Aku memarkirkan mobilku tepat di depan gang rumah gadis itu. Membuka kaca, ingin melihat keadaan Intan setelah apa yang aku lakukan dua bulan yang lalu.
Entah kenapa bayang-bayang wanita itu selalu menggangguku setiap malam. Aku hampir tidak bisa memejamkan mata mendengar jerit tangisnya yang begitu menyayat hati.
Sungguh, aku menyesali perbuatan terkutuk itu karena telah merenggut kesucian Intan. Mematahkan sayap-sayapnya, hingga ia tidak bisa terbang berkelana mencari jati dirinya. Aku sama seperti Radit dan kawan-kawannya. Bejat, tidak punya moral.
Setelah cukup lama aku mematung memandangi rumahnya. Tidak ada tanda-tanda kalau Intan berada di dalam. Apa dia pindah dari tempat ini karena harus menahan malu? Atau, jangan-jangan dia mengakhiri hidupnya seperti Lubna.
Perasaan bersalah terus berkecamuk dalam hati. Teringat saat Lubna selalu menangis di sepanjang harinya, tidak mau makan ataupun hanya sekedar meneguk air yang di suguhkan oleh ibu. Dia terus meratapi nasibnya sepanjang waktu hingga nekat mengakhiri hidupnya sendiri.
Belum sempat aku mengatakan kalau aku mencintai dan mau menerima keadaannya saat ini. Belum sempat aku memeluknya untuk meyakinkan dirinya kalau semua bisa kita lalui bersama, tetapi dia kini telah pergi meninggalkanku sendiri menikmati derita yang tak bertepi.
“Lubna maafkan aku, maafkan aku karena tidak peka dan tak pernah memelukmu saat kamu sedang menangis. Aku rindu sama kamu, Lubna. Aku rindu!” ratapku pilu.
Andai saja dulu tidak mendiamkannya, pasti dia masih bersamaku sekarang. Tapi semuanya telah terjadi, kucoba hadapi semua ini walaupun aku tidak mampu. Kini tinggal sebuah penyesalan yang selalu menyelimuti hati ditambah lagi harus hidup dalam bayang-bayang dosa kepada Intan, wanita yang kunodai
Malam kian merangkak larut. Aku terbangun ketika mendengar isakan tangis di dalam kamar. Penasaran, aku mencari sumber suara. Tangis itu persis seperti suara Lubna istriku. Kenapa dia menangis?
“Lubna, Ibu?” Mendekat ke arah jendela, melihat sebuah siluet hitam di balik tirai.
Tangis itu terdengar semakin pilu dan menyayat hati. Kusibak tirai kamarku, melihat bayangan siapa yang berada di balik jendela.
“Mas, tolong aku....” Lubna berdiri sambil menangis. Aku beringsut menjauh darinya saat dia terus mendekat ke arahku.
“Tolong aku, Mas. Tolong...,” ucapnya lagi seraya berjalan semakin mendekat.
“Lubna, tolong jangan mendekat!”
Dia terus berjalan ke arahku. Matanya melotot, lidahnya terjulur keluar dan badanya berlumuran tanah.
“Aidil, bangun. Bangun, Nak!” Aku tersentak kaget ketika seseorang mengguncang bahuku dan segera membuka mata, melihat Ibu tersenyum di hadapanku.
“Astaghfirullahaladzim,” ucapku sambil mengusap wajah.
Kenapa aku selalu memimpikan Luba dan Intan. Mengapa sekarang hidupku tidak tenang seperti ini?
“Makane, nek mau tidur itu baca doa dulu. Biar ndak mimpi yang jelek-jelek!” Ibu berujar sambil meninggalkan aku sendiri di kamar.
Aku mendesah panjang. Segera diri ini bangkit dari tempat peraduan, masuk ke dalam kamar mandi untuk membasuh badan. Setelah itu aku kembali berbaring di atas kasur sambil memainkan ponsel melihat foto pernikahanku dengan Lubna.
Lagi, air mata kembali menetes di pipi membayangkan kebahagiaan yang telah kita lalui bersama. Semuanya begitu singkat, para berandal itu telah merenggutnya dan memisahkan kami berdua.
Ketika bayangan masa lalu yang penuh canda dan tawa itu sedang menari-nari di ingatan, tiba-tiba otakku kembali berputar mengingat apa yang telah aku lakukan terhadap Intan. Air mata bocah itu, pekikannya yang tertahan karena aku menyumpal mulutnya menggunakan kain, begitu juga tatapan pilunya saat aku memaksa merenggut kehormatannya.
