“Kamu tahu rasanya dikhianati?” Jovanka menolehkan kepalanya ke arah Revan. Dia meletakkan kepala di atas lutut. Pikirannya menerawang ke saat di mana ia masih sangat mengharapkan Revan di kehidupan pertamanya. “Aku juga pernah merasakan seperti itu. Sangat sakit, bukan?”Revan terdiam. Dia bahkan memalingkan wajah ke arah lain karena tahu yang dimaksud Jovanka adalah dirinya. Revan jadi semakin berpikir, apa ini karma baginya?Salahnya karena sudah mengabaikan Jovanka, dan bahkan menduakannya.“Saat itu, aku pikir seiring berjalannya waktu kamu akan luluh, karena aku memiliki perasaan yang tulus. Aku bahkan tidak peduli pada pandangan orang lain, dan setiap cemoohan mereka untukku. Karena ku pikir, ini adalah perjuangan ku untuk menggapai apa yang aku inginkan.” Jovanka terkekeh mentertawakan kebodohannya di masa lalu. “Tapi sekarang aku sadar, aku yang dulu sangat bodoh. Seharusnya aku tidak terlalu mencintainya. Aku harusnya lebih mencintai diriku sendiri. Sehingga akhirnya tidak a
Revan memastikan keadaan sekitar. Saat mengetahui jika keadaan aman, Revan menyuruh Jovanka untuk keluar dan segera menyusulnya.Mereka berjalan dengan hati-hati melewati dataran sempit yang bisa membawa mereka kembali ke tempat yang lebih aman. Revan berjalan lebih dulu karena ia harus memastikan jalan yang mereka lewati aman. Meski begitu, ia tetap memastikan Jovanka berada tak jauh darinya.“Hati-hati tergelincir,” ucap Revan mengingatkan.”Aku tahu,” sahut Jovanka. “Aku juga tidak ingin terjatuh dan bertemu mayat-mayat itu.”Revan melangkah ke dataran yang lebih tinggi. Dia berbalik untuk mengulurkan tangan pada Jovanka.“Pegang tanganku, Jo.”Jovanka menurut. Dia menjadi lebih mudah naik dengan bantuan Revan.Sekarang mereka aman karena telah berhasil melewati dataran sempit itu. Kini yang harus mereka lakukan hanya mencari jalan keluar dan menghindari orang-orang itu lagi.“Kemana kita harus pergi?” Jovanka melihat sekitar. Semua pohon di sekitarnya terlihat sama. Ia tidak tahu
Jem meringis kala kepalanya ditekan dengan kuat, sedangkan kedua tangannya dikunci di belakang tubuh. Jem ingin melawan dan memberontak, tapi orang-orang itu sepertinya memang bukan orang sembarangan. Kemampuan mereka luar biasa. Bahkan setiap mereka menembak, mereka selalu mampu mengenai targetnya dengan tepat.“Apa yang kamu pikirkan?” Suara seseorang terdengar bertanya padanya dengan nada yang sangat dingin. Jem merasa terintimidasi oleh aura yang orang itu keluarkan.“Menculik putriku, melecehkannya, dan berniat untuk membunuhnya. Sepertinya kalian memang ingin mengantarkan kematian kalian sendiri.”Rambut Jem ditarik kasar. Ia dipaksa untuk mendongak. Ada wajah Danial tepat di depannya. Seketika, Jem tercekat.Astaga, apa perempuan itu adalah putri pria itu? Jika ia tahu identitas perempuan itu, Jem tidak akan menerima tawaran ini sebelumnya.“Orang sepertimu berani mencari masalah dengan ku?” Danial mendengus sinis. Amarahnya berkumpul dan bergemuruh di dada. “Apa kamu tahu kons
