Kupandang foto lelaki bernama Elang Purnama yang akan datang besok untuk melamarku. Lumayan tampan alias tidak jelek-jelek amat. Serasi lah jika bersanding denganku yang cantik ini. Kata bapak, zsdia ini anak orang kaya sehingga tanpa ragu kuterima saja lamarannya.
Bukannya aku nggak laku sehingga mau dijodohkan dengan laki-laki anak sahabat bapak itu meski zaman sekarang perjodohan sudah jarang terjadi. Namun, aku sudah capek melanglang buana mencari pasangan yang pada akhirnya berakhir jadi mantan. Iya, aku pernah punya hubungan dengan banyak cowok, apalagi aku termasuk gadis cantik dan populer saat di kampus, tetapi sejauh ini tidak ada yang sreg, hanya untuk main-main saja. Parahnya, aku baru saja diselingkuhi oleh pacarku sendiri. Nyesek banget rasanya, gadis cantik seperti diriku diselingkuhi.
"Betapa cantiknya diriku ini." Aku berbicara sendiri saat melihat bayangan di cermin.
Aku ingin menunjukkan pada lelaki yang sudah membuatku menangis itu kalau aku bisa mendapatkan lelaki yang lebih baik darinya dan Elang lah orangnya.
Aku berdiri di depan cermin besar usai dandan secantik mungkin. Aku tersenyum, Elang pasti suka dengan penampilanku ini. Ia pasti akan bilang kalau belum pernah melihat gadis cantik selain diriku.
"Aduh, cantiknya anak Ibu?" Ibu ikut melihat cermin di depanku.
Aku tersenyum. "Iya, dong, Bu. Anaknya siapa dulu?"
"Kecantikan kamu memang menurun dari Ibu, Cit." Ibu tersenyum dan membelai pipiku.
"Tetapi, Bu. Lelaki bernama Elang ini memang benar-benar kaya, kan, Bu? Aku nggak mau ketipu, meski tampan kalau miskin juga apa gunanya?" Aku mengambil foto di atas meja rias yang tadi terus kupandangi.
Ibu mengambil foto itu dan berkata, "tampan, kalau Ibu belum punya suami, Ibu juga mau."
"Ish, Ibu. Nggak usah genit napa? Dia hanya milikku, Bu, asalkan dia benar-bebar punya banyak uang sehingga aku tidak harus bekerja keras." Aku mengambil kembali foto lelaki yang belum pernah sekali pun kutemui itu.
"Kamu nggak usah khawatir, dia asli kaya. Kalau tidak, mana mungkin bisa bantu keluarga kita yang pernah bangkrut sehingga tidak punya apa-apa?" Ibu mengusap pundakku.
Aku mengangguk. Memang, keluarga kami pernah terpuruk dan ada salah seorang teman bapak yang membantu hingga sekarang bisa bangkit lagi dan ternyata orang yang sudah membantu kami itu akan menjadi suamiku. Wah, kekayaan orang itu tidak diragukan lagi pastinya.
Aku sudah membayangkan, jika aku menikah dengan Elang, pasti akan menjadi ratu yang pekerjaannya hanya ongkang-ongkang kaki saja.
Aku dan ibu keluar kamar dan melihat Vira yang sedang menyapu di ruang tamu. Ibu pergi ke dapur dan aku mendekati si upik abu.
"Nem, jangan lupa bersihkan ruang tamu sampai-sampai benar-benar bersih dan kinclong. Jangan sampai ada sebutir debu pun yang menempel di sana," ucapku lantang.
Gadis yang tidak pernah melakukan perawatan itu diam sehingga membuatku geram.
"Nem, kalau ada orang bicara itu dengar dan jawab! Jangan hanya diam saja!"
Lagi, gadis itu tidak menjawab seruanku.
Tanganku mengepal, lalu maju dan siap menjambak rambutnya, tetapi belum juga tangan ini mendarat di kepalanya, gadis itu sudah menahannya. Si*l.