“Arrrrggg!” Menjambaki rambut sendiri, frustrasi. Lama-lama bisa gila di buatnya.
Aku membaui gurih masakan dari arah dapur. Perutku terasa lapar karena sejak pagi belum diisi sama sekali. Rasanya nafsu makanku menjadi hilang semenjak kejadian yang berturut-turut menimpaku.
Berjalan menuju dapur hendak mengambil nasi, namun langkah ini berderap kaku kala melihat seorang gadis berkerudung putih sedang mencuci piring di wastafel. Aku mengucek mata memastikan bahwa yang aku lihat saat ini bukanlah mimpi, sebab aku begitu mengenal tubuh mungil itu.
“Mbak siapa?” tanyaku untuk memastikan kalau diri ini tidak salah lihat.
Prang!
Gelas yang ada di tangannya terlepas begitu saja saat dia menoleh ke arahku. Wajah wanita itu pucat pasi. Dia terlihat ketakutan. Apa dia tahu kalau aku yang sudah merenggut kesuciannya?
“Ma-maaf, Mas, tadi saya kaget. Maaf juga sudah mecahih gelas. Tolong jangan pecat saya!” ucapnya gemetar.Aku mendekat dan membantunya memunguti serpihan gelas yang tercecer di lantai, tetapi dia langsung beringsut menjauh dariku.Kamu hanya menghancurkan gelas milikku Intan. Tetapi aku sudah menghancurkan seluruh hidup kamu.“Ada apa?” Tergopoh Ibu berlari menghampiri kami.“Maaf, Bu haji. Saya tadi tidak sengaja memecahkan gelas. Saya benar-benar minta maaf!” Intan terlihat ketakutan. Mata beningnya memerah dan berembun, mengingatkan aku akan kejadian malam itu, saat dia memohon kepadaku supaya tidak menyentuhnya.“Ya Allah, Intan. Kalau kerja itu hati-hati. Tangan kamu ada yang luka nggak?” Ibu terlihat mencemaskan wanita itu.Intan hanya menggeleng. Dengan cekatan ia mengambil sapu kemudian membuang serpihan-serpihan kaca itu ke dalam tong sampah.Aku menarik kursi dan duduk dengan lengan bertumpu di atas meja makan. Selera makanku lenyap seketika, berubah menjadi perasaan tak ka
“Heh, Intan. Kamu jangan ngarang ya. Aku itu tahu rumah kamu, kamu ingetkan saat nabrak aku di depan gerbang kuburan. Kamu itu punya kakak namanya Radit bukan?” Aku menggebrak meja, membuat gadis itu seketika langsung menunduk ketakutan. “Kak Radit?” Dia menjawab sangat pelan dengan nada bergetar. “Iya, dia salah satu orang yang telah memperkosa istri saya!” Otakku dibuat kembali mendidih oleh wanita itu. Intan terperanjat mendengar pernyataanku. Mungkin dia bisa membohongi ibu, tapi tidak denganku. Aku lihat buliran-buliran kristal putih mulai mengalir di pipinya. Air mata buaya! “Ja-jadi, wanita yang dinodai Kak Radit adalah istri Mas?” Dia balik bertanya dan sekarang berani menatap wajahku. “Iya! Saya juga pernah lihat kamu datang ke kantor polisi menemui baj*ngan itu!” sahutku muntab. “Kak Radit itu mantan tunangan saya, Mas, Bu. Tapi demi Allah saya tidak tahu menahu masalah pemerkosaan itu. Saya datang ke kantor polisi karena dengar Kak Radit ditangkap dan tiba-tiba memutu
Pemandangan macam apa ini? “Aku sudah berusaha menjaga kehormatan ibu, tetapi laki-laki itu merenggutnya dengan paksa. Aku juga tidak menginginkan anak haram ini karena dia telah menjadi beban di hidupku!” Intan memukuli perutnya dengan brutal serta penuh kebencian. “Intan stop. Jangan sakiti anak dalam perut kamu!” teriakku spontan. Dia langsung menataku dengan tatapan aneh. Begitu pula dengan Ibu. “Dia tidak bersalah, Intan,” ucapku lirih. “Maafin Ibu ya, Nak. Mungkin perkataan Ibu sudah menyakiti hati kamu. Sekarang kamu nggak boleh mikir macem-macem. Kalau ada apa-apa, cerita saja sama Ibu. Anggap saja kalau Ibu ini ibu kandung kamu sendiri.” Wanita yang telah melahirkanku itu lalu memeluk Intan dengan erat. Aku melangkah keluar dengan sejuta rasa bersalah yang terus menghantui diri. Intan hamil, dan itu sudah pasti anakku. Kenapa harus seperti ini. Kenapa dulu saat bersama Lubna Allah tidak memberiku amanah sebesar itu. Lima tahun aku menikah dengan Lubna, tetapi Allah tidak
