"Iya, Mas. Mentari."
Lelaki itu menggeleng. "Aku tidak punya teman dengan nama Mentari. Kenapa, Dek?"
Aku memejamkan mata berusaha menahan setiap perih yang menghujam hati. Bagaimana mungkin Mas Abyan tidak mengenali Mentari sementara mereka saling mencintai? Sejumput nyeri menyebar cepat, mengalir di setiap aliran darahku. Waktu seolah berhenti, memaksaku menelan semua kesedihan.
"Demi Allah, aku tidak mengenal Mentari," ulang Mas Abyan penuh penekanan ketika melihatku memalingkan wajah.
Sekarang aku tidak bisa menjelaskan apapun tentang Mentari karena lidah terasa kelu. Dengan tangan gemetar, aku coba merogoh ponsel yang berada di bawah bantal, kemudian menunjukkan pesan itu pada Mas Abyan. Dia sendiri meraih ponselku dengan raut wajah santai, seakan memang tidak melakukan kesalahan.
Begitu selesai membaca pesan itu, aku bisa menangkap keterkejutan di wajah Mas Abyan. Bola matanya membesar, dia menatapku sambil sedikit melongo. Kenapa? Mungkinkah dia tidak bisa mengelak sekarang? Aku pun tersenyum, kembali menyambut ponsel yang disodorkan padaku.
"Kenapa, Mas? Kamu tidak menduga kalau wanita itu sendiri yang mengakuinya, 'kan?"
Lihatlah, sekarang Mas Abyan mengusap wajahnya gusar. "Tidak," jawabnya kemudian.
"Bahkan setelah melihat pesan yang dikirim Mentari, Mas masih mau mengelak? Apa aku harus mengumpulkan banyak bukti sampai kamu mengakuinya, Mas? Bagaimana kalau kita telepon dia sekarang?"
"Telepon saja, aku penasaran siapa Mentari itu."
Tantanganku ternyata diterima baik oleh Mas Abyan. Aku jadi bingung karena sejak tadi akun Whats-App itu tidak aktif sampai sekarang. Lantas bagaimana harus membuktikan kalau dia adalah selingkuhan Mas Abyan? Jangan sampai dia mengira bahwa akun itu adalah teman aku sendiri demi bebas dari pernikahan ini.
Aku kembali memejamkan mata erat. Rasa perih benar-benar meraja dalam hati. Air mata pun kembali jatuh di sepanjang pipi. Oh Tuhan, rasanya begitu berat mendiskusikan hal ini dengan Mas Abyan. Benarkah dia tidak mengenal gadis bernama Mentari itu atau jangan-jangan nama Mentari hanyalah samaran?
Mas Abyan mendengus, kemudian memilih merebahkan diri dalam posisi membelakangiku. Sepertinya malam ini kami akan tidur terpisah, aku memilih ke luar dari kamar karena belum bisa menepis rasa sakit yang kian mendera. Padahal aku sudah mengumpulkan daya untuk menanyai Mas Abyan, tetapi rasa sesak tetap saja membekap.
***
Pukul tujuh pagi, aku dikejutkan oleh Mas Abyan yang sudah siap dengan pakaian kerja. Padahal biasanya dia akan memintaku untuk menyiapkan sarapan serta baju kerjanya. Sekarang tidak lagi, mungkin ini awal mula kehancuran rumah tangga kami. Aku pun memilih meneruskan aktivitas sebelumnya, yakni menonton acara televisi.
Mas Abyan acuh tak acuh, dia melenggang pergi tanpa sepatah kata pun. Baiklah, meskipun terasa sesak, aku harus bisa bersikap dingin juga padanya. Jangan sampai orang-orang menganggapku sebagai istri bodoh seperti dalam sinetron ikan terbang.
Tidak lama setelah kepergian Mas Abyan, pintu rumah terketuk dua kali. Dengan santai aku melangkah ke depan menyangka dia adalah Mas Abyan yang mungkin ketinggalan ponsel atau benda lainnya. Namun, begitu membuka pintu, aku terkejut.
"Hai, Oliv. Kenalin, aku Mentari."
Sejenak, aku membeku mendengar nama itu. Keringat dingin tiba-tiba membasahi pelipis. Benarkan wanita di hadapanku adalah Mentari yang mengirim pesan Whats-App kemarin? Jika iya, maka mungkin aku kalah saing. Dia terlihat sangat berkelas dengan pakaian kerjanya, sementara aku hanya mengenakan daster.