"Mau apa, Cit?" tanyanya sambil memegang tanganku cukup erat.
"Lepaskan tanganku!" Aku berontak karena ternyata pegangannya cukup kuat juga.
"Kenapa kamu ingin memukulku? Apa salahku?" tanyanya dengan nada tinggi. Aku kaget, kenapa ia jadi berani seperti ini?
"Kenapa ini kalian ribut-ribut?" tanya ibu yang tiba-tiba muncul di antara kami.
"Ini, Bi. Citra tiba-tiba mau mukul aku," jawab Vira.
"Habis, aku kesel, dia nggak mau mendengar panggilanku." Bibirku mengerucut dan tangan bersedekap.
"Aku merasa nggak dipanggil, kok."
"Selain kumal kamu juga tuli. Dipanggil berkali-kali nggak nyaut. Inem." Aku kesal.
"Namaku bukan Inem, tapi Vira!"
Aku kaget, kenapa tiba-tiba ia berani membantah? Biasanya selalu nurut.
"Ya udahlah. Yang bersih kalau nyapu karena aku nggak mau ruang tamu ini kotor saat tamuku datang nanti." Gegas aku menggandeng tangan ibu dan berlalu pergi.
***
Aku tersenyum saat melihat rumah sudah bersih dan rapi. Tentu saja Vira yang sudah menghandle semuanya. Bukan hanya itu, makanan juga sudah siap di atas meja dan itu juga Vira yang masak. Aku? Hanya bertugas sebagi pengawas dan komentator saja.
Saat aku sedang asyik dengan ponsel di tangan, tiba-tiba dikejutkan dengan suara motor yang berhenti di halaman.
Aku berseru pada Vira untuk memintanya agar melihat siapa yang datang.
"Ada tiga orang naik ojek, sepertinya pasangan suami istri dan yang satunya lagi masih muda dan lumayan tampan," jawab Vira setelah melihat dari balik jendela.
Aku penasaran lalu bangkit dari duduk dan segera melihat siapa yang datang.
Elang? Bukankah itu lelaki yang ada di foto dan akan melamarku hari ini? Tetapi kenapa naik ojek? Apakah mereka tidak punya mobil? Dan kakinya? Duh, kotor sekali, bahkan terlihat cipratan lumpur mengenai celana panjangnya.
Apa itu artinya aku sudah ditipu mentah-mentah oleh mereka? Katanya kaya, tetapi kenapa nggak naik mobil?
Aku memilih mundur dari perjodohan ini. Mana mungkin aku menikah dengan lelaki miskin yang masa depannya tidak jelas seperti Elang. Apalagi dia terang-terangan bilang kalau keluarga mereka baru saja bangkrut dan sekarang tidak punya apa-apa lagi.
Kalau aku mundur, maka Vira yang yang harus berkorban untuk menikah dengan Elang. Iya, itu adalah ide yang sangat bagus.
Enggak level aku nikah dengan pria miskin seperti Elang dan Vira lah yang cocok dengannya.
Si Miskin berjodoh dengan upik abu. Hahaha. Mantap.