“Tidak, aku bukan laki-laki bejat seperti mereka. Aku tidak mau melakukannya lagi!” Segera kututup pintu kamar Intan dan kembali ke kamarku sendiri.Mengacak-acak rambut, merasa bingung dengan keadaan diri sendiri. Kenapa aku menjadi seperti ini?Terus memandangi perut Intan yang sedang sibuk membantu Ibu di dapur, aku tersenyum sendiri ketika membayangkan perut wanita itu mulai membesar lalu anak dalam perutnya menendang-nendang dari dalam. Indah nian bayangan itu.“Pagi-pagi udah ngelamun, udah sana ke toko!” celetuk ibu menyentakku dari lamunan.Intan menoleh ke arahku dan tersenyum. Apa kamu masih bisa tersenyum semanis itu jika mengetahui akulah penyebab kehancuranmu?Aku memijat kepalaku yang terasa seperti mau pecah. Beban di hati membuat aku sulit sekali untuk memejamkan mata, hingga kepalaku sering terasa sakit.Pun saat aku berada di toko. Aku hanya diam melamun sambil menatap lalu lalang pelanggan dan juga anak buahku saat mengambil barang.Aku memiliki dua buah toko materi
“Ibu itu ketemu Intan di mana, kok dia bisa kerja sama kita?” tanyaku saat kami sedang santai di teras belakang.“Di pinggir jalan, Dil. Dia sedang menangis sendiri, terus ibu tanya di mana keluarganya dia bilang tidak ada. Katanya dia diusir dari rumah gara-gara kesalahan yang tidak ia perbuat. Ya mungkin karena dia jadi korban rudapaksa sampai dia diusir warga. Tapi Ibu yakin, kok, kalau Intan itu anak baik-baik!” sahut Ibu menerangkan.“Kasihan dia ya, padahal gadis baik, shalihah, pinter ngaji. Eh, ada yang tega memperlakukan dia seperti itu. Mudah-mudahan laki-laki yang menodai Intan cepet dapet balasan yang setimpal!” imbuhnya lagi.“Ibu!” Tanpa sengaja aku berteriak kepada wanita yang telah melahirkanku itu.Ibu menautkan alis menatap wajahku.“Ada apa sih, Aidil? Ibu itu heran sama tingkah kamu sekarang ini loh. Aneh!” Dia menggelengkan kepalanya.“Bu, kalau seumpama aku berbuat kesalahan besar, apa ibu mau memaafkan aku, Bu?” Menggenggam jemari Ibu.“Tergantung, kalau kesalah
"Maafkan aku, Ibu. Aku khilaf. Saat itu yang terlintas di pikiranku hanya membalas dendam kepada Radit karena dia telah menodai istriku sehingga Lubna mengakhiri hidupnya. Tadinya aku fikir Intan itu adiknya Radit. Ternyata bukan, Bu. Aku menyesal sudah melakukan hal sebejat itu, Bu!"Plak!Rasa panas kembali menjalar di pipi, dia wanita yang lemah lembut, untuk pertama kalinya memukul sang putra karena kelakuan buruknya yang mungkin tidak ter maafkan. Aku menatap mata Ibu yang sudah memerah. Bibirnya terkatup, dadanya naik turun tidak beraturan. Aku tahu pasti saat ini ibu sedang menahan amarah yang sangat besar."Ibu kecewa sama kamu, Aidil. Ibu fikir kamu anak Ibu yang paling baik tapi ternyata Ibu salah. Kenapa kamu bisa berbuat hal sehina itu Aidil?" Dia menekan dadanya sambil menangis tergugu."Aku khilaf, Bu. Maaf!" Kini aku sudah bersimpuh di pangkuan Ibu.Ibu bergeming. Dia tidak mengusap kepalaku seperti biasanya, bahkan ia berusaha menjauh."Tolong Ibu jangan bilang dulu sa