"Boleh masuk?" tanyanya lagi dengan senyum menawan menampilkan gigi yang berderet rapi.
Aku mengangguk, lalu berusaha menguatkan mental agar jangan sampai terlihat lemah di hadapan wanita yang mencintai suamiku. Jika terlihat lemah, pasti dia percaya diri dan merasa mudah mengalahkan aku. Tidak, ini soal harga diri. Dia melakukan kesalahan, kemudian berani datang ke sini memperkenalkan diri?
Kami saling beradu pandang ketika berhasil menjatuhkan bokong di kursi. Tatapan mata Mentari terasa memabukkan yang membuat siapapun terbuai. Aku yakin wanita ini adalah candu yang bisa membuat para lelaki melayang ke cakrawala. Aku pun tersenyum kecut, Mas Abyan pasti tergoda setelah beradu pandang.
"Sebenarnya aku Kamila. Mentari adalah nama samaran untuk membuatmu terkecoh sesaat. Aku sudah tidak bisa menahan diri, Oliv. Kami saling mencintai dan kukatakan padamu bahwa ini bagian dari takdir."
Pernyataan Mentari yang ternyata Kamila cukup membuatku terkejut, tetapi aku harus tetap bisa menjaga ekspresi. "Takdir? Kamu menyebut ini sebagai takdir?"
"Iya." Jawaban yang sikat, tetapi membuat hati hancur berkeping-keping.
"Benar sekali ucapan orang-orang. Setiap ibu harus mengajarkan anaknya untuk tidak pernah merebut mainan orang lain atau saat dia dewasa, dia akan merebut kebahagiaan wanita lain."
Wanita di hadapanku tersenyum lebar. "Jangan mengajarkan itu padaku, Oliv. Cukup kukatakan kalau aku adalah Kamila. Gadis muda yang berusia 25 tahun, bekerja di pabrik yang sama dengan Mas Abyan dan sekarang tinggal di kontrakan Bu Sintia. Aku pamit dan jangan lupa kalau aku mencintai suamimu."
Aku ingin melayangkan tamparan di wajah Kamila, tetapi dia menangkisnya dengan gerakan yang jauh lebih cepat. Ternyata dia masih muda, tetapi kenapa harus mencintai lelaki yang telah berumah tangga? Apa tidak ada satu pun dari mereka yang menginginkan Kamila?
Entahlah. Gadis itu tersenyum mengejek sebelum benar-benar menghilang dari pandanganku. Rasanya berat, tetapi aku harus tetap waras untuk meluruskan perkara ini. Mas Abyan harus menjelaskan semuanya dan aku tidak boleh percaya begitu saja.
***
Cukup lama aku menunggu sampai lelaki itu tiba. Dia mengucapkan salam dengan rona wajah bahagia. Namun, bukan saatnya untuk mengulur waktu. Tanpa menjawab salam Mas Abyan, aku langsung menarik tangannya menuju ruang keluarga yang ada di depan kamar.
"Mas mengenal Mentari. Dia adalah Kamila. Gadis muda yang berusia 25 tahun, bekerja di pabrik yang sama dengan Mas Abyan dan sekarang tinggal di kontrakan Bu Sintia. Oh iya, dia juga mencintaimu, tepatnya kalian saling mencintai, betul?"
Yang ditanya hanya membisu, beberapa kali kulihat dia membuang napas pelan. Ia melesu, seperti raja yang baru saja turun dari singgasananya. Hampir lima menit aku menunggu, tetapi tidak ada jawaban sampai aku harus membuka ponsel dan menunjukkan foto mereka yang dikirim Wina kemarin.
"Ini foto kalian, 'kan, Mas?" Tidak ada jawaban, aku pun melanjutkan, "sudah berapa lama, Mas?"
"Enam bulan."
Aku memeluk tubuh yang tiba-tiba menggigil. Bukan sebab hujan deras, tetapi rasa marah dan kecewa yang telah sampai ke ubun-ubun. Enam bulan bukan waktu yang sebentar, tidak mungkin Mas Abyan khilaf untuk berselingkuh karena Kamila tadi mendatangiku dengan penuh percaya diri.
"Kalau begitu, pilih aku atau Kamila, Mas."