Elang dan ayahnya berpamitan keluar sebentar sepertinya mereka berdua ingin membicarakan sesuatu yang sangat rahasia yang tidak ingin kami semua tahu.Namun, aku enggak peduli. Yang penting aku sudah merelakan Vira menggantikan aku untuk menjadi istrinya. Tidak lama kemudian mereka berdua masuk dan duduk kembali dan sang ayah berkata, "Elang tidak keberatan menerima Vira."Bapak tersenyum dan berkata, "deal, ya lamaran Elang untuk Vira kami terima. Utangku lunas, ya, Pur, karena aku sudah menepati janjiku untuk mempersatukan anak-anak kita. Yah, meski bukan anak kandungku, tetapi sama saja lah."Lelaki yang tadi dipanggil Pur oleh bapak itu terlihat menepuk tangan Elang yang duduk di sampingnya. "Iya, Man. Sekarang kita tinggal memikirkan kapan pernikahan ini akan dilangsungkan," kata lelaki yang menurutku masih lumayan tampan di usianya yang sudah tidak muda lagi itu. "Oh, iya tentu saja. Lebih cepat lebih baik dan kalian nggak usah khawatir, untuk mahar juga nggak akan minta y
Kami bertiga berpandangan mendengar ucapan calon mertuanya Vira yang ingin mengadakan pesta secara besar-besaran. Tidak lama meledaklah tawa kami hingga suaranya menggema di ruangan ini. Air mata ibuku sampai berderai. Mungkin ia juga merasakan apa yang kurasakan saat ini yaitu heran dengan ayahnya Elang yang tingkat kehaluannya tidak tanggung-tanggung itu. Bagaimana mungkin mereka bisa mengadakan pesta mewah? Apakah mereka pikir tidak butuh biaya? "Anda sehat?" tanyaku setelah puas tertawa hingga perutku sakit. "Kenapa?" lelaki berkumis itu malah balik tanya. Sepertinya ia tidak sadar kalau ucapannya cukup menggelitik. "Tadi bilang ingin mengadakan pesta besar-besaran pada pernikahan Vira dan Elang, kan?" tanyaku sambil mengusap air mata tawa."Iya. Memangnya kenapa? Salah?" Pak Purnama mengendikkan bahu. Berulang kali Elang mencubit tangan ayahnya itu, tetapi tidak digubris. Mulutnya masih saja mencerocos. "Elang adalah anak laki-laki kami satu-satunya. Kamu tahu sendiri, kan
Kuusap dada perlahan untuk menetralkan irama jantung yang mendadak tidak karuan. Aku mengorek telinga, barangkali kotor sehingga salah dengar. Mana mungkin bapak punya utang sebanyak itu? Kalau iya, kenapa selama ini terlihat tenang-tenang saja dan seolah tidak ada beban? "Bapak punya utang 50 juta? Nggak salah utangnya sebanyak itu? Lima juta kali?" tanyaku masih dengan berbisik dan kututup mulutku dengan tangan agar Pak Purnama tidak ikut mendengarnya.Bapak menghela napas panjang. "Iya, benar emang segitu. Kamu pikir usaha peternakan bebek Itu modalnya sedikit apa? Menyewa lahan, beli bebeknya yang sudah siap bertelur itu lumayan mahal dan dalam jumlah banyak, beli vitamin, beli pakan, gaji karyawan karena kita tidak bisa mengerjakan sendiri. Kamu tahu sendiri, kan, karyawan kita banyak dan semuanya minta digaji kecuali Vira? Belum lagi untuk beli lampu sebagai penerangan, serta printilan yang lainnya. Yah pokoknya banyak lah. Bapak jelaskan panjang lebar dan detail kamu juga ng
