“Susi ke mana, Ta? “Aku tidak tahu Mbak, tadi ada kok, di sini sama anaknya lagi mainan sama Kia, tapi itu Kia sama Mbak Asih! Mungkin Mbak Susinya ada di kamar atau mungkin sedang keluar beli jajan anaknya. Mbak Susi itu doyan sekali jajan. Padahal di dalam rumah ini banyak jajanan di kulkas, tapi dia tidak mau jajanan sehat malah yang diberi itu sosis bakar dan teman-temannya," jawabku.Ternyata, Mbak Susi panjang umur baru saja dibicarakan dia sudah datang dari pintu samping, melihat kami duduk bersama, Mbak Susi mengambil duduk di antara kami menyalami kakak-kakakku satu per satu dan juga adikku. Kemarin Mbak Susi tidak begitu padaku. Aku jadi merasa cemburu diperlakukan berbeda oleh saudara-saudaraku sendiri padahal aku tidak tahu salahku apa.“Kamu dari mana, Sus, ya ampun kita orang udah datang dari tadi loh, lihat nih, aku udah ngopi, udah dikasih kue kamu enggak menyambut kakak-kakak kamu datanga!?" omel, Mbak Nur seraya memamerkan perhiasan-penghiasan yang dia pakai.Aku
"Kamu ngusir aku, Ta? Nyesel aku jauh-jauh datang ke sini ada Wira, Bapak, Mbak Nur enggak tahunya kamu di sini mempermalukan aku begitu, kalau tahu begini najis aku menginjakkan kakiku ke rumah kamu," jawab Mbak Ning, dia pun tak kalah emosinya denganku. Ibu yang ada di dapur tergopoh-gopoh menghampiri kami.“Ya, Allah, kalian ada apa ini? Kaliand sudah datang. Kenapa tidak menemui Ibu di belakang, Ibu tidak tahu kalau kalian sudah datang," ucap Ibu matanya berkaca-kaca melihat aku dan Mbak Ning bersitegang.Untungnya saudara Mas Danu pun belum pada datang hanya baru kami dan juga tetangga kanan, kini, Mbak Wulan, Mbak Fitri dan tukang masak yang kami bayar.“Tanyakan pada anak kesayangan Ibu ini, yang kaya raya 7 turunan, 7 tanjakan, belokan segala macam ini kenapa aku marah-marah begini Bu. Sakit hatiku baru datang sudah diusir," jawab Mbak Ning menggebu-gebu."Apa benar begitu Ita?" tanya ibu padaku. Aku menggeleng memang kenyataannya bukan aku duluan yang bikin masalah dan ad
“Saudara Danu saja yang suruh tinggal di rumah ibunya Danu, jangan di sini kalau di sini khusus saudara kamu. Aku pingin dong, ngerasain tinggal di rumah bagus, tinggal di rumah mewah. Masa harus berbagi kamar suamiku gimana?" sahut Mbak Nur.“Gampang, kan bisa tidur di luar, bisa tidur di ruang tamu, ruang tengah. Ini kan, rumahku luas nanti tinggal gelar aja kasur masa, iya, lagi rame-rame gini mau berduaan di kamar kan, enggak mungkin. Sudahlah Mbak Nur enggak usah banyak alasan intinya aku mengumpulkan kalian di sini itu untuk saling berbagi, saling kenal, saling memaafkan, bukan saling sikut-menyikut," jawabku.“Ih, kamu, Ita, sekarang kenapa jadi menyebalkan sekali sih, aku ini saudara kandung kamu, berasa jadi saudara tiri kesel deh!” ucap Mbak Nur, dia berlalu masuk ke kamar tamu paling depan disusul Mbak Susi.“Mbak Nur, kamu jangan tidur sama akulah enggak enak. Kamu itu badanmu gede sudah gitu kamu ngorok, aku tidur sama Mbak Ning aja. Mbak Nur sama ibu aja sana!" Usir Mb
"Maksudnya ditelepon gimana? Bisik-bisik atau kayak mana, Dina, kok mbak jadi takut. Wira itu kan, orangnya slengean suka asal. Takutnya dia main perempuan atau gimana kasihan kamu sama anak kamu masih kecil," tebakku.“Aku juga takutnya begitu Mbak, saat aku tanya siapa yang telepon, dia hanya jawab teman. Teman yang mana, terus dia juga jawab yang pernah kasih bantuan ke kita. Sudah gitu aja Mbak," jelas Dina.“Bantuan mana, memang kalian, pernah dibantu oleh orang lain?" tanyaku pada Dina.“Pernah Mbak, waktu kami mau ngontrak rumah, tapi belum ada uang kata orang tuaku tunggu 1 bulan lagi nanti ada panen sawit, tapi Mas Wiranya enggak mau. Akhirnya dia pinjem sama temannya melalui telepon, terus pinjam lagi untuk beli barang-barang dalam rumah, untuk beli HP dia, beli TV, sama untuk beli motor second. Jujur, ya, Mbak, kalau aku sendiri tidak perlu barang-barang yang didapat dari kredit ataupun dari pinjam uang. Mendingan rumahku kosong melompong," cerita Dina.“Iya, sih, Mbak ju
