Jovanka memutuskan untuk menemui Razka hari ini. Dia membutuhkan seseorang yang bisa membuat suasana hatinya membaik. Setelah hari yang ia lalui dengan Revan, perasaan Jovanka semakin kacau. Jika Jovanka bertemu dengan kakaknya, mungkin dia bisa merasa lebih baik.“Jovanka?”Jovanka berhenti dan menoleh pada seseorang yang baru saja menyerukan namanya. Dia melihat seseorang yang terlihat tak asing.Jovanka terdiam sesaat, berusaha mengingat siapa orang itu.“Kamu lupa padaku?” Orang itu sepertinya menyadari raut wajah kebingungan Jovanka. “Astaga, padahal aku selalu mengingat tentangmu.”“Aku tidak asing dengan wajahmu, tapi aku tidak ingat siapa namamu. Maaf.” Jovanka berkata dengan jujur.Orang itu tertawa, tidak merasa tersinggung sama sekali.“Kamu perempuan yang unik.” Dia memuji sikap Jovanka yang terus terang. Jarang sekali ada yang memiliki sikap seperti perempuan di depannya ini. Tapi, ia menyukainya. “Aku Farell.”Jovanka mengingatnya sekarang. Pria itu adalah orang yang sud
“Apakah dia suami adikmu?” tanya Farel pada Razka.Razka mengangguk dengan enggan. Walau dia tidak mau menggakui Revan, kenyataannya pria itu tetaplah suami adiknya.“Tidak akan lama.”Farel termenung sesaat, “Apa mereka akan bercerai?”“Ya. Doakan saja semoga aku berhasil membongkar kebusukan bajingan itu,” desis Razka menahan emosi.Sejak dulu, Razka tidak pernah menyukai Revan. Sejak masa dimana Jovanka masih menjadi gadis bodoh yang mengejar-ngejar pria itu. Revan bisa-bisanya membuat Jovanka mengemis seperti itu. Bukannya bersyukur pria jelek sepertinya bisa dicintai oleh adik Razka yang cantik, dia malah memilih mengabaikan Jovanka dan menyakitinya.Razka tidak pernah menyetujui hubungan mereka. Tapi, dia tidak bisa melawan keputusan ayahnya. Razka juga kesal dengan sang ayah yang bisa-bisanya mempercayakan Jovanka pada pria brengsek seperti Revan. Bukannya bahagia, Jovanka justru terlihat memendam beban batin yang cukup berat.“Kenapa?” Farel menyadari ekspresi Razka yang tidak
Savira semakin tidak sabar. Setiap hari waktunya hanya terbuang untuk menunggu Revan memenuhi janjinya. Tapi, dia masih belum mengatakan apapun. Revan bungkam, dan tidak membicarakan perihal pernikahan yang sudah dia janjikan.“Revan, kita harus bicara.”Savira tidak akan melepaskan Revan, sekalipun pria itu terasa mempermainkannya. Savira akan terus mengejar Revan hingga keinginannya bisa terwujudkan.“Aku sedang sibuk, Savira,” jawab Revan tanpa menoleh ke arah Savira. Pekerjaannya sedang banyak saat ini.“Sampai kapan kamu mau menghindar?” tanya Savira dengan nada yang meninggi.Revan menghela napas kasar. Jika dibiarkan pun Savira pasti akan menimbulkan keributan. Disaat pekerjaan Revan tengah sangat banyak saat ini, dia tidak punya pilihan lain selain menghadapi Savira lebih dulu, sebelum kekasihnya itu membuat kacau pekerjaannya.“Apa lagi?”“Kamu masih bertanya?” Savira mendengus tidak percaya. “Sudah berapa lama ini, Revan? Aku lelah menunggu.”Revan berjanji tidak akan lama.