PoV ElangAku semakin geram saat mendengar Pak Arman dan keluarganya yang terus menyombongkan diri. Ingin kubungkam mulut mereka dengan apa yang kami punya, tetapi tidak sekarang karena aku yakin jika mereka tahu siapa kami yang sebenarnya pasti akan berubah pikiran. Aku berencana memberi kejutan setelah aku dan Vira resmi nikah nanti agar sudah tidak ada yang mengganggu gugat lagi. Katanya orang kaya, tetapi aplikasi M-banking saja tidak tahu. Orang kaya macam apa itu. "Jelaskan padaku, tetapi bukan isi hatimu, ya, karena kalau itu lagu.Jelaskan padaku apa yang kamu sebutkan tadi? M m apa itu?""M-banking, Pak. Itu adalah aplikasi untuk mengirimkan uang tanpa harus datang ke bank," jawabku. Tatapannya menerawang ke atas dan tangannya memegang dagu. Ia Sedang berpikir keras lalu ia berkata. "Ya ampun, aku sudah bilang, kan kalau uangku aku simpan di bank. Kalian tahu, kan, apa itu bank? Semua orang juga tahu kalau bank adalah tempat penyimpanan uang yang paling aman. Jangan-jangan
Citra masih mengulurkan tangannya untuk meminta ponselku."Ayolah berikan ponselmu padaku agar bapak tahu aplikasi M-banking itu seperti apa.""Pakai saja ponselmu biar aku tunjukkan." Aku menolak memberikan karena tadi aku dan ayah sudah berencana untuk tidak membongkar rahasia kami dulu. "Kenapa kamu nggak mau nunjukin ponselmu? Oh, aku tahu pasti malu karena ponsel kamu sudah jelek atau mungkin jadul? Atau karena ponselnya sudah retak sana-sini dan udah nggak sanggup untuk ganti lagi? Jelek juga nggak papa yang penting masih bisa digunakan sebagai mana mestinya. Kamu nggak usah khawatir, saat kamu menikah dengan Vira nanti, bisa pakai ponsel Vira meski miliknya juga nggak bagus-bagus amat." Rasa kesal yang sudah bergemuruh dalam dada membuatku refleks mengeluarkan benda pipih yang kupunya. "Ini adalah aplikasi M-banking yang kumaksud, Pak. Dengan aplikasi ini Bapak bisa transfer uang tanpa harus ke bank." Aku menyodorkan ponsel pada Pak Arman agar dilihat. Lelaki itu mengambil
Mataku memanas saat melihat pengantinku yang sudah duduk di kursi dengan menunduk. Ternyata kenyataan tidak sesuai ekspektasi. Aku yang sudah membayangkan Vira terlihat cantik dan beda saat make up, ternyata tidak diapa-apakan sama sekali. Wajahnya masih kusam seperti saat pertama kali aku melihatnya. Pakaiannya juga sederhana berupa kain jarik batik berwarna cokelat dan atasan kebaya berwarna putih dan kerudung panjang dengan warna senada. Yang membuatku semakin masygul adalah semua pakaian yang melekat di tubuhnya itu tidaklah baru. Ibu menggenggam erat tanganku seolah tahu apa yang kurasakan saat ini. Kutahan rasa sesak di dada sambil mensugesti diri kalau semua ini tidak akan lama. Aku tercengang saat melihat penampilan Citra dan ibunya yang terlihat sangat berbeda karena mereka berdua memakai baju baru dan dandan. "Ayo masuk. Kenapa masih berdiri di situ? nggak pengen cepet-cepet halalin si Vira? Dia sudah menunggu dari tadi, lho," kata Citra dengan senyum lebar. Apa maksu
Wanita cantik yang dibilang ibu sebagai MUA itu menggandeng tangan Vira dan meminta untuk menunjukkan di mana kamarnya. Awalnya Vira ragu, aku memberinya isyarat dengan menganggukkan kepala dan tersenyum. "Nurut aja, ya Vir."Wanita itu tidak datang seorang diri melainkan bersama asistennya yang membawa sebuah tas besar berisi pakaian untuk Vira dan aku nanti."Lang, kamu juga perlu make up agar enggak jomplang nanti sama Vira." Ibu tersenyum. Aku mengikuti Vira masuk ke kamarnya dan sungguh batinku menjerit melihat ini. Rumah keluarga citra ini lumayan bagus dan besar, tetapi kamar Vira tidaklah layak disebut sebagai kamar. Ruangan ini tidak memiliki ranjang. Vira tidur di bawah beralaskan kasur yang sudah usang. Geram aku melihatnya. Mataku memanas melihat kondisi kamarnya. Entah kenapa rasa sakit menyusup di sanubari. Namun aku juga tidak habis pikir Kenapa Vira betah tinggal di rumah seperti ini, apalagi penghuninya juga menyebalkan semua. Kenapa ia tidak berusaha pergi saja.
