Revan masuk ke dalam kamar Jovanka. Ruangan itu terlihat sangat redup. Jovanka mungkin tidak menyukai kamar yang terlalu terang saat ia tengah tertidur. Kebiasaan ini tidak jauh berbeda dengan Revan. Hanya saja dia terbiasa menyalakan lampu tidurnya, sedangkan Jovanka membiarkan seluruh ruang kamarnya dimakan gelap. Untungnya dia masih bisa berjalan menuju ranjang istrinya itu. Dia melihat Jovanka yang berbaring memunggunginya.Ini pertama kalinya Revan masuk ke kamar perempuan itu. Jovanka selalu waspada padanya, karena itu dia selalu mengunci kamarnya sebelum tidur. Tapi kali ini dia membuat Revan bisa menyelinap dengan mudah. Sepertinya Jovanka lupa untuk mengunci pintu kamarnya seperti biasa.Revan tidak memiliki maksud apapun masuk ke kamar Jovanka seperti ini, dia hanya ingin melihat wajah terlelap istrinya. Setiap ada kesempatan, mereka tidak pernah bicara dengan baik. Jovanka seolah membuat benteng di tengah-tengah mereka.Rasanya Revan ingin membuat Jovanka seperti dulu lagi.
Jovanka memutuskan untuk menemui Razka hari ini. Dia membutuhkan seseorang yang bisa membuat suasana hatinya membaik. Setelah hari yang ia lalui dengan Revan, perasaan Jovanka semakin kacau. Jika Jovanka bertemu dengan kakaknya, mungkin dia bisa merasa lebih baik.“Jovanka?”Jovanka berhenti dan menoleh pada seseorang yang baru saja menyerukan namanya. Dia melihat seseorang yang terlihat tak asing.Jovanka terdiam sesaat, berusaha mengingat siapa orang itu.“Kamu lupa padaku?” Orang itu sepertinya menyadari raut wajah kebingungan Jovanka. “Astaga, padahal aku selalu mengingat tentangmu.”“Aku tidak asing dengan wajahmu, tapi aku tidak ingat siapa namamu. Maaf.” Jovanka berkata dengan jujur.Orang itu tertawa, tidak merasa tersinggung sama sekali.“Kamu perempuan yang unik.” Dia memuji sikap Jovanka yang terus terang. Jarang sekali ada yang memiliki sikap seperti perempuan di depannya ini. Tapi, ia menyukainya. “Aku Farell.”Jovanka mengingatnya sekarang. Pria itu adalah orang yang sud
“Apakah dia suami adikmu?” tanya Farel pada Razka.Razka mengangguk dengan enggan. Walau dia tidak mau menggakui Revan, kenyataannya pria itu tetaplah suami adiknya.“Tidak akan lama.”Farel termenung sesaat, “Apa mereka akan bercerai?”“Ya. Doakan saja semoga aku berhasil membongkar kebusukan bajingan itu,” desis Razka menahan emosi.Sejak dulu, Razka tidak pernah menyukai Revan. Sejak masa dimana Jovanka masih menjadi gadis bodoh yang mengejar-ngejar pria itu. Revan bisa-bisanya membuat Jovanka mengemis seperti itu. Bukannya bersyukur pria jelek sepertinya bisa dicintai oleh adik Razka yang cantik, dia malah memilih mengabaikan Jovanka dan menyakitinya.Razka tidak pernah menyetujui hubungan mereka. Tapi, dia tidak bisa melawan keputusan ayahnya. Razka juga kesal dengan sang ayah yang bisa-bisanya mempercayakan Jovanka pada pria brengsek seperti Revan. Bukannya bahagia, Jovanka justru terlihat memendam beban batin yang cukup berat.“Kenapa?” Farel menyadari ekspresi Razka yang tidak
Savira semakin tidak sabar. Setiap hari waktunya hanya terbuang untuk menunggu Revan memenuhi janjinya. Tapi, dia masih belum mengatakan apapun. Revan bungkam, dan tidak membicarakan perihal pernikahan yang sudah dia janjikan.“Revan, kita harus bicara.”Savira tidak akan melepaskan Revan, sekalipun pria itu terasa mempermainkannya. Savira akan terus mengejar Revan hingga keinginannya bisa terwujudkan.“Aku sedang sibuk, Savira,” jawab Revan tanpa menoleh ke arah Savira. Pekerjaannya sedang banyak saat ini.“Sampai kapan kamu mau menghindar?” tanya Savira dengan nada yang meninggi.Revan menghela napas kasar. Jika dibiarkan pun Savira pasti akan menimbulkan keributan. Disaat pekerjaan Revan tengah sangat banyak saat ini, dia tidak punya pilihan lain selain menghadapi Savira lebih dulu, sebelum kekasihnya itu membuat kacau pekerjaannya.“Apa lagi?”“Kamu masih bertanya?” Savira mendengus tidak percaya. “Sudah berapa lama ini, Revan? Aku lelah menunggu.”Revan berjanji tidak akan lama.