"Aku tidak bisa memilih, Liv. Kamila sudah hadir dalam hatiku."
"Baiklah, kalau begitu ... ceraikan aku, Mas!"
Detik berikutnya tanpa aku duga, Mas Abyan meletakkan tangannya di kepalaku. Dia menunduk, lalu menghela napas dan mengembuskannya perlahan. Sungguh, hati ini bergetar, aku memejamkan mata bersiap mendengar apa pun yang Mas Abyan katakan.
"Kalau itu maumu, baiklah. Olivia, aku menjatuhkan talak satu untukmu!"
"Kenapa talak satu, Mas?" "Ibu harus tahu masalah ini. Aku tidak mau disalahkan. Jadi, kita sebaiknya menunda perpisahan abadi." Tanpa bisa kubendung, air mata turun berduyun-duyun. Satu-satunya yang kuanggap sebagai rumah justru telah mengasingkanku jauh-jauh. Jawaban yang Mas Abyan beri ternyata tidak berhasil melegakan hati. Aku ditalak, tanpa tapi, tanpa nanti. Apakah sudah terlalu dalam cintanya untuk Kamila sehingga begitu mudah menjatuhkan talak padaku yang telah dinikahi tiga tahun silam? Laki-laki yang dulu menjadi kebanggaanku justru mengkhianat. Aku mengais banyak alasan yang mungkin menjadi penyebab runtuhnya kesetiaan Mas Abyan selain prediksi dokter yang mengatakan kalau aku tidak akan bisa punya anak lagi. Berkeping-keping kenangan masa silam kembali kukais, rasanya terlalu menyakitkan. "Sekarang, keluar dari kamar ini, Liv. Besok ibu akan pulang, jangan biarkan dia tahu aku menjatuhkan talak satu sebelum aku bisa menyelesaikan urusanku dengan Kamila," lanjut Mas Aby
Gara-gara ibu pulang cepat, aku terpaksa kalah lagi dari Kamila. Wina mengantarku sampai depan rumah saja, setelah itu memutar haluan untuk pulang meski sebelumnya kami sudah menyusun rencana untuk mendatangi Kamila lagi suatu hari nanti. Dengan perasaan gusar, aku membuka pintu rumah lebar. Benar saja, ibu dan papa yang sebelumnya aku panggil Om Zafir duduk di depan televisi tempat aku tidur tadi malam. Tatapan mata mereka tidak bersahabat. Walau aku sudah dianggap seperti anak sendiri, rasanya takut juga melihat mereka tanpa senyuman. Aku duduk dengan sangat hati-hati. "Ibu sama papa kenapa nggak bilang biar aku beresin rumah dulu?" "Ibu merasa ada sesuatu yang terjadi di rumah ini, Liv. Ada apa, kenapa bantal kamu ada di luar kamar dan bukannya di dalam?" "Itu ... tadi malam aku ketiduran saat menonton televisi, Bu." Aku tersenyum kikuk, kemudian melanjutkan untuk mengalihkan pembicaraan, "bagaimana liburannya di Bandung? Lancar nggak, Bu, Pa?" Mereka berdua diam membuatku sema
POV Author____Papa Zafir berhasil mencekal tangan Olivia, lalu kembali membawanya masuk ke rumah. Sesak sekali, air mata perempuan itu tidak berhenti berlinang.Kembali berada di ruang keluarga, ternyata Abyan masih diam di tempatnya. Namun, terlalu menyakitkan bagi Olivia karena lelaki tersebut sudah memainkan ponsel seolah tidak pernah ada masalah."Duduk dulu, Oliv!" pinta Ibu Namira dengan tatapan sendu.Perempuan itu menjatuhkan dirinya di lantai yang beralaskan karpet. Sesekali melirik pada Abyan yang menatapnya ketus setelah menyimpan ponsel."Nak, kalian sudah dewasa, jangan bertingkah seperti anak kecil lagi. Setelah melewati banyak ujian dalam pernikahan, apa masih belum bisa mengokohkan cinta dan kasih sayang?" Ibu Namira bertanya lembut, suaranya terdengar memilukan."Untuk apa mempertahankan rumah tangga yang sudah tidak didasari rasa cinta, Bu? Hati Mas Abyan telah berpaling dan kurasa memang sepatutnya hidup sendiri sekarang. Aku sudah banyak merepotkan Mas Abyan.""Y