Jovanka mengerjapkan matanya. Dia melirik tempat sekitarnya saat ini. Dia berada di rumah sakit. Aroma obat-obatan tercium dengan jelas.Seingat Jovanka terakhir kali, ia mengalami kecelakaan bersama Revan. Dan ia kehilangan kesadaran saat itu juga.Jovanka melirik seseorang yang tertidur di sisi ranjangnya. Walau orang itu menunduk, Jovanka bisa mengenalinya dengan baik. Dia Razka, kakaknya. Mungkin kah kakaknya itu yang datang menyelamatkannya?Jovanka bersyukur ia masih baik-baik saja sekarang. Ternyata Tuhan masih memberinya kesempatan hidup sekali lagi.Merasakan pergerakkan di sisinya, Jovanka melirik Razka yang sepertinya mulai terbangun. Apa Jovanka sudah mengganggu tidur kakaknya itu?“Engh,” gumam Razka, menggeliat. Dia bangun sembari mengucek sebelah matanya. Saat ia menyadari seseorang yang terduduk di depannya, Razka mengerjap tidak percaya. Kedua matanya seketika melebar.“Jovanka?!” pekik Razka. Dia menerjang memeluk adiknya. Dia sangat bahagia mengetahui adiknya telah
Savira berteriak marah sembari berpegangan erat pada jeruji yang menahannya.“Lepaskan aku!”Dia tidak terima harus ditahan seperti ini. Ia tidak melakukan kesalahan apapun. Yang ia lakukan sebelumnya hanyalah bersenang-senang bersama teman-temannya, itu tidak merugikan siapa pun. Para polisi itu tidak berhak menahannya seperti ini.“Aku tidak bersalah!”“Nona, diamlah. Anda tidak diperbolehkan untuk menimbulkan keributan seperti ini,” ucap salah satu sipir, menegur.“Aku tidak akan diam sebelum kalian melepaskan aku!” cecar Savira. Dia akan terus memberontak, karena ia tahu tidak seharusnya ia berada di tempat ini. Ini adalah sebuah kesalahan. Mereka pasti hanya salah orang. “Kenapa kalian menahan ku? Aku bahkan tidak melakukan kesalahan apapun.”Sipir itu menghela napas, mencoba sabar, “Saat kamu membuat pesta, teman-temanmu kebanyakan mengkonsumsi obat-obatan terlarang. Kamu tahu, ini masalah besar.”Untuk sesaat, Savira lupa caranya bernapas. Dia tidak mengira jika teman-temannya
Revan terbangun setelah lama tertidur dengan lelapnya. Ia berada di rumah sakit dengan sebuah alat pembantu pernapasan yang menempel di mulut dan hidungnya. Matanya bergerak menyusuri ruangan yang ia tempati saat ini.Tidak ada siapa pun.Bahkan orang tuanya sendiri tidak ada saat dia seperti ini.Terkadang Revan berpikir, apakah ada seseorang yang menginginkannya dalam hidup ini? Apakah ada yang menganggapnya berharga?Lalu, kilasan masa lalunya berputar. Tentang seorang gadis yang mengejarnya sejak dulu, Seorang gadis yang berusaha membuatnya membalas perasaan tulusnya. Ia tidak lelah dan tidak mudah menyerah. Meski Revan sudah menolak dengan terang-terangan membawa gadis lain sebagai kekasihnya. Dia tetap tersenyum dan berjuang untuknya.Air mata Revan menetes. Dia merasa begitu brengsek sebagai seorang laki-laki. Ia selalu mengharapkan seseorang yang tulus, tapi ia justru menyia-nyiakannya.Jovanka, perempuan itu sudah terlalu sering ia beri luka dan rasa pahit. Tidak heran jika i
“Dia sudah sadar?” tanya Jovanka. Ia berusaha menutupi kesenangan yang dirasanya. Jovanka cukup bersyukur akhirnya ia mendengarkan kabar yang ia tunggu sejak kemarin. Ia khawatir dengan keadaan Revan yang sudah cukup lama tidak sadarkan diri. Jovanka akan merasa bersalah jika karena dirinya, pria itu sampai kenapa-napa.“Iya,” jawab Razka dengan malas. Jika membicarakan pria yang sudah menyakiti adiknya itu, dia merasa tidak bersemangat. Jika bukan karena Ayahnya yang menahannya, Razka pasti akan mengambil kesempatan ini untuk menghajar pria itu.”Apa kamu mau menemuinya?”Razka tidak ingin egois, karena ia tahu adiknya sejak kemarin sangat mengkhawtirkan pria itu. Jadi dia bertanya apakah ia mau bertemu dengan Revan.“Aku-“ Jovanka ragu-ragu. Dia tidak yakin untuk bertemu Revan. Setelah banyak hal yang terjadi, dia merasa perlu mengambil keputusan. Apalagi dia mendengar jika kini Savira sudah mendekam di penjara. Ini bisa menjadi awal yang baru. Jovanka juga harus mengambil keputusan,