Setelah menunggu cukup lama akhirnya mobil yang membawa Tante Sita dan Intan datang juga. Mataku tidak berhenti menatap saat pintu mobil terbuka dan sesosok wanita cantik berbalut kebaya putih dengan riasan sederhana tetapi membuat dia terlihat sangat memesona.“Jangan diliatin terus, puas-puasin nanti malam,” Om Erwin menyiku lenganku.Setelah Intan menandatangani surat Izin wali nikah, pak penghulu segera menikahkan kami. Tanganku bergetar hebat saat menjabat tangan laki-laki berseragam dinas itu dan mengucap janji suci di depan semua saksi.“Saya terima, nikah dan kawinnya Intan Karisa Kirana binti almarhum bapak Jaelani dengan mas kawin tersebut di bayar tunai!” Kuucap dengan lantang dan hanya dengan satu tarikan nafas, kemudian hadirin yang ada ramai gemuruh mengucap kata ‘sah’.Intan mencium punggung tanganku dan lekas kusematkan sebuah cincin emas yang dijadikan sebagai mas kawin. Kini wanita mungil di depanku sudah sah menjadi istriku. Intan tersenyum malu-malu saat aku menata
Dengan senyum terkembang di bibir mungilnya perempuan itu membuka kotak yang ia bawa dan duduk di meja makan. Ia lalu mengambil segelas air dan meneguknya hingga tandas.“Intan, kamu lagi ngapain?” tanyaku seraya mendekat ke arahnya.“Eh, Mas. Aku lapar, makanya makan roti yang kamu simpan di lemari” Dia menggigit bibir menatapku.“Ya sudah makan yang banyak, biar anak kita cepet besar!” titahku searaya menarik kursi lalu duduk di sebelahnya. Aku lihat dengan rakus ia menyantap roti yang ia ambil dari lemari, membuat diri ini tersenyum bahagia melihat pemandangan seperti itu.Dulu, si Ujo anak buahku suka bercerita, saat istrinya hamil suka sekali minta di beliin makanan yang aneh-aneh tengah malam. Istrinya juga katanya berubah jadi rakus dan doyan sekali makan. Mungkin sekarang Intan sedang dalam fase seperti istrinya Ujo karena kehamilannya sudah memasuki bulan ke lima dan janin di dalam perutnya pasti sudah mulai tumbuh besar.“Kok liatin aku seperti itu, Mas. Mau?” Dia menyodorka
“Rumah itu milik Ibuku, Bu. Dan Lubna tidak mempunyai hak sama sekali. Lagian Lubna sudah nggak ada!” tekanku sambil menatap mata Ibu yang mulai memerah menahan emosi.“Kamu itu benar-benar jahat Aidil. Otak kamu sudah dipengaruhi oleh istri kamu yang jahat itu. Pokoknya Ibu mau tinggal di sana setelah Wafa keluar dari rumah sakit!!” Ibu meninggikan nada bicaranya.Aku menghela nafas dalam-dalam kemudian mengembuskannya perlahan. Aku tidak mungkin mengizinkan Keluarga mendiang istriku tinggal di rumah Ibu, sebab itu bisa mengusik kebahagiaanku dan juga Intan. Aku tidak mau mengorbankan kebahagiaan Keluargaku demi orang lain."Kenapa Ibu tidak tinggal di rumah Radit, Bu? Ibu lupa ya, kalau Ibu pernah memenjarakanku sebelum kejadian ini. Bahkan Ibu bersekongkol dengan Radit untuk menghancurkan kebahagiaanku. Sekarang giliran susah, kenapa Ibu minta tolong sama aku, bukan kepada Radit?""Karena kamu menantu Ibu!" sentaknya.Aku memasang wajah datar menatap wanita yang teramat aku hormati
Suara tangis Arkana memecah keheningan serta membangunkanku dari lelapnya tidur. Karena kebiasaan burukku, setiap habis melaksanakan shalat wajib dua rakaat pasti kembali merebahkan bobot di atas tempat tidur.Gegas ku angkat tubuh malaikat kecilku yang kian bertambah montok dan terasa semakin berat. Intan benar-benar hebat. Dia kuat menggendong Arkana seharian, dan terkadang sambil mengerjakan pekerjaan lainnya.Sementara aku, baru beberapa menit menggendong tubuh bayi berusia tiga bulan ini, lenganku sudah terasa ngilu."Sama Ayah dulu ya, Bunda mau macak!" Intan menghampiri kami yang sedang duduk di kursi tengah lalu mencium pipi gembil putra kami."Ayahnya nggak dicium, Bun!" ucapku menggoda."Ayahnya nanti malam!" jawab Intan sembari melenggang pergi meninggalkan aku dan Arkana.Entah mengapa kali ini aku merasa mual saat mencium wangi masakan Intan. 'Ada apa denganku, apa aku sakit?' Aku bergumam sendiri dalam hati. "Loh, Mas. Kamu kenapa?" Intan mengusap lembut pipiku seraya