"Aku kirim lokasi, temui aku kalau kamu memang berani. Kalau tidak datang, artinya kamu membenarkan ucapan Mas Abyan.""Ucapan apa?!""Mental pecundang!"Jawaban Kamila di seberang sana membuat emosi Olivia memuncak. Dia mematikan sambungan telepon, lalu membuka lokasi yang baru saja dikirim oleh si Pelakor.Lumayan dekat, Olivia menambah kecepatan kendaraannya. Untung saja tangki bensin full, jadi dia bisa menambah kecepatan sesuka hati.Hal yang membuat Olivia berani pergi dari rumah adalah memiliki tabungan yang lebih dari cukup. Tentu saja karena sehari setelah menikah dengan Abyan, dia langsung diangkat jadi manager oleh Papa Zafir.Pekerjaan itu ditekuni selama dua tahun sebelum akhirnya istri kedua Papa Zafir membuat masalah, hampir menjual seluruh aset perusahaan ketika suaminya diserang stroke."Sialan!" teriak Olivia hampir saja menabrak motor yang belok tanpa menyalakan sen.Setibanya di lokasi tujuan, Olivia langsung turun dari mobil, kemudian melangkah begitu anggun memas
Bab 8. Semua Terlalu Menyakitkan"Siapa yang merebut suami kamu, hah? Kamu dan Mas Abyan sudah lama bercerai, kalau sudah jadi mantan itu sebaiknya dilupakan. Wajar kalau Mas Abyan mau nikah lagi, toh kamu itu mandul!" balas Kamila berapi-berapi.Dia sengaja mengatakan itu demi menyakiti hati Olivia lebih dalam lagi. Memanas-manasi agar mengamuk dan kehilangan kendali. Bukankah menarik? Tentu saja."Wow, yang satu bilang perebut, satunya lagi bilang mandul. Entah mana yang benar!" celetuk salah satu pelanggan.Olivia mendengus. Dia sudah bayar tiga ratus ribu untuk menyogok penyanyi kafe, tetapi dia harus dikalahkan juga?Tidak, itu tidak boleh terjadi. Olivia memutar otak, mencari cara untuk mengalahkan perempuan sialan itu yang kini sudah tertawa mengejek padanya."Kenapa, Oliv? Kamu malu ketahuan mandul, ya?""Seharusnya rekaman tadi sudah cukup menjadi bukti kalau aku dan Mas Abyan belum bercerai. Sementara kamu, perempuan kotor yang selalu menggoda suami aku. Kamila, semua orang
Bab 9. Merindukan Rayan"Kenapa aku harus membunuhmu di sini?" Abyan tersenyum miris, menatap meremehkan pada perempuan malang itu. "Aku tidak akan membunuhmu, Oliv. Jika sampai itu terjadi, sama saja aku sengaja memutuskan hubungan dengan gadis yang sangat aku cintai.""Tentu saja, itu tidak boleh terjadi," lanjut Kamila melingkarkan tangan kirinya di pinggang Abyan, sementara lelaki itu malah balas merangkul.Daripada terus sakit hati, Olivia berinisiatif pulang ke rumah ... mungkin Wani Ariani dahulu karena hari sudah semakin sore. Matahari pun sudah semakin dekat dengan peraduan.Lihatlah langit yang begitu indah memancarkan senja. Keindahan bersifat sementara, tetapi esok pasti kembali. Namun, kesempatan untuk menikmati belum tentu ada.Olivia menghela napas panjang, lalu melangkah cepat menuju mobil. Dia tidak mau berlama-lama di hadapan para pengkhianat itu, takut terjadi masalah lebih besar lagi. Sementara Olivia ingin tetap waras demi mencari tahu penyebab suaminya berubah.A
