Gara-gara ibu pulang cepat, aku terpaksa kalah lagi dari Kamila. Wina mengantarku sampai depan rumah saja, setelah itu memutar haluan untuk pulang meski sebelumnya kami sudah menyusun rencana untuk mendatangi Kamila lagi suatu hari nanti.
Dengan perasaan gusar, aku membuka pintu rumah lebar. Benar saja, ibu dan papa yang sebelumnya aku panggil Om Zafir duduk di depan televisi tempat aku tidur tadi malam. Tatapan mata mereka tidak bersahabat. Walau aku sudah dianggap seperti anak sendiri, rasanya takut juga melihat mereka tanpa senyuman.
Aku duduk dengan sangat hati-hati. "Ibu sama papa kenapa nggak bilang biar aku beresin rumah dulu?"
"Ibu merasa ada sesuatu yang terjadi di rumah ini, Liv. Ada apa, kenapa bantal kamu ada di luar kamar dan bukannya di dalam?"
"Itu ... tadi malam aku ketiduran saat menonton televisi, Bu." Aku tersenyum kikuk, kemudian melanjutkan untuk mengalihkan pembicaraan, "bagaimana liburannya di Bandung? Lancar nggak, Bu, Pa?"
Mereka berdua diam membuatku semakin merasa bersalah. Tidak lama setelah itu, air mata menganaksungai di pipi. Ternyata aku tidak bisa menyembunyikan masalah ini lebih lama. Apalagi sejak dulu aku selalu terbuka masalah rumah tangga pada ibu dan papa. Ketika mereka menengahi pertengkaran kecil kami, Mas Abyan atau pun aku pasti mengalah dengan mudah.
Lalu, apakah hari ini masih sama jika kuceritakan pada mereka? Pasalnya aku juga bersalah karena ditakdirkan sebagai wanita tidak sempurna. Dokter bilang, terlalu bahaya bagiku untuk memiliki anak setelah kehilangan kemarin. Pertama, keguguran anak Mas Rayan di bulan ke lima. Kedua, melahirkan prematur saat usia kandungan baru memasuki bulan ke tujuh.
Saat itu Mas Abyan menangis sejadi-jadinya karena orang yang menabrakku adalah lelaki yang mencintai Mas Abyan. Dia tidak mau kalau aku hidup bahagia sementara dirinya harus menanggung cinta sebelah pihak. Aku mendengus mengingat itu semua, kembali timbul pertanyaan apakab Mas Abyan melupakan tragedi memilukan itu?
"Papa sudah lama menjalani biduk rumah tangga, Nak Oliv. Saat ada bantal seperti ini di luar kamar, lalu tidak tersedia sarapan, rumah terlihat sepi itu artinya sedang ada masalah. Tadi papa cek ke kamar kamu karena penasaran dan menemukan secarik kertas di sana. Papa lihat itu tulisan Abyan yang memintamu untuk menyembunyikan rahasia itu."
"Tidak ada rahasia, Pa. Mungkin Mas Abyan sedang bercanda. Toh, sebentar lagi ulang tahun aku." Jujur, aku sedang berusaha untuk tersenyum sekalipun mata tidak mampu berbohong.
Dia terus menitikkan bulir bening hangat penuh luka. Ibu Namira langsung membawaku dalam pelukan, dia terisak luar biasa. Aku bisa merasakan bahunya terguncang. Entahlah, aku hanya diam di tempat tanpa balas memeluknya.
"Ibu tahu kamu dijatuhi talak satu, Nak. Ini salah, kalian tidak boleh berpisah. Abyan pasti sudah kehilangan kewarasannya. Bertahan di sini, ibu sama papa kamu akan cari jalan keluar." Ibu Namira melepaskan pelukannya, lalu mengambil ponsel yang sejak tadi tergeletak manja di lantai.
Aku mencegah dengan gerak cepat sambil menggelengkan kepala. "Tidak, Bu. Mas Abyan tidak salah. Aku yang salah karena belum hamil lagi sampai sekarang. Lelaki normal mana pun pasti mau punya keturunan. Aku tidak bisa mengabulkan harapan Mas Abyan."
"Lalu?"