Jovanka bersembunyi di samping tembok yang menghubungkannya dengan ruang dapur. Dia mencuri dengar suara Revan yang tengah mengobrol dengan seseorang lewat telepon. Jika disimak lebih jeli, sepertinya Revan tengah membahas sesuatu seputar persiapan pernikahan.Jovanka termenung. Apa ini sudah waktunya?Senyum miris terukir di bibirnya, dia merasa begitu menyedihkan. Bahkan di kehidupan keduanya ini, Jovanka tetap tersisihkan oleh perempuan lain.Walau berusaha tidak peduli, tapi rasanya hatinya tetap merasakan sakit. Dia memutuskan untuk pergi dari pada mendengarkan pembicaraan Revan lebih lama.Revan menoleh ketika merasakan kehadiran seseorang. Tapi, ketika dia mengedarkan pandangan, tidak ada siapapun yang terlihat.Apa mungkin Jovanka?Tapi, istrinya itu tengah terlelap di kamar tidurnya. Revan yang memastikan sendiri sebelum ia menelepon. Karena Revan tidak ingin Jovanka tahu jika ia akan segera menikahi Savira. Revan tidak berniat menyembunyikannya, dia hanya akan memberitahu Jo
Razka begitu bersemangat saat Ayahnya menyuruhnya untuk segera menjemput Jovanka di rumahnya. Hari ini, kebusukan Revan telah terbongkar. Razka tidak tahu pasti bagaimana Ayahnya membalas Revan, yang jelas pria itu langsung meneleponnya dan menyuruh Razka untuk menjemput adiknya.“Kakak, sebenarnya ada apa?” Jovanka terlihat bingung. Tiba-tiba saja kakaknya datang dan menyuruhnya berkemas dengan cepat.“Tidak ada waktu untuk menjelaskan. Sebaiknya kita cepat pergi sebelum si brengsek itu datang kemari,” balas Razka dengan terburu-buru.Dia menarik tangan Jovanka dan membawanya segera pergi. Tapi sebelum mereka memasuki mobil, Revan datang mengendarai mobilnya. Dia dengan segera mendatangi tempat Razka untuk menahan kepergian Jovanka.“Jangan bawa istriku!” seru Revan terdengar marah.Razka menyembunyikan Jovanka di balik punggungnya. Dia pasang badan untuk melindungi adiknya. Razka tidak akan lagi membiarkan Revan mendekati Jovanka setelah apa yang ia lakukan.“Lepaskan dia, Razka!” t
Razka melirik adiknya yang duduk dengan ekspresi tenang di sampingnya. Sejak tadi, mereka sama sekali tidak terlibat obrolan apapun. Suasana mobil hanya diisi oleh hening. Bukan tidak ingin mengajak adiknya bicara, Razka hanya khawatir Jovanka sedang tidak ingin diajak bicara setelah kejadian beberapa saat lalu. Tapi, keheningan ini membuatnya merasa resah. Dia penasaran apa yang tengah dipikirkan Jovanka. Apakah dia menyesal karena mengikuti Razka untuk pergi meninggalkan suaminya? Apakah Jovanka kecewa pada keputusan yang dibuat Razka dan juga Ayah mereka? Razka tidak bisa berpikir jernih. Otaknya mendadak kacau hanya karena memikirkan kemungkinan adiknya merasakan kecewa padanya. Pada akhirnya ia tidak bisa tahan untuk tidak bertanya. "Apa kamu baik-baik saja?" tanya Razka hati-hati. Walau dia merasa takut mendengar jawaban Jovanka yang bisa saja membuat hatinya mengalami keretakan, Razka tetap ingin mengetahui apa yang sebenarnya Jovanka rasakan. "Aku baik," jawab Jovanka tanp