Jovanka diam-diam keluar dari kamar inapnya, dan menyelinap masuk ke kamar pria yang masih berstatus sebagai suaminya.Ia melihat Revan yang tertidur lelap di brankar rumah sakit. Jovanka berjalan mendekat. Dia beryukur mendapati pria itu baik-baik saja, kondisinya semakin hari pun semakin membaik. Jovanka tidak perlu lagi merasa khawatir. Tapi kenapa sulit sekali berhenti memikirkannya?Jovanka menghela napas. Setelah dirasa cukup baginya melihat keadaan pria itu, Jovanka memilih pergi.Tapi, ada tangan yang menarik tangannya hingga Jovanka nyaris terjatuh.Dia menoleh dan terkejut.Pria yang sejak tadi ia perhatikan kini terjaga.“Kenapa lama sekali?” tanyanya lemah. “Aku sudah lama menunggumu datang.”Revan membenarkan posisinya menjadi duduk di atas brankar. Tapi dia masih menahan tangan Jovanka, karena ia tidak ingin kehilangan istrinya itu.“Ku pikir kamu lupa padaku. Apa kamu memang sering menemuiku saat aku terlelap?”“Kamu terlalu percaya diri,” cibir Jovanka, mengelak. Dia t
Setelah badai, selalu ada pelangi. Jovanka pikir, kata-kata itu hanya omong kosong belaka. Karena sejak dulu kehidupannya selalu menyedihkan, tanpa ada setitik pun cahaya kebahagiaan di dalamnya. Tapi sekarang, setelah melalui semuanya, Jovanka sadar, memang semua ada saatnya. Ia yang telah lama berkubang dalam luka, berteman dengan rasa sakit, kini memiliki banyak kebahagiaan yang patut untuk disyukuri. Kehidupannya menjadi lebih indah. Di cuaca yang gelap sekali pun, ia selalu merasakan suasana hati yang cerah. Perceraian itu tidak pernah terjadi. Akhirnya setelah berhasil membuktikan kesungguhannya, Revan kembali padanya. Pria itu memperlakukan Jovanka dengan sangat baik. Ia memberikan begitu banyak cinta dan perhatian, hingga Jovanka merasa ia diperlakukan seperti perempuan paling istimewa. Pria itu terlalu sering memeluknya, dan kerap kali mencium keningnya. Revan tidak pernah absen melakukan hal kecil itu setiap hari. Tapi hal itu membuat perasaan Jovanka menghangat. Setiap h
Sudah tiga jam, tapi pembukaannya sama sekali tidak bertambah. Jovanka masih bertahan dengan rasa sakitnya. Sebisa mungkin ia berusaha menahan, tapi rasanya membuat ia semakin ingin melarikan diri dari rasa sakit ini.“Aku tidak tahan,” ucapnya dengan nada tertahan.“Bersabarlah, Nona. Ini sudah biasa dilalui setiap Ibu hamil. Sebentar lagi Anda akan segera menemui bayi kecil anda.” Seorang perawat yang bersamanya berusaha menghibur dan menenangkan.Meski begitu, Jovanka tidak merasa terbantu. Mereka semua yang berada di sana seolah tidak peduli pada rasa sakitnya. Andaikan saja di sini ada suaminya, Jovanka pasti akan sedikit memiliki kekuatan untuk melalui semua ini.“Sakit,” ringisnya.“Jika terlalu lama, kita terpaksa menyuntikkan obat perangsang supaya pembukaan bergerak dengan cepat. Tapi, rasa sakit yang Anda rasakan akan semakin kuat.” Seorang dokter yang menanganinya bertanya dengan keputusannya.Tapi, Jovanka tidak bisa memberikan jawaban. Ia malah ingin menangis. Ia memang