"Biarkan dia bahagia sama Kamila, Bu. Aku tidak bisa memaksa Mas Abyan kembali. Kami belum punya anak, jadi tidak ada alasan untukku bertahan. Mas Abyan sudah menemukan bahagianya, dia pantas bahagia dalam pernikahan atas dasar cinta, bukan paksaan seperti yang terjadi dulu. Mungkin ini memang karma dari dosa–"
"Jangan mengatakan itu, Oliv. Rayan juga pasti ngerasa bersalah karena terpaksa ninggalin kamu. Ini bukan salah kamu sepenuhnya." Papa Zafir menggenggam tangan ini, tetapi segera aku tarik.
Mereka terlihat bersalah. Aku mengerti, sekarang kami tinggal menunggu Mas Abyan pulang. Selama masa iddah, biar saja aku tinggal di kost sambil mencari pekerjaan untuk mengisi perut. Papa memang punya perusahaan yang dipercayakan pada orang lain karena dirinya sudah tidak sanggup sementara Mas Abyan lebih suka kerja di pabrik, tetapi aku malu jika harus menjadi staff di sana.
Tepatnya Mas Abyan pernah melarangku untuk menjadi bagian dari perusahaan papa karena dia pernah membenci lelaki tua itu. Ah, entah kenapa aku selalu terbayang masa lalu. Ingin rasanya menangis sekencang-kencangnya untuk menumpahkan segala luka dalam hati.
***
Mas Abyan tiba di rumah pukul lima lewat sepuluh menit. Setelah mandi, dia pun ikut duduk di depan kamar bersama ibu dan papa. Sekilas matanya yang serupa elang itu melirik pada koper yang sudah berdiri di sampingku. Dia pasti paham, makanya memilih diam dan menundukkan kepala.
"Mas, sebagaimana yang kita tahu kalau talak satu itu saja memberiku harapan untuk kembali sementara aku tahu itu tidak akan pernah terjadi. Daripada menunggu selama tiga kali haid atau sebut saja tiga bulan, lebih baik aku segera pergi dari sini. Jadi, jatuhkan talak tiga itu, Mas, biar aku bisa bebas dari pernikahan ini."
Mas Abyan menunduk. Aku tidak tahu apakah prasangka ini benar atau tidak, yang pastinya dia tengah merasa sedih. Kedua tangannya gemetar, sementara itu napasnya terlihat tidak beraturan. Menyesal, lalu merujukku? Sepertinya mustahil.
"Tidak." Sebuah jawaban ambigu akhirnya keluar dari mulut Mas Abyan.
"Ibu sudah berusaha menahannya untuk tetap tinggal, Aby. Cuman Olivia ngerasa malu setelah ditalak. Apa tidak ada ruang untuknya lagi, Nak? Apa kesalahan Olivia sampai kamu mendua dan siapa Kamila itu?"
Mas Abyan mengangkat kepala, kemudian memberi tatapan tajam padaku seolah elang yang siap menerkam mangsa. Aku ketakutan, jangan sampai Mas Abyan maju untuk mencekik leher ini. Bukankah dia melakukan apa saja saat cintanya telah memudar? Membunuhku demi mempertahankan hubungannya menjadi sesuatu yang wajar karena masalah seperti ini sudah marak di luar sana. Aku menggeser posisi duduk memilih dekat dengan ibu.
"Tinggalkan Kamila, rujuk istrimu. Pilihan itu yang seharusnya kamu putuskan, Aby. Bukan menceraikan Olivia demi Kamila." Papa ikut berbicara.
"Olivia sendiri yang minta diceraikan, Pa. Makanya aku menjatuhkan talak satu itu. Aku tidak bisa meninggalkan Kamila. Kami akan menikah dalam waktu dekat, tidak peduli apakah ibu atau papa enggan memberi restu."
Mas Abyan memalingkan wajah, aku merasa memang tidak ada ruang untukku di hatinya lagi. Tangan gemetar ini memegang koper, lantas berdiri dengan mata merah. "Ma, Pa, Mas Abyan ...." Aku menarik napas dalam, lalu membuangnya perlahan. "Aku pamit. Terimakasih untuk cintanya selama ini."
Aku melihat Ibu Namira menggeleng pelan, lalu berusaha berdiri. Biarkan saja, aku tetap harus pergi dari sini meskipun Mas Abyan belum menjatuhkan talak tiga. Dia sedang menunda perpisahan karena aku yakin suatu hari nanti kami pasti resmi berpisah. Tuhan, dadaku sesak seperti ditimpa batu besar.