Ketika mendengar suara mobil, Danial segera berdiri untuk menyambut kedatangan putrinya. Dia melihat Jovanka yang turun dari mobil Razka. Danial tidak menunggu mereka tiba di tempatnya, ia memilih untuk mendekat menghampiri mereka."Jovanka," panggilnya."Ayah," gumam Jovanka.Danial tidak memperdulikan raut wajah kebingungan putrinya. Dia berhambur memeluk putrinya itu. Rasa sesal benar-benar melingkupi hatinya. Dia merasa gagal karena telah memaksakan kehendaknya dan tidak mendengar pendapat dari putra putrinya. Danial memaksa Jovanka menjalani pernikahan yang tidak ia inginkan. Berpikir jika ia telah memilihkan calon yang tepat dan bisa membuat putrinya itu bahagia. Tapi Danial benar-benar salah. Pria itu justru berkhianat dan menyakiti putrinya."Maafkan Ayah, putriku," ucap Danial menyesal. Dia mengusap rambut Jovanka, dan mengecupi kepalanya dengan sayang. Jovanka adalah putri yang sangat ia sayangi. Tapi dengan beraninya Revan menyakitinya. Dia berani menduakannya. Danial berja
Setelah badai, selalu ada pelangi. Jovanka pikir, kata-kata itu hanya omong kosong belaka. Karena sejak dulu kehidupannya selalu menyedihkan, tanpa ada setitik pun cahaya kebahagiaan di dalamnya. Tapi sekarang, setelah melalui semuanya, Jovanka sadar, memang semua ada saatnya. Ia yang telah lama berkubang dalam luka, berteman dengan rasa sakit, kini memiliki banyak kebahagiaan yang patut untuk disyukuri. Kehidupannya menjadi lebih indah. Di cuaca yang gelap sekali pun, ia selalu merasakan suasana hati yang cerah. Perceraian itu tidak pernah terjadi. Akhirnya setelah berhasil membuktikan kesungguhannya, Revan kembali padanya. Pria itu memperlakukan Jovanka dengan sangat baik. Ia memberikan begitu banyak cinta dan perhatian, hingga Jovanka merasa ia diperlakukan seperti perempuan paling istimewa. Pria itu terlalu sering memeluknya, dan kerap kali mencium keningnya. Revan tidak pernah absen melakukan hal kecil itu setiap hari. Tapi hal itu membuat perasaan Jovanka menghangat. Setiap h
Sudah tiga jam, tapi pembukaannya sama sekali tidak bertambah. Jovanka masih bertahan dengan rasa sakitnya. Sebisa mungkin ia berusaha menahan, tapi rasanya membuat ia semakin ingin melarikan diri dari rasa sakit ini.“Aku tidak tahan,” ucapnya dengan nada tertahan.“Bersabarlah, Nona. Ini sudah biasa dilalui setiap Ibu hamil. Sebentar lagi Anda akan segera menemui bayi kecil anda.” Seorang perawat yang bersamanya berusaha menghibur dan menenangkan.Meski begitu, Jovanka tidak merasa terbantu. Mereka semua yang berada di sana seolah tidak peduli pada rasa sakitnya. Andaikan saja di sini ada suaminya, Jovanka pasti akan sedikit memiliki kekuatan untuk melalui semua ini.“Sakit,” ringisnya.“Jika terlalu lama, kita terpaksa menyuntikkan obat perangsang supaya pembukaan bergerak dengan cepat. Tapi, rasa sakit yang Anda rasakan akan semakin kuat.” Seorang dokter yang menanganinya bertanya dengan keputusannya.Tapi, Jovanka tidak bisa memberikan jawaban. Ia malah ingin menangis. Ia memang
“Tuan Razka.”Razka menyorot tajam seseorang yang menerobos masuk ke ruang kerjanya tanpa permisi. Ia bahkan tidak mendengar suara ketukan pintu sebelumnya.“Kamu pikir ini rumahmu? Bisa seenaknya saja masuk sembarang.”“Maafkan aku, tuan.” Anak buahnya itu menunduk merasa bersalah. Ia juga takut akan menerima murka tuannya itu. Tapi saat ini ia terlalu panik hingga tidak bisa memikirkan apa yang ia lakukan. Ia berharap tuannya tidak mempermasalahkan kesalahan kecil yang ia lakukan ini. “Aku … membawa kebar penting.”