"Aku tidak tahu, mungkin karena cincin itu pemberian dari Kamila. Biasanya jika seseorang yang kita cintai ngasih kita sesuatu, pasti dijaga sepenuh hati, kan? Sementara cincin pernikahan bagi Mas Abyan mungkin tak lagi berharga." Olivia menundukkan kepala dalam, menyembunyikan air matanya.Perempuan malang itu sebenarnya bisa saja melawan, tetapi hati berkata lain. Sebelum mengetahui alasan Abyan berpaling, dia tidak akan bertindak lebih jauh dan memfokuskan kesalahan pada Kamila.Saat tahu jalan pikiran Olivia, Wani mendengus kesal dan menganggap perempuan itu bodoh. Kenapa harus menunggu jawaban, bukankah dia bisa saja menghabisi kedua pengkhianat itu?"Aku takut menyesal. Entah kenapa firasat aku mengatakan kalau Mas Abyan tidak bersalah. Dia seperti sedang dalam pengaruh jin gitu loh. Aku curiga sama cincinnya, jangan-jangan itu pelet lagi!"Kedua mata Wani melebar, sementara mulut menganga sempurna. Bulu kuduknya meremang, takut membahas tentang pelet atau ilmu hitam. Pasalnya,
Selama dua hari, Olivia terus tinggal di rumah sahabatnya. Mereka menyusun berbagai rencana serta membahas segala kemungkinan yang terjadi ketika melakukan aksi nanti. Misal saja ketahuan saat sedang mencoba mencopot cincin itu dan lain sebagainya."Masih betah rebahan, nih? Yakin belum mau balik ke rumah Mas Abyan?"Olivia melirik pada Wani yang sedang mengeringkan rambu memakai hair dryer. "Jadi, mulai gak nyaman aku ada di sini? Perasaan dulu seminggu juga kamu senang.""Bukan gak nyaman, cuman takutnya Mas Abyan malah nikahin Kamila. Bisa saja, kan, dia ngebujuk, lalu melet siang malam?""Iya, nanti aku pikirkan. Mungkin besok baru ke sana, sesuai rencana, kan?"Tidak lama setelah itu, ponsel yang sejak kemarin diangguri berdering beberapa kali. Olivia tidak mau peduli karena baginya sekarang ingin fokus memikirkan hari esok.Namun, karena terus mengganggu, Wani berinisiatif untuk melirik layar ponsel itu. Betapa terkejutnya dia saat tahu kalau panggilan itu berasal dari Abyan.Se
Pada bagian belakang rumah besar bernuansa putih dipadu dengan gold serta memiliki empat pilar itu terdapat sebuah teman yang dipenuhi dengan bunga-bunga mekar berwarna-warni. Ada mawar, melati serta tulip kuning dan dua macam lainnya. Di bawah pohon rindang terdapat sebuah ayunan. Dua anak lelaki tampak begitu ceria. Yang sedang duduk dalam ayunan itu berumur sembilan tahun, sementara satunya menginjak usia remaja yakni lima belas tahun. Terdapat dua perbedaan besar di antara mereka. Anak remaja itu bertubuh tinggi tegap dengan hidung menjulang. Kulitnya putih bersih serta senyum begitu menawan. Rambutnya ikal, sedikit kecokelatan. Sementara sang adik berbeda. Kulit kuning langsat, rambutnya lurus berwarna hitam legam. Dia tampan, seperti kakaknya. "Alif, Muammar! Sudahi mainnya, Nak. Sini makan pizza sama mama!" teriak seorang perempuan dewasa memakai kerudung sambil membawa kotak besar berwarna cokelat. Dua anak lelaki itu seketika mendekat duduk di kursi panjang berwarna putih.