Suasana yang tadinya adem ayem mendadak heboh karena Citra pingsan, entah pingsan sungguhan atau hanya pura-pura. Katanya tidak heran dengan Vira, tetapi baru melihat kunci mobil yang menjadi hadiah pernikahan saja sudah pingsan, bagaimana kalau ia melihat mobilnya secara langsung nanti? Bisa-bisa ia pingsan dan tidak mau bangun lagi karena tidak sanggup melihat orang yang ia hina selama ini bahagia. Sifat sombong memang satu paket dengan sifat iri dan dengki yang paling tidak bisa melihat orang lain bahagia. Bu Tantri-- ibunya teriak histeris melihat anak kesayangannya tergeletak di lantai.Ia dan suaminya menggotong tubuh Citra ke kamar yang ada di sebelah ruangan ini. "Bangun, Cit. Ayo bangun." Bu Tantri menepuk pipi Citra yang masih memejamkan mata. Citra tak bergeming. Tidak ada tanda-tanda untuk membuka mata, hanya dadanya yang terlihat naik turun sebagai pertanda ia masih bernapas. "Aduh, kenapa, sih kamu pakai pingsan segala? dibangunin susah pula." wanita itu menggerutu
Wanita yang menolak lamaran ku 56Buru-buru aku mengambil ponsel untuk menghubungi Citra, sementara Mas Elang keluar menyusul ibunya Malik untuk memberitahukan berita gembira ini.Aku lega, jika Malik sadar, itu artinya Citra bisa keluar dari rumahku. Iya, selama Citra ada di rumah, aku memang sedikit was-was akan terjadi sesuatu yang buruk, apalagi Mas Elang begitu perhatian pada Citra dan anaknya itu. Saat aku menghubungi Citra, terdengar bayinya sedang menangis. "Halo, Cit. Kamu harus ke rumah sakit sekarang juga. Malik__Telepon terputus sebelum aku selesai berbicara dan saat aku hendak menghubunginya lagi, sudah tidak diangkat. Ya sudahlah, yang penting dia akan segera ke sini untuk menjemput MalikBu Retno bersama Mas Elang berjalan tergesa menuju ruangan, namun dokter segera datang memeriksa keadaan Malik dan memberi isyarat agar kami tidak mendekat dulu karena dia sedang diperiksa. Setelah beberapa lama akhirnya dokter mempersilahkan kami untuk mendekat usai memastikan bahwa
Wanita yang menolak lamaran ku 55PoV Vira"Kamu pasti akan meminta Citra untuk pulang ke rumahnya setelah Malik sembuh, kan, Mas?" tanyaku saat kami berdua berada di dalam kamar.Entah kenapa perasaanku tidak enak semenjak Citra serta kedua orang tuanya ikut tinggal di sini meski mereka bilang hanya sementara, sampai Malik sadar. Ketakutanku ini bukan tanpa alasan. Tadi aku ingin memanggil Citra untuk ikut makan bersama, tetapi sudah keduluan Mas Elang. Akhirnya aku hanya berhenti di depan pintu. "Sini bayinya biar sama aku dulu kalau kamu mau makan," kata Mas Elang. Bayi mungil itu sedang dalam pangkuan Citra sementara paman dan bibi juga tidak ada di kamar. Mereka berdua sedang berjalan-jalan berkeliling rumah ini. "Enggak usah, Lang. Dia bisa di tidurkan saat aku makan." Citra tersenyum lalu meletakkan bayi itu di kasur lalu memberinya selimut kecil berwarna biru bergambar kartun. Bayi yang awalnya diam dan tertidur nyenyak itu menangis saat diletakkan dan tangisannya cukup k