#Aidil.Aku masuk ke dalam mobil, menyalakan mesin kendaraan roda empat itu dan mengemudikannya menuju rumah orang tuanya Lubna. Aku ingin mencari tahu alasan kenapa mereka bekerja sama dengan Radit untuk menjebloskanku ke dalam penjara."Assalamualaikum!" Tok! Tok! Tok!Aku mengetuk pintu pagar rumah mantan mertuaku. Tidak lama kemudian Ibu keluar dan langsung membukakan pintu untukku."Ada apa, Aidil?" tanya Ibu seraya menatapku bengis."Saya mau bicara sama Ibu. Mengenai laporan Radit dan kehadiran Ibu serta Wafa di kantor polisi. Apa Ibu kerja sama dengan dia?" Aku menatap menghunus ke arah wanita berusia lebih dari setengah abad itu."Kalau iya memangnya kenapa, ada masalah?" sambung Wafa yang tiba-tiba sudah muncul dari balik pintu."Apa kalian lupa, Radit itu salah satu orang yang telah memperkosa Lubna. Kalian bukannya mempermasalahkan dia karena cepat bebas dari penjara, malah bekerja sama dengan orang yang telah menghancurkan masa depan keluarga kalian!" Hardikku menahan emo
Aku masih berdiri mematung di teras rumah sambil menghapus air mata yang berlomba-lomba jatuh dari pelupuk mataku. Jujur, walaupun aku marah dan kecewa sama Mas Aidil, tetapi aku tidak ingin dia dipenjara. Aku sangat mencintai dia dan sedang berusaha memaafkan kelakuan tidak bermoralnya itu.“Tan, Arkana nagis!” kata Ibu dengan intonasi sangat lembut, tetapi pendar di wajahnya terlihat berubah. Dia sepertinya ikut marah kepadaku.Aku masuk ke dalam, menyusui Arkana hingga putraku tertidur di pangkuan. Kutatap lekat-lekat wajah malaikat kecilku itu. Sangat tampan, persis seperti ayahnya.Dua bulir air bening kembali lolos dari pelupukku. Aku tidak bisa membayangkan jika nanti Mas Aidil harus ditahan dan aku akan berpisah dengan dia dalam waktu yang cukup lama. Membayangkannya saja diri ini sudah tidak sanggup, apalagi menjalaninya nanti.Aku menghela nafas panjang lalu meletakkan Arkana di atas kasur. Saat hendak keluar tiba-tiba kepalaku terasa pusing dan berputar-putar. Pandanganku
Intan mengerjapkan mata kemudian duduk membaca doa setelah tidur.“Sudah subuh, ayo sholat berjamaah. Mumpung kita masih bersama!” Sekuat tenaga menahan air mata supaya tidak tumpah di hadapan istriku.Wanita berkulit putih itu segera turun dari tempat tidur lalu masuk ke dalam kamar mandi.Huek! Huek!Terdengar suara Intan kembali muntah-muntah di kamar mandi. Aku segera menghampirinya, memijat tengkuknya dan mengelap keringat yang mulai menitik di dahi perempuan yang teramat aku cintai tersebut.“Nanti siang kita ke rumah sakit ya, Tan?” ucapku sembari terus memijat leher bagian belakang istriku.“Nggak usah, Mas. Aku nggak apa-apa, kok!” sahutnya pelan, hampir tidak terdengar.“Aku takut kamu kenapa-kenapa, Sayang. Soalnya sudah beberapa hari ini kamu sering muntah-muntah dan wajah kamu juga terlihat pucat sekali.”“Aku Cuma masuk angin doang, Mas. Aku nggak apa-apa!”“Tan, aku ingin kita kembali seperti dulu. Saling menyayangi dan melengkapi. Aku tidak mau kita terus-menerus seper