"Olivia!" panggil ibu mertua lagi, memaksaku memejamkan mata.
POV Author____Papa Zafir berhasil mencekal tangan Olivia, lalu kembali membawanya masuk ke rumah. Sesak sekali, air mata perempuan itu tidak berhenti berlinang.Kembali berada di ruang keluarga, ternyata Abyan masih diam di tempatnya. Namun, terlalu menyakitkan bagi Olivia karena lelaki tersebut sudah memainkan ponsel seolah tidak pernah ada masalah."Duduk dulu, Oliv!" pinta Ibu Namira dengan tatapan sendu.Perempuan itu menjatuhkan dirinya di lantai yang beralaskan karpet. Sesekali melirik pada Abyan yang menatapnya ketus setelah menyimpan ponsel."Nak, kalian sudah dewasa, jangan bertingkah seperti anak kecil lagi. Setelah melewati banyak ujian dalam pernikahan, apa masih belum bisa mengokohkan cinta dan kasih sayang?" Ibu Namira bertanya lembut, suaranya terdengar memilukan."Untuk apa mempertahankan rumah tangga yang sudah tidak didasari rasa cinta, Bu? Hati Mas Abyan telah berpaling dan kurasa memang sepatutnya hidup sendiri sekarang. Aku sudah banyak merepotkan Mas Abyan.""Y
"Aku kirim lokasi, temui aku kalau kamu memang berani. Kalau tidak datang, artinya kamu membenarkan ucapan Mas Abyan.""Ucapan apa?!""Mental pecundang!"Jawaban Kamila di seberang sana membuat emosi Olivia memuncak. Dia mematikan sambungan telepon, lalu membuka lokasi yang baru saja dikirim oleh si Pelakor.Lumayan dekat, Olivia menambah kecepatan kendaraannya. Untung saja tangki bensin full, jadi dia bisa menambah kecepatan sesuka hati.Hal yang membuat Olivia berani pergi dari rumah adalah memiliki tabungan yang lebih dari cukup. Tentu saja karena sehari setelah menikah dengan Abyan, dia langsung diangkat jadi manager oleh Papa Zafir.Pekerjaan itu ditekuni selama dua tahun sebelum akhirnya istri kedua Papa Zafir membuat masalah, hampir menjual seluruh aset perusahaan ketika suaminya diserang stroke."Sialan!" teriak Olivia hampir saja menabrak motor yang belok tanpa menyalakan sen.Setibanya di lokasi tujuan, Olivia langsung turun dari mobil, kemudian melangkah begitu anggun memas
Bab 8. Semua Terlalu Menyakitkan"Siapa yang merebut suami kamu, hah? Kamu dan Mas Abyan sudah lama bercerai, kalau sudah jadi mantan itu sebaiknya dilupakan. Wajar kalau Mas Abyan mau nikah lagi, toh kamu itu mandul!" balas Kamila berapi-berapi.Dia sengaja mengatakan itu demi menyakiti hati Olivia lebih dalam lagi. Memanas-manasi agar mengamuk dan kehilangan kendali. Bukankah menarik? Tentu saja."Wow, yang satu bilang perebut, satunya lagi bilang mandul. Entah mana yang benar!" celetuk salah satu pelanggan.Olivia mendengus. Dia sudah bayar tiga ratus ribu untuk menyogok penyanyi kafe, tetapi dia harus dikalahkan juga?Tidak, itu tidak boleh terjadi. Olivia memutar otak, mencari cara untuk mengalahkan perempuan sialan itu yang kini sudah tertawa mengejek padanya."Kenapa, Oliv? Kamu malu ketahuan mandul, ya?""Seharusnya rekaman tadi sudah cukup menjadi bukti kalau aku dan Mas Abyan belum bercerai. Sementara kamu, perempuan kotor yang selalu menggoda suami aku. Kamila, semua orang