Wanita yang menolak lamaran ku 54"Ada rencana apa, ya, kok sepertinya serius?" tanya Vira sambil menurunkan minuman yang dibawanya. Aku dan ibu saling berpandangan, lalu ibu nyengir dan menggaruk tengkuk. "Itu rencana Citra untuk punya anak laki-laki. Jadi gini, Vir, saat hamil, Citra itu selalu makan makanan yang mengandung protein agar anaknya laki-laki dan sekarang anaknya beneran laki-laki, kan? Itu artinya apa yang terjadi sesuai dengan yang ia rencanakan. Iya, kan, Cit?"Vira manggut-manggut. "Oh, iya, tetapi setiap aku datang ke rumah Citra, ia pasti sedang makan sayur-sayuran hijau," Tepuk jidat. Entah kenapa setiap kali Vira datang ke rumahku pasti sedang makan dan seperti biasa aku sedang makan dengan sayuran karena hanya itu yang ada. Makan telur rebus hanya dua kali sehari dan bukan pada saat Vira datang. "Ya udah. Sekarang minum dulu, ya. Kalau ada apa-apa nanti bilang saja sama Bik Nur." Vira tersenyum manis. Kubalas senyumannya dan mengangguk. Dia memang beruntung
Wanita yang Menolak Lamaranku 53"Aku nggak mau pulang, Bu. Aku ingin tetap di sini. Belahan jiwaku ada disini, tidak mungkin aku pergi meninggalkannya begitu saja." Aku menunduk. "Aku merasa seperti pengecut jika pulang meninggalkan suamiku di sini dalam keadaan koma. Aku ingin dia melihat aku yang pertama kali saat ia sadar nanti." "Citra, kamu harus pulang. Kasihan anak kamu. Kamu juga perlu istirahat. Percayalah, Malik pasti akan baik-baik saja. Kalau dia sadar, Ibu pasti akan segera hubungi kamu," kata ibu mertua mengusap pundakku dengan lembut. Wanita yang beberapa saat yang lalu sempat pingsan setelah mendengar berita mengenai musibah yang menimpa anaknya tersenyum dan mengangguk padaku untuk memberi isyarat agar aku mau menerima tawaran Vira. "Semua ini salahku, Bu. Seandainya aku tidak memaksa Mas Malik untuk mengantarku beli es buah, pasti tidak akan seperti ini keadaannya." Ibu mertua mengulurkan tangan lalu mendekatkan telunjuk di bibirku. "Ssst, jangan bilang sepert
Wanita yang Menolak Lamaranku 52Es buah di tanganku terlepas melihat Mas Malik tertabrak mobil karena menyelamatkan Vira dan Elang yang akan ditabrak mobil dengan cara mendorong mereka ke tepi jalan. Ia terpental hingga membentur aspal. Sedangkan mobil yang menabraknya langsung tancap gas, tidak peduli dengan orang yang sudah ditabraknya. Aku tidak peduli, yang ada di pikiranku saat ini hanya satu yaitu keselamatan Mas Malik. Mengenai si penabrak bisa diurus nanti. Semua terjadi begitu cepat. Aku berlari dan menjerit histeris memanggil namanya yang sudah tergeletak di jalan. Entah apa yang ada di pikirannya sehingga ia memutuskan membahayakan diri sendiri seperti ini demi orang lain. Apakah ia tidak tahu kalau aku begitu membutuhkannya. Suasana jalan yang tadinya rame lancar mendadak macet karena adanya kecelakaan ini.Aku berlari tanpa mempedulikan perutku yang besar ini. Kakiku terasa ringan seolah tidak membawa ada apa-apa di perutku ini. Vira dan Elang masih terjerembab di pin
Wanita yang Menolak Lamaranku 51Ibu terlihat lebih segar daripada dulu saat aku berkunjung ke rumah. Tubuhnya juga sedikit lebih berisi, wajahnya cerah, tidak pucat lagi. Pun dengan bapak, lelaki yang merupakan cinta pertamaku itu terlihat gagah di usianya yang sudah tidak lagi muda. Saat bapak dan ibu datang, aku sedang makan dan kali ini aku makan dengan lauk telur rebus plus oseng labu. Lidah ini memang sudah terbiasa mengecap makanan sederhana tapi jangan ditanya nikmatnya luar biasa.Awalnya mau berangkat ke rumah ibu, tetapi ibu mertua meminta kami untuk makan dulu. Iya, sejak aku hamil, wanita yang sudah melahirkan suamiku itu paling cerewet mengenai urusan makan dan nggak boleh makan sembarangan. "Kamu makan menggunakan alas cobek seperti ini, sedangkan yang lain menggunakan piring?" tanya ibu.Tepuk jidat. Kalau diperhatikan sekilas, aku memang seperti dibedakan di rumah ini. Yang lain makan memakai piring dan aku cukup dengan cobek saja. Kesannya aku adalah menantu yang t