“Tuan Razka.”Razka menyorot tajam seseorang yang menerobos masuk ke ruang kerjanya tanpa permisi. Ia bahkan tidak mendengar suara ketukan pintu sebelumnya.“Kamu pikir ini rumahmu? Bisa seenaknya saja masuk sembarang.”“Maafkan aku, tuan.” Anak buahnya itu menunduk merasa bersalah. Ia juga takut akan menerima murka tuannya itu. Tapi saat ini ia terlalu panik hingga tidak bisa memikirkan apa yang ia lakukan. Ia berharap tuannya tidak mempermasalahkan kesalahan kecil yang ia lakukan ini. “Aku … membawa kebar penting.”“Kabar apa?” Razka bertanya dengan wajahnya yang masih menunjukkan kekesalan. “Jika tidak benar-benar penting menurutku, maka bersiaplah kehilangan pekerjaanmu.”Keringan dingin langsung bercucuran di wajah pria itu. Ekspresi wajahnya bahkan sudah sangat pucat.“Aku-““Bicaralah sebelum kesabaranku habis!” bentak Razka. Ia sudah sangat kesal dengan sikap anak buahnya itu, dan sekarang ia masih harus diuji kesabaran dengan mendengar nada bicaranya yang mendadak gagu.“No-n
“Awalnya memang sangat mengecewakan. Aku bahkan sempat berpikir dia tidak akan berhasil. Tapi sedikit demi sedikit dia mulai berubah. Dia mulai mengerti dan mau berusaha. Pekerjaannya menjadi semakin baik.”Danial mendengarkan laporan dari anak buahnya yang ia kirimkan untuk berada di sisi Revan. Dari orang itulah ia bisa mengetahui tentang perkembangan Revan.Bukan hanya membantu dan mengawasi, pria itu juga bertugas mengajari Revan tentang semua hal yang tidak ia ketahui. Dia dituntut untuk membuat Revan berkembang.“Berapa lama waktu yang ia butuhkan?” tanya Danial memastikan. Meski ia terlihat santai, bukan berarti dia tidak memikirkan putrinya. Danial pun mengawasi secara ketat tentang perkembangan Revan di sana. Ia juga ingin pria itu segera menyelesaikan pekerjaannya dan kembali ke sini untuk menemani putrinya.“Sejauh ini, semua sudah ditangani dengan baik, Tuan. Perusahaan sudah berjalan dengan normal seperti semula.”Senyum di wajah Danial terlukis. Ia benar-benar lega mende
Razka membuka pintu ruang kerja Ayahnya dengan kasar. Suara yang ia timbulkan bisa membuat orang yang mendengarnya terkejut. Tapi Danial yang berada di dalam tidak terlihat terusik sedikit pun. Ia masih berkutat dengan pekerjaannya.“Ayah.” Razka memanggil. Dia meletakkan kedua tangannya di meja, tepat di depan pria itu. Pandangannya terlihat menahan marah. Sepertinya Razka datang dalam suasana hati yang tidak begitu baik.“Ada apa?” sahut Danial terdengar dingin.“Kenapa Ayah masih bisa santai seperti ini?” tanya Razka geram. Ia mencoba menahan diri untuk tidak melempar semua benda yang ada di meja kerja Ayahnya itu. Namun, entah sampai kapan ia akan kuat menahan emosinya.“Memang aku harus bagaimana?” Danial menyahut dengan santai. Dia melepas kaca mata di wajahnya, dan mengelapnya sebentar. Dia melirik ke arah Razka yang masih tampak sangat marah.Putra sulungnya itu mendengus kasar.“Ini sudah berbulan-bulan, dan Adikku sebentar lagi akan melahirkan. Apa pria brengsek itu masih be
Jovanka terjaga. Dia melihat tempat ia berada saat ini. Ia berada di rumah sakit. Rasanya tidak mengherankan, karena sejak ia mengandung, tempat ini menjadi lebih sering ia kunjungi.“Bagaimana keadaanmu, nak?”Suara Ayahnya mengejutkannya. Dia melihat pria itu mendekat.“Aku baik-baik saja, Ayah,” jawab Jovanka seadanya.“Ibumu sudah ku beri peringatan.” Danial sedikit menyesal membiarkan Jovanka pergi bersama Mona. Seharusnya ia saja yang menemani putrinya berbelanja. Meski antusias menyambut cucu pertamanya, Danial tidak mungkin sampai melupakan kondisi putrinya sendiri.“Aku tidak apa-apa, Ayah. Jangan marah pada Ibu,” ucap Jovanka menenangkan. Dia tidak ingin hubungan Ayah dan Ibunya memburuk hanya karena dirinya. Jovanka ingin saat anak pertamanya lahir, semua orang bisa menyambutnya dengan gembira. Dia tidak ingin ada masalah yang terjadi sebelum itu semua.Lagi pula ia mengerti, Ibunya hanya terlalu bersemangat menyambut cucu pertamanya.“Dia sudah keterlaluan, Jovanka. Jangan