Tepat tanggal 21 September, Muammar di-aqiqah. Acara demi acara berlangsung dengan lancar. Meskipun tidak banyak mengundang, ternyata tamu membludak. Olivia tidak tahu jika Papa Zafir juga mengundang mantan karyawannya dahulu.Banyak doa terhatur pada Muammar, termasuk keluasan rezeki, tumbuh menjadi anak salih serta hidup dalam keberkahan di bawah naungan Allah. Kyai dan ustadz yang kemarin meruqyah mereka juga datang.Sebelum sesi foto keluarga, Olivia berdiri di di depan para tamu undangan, memintanya untuk diam dulu agar fokus mendengarkan apa yang dikatakan oleh Olivia.Semua mata memandang kepadanya. Dari yang raut wajahnya terlihat santai sampai judes stadium empat. Namun, Olivia tidak peduli karena tentu saja mereka adalah komplotan tetangga iri dan dengki."Terima kasih atas perhatiannya. Di sini saya sebagai istri Abyan dan juga mama dari Muammar memberitahu kalian semua kalau kami ...." Olivia melirik ke arah kanan, kemudian meminta Kenzo naik ke panggung. "Dia adalah Alexa
Bab 89. Apa Tante Oliv Membenciku?Setelah satu minggu berlalu, Kenzo masih juga tinggal di rumah Abyan. Dia tetap dipanggil Timothee karena Olivia kesal mendengar nama aslinya. Meskipun perempuan itu telah tertimbun dengan tanah sesaat setelah hasil autopsi keluar, maka pihak rumah sakit langsung memandikannya.Mereka mengatakan bahwa Nadin meninggal bunuh diri karena tidak ada luka lebam di tubuhnya. Luka sayatan bisa saja dia buat sendiri karena menurut informasi dari beberapa tetangga bahwa Nadin memang sering dimarahi para rentenir karena menunggak. Rumah pun disita oleh bank.Namun, ketika dilelang, siapa yang akan mau membeli jika tahu kalau dulu pernah ada orang yang mati secara tragis di sana? Sungguh, sebuah rumah yang dulunya adem ayem kini terlihat angker. Para tetangga yang kebetulan lewat saja enggan menengok ke dalam karena beberapa malam terakhir terdengar suara tangisan dan lolongan meminta tolong.Kenzo sendiri berusaha mengubur masa lalu dengan hidup sebagai Timothe
Bab 88. Karma Sang PelakorOlivia terdiam cukup lama. Untuk saat ini hatinya benar-benar terluka. Dia geram pada Nadin dan bersyukur karena dia telah tiada. Melirik sekali pada Kenzo, anak itu menatap penuh harap.Haruskah dia mematahkan harapannya? Dia lahir sebagai seorang muslim bahkan sudah belajar salat dan mengaji, meski hanya dilangsungkan ketika di sekolah atau saat Andre berada di rumah.Lantas, jika ikut pada Stephan, apakah Kenzo akan tetap menjadi muslim? Anting salib pada telinga kiri lelaki berambut landak itu memperkuat dugaan Olivia kalau mereka berbeda agama.Abyan pun sama takutnya. Dia tahu bahwa Stephan adalah anak seorang mafia dari Italia, tepatnya di Kota Turin. Jika Kenzo ikut dengannya lantas belajar menjadi seorang pembunuh, maka dia bisa saja tumbuh sebagai ketua mafia kelas kakap.Terutama karena ada dendam membara di dalam hatinya. Abyan semakin risau. Dia juga ingat kalau Kamila pernah bilang, kedatangan Stephan ke Indonesia sejak bertahun-tahun yang lalu
Bab 87. Penjelasan dan Bukti TerkuatKenzo terus menangis dalam pelukan Ibu Namira. Anak lelaki berambut ikal itu sangat terluka atas berita yang dia dengar dari layar kaca. Sekarang, dia merasa tidak punya siapa-siapa lagi.Dalam pikirannya, para rentenir lah yang bersalah karena mereka menagih hutang dengan cara sangat kasar bahkan sengaja menampar wajah Nadin dua kali. Hal itu memang tidak disaksikan langsung oleh Kenzo, tetapi dia bisa mendengarnya.Ibu Namira sendiri berusaha menenangkan anak itu karena dia tahu bahwa Kenzo tak bersalah. Apa pun tindakan orang tuanya, dia tetap masih anak kecil. Ibu Namira kasihan karena kini menjadi yatim piatu, padahal Alex masih hidup.Hampir dua jam Ibu Namira menenangkan Kenzo, gantian dengan Bi Surti dan juga Papa Zafir. Anak tersebut terus dibujuk oleh semua orang di dalam rumah selain Olivia.Perempuan itu menangis dalam kamarnya sambil memeluk Muammar. Dia sengaja menyalakan murottal agar pikiran tenang dan tidak melakukan tindakan cerob
Bab 86. Kebenaran yang TerungkapAbyan menuju rumah Nadin memakai taksi online dengan sedikit tergesa karena Kamila memberi kabar kalau dia sudah berada di lokasi kejadian bersama Stephan. Perasaannya campur aduk sambil terus berharap kalau nanti Kenzo tidak terlalu sakit hati mendengarnya.Hanya butuh waktu satu jam lebih untuk tiba di sana. Mereka bertemu di bawah pohon yang cukup untuk berteduh. Stephan memintanya bergabung dalam satu mobil karena harus membahas sesuatu."Polisi belum datang, kabarnya sedang dalam perjalanan menuju ke sini. Aku meminta Kamila pulang dengan memakai taksi karena dia sangat ketakutan. Kau tidak boleh grogi, orang-orang bisa mencurigai kita. Nanti dalam bahaya, sementara pembunuhnya tersenyum menang. Kau mengerti?"Abyan yang baru saja menutup pintu mobil Pajero itu langsung mengangguk. Napasnya sedikit tersengal. Abyan meminum air mineral yang disodorkan oleh Stephan."Siapa pembunuhnya?""Kalau aku memberitahumu, kau janji tidak akan membuka mulut?"