Bab 9. Merindukan Rayan"Kenapa aku harus membunuhmu di sini?" Abyan tersenyum miris, menatap meremehkan pada perempuan malang itu. "Aku tidak akan membunuhmu, Oliv. Jika sampai itu terjadi, sama saja aku sengaja memutuskan hubungan dengan gadis yang sangat aku cintai.""Tentu saja, itu tidak boleh terjadi," lanjut Kamila melingkarkan tangan kirinya di pinggang Abyan, sementara lelaki itu malah balas merangkul.Daripada terus sakit hati, Olivia berinisiatif pulang ke rumah ... mungkin Wani Ariani dahulu karena hari sudah semakin sore. Matahari pun sudah semakin dekat dengan peraduan.Lihatlah langit yang begitu indah memancarkan senja. Keindahan bersifat sementara, tetapi esok pasti kembali. Namun, kesempatan untuk menikmati belum tentu ada.Olivia menghela napas panjang, lalu melangkah cepat menuju mobil. Dia tidak mau berlama-lama di hadapan para pengkhianat itu, takut terjadi masalah lebih besar lagi. Sementara Olivia ingin tetap waras demi mencari tahu penyebab suaminya berubah.A
"Aku tidak tahu, mungkin karena cincin itu pemberian dari Kamila. Biasanya jika seseorang yang kita cintai ngasih kita sesuatu, pasti dijaga sepenuh hati, kan? Sementara cincin pernikahan bagi Mas Abyan mungkin tak lagi berharga." Olivia menundukkan kepala dalam, menyembunyikan air matanya.Perempuan malang itu sebenarnya bisa saja melawan, tetapi hati berkata lain. Sebelum mengetahui alasan Abyan berpaling, dia tidak akan bertindak lebih jauh dan memfokuskan kesalahan pada Kamila.Saat tahu jalan pikiran Olivia, Wani mendengus kesal dan menganggap perempuan itu bodoh. Kenapa harus menunggu jawaban, bukankah dia bisa saja menghabisi kedua pengkhianat itu?"Aku takut menyesal. Entah kenapa firasat aku mengatakan kalau Mas Abyan tidak bersalah. Dia seperti sedang dalam pengaruh jin gitu loh. Aku curiga sama cincinnya, jangan-jangan itu pelet lagi!"Kedua mata Wani melebar, sementara mulut menganga sempurna. Bulu kuduknya meremang, takut membahas tentang pelet atau ilmu hitam. Pasalnya,
Selama dua hari, Olivia terus tinggal di rumah sahabatnya. Mereka menyusun berbagai rencana serta membahas segala kemungkinan yang terjadi ketika melakukan aksi nanti. Misal saja ketahuan saat sedang mencoba mencopot cincin itu dan lain sebagainya."Masih betah rebahan, nih? Yakin belum mau balik ke rumah Mas Abyan?"Olivia melirik pada Wani yang sedang mengeringkan rambu memakai hair dryer. "Jadi, mulai gak nyaman aku ada di sini? Perasaan dulu seminggu juga kamu senang.""Bukan gak nyaman, cuman takutnya Mas Abyan malah nikahin Kamila. Bisa saja, kan, dia ngebujuk, lalu melet siang malam?""Iya, nanti aku pikirkan. Mungkin besok baru ke sana, sesuai rencana, kan?"Tidak lama setelah itu, ponsel yang sejak kemarin diangguri berdering beberapa kali. Olivia tidak mau peduli karena baginya sekarang ingin fokus memikirkan hari esok.Namun, karena terus mengganggu, Wani berinisiatif untuk melirik layar ponsel itu. Betapa terkejutnya dia saat tahu kalau panggilan itu berasal dari Abyan.Se
Bab 12. Kembali ke Istana"Jangan berani menyentuhku, kita bukan suami istri!" bentak Olivia mengarahkan jari telunjuk tepat di depan wajah Abyan yang kedua matanya memancarkan semburat merah.Menggeram, lelaki itu kemudian melangkah meninggalkan Olivia. Dalam beberapa detik, dia memutar badan kembali mengikis jarak dengan perempuan itu sambil mengacak rambut kesal."Olivia, ayo kembali ke rumah. Terserah mau menginap atau tidak, intinya saat ini kamu harus menemani ibu. Oke?" Kedua tangan Abyan saling mengatup dengan tatapan sendu.Melirik sekilas pada Wani, gadis itu mengangguk samar. Terpaksa Olivia mengangguk, pamit pada sang sahabat, lalu masuk ke dalam mobilnya.Sementara Abyan, dia bernapas lega karena berhasil membujuk perempuan itu. Padahal sebenarnya dia kesal dan tidak mau tinggal serumah lagi, tetapi semua demi sang ibu. Untuk urusan Kamila akan dia pikirkan nanti bagaimana mengambil hati gadis itu agar tidak marah saat tahu Olivia kembali tinggal bersamanya.Kedua mobil m