Saat ini Jovanka sedang berada di Mall. Ia bersama Ibunya tengah berbelanja kebutuhan bayi. Dimulai dari pakaian juga perlengkapan lainnya. Banyak barang yang dibeli olehnya. Tentu bukan Jovanka yang meminta, tapi Ibunya yang membeli semua itu, semua barang yang sebenarnya hanya bisa dipakai selama beberapa bulan. Apakah dia lupa jika seorang bayi akan mudah tumbuh besar? Jovanka sampai sakit kepala melihat Ibunya yang begitu antusias membeli semuanya.“Ibu, sudah cukup. Ini saja sudah banyak.” Jovanka mencoba menghentikan Ibunya. Saat ini barang di tangan pengawal yang ikut bersama mereka sudah terlihat begitu menumpuk. Padahal mereka hanya membeli kebutuhan untuk seorang makhluk kecil, kenapa belanjaan mereka bisa sebanyak ini? Jovanka sendiri tidak habis pikir.“Tapi kita masih belum membeli semuanya. Lihat! Kita bahkan belum membeli ranjang untuk cucuku,” seru Mona. Dengan semangat ia pergi ke bagian furniture dan mencari ranjang bayi di sana.Jovanka menghela napas. Ibunya bahkan
Jovanka sudah melalui beberapa bulan kehamilannnya. Awalnya memang terasa merepotkan. Terlebih, ia mengalami morning sickness di bulan kedua kehamilannya. Dia tidak bisa mencium bau yang menyengat. Bahkan tidak banyak makanan yang bisa ia konsumsi. Rasanya segala macam makanan yang biasa ia makan sebelum hamil tidak bisa lagi diterima perutnya. Jovanka paling-paling hanya mengkonsumsi buah dan biskuit. Untuk memastikan ia tidak kekurangan nutrisi, Jovanka juga rutin mengkonsumsi vitamin yang diresepkan dokter, juga tidak lupa meminum susu ibu hamil.Setiap bulan ia akan melakukan pemeriksaan kandungan, di mana saat itu keluarganya selalu berebut untuk mengantarnya ke rumah sakit. Alhasil, Jovanka berangkat bersama mereka semua.Saat ini usia kandungannya sudah menginjak trimester kedua. Banyak makanan yang ia inginkan, dan kakaknya selalu berjuang untuk mendapatkannya, sekali pun itu sulit. Hingga ia harus mengerahkan banyak anak buahnya untuk berpencar.Baru kali ini fenomena ibu ham
Saat ini Jovanka mendapat kunjungan dari teman-temannya. Dia merasa sedikit terhibur dengan adanya mereka. Terkadang, jika hanya bersama keluarganya, tidak banyak topik yang bisa ia bicarakan. Keluarganya hanya memberi terlalu banyak perhatian. Tapi tidak begitu bisa diajak melakukan obrolan yang menyenangkan.“Aku tidak percaya kamu benar-benar hamil.” Gilda sangat terkejut mendengar kabar ini pertama kali. Ia bahkan sempat mengira Jovanka berbohong padanya. Tapi saat ia melihat sendiri bagaimana kondisi temannya itu, ia mulai percaya dengan apa yang ia katakan. “Kapan kalian melakukannya?”“Itu juga yang ingin aku tanyakan,” timpal Kate.Hal yang paling mengherankan dari semua itu memang alasan mengapa Jovanka bisa sampai mengandung anak Revan, sedangkan Jovanka sendiri sebelumnya sangat enggan berhubungan dengan pria itu.Mereka jadi curiga, apa Revan memperkosa Jovanka?“Jangan berpikir yang tidak-tidak.” Jovanka sepertinya bisa menebak apa yang teman-temannya pikirkan, karena ia