“Kabar apa?” Razka bertanya dengan wajahnya yang masih menunjukkan kekesalan. “Jika tidak benar-benar penting menurutku, maka bersiaplah kehilangan pekerjaanmu.”Keringan dingin langsung bercucuran di wajah pria itu. Ekspresi wajahnya bahkan sudah sangat pucat.“Aku-““Bicaralah sebelum kesabaranku habis!” bentak Razka. Ia sudah sangat kesal dengan sikap anak buahnya itu, dan sekarang ia masih harus diuji kesabaran dengan mendengar nada bicaranya yang mendadak gagu.“No-n
“Awalnya memang sangat mengecewakan. Aku bahkan sempat berpikir dia tidak akan berhasil. Tapi sedikit demi sedikit dia mulai berubah. Dia mulai mengerti dan mau berusaha. Pekerjaannya menjadi semakin baik.”Danial mendengarkan laporan dari anak buahnya yang ia kirimkan untuk berada di sisi Revan. Dari orang itulah ia bisa mengetahui tentang perkembangan Revan.Bukan hanya membantu dan mengawasi, pria itu juga bertugas mengajari Revan tentang semua hal yang tidak ia ketahui. Dia dituntut untuk membuat Revan berkembang.“Berapa lama waktu yang ia butuhkan?” tanya Danial memastikan. Meski ia terlihat santai, bukan berarti dia tidak memikirkan putrinya. Danial pun mengawasi secara ketat tentang perkembangan Revan di sana. Ia juga ingin pria itu segera menyelesaikan pekerjaannya dan kembali ke sini untuk menemani putrinya.“Sejauh ini, semua sudah ditangani dengan baik, Tuan. Perusahaan sudah berjalan dengan normal seperti semula.”Senyum di wajah Danial terlukis. Ia benar-benar lega mende
Razka membuka pintu ruang kerja Ayahnya dengan kasar. Suara yang ia timbulkan bisa membuat orang yang mendengarnya terkejut. Tapi Danial yang berada di dalam tidak terlihat terusik sedikit pun. Ia masih berkutat dengan pekerjaannya.“Ayah.” Razka memanggil. Dia meletakkan kedua tangannya di meja, tepat di depan pria itu. Pandangannya terlihat menahan marah. Sepertinya Razka datang dalam suasana hati yang tidak begitu baik.“Ada apa?” sahut Danial terdengar dingin.“Kenapa Ayah masih bisa santai seperti ini?” tanya Razka geram. Ia mencoba menahan diri untuk tidak melempar semua benda yang ada di meja kerja Ayahnya itu. Namun, entah sampai kapan ia akan kuat menahan emosinya.“Memang aku harus bagaimana?” Danial menyahut dengan santai. Dia melepas kaca mata di wajahnya, dan mengelapnya sebentar. Dia melirik ke arah Razka yang masih tampak sangat marah.Putra sulungnya itu mendengus kasar.“Ini sudah berbulan-bulan, dan Adikku sebentar lagi akan melahirkan. Apa pria brengsek itu masih be
Jovanka terjaga. Dia melihat tempat ia berada saat ini. Ia berada di rumah sakit. Rasanya tidak mengherankan, karena sejak ia mengandung, tempat ini menjadi lebih sering ia kunjungi.“Bagaimana keadaanmu, nak?”Suara Ayahnya mengejutkannya. Dia melihat pria itu mendekat.“Aku baik-baik saja, Ayah,” jawab Jovanka seadanya.“Ibumu sudah ku beri peringatan.” Danial sedikit menyesal membiarkan Jovanka pergi bersama Mona. Seharusnya ia saja yang menemani putrinya berbelanja. Meski antusias menyambut cucu pertamanya, Danial tidak mungkin sampai melupakan kondisi putrinya sendiri.“Aku tidak apa-apa, Ayah. Jangan marah pada Ibu,” ucap Jovanka menenangkan. Dia tidak ingin hubungan Ayah dan Ibunya memburuk hanya karena dirinya. Jovanka ingin saat anak pertamanya lahir, semua orang bisa menyambutnya dengan gembira. Dia tidak ingin ada masalah yang terjadi sebelum itu semua.Lagi pula ia mengerti, Ibunya hanya terlalu bersemangat menyambut cucu pertamanya.“Dia sudah keterlaluan, Jovanka. Jangan