"Astaghfirullahaladzim ... nanti, Ibu, akan tanyakan pada Wira. Kasihan sekali Dina. Bru lahiran sudah memikirkan banyak utang begitu. Wira ini benar-benar gaya hidupnya ngikutin kakak-kakaknya yang enggak benar," jawab Ibuku. Beliau terlihat sangat marah.“Ita, panggilkan Wira datang ke sini. Ibu mau bicara dengan dia."“Tapi, Bu, tidak sekarang karena lagi banyak orang. Aku enggak enak kalau misalnya bilang sama Wira sekarang. Dia itu kan, hobinya ngamuk."“Tapi, Ibu sudah tidak tahan lagi, Ta, Ibu ingin bicara dengan dia."“Ya sudah, tapi nanti, ya? Sekarang Ibu tenangin hati dan pikiran dulu baru bicara dengannya. Ini minum dulu biar adem. Aku juga mau cerita sesuatu pada Ibu." Ibuku mengangguk.“Mbak Fitri, Mbak Wulan, kalian serius sekali kerjanya padahal kan, sudah ada tukang masak. Santai aja Mbak!" tegurku kepada mereka yang terlihat sangat serius sedang memotong sayuran.“Eh, enggak, kok, Ita, ini juga santai. Santai banget malah. Kita sambil cerita masa sekolah dulu terny
"Ada apa ini ribut-ribut di rumah orang?” tanyaku pada mereka yang sedang adu mulut dengan Desi dan anak buahnya.“Akhirnya tuan rumah keluar juga. Apa seorang tamu tidak dipersilakan masuk, Nyonya Ita?” tanya Mbak Desi.“Oh, ya, silakan masuk, Mbak!" jawabku. Mbak Desi dan anak buahnya masuk ruang tamu sementara Wira dan suami kakak-kakakku menunggu di teras.“Apa kabar Ita, terakhir bertemu sekitar 3 bulan yang lalu?” tanya Mbak Desi ramah.“Alhamdulillah ... aku baik-baik saja, Mbak. Seperti yang Mbak lihat semoga Mbak Desi pun begitu,” jawabku.“Syukur Alhamdulillah aku dan anakku juga baik-baik saja. Oh, ya, sepertinya mau ada acara ramai sekali orang datang ke rumah kamu. Kebetulan dong, aku datang ke sini,” ucap Mbak Desi lagi dia memindai setiap orang yang ada di sini.“Alhamdulillah ... iya, Mbak, mau ada acara kumpul keluarga sekalian mau tujuh bulanan kehamilan Mbak Asih. Kalau Mbak Desi ada waktu boleh berkenan datang untuk mendoakan kami agar menjadi keluarga yang selalu
"Mbak Desi beneran ada perlu dengan Wira? Biar aku panggilkan istrinya saja biasanya suami istri kan, selalu tahu,” kataku memberikan solusi.“Oh, ada anak dan istrinya juga di sini? Kalau tidak merepotkan tidak apa-apa bawa saja istrinya ke sini,” jawab Mbak Desi.“Tunggu sebentar, ya, Mbak! Silakan tehnya diminum dan camilannya dicicipi aku ke dalam dulu,” pamitku. Kulihat Dina sedang menyusui anaknya sampai tertidur. Dina memang cantik, kulitnya bersih dan terawat, tapi ada yang membuat aku heran dulu sewaktu belum menutup aurat baju-baju dia bagus-bagus, branded. Sekarang dia sudah menutup aurat, tapi bajunya biasa saja bahkan terkesan lusuh.Tidak apa kita memakai baju harga murah yang penting nyaman dan tidak lusuh, kalau yang Dina pakai ini dan sepertinya memang cuci pakai. Bawaan dia pun tidak banyak padahal dia punya bayi, sedangkan kakak-kakakku yang lain aja sampai bawa baju dua koper. Ini Dina satu ransel itu sudah mencakup baju dia dan baju anaknya. Apakah kebutuhan