Wanita yang Menolak Lamaranku 50Aku tertegun melihat wanita yang dulu selalu tampil cantik meski usianya sudah tidak muda lagi itu kini terlihat pucat. Tubuh yang dulu segar dan seksi ini kurus bahkan bisa dibilang sangat kurus, matanya juga cekung. Nyesek rasanya aku melihat ini.Wanita yang saat terakhir kali melihatnya ia memintaku untuk berpisah dengan suamiku ini terlihat sangat memprihatinkan.Tatapannya menerawang dan kosong. Ia sedang merobek-robek kertas dan membuangnya secara asal. "Bu?" Lidahku terasa kelu. Ia hanya menoleh sebentar lalu membuang muka, seolah tidak ingin melihat anaknya ini. "Apa yang terjadi dengan Ibu, Pak?" tanyaku beralih menatap bapak yang sepertinya juga tidak senang melihat kedatanganku. Aku pikir kedatanganku ini akan disambut dengan riang gembira dan mendapat pelukan hangat, tetapi ternyata aku salah. Mereka berdua bahkan cuek dan sinar matanya tidak memancarkan kerinduan. "Kamu senang melihat ibumu seperti ini, hah?" tanya bapak dengan nada t
Wanita yang menolak lamaran ku 49"Sini biar Ibu saja yang nyapu." Ibu mengambil alih sapu ijuk dari tanganku. Aku tersenyum dan dengan senang hati memberikan sapu itu. Tetapi bukan berarti aku bisa duduk ongkang-ongkang kaki karena masih ada pekerjaan yang menunggu selain menyapu. "Eh nggak jadi, Cit. Wanita hamil kalau nyapu nggak boleh berhenti di tengah jalan kalau nggak mau susah saat melahirkan. Nih, Ibu balikin!" kata Ibu. "Apa bisa begitu, Bu?" "Jelas, wanita hamil itu kalau melakukan suatu nggak boleh setengah-setengah alias harus sampai tuntas. Lagian kalau hanya menyapu juga nggak akan kecapekan, yang penting pelan-pelan aja. Nggak usah ngoyo. Ibu mau masak aja biar nanti saat kamu sudah selesai nyapu sudah ada makanan yang siap untuk disantap," kata ibu mertua. Aku tersenyum karena merasa diperhatikan olehnya. Meskipun ia tidak membelai-belai atau memberikan apa yang kumau, tetapi aku tahu kalau dia sayang padaku. "Kenapa senyum-senyum? Nggak usah GR. Aku tuh sayang
Wanita yang Menolak Lamaranku 48 PoV Citra"Kenapa Ibu tidak membiarkan Mas Malik untuk menikahi Tania yang orang kaya, Bu?" tanyaku setelah Tania pergi. Ia pasti sangat kecewa karena usahanya untuk merayu Mas Malik tidak berhasil. Sedari tadi aku sudah mempersiapkan mental jika ada kemungkinan buruk yang terjadi. Aku pikir ibu akan membujuk Mas Malik agar mau menerima Tania sebagai istri dan menceraikan aku begitu saja. Iya, ibu mana yang tidak mau anaknya punya istri kaya dan langsung diangkat menjadi manager? Apalagi Tania juga menjanjikan sesuatu yang sangat manis dan tidak akan didapatkan jika Mas Malik masih punya istri aku. Ibu mertua yang selama ini seolah tidak pernah menunjukkan wajah yang bersahabat denganku ternyata tidak seburuk yang kukira. Ia sayang padaku sebagai menantu dan hari ini ia sudah menunjukkan buktinya. "Memangnya kamu mau Malik nikah sama Tania dan menceraikan kamu?" Ibu balik tanya. Aku menggeleng dan meringis. Pertanyaan yang aneh, mana ada wanita y