"Baiklah, ibu setuju. Kalau begitu, sebaiknya kamu ke luar dari kamar buat bicara sama Abyan."Olivia mengangguk, lalu meminta Ibu Namira beristirahat saja, mengingat sekarang masih pukul dua siang dan cuaca begitu terik. Setelah menyalakan kipas, dia tersenyum pada perempuan tua itu sebelum benar-benar keluar.Papa Zafir dan Abyan duduk saling berhadapan tanpa mengobrol sedikit pun. Tepatnya karena lelaki keras kepala itu lebih memilih diam, tenggelam dalam pikirannya sendiri.Setiap malam dia selalu merindukan Kamila. Namun, saat mandi, dia justru memikirkan Olivia. Perasaan aneh itu terjadi setiap hari. Sayang sekali karena sampai sekarang masih sulit menemukan jawaban."Ibu sudah sedikit tenang."Abyan mengangkat wajah, memasukkan benda pipih itu ke dalam kantong celananya. "Sekarang kamu mau ke mana, huh?!"Tanpa mengindahkan pertanyaan Abyan, Olivia justru mendekati lelaki berkacamata itu lantas meraih tangan kanannya untuk dicium penuh rasa takzim. "Pa, aku pamit dulu, ya!""Lo
Pada bagian belakang rumah besar bernuansa putih dipadu dengan gold serta memiliki empat pilar itu terdapat sebuah teman yang dipenuhi dengan bunga-bunga mekar berwarna-warni. Ada mawar, melati serta tulip kuning dan dua macam lainnya. Di bawah pohon rindang terdapat sebuah ayunan. Dua anak lelaki tampak begitu ceria. Yang sedang duduk dalam ayunan itu berumur sembilan tahun, sementara satunya menginjak usia remaja yakni lima belas tahun. Terdapat dua perbedaan besar di antara mereka. Anak remaja itu bertubuh tinggi tegap dengan hidung menjulang. Kulitnya putih bersih serta senyum begitu menawan. Rambutnya ikal, sedikit kecokelatan. Sementara sang adik berbeda. Kulit kuning langsat, rambutnya lurus berwarna hitam legam. Dia tampan, seperti kakaknya. "Alif, Muammar! Sudahi mainnya, Nak. Sini makan pizza sama mama!" teriak seorang perempuan dewasa memakai kerudung sambil membawa kotak besar berwarna cokelat. Dua anak lelaki itu seketika mendekat duduk di kursi panjang berwarna putih.
Tepat tanggal 21 September, Muammar di-aqiqah. Acara demi acara berlangsung dengan lancar. Meskipun tidak banyak mengundang, ternyata tamu membludak. Olivia tidak tahu jika Papa Zafir juga mengundang mantan karyawannya dahulu.Banyak doa terhatur pada Muammar, termasuk keluasan rezeki, tumbuh menjadi anak salih serta hidup dalam keberkahan di bawah naungan Allah. Kyai dan ustadz yang kemarin meruqyah mereka juga datang.Sebelum sesi foto keluarga, Olivia berdiri di di depan para tamu undangan, memintanya untuk diam dulu agar fokus mendengarkan apa yang dikatakan oleh Olivia.Semua mata memandang kepadanya. Dari yang raut wajahnya terlihat santai sampai judes stadium empat. Namun, Olivia tidak peduli karena tentu saja mereka adalah komplotan tetangga iri dan dengki."Terima kasih atas perhatiannya. Di sini saya sebagai istri Abyan dan juga mama dari Muammar memberitahu kalian semua kalau kami ...." Olivia melirik ke arah kanan, kemudian meminta Kenzo naik ke panggung. "Dia adalah Alexa