Benar dugaanku ternyata memang Wira yang ditelepon oleh Mbak Desi. Semoga saja hubungan mereka hanya sebatas utang piutang dan tidak ada hubungan lainnya.“Em, apa Mbak, dengan suami saya ada hubungan khusus?” tanya Dina, matanya mulai berkaca-kaca. Ya, Allah, aku takut sekali apa yang aku pikirkan akan terjadi.“Ada. Sebenarnya aku tidak ingin membicarakan ini kepada kamu, Dina, tapi karena kamu menginginkan, kita berbicara, ya, sudah tidak apa-apa, kalau aku akan katakan semuanya padamu. Aku berharap tidak ada kesalahpahaman di sini antara kamu dan aku bagaimana apa kamu setuju?” tegas Mbak Desi.“Iya, aku setuju!” jawab Dina lirih.“Jadi begini, Ita, Dina, ini adalah buku catatan utang piutang milikku. Di sini ada banyak sekali nasabah-nasabahku dari yang kaya sampai yang miskin,” ucap Mbak Desi seraya membuka-buka lembaran demi lembaran buku hutang piutangnya.Dina memegang jari jemariku erat. Aku tahu dia pasti sangat gelisah. Sangat kentara sekali dengan tangannya yang dingin d
Wak Tono melotot begitu juga dengan istrinya. Pasti mereka benar-benar tidak menyangka bahwa aku akan nekat seperti ini mempolisikan mereka berdua.“Sabar Ita, sabar dulu. Kita dengarkan dulu penjelasan Wak Tono. Barangkali itu memang bukan barang milik Wak Tono atau mungkin memang punya dia, tapi tidak untuk dipakai mencelakai kamu ataupun Danu,” bela Mbak Ning.“Kalau tidak tahu apa-apa enggak usah banyak komentar Mbak. Lama-lama mulut Mbak Ning, aku sumpel pakai paku ini. Aku tidak butuh saran dari Mbak Ning dan Mbak Ning tidak usah mencampur urusan rumah tanggaku. Aku sudah benar-benar kesal dan batas ambang sabarku sudah habis, Mbak! Pokoknya aku mau kita selesaikan ini secara hukum. Wak Tono dan istrinya harus benar-benar dihukum dengan setimpal karena ini membahayakan nyawa orang lain,” tegasku. Mbak Ning diam saja mungkin dia takut akan aku masukkan ke penjara juga jika membantah ucapanku.“Benar sekali apa yang dikatakan oleh Ita. Baik Wak Tono maupun istrinya harus kita pro
"Hentikan! Tolong hentikan dan jangan kamu pukuli suamiku!” sela istri Wak Tono seraya memukul-mukul punggung Mas Danu. Aku yang geram pun langsung mendorong tubuh tua istri Wak Tono hingga dia tersungkur tepat di bawah kaki suaminya.“Jahat! Kalian jahat!” teriak istri Wak Tono lagi dan berusaha bangun untuk menyerangku. Badannya yang gemuk membuatnya susah untuk leluasa bergerak sedangkan wajah Wak Tono sudah babak belur. Wak Tono diseret oleh Pak RT dan beberapa warga ke rumah kami.Istri Wak Tono terus saja meraung-raung menangisi suaminya. Semua saudara-saudara yang sudah terlelap tidur pun terpaksa bangun untuk melihat apa yang terjadi di sini, bahkan ibu mertuaku dan Mbak Lili yang berada di rumahnya pun tergopoh-gopoh menghampiri kami.“Ada apa ini, Ita? Kenapa istrinya Wak Tono menangis begitu?” tanya ibuku.“Mereka itu penjahat, Bu! Ternyata yang meneror keluarga kita selama ini adalah Wak Tono dan juga istrinya. Itu sebabnya istrinya Wak Tono menangis karena Wak Tono sudah
Aku bergegas keluar. Tak pedulikan panggilan Mamah Atik dan juga Ibuku. Rupanya mereka juga belum tidur. Mungkin sedang menyusun rencana untuk acara besok. Sedangkan Dina tadi tidak aku memperbolehkan ikut karena dia harus tetap tinggal di kamar untuk menjaga anak-anak.Teras depan langsung sepi sepertinya bapak-bapak yang ikut mengobrol tadi langsung menuju ke samping kamarku. Ya, Allah aku deg-degan sekali. Takut sesuatu terjadi pada Mas Danu karena dia jalannya saja susah agak pincang kalau dia berduel dengan orang yang mengetuk jendelaku tentu saja dia kalah.Aku yakin sekali bahwa itu adalah manusia, kalau hantu tentu saja tidak akan seperti itu. Mana bisa hantu melakukan hal-hal yang bisa dilakukan oleh manusia. Walaupun ada itu hanya dalam cerita saja.“Wak, kenapa di luar begini? Apa Wak dengar keributan juga?” tanyaku pada istri Wak Tono, tapi istri Wak Tono diam saja justru jalannya terburu-buru menghampiri kerumunan. Rupanya dia pun penasaran sama sepertiku.Memang sih,