Bab 85. Jawaban dari Sebuah Pertanyaan"Pelankan suaramu, nanti Timothee dengar!""Memangnya dia tidak boleh tahu, Mas? Kenapa? Apa ada yang kamu sembunyikan dari aku?""Tidak, tetapi dia masih terlalu kecil. Timothee bisa hilang kesadaran atau justru mengamuk.""Memang mamanya meninggal di mana, Mas?""Olivia, aku harap kamu bisa tenang dulu sekarang. Sudah jauh malam, besok aku jelaskan, oke?"Sadar dia tak mendapat jawaban yang sesuai keinginan, Olivia beringsut masuk kamar dan menguncinya dari dalam. Dia kesal karen merasa Abyan menyembunyikan sesuatu.Sementara lelaki itu bersandar panda dinding sambil mengacak rambutnya. Dia semakin bingung sekarang, tetapi di sisi lain sedikit bersyukur karena bisa menyelamatkan Kenzo.Hatinya resah, sedangkan waktu terus berputar. Abyan tidak bisa tidur sekarang. Dia melirik pada ponsel dan membuka aplikasi hijau berlogo telepon itu menunggu pesan dari Kamila.Dia sangat penasaran, tetapi ternyata saat mencoba mengirim pesan, akunnya sudah cen
Bab 84. Perempuan tak BernyawaLepas makan siang bersama, Papa Zafir dan Ibu Namira beristirahat dalam kamar, begitu pula dengan Kenzo. Anak lelaki itu ditemani Bi Inem karena dia masih sakit kepala meskipun demam sudah turun.Kamar Kenzo ada di tengah yang pernah ditempati oleh Bu Lisa dan suami, sedangkan Olivia kembali ke lantai satu. Dia belum bisa naik turun tangga lebih sering karena takut terpeleset."Mas, Timothee itu beneran bukan anak orang jahat, kan? Aku takut dia bawa bom dan meledakkannya di rumah kita. Dia anak orang Prancis, bisa saja kan punya bibit penjajah," kata Olivia menyampaikan unek-unek yang sejak tadi dia pendam."Menurut kamu dia anak orang jahat? Kamu mencurigai Timothee?"Olivia menggeleng mendengar suaminya balik bertanya. Saat memasukkan pakaian Kenzo ke dalam lemari, Bi Surti mengaku tidak menemukan benda mencurigakan. Papa Zafir pun turut memeriksa karena khawatir.Melihat Kenzo yang memilih diam, kecuali berbicara ketika ditanya, hati Olivia memaksa u
Bab 83. Nama BaruPOV AUTHOR___________________"Kenapa terkejut begitu?" lanjut Olivia mendekati suaminya."Nggak apa-apa, Sayang. Tadi cuma lagi serius scrool video di Insta-gram, ada gitu yang bunuh selingkuhan sendiri biar gak ketahuan dari istri pertama." Abyan menjawab sambil berusaha menetralkan suasana hati agar kebohongannya tidak terkuak.Olivia sendiri mengangguk, lalu gegas kembali ke kamar saat mendengar tangisan Muammar. Lelaki itu mengelus dada, sekarang bisa bernapas lega. Bagaimana tidak, tadi dia menerima pesan dari Nadin agar Kenzo ikut tinggal dengannya dengan alasan sibuk.Jujur saja, Abyan bingung. Jika dia membawa Kenzo ke rumah, bukankah akan menuai kontroversi? Pasti Olivia bertanya dia siapa dan bagaimana mereka bertemu. Bagus kalau seandainya Kenzo bisa diajak kerjasama, pasti aman.Pesan dari Nadin kembali masuk ke akunnya. Abyan mengusap wajah, lalu menanyakan perihal itu pada Kamila. Lihatlah bagaimana dia berkirim pesan dengan dua perempuan sekaligus pa