Bab 89. Apa Tante Oliv Membenciku?Setelah satu minggu berlalu, Kenzo masih juga tinggal di rumah Abyan. Dia tetap dipanggil Timothee karena Olivia kesal mendengar nama aslinya. Meskipun perempuan itu telah tertimbun dengan tanah sesaat setelah hasil autopsi keluar, maka pihak rumah sakit langsung memandikannya.Mereka mengatakan bahwa Nadin meninggal bunuh diri karena tidak ada luka lebam di tubuhnya. Luka sayatan bisa saja dia buat sendiri karena menurut informasi dari beberapa tetangga bahwa Nadin memang sering dimarahi para rentenir karena menunggak. Rumah pun disita oleh bank.Namun, ketika dilelang, siapa yang akan mau membeli jika tahu kalau dulu pernah ada orang yang mati secara tragis di sana? Sungguh, sebuah rumah yang dulunya adem ayem kini terlihat angker. Para tetangga yang kebetulan lewat saja enggan menengok ke dalam karena beberapa malam terakhir terdengar suara tangisan dan lolongan meminta tolong.Kenzo sendiri berusaha mengubur masa lalu dengan hidup sebagai Timothe
Bab 88. Karma Sang PelakorOlivia terdiam cukup lama. Untuk saat ini hatinya benar-benar terluka. Dia geram pada Nadin dan bersyukur karena dia telah tiada. Melirik sekali pada Kenzo, anak itu menatap penuh harap.Haruskah dia mematahkan harapannya? Dia lahir sebagai seorang muslim bahkan sudah belajar salat dan mengaji, meski hanya dilangsungkan ketika di sekolah atau saat Andre berada di rumah.Lantas, jika ikut pada Stephan, apakah Kenzo akan tetap menjadi muslim? Anting salib pada telinga kiri lelaki berambut landak itu memperkuat dugaan Olivia kalau mereka berbeda agama.Abyan pun sama takutnya. Dia tahu bahwa Stephan adalah anak seorang mafia dari Italia, tepatnya di Kota Turin. Jika Kenzo ikut dengannya lantas belajar menjadi seorang pembunuh, maka dia bisa saja tumbuh sebagai ketua mafia kelas kakap.Terutama karena ada dendam membara di dalam hatinya. Abyan semakin risau. Dia juga ingat kalau Kamila pernah bilang, kedatangan Stephan ke Indonesia sejak bertahun-tahun yang lalu
Bab 87. Penjelasan dan Bukti TerkuatKenzo terus menangis dalam pelukan Ibu Namira. Anak lelaki berambut ikal itu sangat terluka atas berita yang dia dengar dari layar kaca. Sekarang, dia merasa tidak punya siapa-siapa lagi.Dalam pikirannya, para rentenir lah yang bersalah karena mereka menagih hutang dengan cara sangat kasar bahkan sengaja menampar wajah Nadin dua kali. Hal itu memang tidak disaksikan langsung oleh Kenzo, tetapi dia bisa mendengarnya.Ibu Namira sendiri berusaha menenangkan anak itu karena dia tahu bahwa Kenzo tak bersalah. Apa pun tindakan orang tuanya, dia tetap masih anak kecil. Ibu Namira kasihan karena kini menjadi yatim piatu, padahal Alex masih hidup.Hampir dua jam Ibu Namira menenangkan Kenzo, gantian dengan Bi Surti dan juga Papa Zafir. Anak tersebut terus dibujuk oleh semua orang di dalam rumah selain Olivia.Perempuan itu menangis dalam kamarnya sambil memeluk Muammar. Dia sengaja menyalakan murottal agar pikiran tenang dan tidak melakukan tindakan cerob
Bab 86. Kebenaran yang TerungkapAbyan menuju rumah Nadin memakai taksi online dengan sedikit tergesa karena Kamila memberi kabar kalau dia sudah berada di lokasi kejadian bersama Stephan. Perasaannya campur aduk sambil terus berharap kalau nanti Kenzo tidak terlalu sakit hati mendengarnya.Hanya butuh waktu satu jam lebih untuk tiba di sana. Mereka bertemu di bawah pohon yang cukup untuk berteduh. Stephan memintanya bergabung dalam satu mobil karena harus membahas sesuatu."Polisi belum datang, kabarnya sedang dalam perjalanan menuju ke sini. Aku meminta Kamila pulang dengan memakai taksi karena dia sangat ketakutan. Kau tidak boleh grogi, orang-orang bisa mencurigai kita. Nanti dalam bahaya, sementara pembunuhnya tersenyum menang. Kau mengerti?"Abyan yang baru saja menutup pintu mobil Pajero itu langsung mengangguk. Napasnya sedikit tersengal. Abyan meminum air mineral yang disodorkan oleh Stephan."Siapa pembunuhnya?""Kalau aku memberitahumu, kau janji tidak akan membuka mulut?"
