yang menunggu selain menyapu. "Eh nggak jadi, Cit. Wanita hamil kalau nyapu nggak boleh berhenti di tengah jalan kalau nggak mau susah saat melahirkan. Nih, Ibu balikin!" kata Ibu. "Apa bisa begitu, Bu?" "Jelas, wanita hamil itu kalau melakukan suatu nggak boleh setengah-setengah alias harus sampai tuntas. Lagian kalau hanya menyapu juga nggak akan kecapekan, yang penting pelan-pelan aja. Nggak usah ngoyo. Ibu mau masak aja biar nanti saat kamu sudah selesai nyapu sudah ada makanan yang siap untuk disantap," kata ibu mertua. Aku tersenyum karena merasa diperhatikan olehnya. Meskipun ia tidak membelai-belai atau memberikan apa yang kumau, tetapi aku tahu kalau dia sayang padaku. "Kenapa senyum-senyum? Nggak usah GR. Aku tuh sayang
Wanita yang Menolak Lamaranku 48 PoV Citra"Kenapa Ibu tidak membiarkan Mas Malik untuk menikahi Tania yang orang kaya, Bu?" tanyaku setelah Tania pergi. Ia pasti sangat kecewa karena usahanya untuk merayu Mas Malik tidak berhasil. Sedari tadi aku sudah mempersiapkan mental jika ada kemungkinan buruk yang terjadi. Aku pikir ibu akan membujuk Mas Malik agar mau menerima Tania sebagai istri dan menceraikan aku begitu saja. Iya, ibu mana yang tidak mau anaknya punya istri kaya dan langsung diangkat menjadi manager? Apalagi Tania juga menjanjikan sesuatu yang sangat manis dan tidak akan didapatkan jika Mas Malik masih punya istri aku. Ibu mertua yang selama ini seolah tidak pernah menunjukkan wajah yang bersahabat denganku ternyata tidak seburuk yang kukira. Ia sayang padaku sebagai menantu dan hari ini ia sudah menunjukkan buktinya. "Memangnya kamu mau Malik nikah sama Tania dan menceraikan kamu?" Ibu balik tanya. Aku menggeleng dan meringis. Pertanyaan yang aneh, mana ada wanita y