Jovanka bersembunyi di samping tembok yang menghubungkannya dengan ruang dapur. Dia mencuri dengar suara Revan yang tengah mengobrol dengan seseorang lewat telepon. Jika disimak lebih jeli, sepertinya Revan tengah membahas sesuatu seputar persiapan pernikahan.Jovanka termenung. Apa ini sudah waktunya?Senyum miris terukir di bibirnya, dia merasa begitu menyedihkan. Bahkan di kehidupan keduanya ini, Jovanka tetap tersisihkan oleh perempuan lain.Walau berusaha tidak peduli, tapi rasanya hatinya tetap merasakan sakit. Dia memutuskan untuk pergi dari pada mendengarkan pembicaraan Revan lebih lama.Revan menoleh ketika merasakan kehadiran seseorang. Tapi, ketika dia mengedarkan pandangan, tidak ada siapapun yang terlihat.Apa mungkin Jovanka?Tapi, istrinya itu tengah terlelap di kamar tidurnya. Revan yang memastikan sendiri sebelum ia menelepon. Karena Revan tidak ingin Jovanka tahu jika ia akan segera menikahi Savira. Revan tidak berniat menyembunyikannya, dia hanya akan memberitahu Jo
Razka begitu bersemangat saat Ayahnya menyuruhnya untuk segera menjemput Jovanka di rumahnya. Hari ini, kebusukan Revan telah terbongkar. Razka tidak tahu pasti bagaimana Ayahnya membalas Revan, yang jelas pria itu langsung meneleponnya dan menyuruh Razka untuk menjemput adiknya.“Kakak, sebenarnya ada apa?” Jovanka terlihat bingung. Tiba-tiba saja kakaknya datang dan menyuruhnya berkemas dengan cepat.“Tidak ada waktu untuk menjelaskan. Sebaiknya kita cepat pergi sebelum si brengsek itu datang kemari,” balas Razka dengan terburu-buru.Dia menarik tangan Jovanka dan membawanya segera pergi. Tapi sebelum mereka memasuki mobil, Revan datang mengendarai mobilnya. Dia dengan segera mendatangi tempat Razka untuk menahan kepergian Jovanka.“Jangan bawa istriku!” seru Revan terdengar marah.Razka menyembunyikan Jovanka di balik punggungnya. Dia pasang badan untuk melindungi adiknya. Razka tidak akan lagi membiarkan Revan mendekati Jovanka setelah apa yang ia lakukan.“Lepaskan dia, Razka!” t
Razka melirik adiknya yang duduk dengan ekspresi tenang di sampingnya. Sejak tadi, mereka sama sekali tidak terlibat obrolan apapun. Suasana mobil hanya diisi oleh hening. Bukan tidak ingin mengajak adiknya bicara, Razka hanya khawatir Jovanka sedang tidak ingin diajak bicara setelah kejadian beberapa saat lalu. Tapi, keheningan ini membuatnya merasa resah. Dia penasaran apa yang tengah dipikirkan Jovanka. Apakah dia menyesal karena mengikuti Razka untuk pergi meninggalkan suaminya? Apakah Jovanka kecewa pada keputusan yang dibuat Razka dan juga Ayah mereka? Razka tidak bisa berpikir jernih. Otaknya mendadak kacau hanya karena memikirkan kemungkinan adiknya merasakan kecewa padanya. Pada akhirnya ia tidak bisa tahan untuk tidak bertanya. "Apa kamu baik-baik saja?" tanya Razka hati-hati. Walau dia merasa takut mendengar jawaban Jovanka yang bisa saja membuat hatinya mengalami keretakan, Razka tetap ingin mengetahui apa yang sebenarnya Jovanka rasakan. "Aku baik," jawab Jovanka tanp
Ketika mendengar suara mobil, Danial segera berdiri untuk menyambut kedatangan putrinya. Dia melihat Jovanka yang turun dari mobil Razka. Danial tidak menunggu mereka tiba di tempatnya, ia memilih untuk mendekat menghampiri mereka."Jovanka," panggilnya."Ayah," gumam Jovanka.Danial tidak memperdulikan raut wajah kebingungan putrinya. Dia berhambur memeluk putrinya itu. Rasa sesal benar-benar melingkupi hatinya. Dia merasa gagal karena telah memaksakan kehendaknya dan tidak mendengar pendapat dari putra putrinya. Danial memaksa Jovanka menjalani pernikahan yang tidak ia inginkan. Berpikir jika ia telah memilihkan calon yang tepat dan bisa membuat putrinya itu bahagia. Tapi Danial benar-benar salah. Pria itu justru berkhianat dan menyakiti putrinya."Maafkan Ayah, putriku," ucap Danial menyesal. Dia mengusap rambut Jovanka, dan mengecupi kepalanya dengan sayang. Jovanka adalah putri yang sangat ia sayangi. Tapi dengan beraninya Revan menyakitinya. Dia berani menduakannya. Danial berja
Jovanka masuk ke kamarnya yang sudah lama ia tinggalkan. Suasana kamar itu masih sama. Dia mengedarkan pandangan meneliti setiap ruangan. Aroma bunga tercium begitu menenangkan rongga dada. Keadaan kamar sangat bersih dan rapi, belum rasa nyaman yang terasa ketika pertama kali Jovanka menginjakkan kaki ke sana. Rasanya dia ingin segera kembali berbaring di ranjang miliknya itu.Sadar dirinya tidak sendiri, Jovanka berbalik dan menatap Ibunya.Wanita itu tersenyum lembut. Dia mengangkat tangannya, mengusap wajah Jovanka dengan hati-hati. Ada air mata di sudut matanya. Dia menatap putrinya dengan pandangan penuh arti."Maafkan Ibu, Nak." Mona benar-benar menyesal. Dia tidak tahu jika Revan tidak sebaik yang ia kira. Mona hanya tahu, putrinya sangat mencintai pria itu. Mona pikir, dengan menikahkan mereka, lambat laun Revan akan tahu ketulusan Jovanka dan berbalik mencintainya. Tapi, siapa yang menduga jika setelah mereka menikah tidak ada perubahan yang terjadi. Justru Revan dengan sang