Bab 85. Jawaban dari Sebuah Pertanyaan"Pelankan suaramu, nanti Timothee dengar!""Memangnya dia tidak boleh tahu, Mas? Kenapa? Apa ada yang kamu sembunyikan dari aku?""Tidak, tetapi dia masih terlalu kecil. Timothee bisa hilang kesadaran atau justru mengamuk.""Memang mamanya meninggal di mana, Mas?""Olivia, aku harap kamu bisa tenang dulu sekarang. Sudah jauh malam, besok aku jelaskan, oke?"Sadar dia tak mendapat jawaban yang sesuai keinginan, Olivia beringsut masuk kamar dan menguncinya dari dalam. Dia kesal karen merasa Abyan menyembunyikan sesuatu.Sementara lelaki itu bersandar panda dinding sambil mengacak rambutnya. Dia semakin bingung sekarang, tetapi di sisi lain sedikit bersyukur karena bisa menyelamatkan Kenzo.Hatinya resah, sedangkan waktu terus berputar. Abyan tidak bisa tidur sekarang. Dia melirik pada ponsel dan membuka aplikasi hijau berlogo telepon itu menunggu pesan dari Kamila.Dia sangat penasaran, tetapi ternyata saat mencoba mengirim pesan, akunnya sudah cen
Bab 84. Perempuan tak BernyawaLepas makan siang bersama, Papa Zafir dan Ibu Namira beristirahat dalam kamar, begitu pula dengan Kenzo. Anak lelaki itu ditemani Bi Inem karena dia masih sakit kepala meskipun demam sudah turun.Kamar Kenzo ada di tengah yang pernah ditempati oleh Bu Lisa dan suami, sedangkan Olivia kembali ke lantai satu. Dia belum bisa naik turun tangga lebih sering karena takut terpeleset."Mas, Timothee itu beneran bukan anak orang jahat, kan? Aku takut dia bawa bom dan meledakkannya di rumah kita. Dia anak orang Prancis, bisa saja kan punya bibit penjajah," kata Olivia menyampaikan unek-unek yang sejak tadi dia pendam."Menurut kamu dia anak orang jahat? Kamu mencurigai Timothee?"Olivia menggeleng mendengar suaminya balik bertanya. Saat memasukkan pakaian Kenzo ke dalam lemari, Bi Surti mengaku tidak menemukan benda mencurigakan. Papa Zafir pun turut memeriksa karena khawatir.Melihat Kenzo yang memilih diam, kecuali berbicara ketika ditanya, hati Olivia memaksa u
Bab 83. Nama BaruPOV AUTHOR___________________"Kenapa terkejut begitu?" lanjut Olivia mendekati suaminya."Nggak apa-apa, Sayang. Tadi cuma lagi serius scrool video di Insta-gram, ada gitu yang bunuh selingkuhan sendiri biar gak ketahuan dari istri pertama." Abyan menjawab sambil berusaha menetralkan suasana hati agar kebohongannya tidak terkuak.Olivia sendiri mengangguk, lalu gegas kembali ke kamar saat mendengar tangisan Muammar. Lelaki itu mengelus dada, sekarang bisa bernapas lega. Bagaimana tidak, tadi dia menerima pesan dari Nadin agar Kenzo ikut tinggal dengannya dengan alasan sibuk.Jujur saja, Abyan bingung. Jika dia membawa Kenzo ke rumah, bukankah akan menuai kontroversi? Pasti Olivia bertanya dia siapa dan bagaimana mereka bertemu. Bagus kalau seandainya Kenzo bisa diajak kerjasama, pasti aman.Pesan dari Nadin kembali masuk ke akunnya. Abyan mengusap wajah, lalu menanyakan perihal itu pada Kamila. Lihatlah bagaimana dia berkirim pesan dengan dua perempuan sekaligus pa