Saat ini Jovanka sedang berada di Mall. Ia bersama Ibunya tengah berbelanja kebutuhan bayi. Dimulai dari pakaian juga perlengkapan lainnya. Banyak barang yang dibeli olehnya. Tentu bukan Jovanka yang meminta, tapi Ibunya yang membeli semua itu, semua barang yang sebenarnya hanya bisa dipakai selama beberapa bulan. Apakah dia lupa jika seorang bayi akan mudah tumbuh besar? Jovanka sampai sakit kepala melihat Ibunya yang begitu antusias membeli semuanya.“Ibu, sudah cukup. Ini saja sudah banyak.” Jovanka mencoba menghentikan Ibunya. Saat ini barang di tangan pengawal yang ikut bersama mereka sudah terlihat begitu menumpuk. Padahal mereka hanya membeli kebutuhan untuk seorang makhluk kecil, kenapa belanjaan mereka bisa sebanyak ini? Jovanka sendiri tidak habis pikir.“Tapi kita masih belum membeli semuanya. Lihat! Kita bahkan belum membeli ranjang untuk cucuku,” seru Mona. Dengan semangat ia pergi ke bagian furniture dan mencari ranjang bayi di sana.Jovanka menghela napas. Ibunya bahkan
Jovanka sudah melalui beberapa bulan kehamilannnya. Awalnya memang terasa merepotkan. Terlebih, ia mengalami morning sickness di bulan kedua kehamilannya. Dia tidak bisa mencium bau yang menyengat. Bahkan tidak banyak makanan yang bisa ia konsumsi. Rasanya segala macam makanan yang biasa ia makan sebelum hamil tidak bisa lagi diterima perutnya. Jovanka paling-paling hanya mengkonsumsi buah dan biskuit. Untuk memastikan ia tidak kekurangan nutrisi, Jovanka juga rutin mengkonsumsi vitamin yang diresepkan dokter, juga tidak lupa meminum susu ibu hamil.Setiap bulan ia akan melakukan pemeriksaan kandungan, di mana saat itu keluarganya selalu berebut untuk mengantarnya ke rumah sakit. Alhasil, Jovanka berangkat bersama mereka semua.Saat ini usia kandungannya sudah menginjak trimester kedua. Banyak makanan yang ia inginkan, dan kakaknya selalu berjuang untuk mendapatkannya, sekali pun itu sulit. Hingga ia harus mengerahkan banyak anak buahnya untuk berpencar.Baru kali ini fenomena ibu ham
Saat ini Jovanka mendapat kunjungan dari teman-temannya. Dia merasa sedikit terhibur dengan adanya mereka. Terkadang, jika hanya bersama keluarganya, tidak banyak topik yang bisa ia bicarakan. Keluarganya hanya memberi terlalu banyak perhatian. Tapi tidak begitu bisa diajak melakukan obrolan yang menyenangkan.“Aku tidak percaya kamu benar-benar hamil.” Gilda sangat terkejut mendengar kabar ini pertama kali. Ia bahkan sempat mengira Jovanka berbohong padanya. Tapi saat ia melihat sendiri bagaimana kondisi temannya itu, ia mulai percaya dengan apa yang ia katakan. “Kapan kalian melakukannya?”“Itu juga yang ingin aku tanyakan,” timpal Kate.Hal yang paling mengherankan dari semua itu memang alasan mengapa Jovanka bisa sampai mengandung anak Revan, sedangkan Jovanka sendiri sebelumnya sangat enggan berhubungan dengan pria itu.Mereka jadi curiga, apa Revan memperkosa Jovanka?“Jangan berpikir yang tidak-tidak.” Jovanka sepertinya bisa menebak apa yang teman-temannya pikirkan, karena ia