Intan menggigit bibir bawah. Buliran-buliran kristal perlahan mulai lolos dari mata indahnya, membuat jejak di pipi yang memerah karena menahan tangis.“Ma–maaf, aku Cuma syok aja, Mas. Karena ternyata orang yang aku anggap pelindung justru dialah yang telah menghancurkan hidupku. Hatiku hancur, Mas. Tolong izinkan aku untuk menenangkan diri!” kata Intan sambil menangis tergugu.Aku menarik tubuh mungil istriku ke dalam pelukan. Kami menangis berdua di kamar, dan aku sungguh menyesal karena dulu lebih mementingkan ego dari pada logika. Aku telah termakan hasutan syaitan yang justru sekarang menghancurkan hidupku.“Maafkan aku, Sayang. Sekali lagi aku minta maaf. Jika aku harus menebus kesalahan dengan nyawa juga aku siap, tapi jangan hukum aku seperti ini. Aku nggak sanggup!”Intan hanya menggeleng. Ia mempererat pelukannya sambil terus menghapus air mata.“Jangan diamkan aku, kalau kamu marah pukul saja aku, Intan. Aku tidak akan marah kalau kamu memukuli aku!”Istriku itu masih saja
Mas Aidil berlari mengambil alat pemadam api kemudian segera menyapukan isi APAR tersebut hingga api padam. Mengganggu kesenangan saja.“Nduk, istigfar Sayang.” Ibu mendekati lalu memeluk tubuh ini dan mengusap kepalaku.Aku hanya diam tanpa membalas pelukan wanita paruh baya itu, karena dia juga sudah membiarkan putranya membohongiku. Andai saja mereka jujur saat awal pertemuan, semuanya mungkin tidak terasa sakit seperti ini.“Minum dulu, Sayang!” Mas Aidil mengangsurkan segelas air putih. Aku menepis tangan suamiku hingga gelas yang ada di tangannya terlempar ke lantai dan pecah berantakan. Hancur berkeping-keping seperti perasaan ini.“Intan, kamu boleh marah sama aku. Tapi kamu jangan sakiti diri kamu sendiri, Intan. Aku tidak mau kamu terluka. Aku tidak mau melihat kamu seperti ini. Maaf, maafkan aku!” Dia berlutut, melingkarkan kedua tangannya di kaki.“Lepas, Mas. Tolong jangan sentuh aku lagi. Aku nggak mau!” Lirih aku berujar bagai angin yang berbisik di padang pasir.“Aku
“Wafa, apa maksud kamu?” Memberanikan diri untuk bertanya. “Kamu tanyakan saja sama suami kamu, biar dia yang menjelaskannya!” sahut wanita berparas cantik itu kemudian berlalu pergi meninggalkan kami. Aku menatap wajah Mas Aidil, dan air muka laki-laki itu tiba-tiba berubah menjadi gugup. Apa semua yang dikatakan Wafa itu benar? “Mas, apa maksud perkataan Wafa tadi?” Bukannya tidak percaya, tetapi harus mengklarifikasi sama supaya tidak menimbulkan fitnah. “Intan, Mas minta maaf!” Dia menangkup wajahku. Kini mata pria yang sudah setahun memberiku kebahagiaan itu sudah di penuhi kaca-kaca, dan tidak lama kemudian air bening nan asin tersebut mulai mengalir membasahi pipinya. Apa arti dari air mata itu. Benarkah Mas Aidil laki-laki yang sudah menodaiku seperti apa yang Wafa katakan? “Mas, tolong jawab. Apa maksud dari ucapan Wafa. Apa benar , Mas, kamu yang sudah melakukannya?” Sekuat tenaga mencoba mengurai kata, menahan air mata yang hendak luruh ke pipi. “Intan, Mas minta ma
Matahari masih malu-malu menampakkan pendar jingganya. Aku membuka hordeng kamar, membiarkan cahaya surya masuk melalui celah-celah jendela.Alisku bertaut ketika melihat setangkai bunga mawar tergeletak di atas meja dengan selembar kertas di bawahnya. Kuambil bunga berduri itu kemudian membaca isi surat tersebut.‘Happy wedding anniversary, Sayang. Semoga Allah selalu menjaga cinta dan hati kamu untukku. Jangan berhenti mengajarkan aku tentang akhlaq serta keikhlasan. Aku sangat bersyukur karena memiliki pendamping hidup seperti kamu. Semoga kita berjodoh hingga ke jannah.Dari lelaki penuh dengan kekurangan yang selalu mencintaimu’Aku menitikkan air mata membaca isi notes tersebut.Tidak lama kemudian terdengar suara derit pintu yang terbuka. Aku menoleh melihat siapa yang masuk. Mas Aidil tersenyum sambil terus menatapku.“Mas, terima kasih!” Aku langsung memeluknya, menumpahkan air mata yang sejak kemarin aku tahan. Ada bahagia serta luka di hati ini. Bahagia karena sang suami me