“Iya, Din, Betul kata kamu. Makanya tadi pas Mbak ke sana, ya, hanya ngasih saran sekedarnya saja. Sepertinya juga Mas Roni tadi ketakutan karena aku ancam akan kupolisikan kalau masih memaksa Mbak Asih dengan kekerasan.”“Ya, Allah ngeri banget, sih! Mas Roni benar-benar nekat!” ujar Dina.“Ya, begitulah kalau orang sudah nekat pasti segala cara akan dilakukan. Sebentar, ya, Din, aku mau WA Mas Danu dulu. Tadi mau manggil dia enggak enak karena sedang ngobrol sama Pak RT dan juga bapakku.”[Mas, ada yang ketuk-ketuk jendela kamar kita. Sewaktu Dina berniat untuk melihatnya, tapi tidak ada siapa-siapa. Tolong Mas Danu awasi barangkali setelah ini akan ada ketukan selanjutnya.] terkirim dan langsung dibaca oleh Mas Danu.[Iya, Sayang! Ini Mas juga sambil ngawasin saudara-saudara kita. Karena tadi Mas seperti melihat bayangan hitam menyelinap. Mas pikir hanya halusinasi saja.][Iya, Mas. Sepertinya yang meneror keluarga kita mulai beraksi lagi, setelah tiga hari kemarin dia tidak mela
"Mbak, Mbak, itu apa seperti bayangan hitam?” tanyaku pada Mbak Mala. Dia justru memegang lenganku dengan erat. Mbak Mala ketakutan.“Duh, apa, ya, aku pun tidak tahu Ita? Aku takut. Ayo, ah, kita masuk rumah saja!” ajak Mbak Mala seraya menyeret lenganku untuk segera masuk ke dalam rumah.“Itu manusia loh, bukan hantu. Kakinya saja tadi napak tanah, tapi dia tidak melihat kita. Mungkin dia terburu-buru. Ayo, Mbak, kita, intip!” ajakku pada Mbak Mala.“Enggak maulah, Ta, aku takut!” tolak Mbak Mala kemudian dia buru-buru menutup pintu aku pun mengekorinya.“Tuh, kan, Ta, semuanya sudah tidur hanya para bapak-bapak saja itu di depan yang sedang main gaple. Ayolah, kita tidur juga biar besok bisa bangun pagi! Mungkin tadi itu beneran hantu tahu, Ta. Kita sih, malam-malam kelayapan,” ucap Mbak Mala. Lucu sekali ekspresinya dia. Mbak Mala menunjukkan bahwa dia benar-benar ketakutan.“Iya, Mbak Mala tidur sana. Terima kasih infonya nanti kalau misalnya beneran ada apa-apa kita selidiki b
“Mbak Asih, kamu tidak apa-apa, Mbak? Bagaimana perutmu apa sakit? tanyaku khawatir pada Mbak Asih. Mbak Asih hanya menggeleng saja mulutnya terus saja beristighfar. Kasihan sekali. Aku tidak tega melihat dia begini.“Ayo, Ibu, Mbak Lili, Mbak Mala sudah jangan hiraukan Mas Roni dulu. Kita tolong Mbak Asih. Kasihan dia sedang hamil pasti perutnya sakit karena tersungkur begini. Ini pasti Mas Roni kan, yang sudah mendorong Mbak Asih,” kataku lagi. Mereka bertiga bergegas menghampiri untuk membantu Mbak Asih berdiri dan pindah duduk ke sofa.“Iya, benar sekali ini ulah si Roni laknat itu! Padahal Asih sudah menolaknya berkali-kali ini tetap saja si Roni memaksanya untuk kembali. Asih tidak mau lalu si Roni mendorong Asih. Dia itu tidak punya otak dan pikiran padahal Asih sedang hamil besar. Ibu benar-benar benci pada dia. Kalau bisa jebloskan saja Roni ke penjara!” ucap ibu.“Mana bisa begitu, Bu, kalian tidak berhak mengatur hidupku dan juga Asih. Aku ini masih suami sahnya Asih, ja
Aku mengikuti Mbak Mala ke luar rumah dan terpaksa meninggalkan piring makan malamku. Untungnya tinggal sedikit lagi. Gampanglah nanti bisa aku habiskan.Malam ini rembulan memang bersinar terang sekali sepertinya memang hari ini tanggal 15, jadi bulan purnama bertengger cantik di langit malam.Sejujurnya memang dari awal Wak Tono datang ke rumah aku sudah sedikit tidak sreg dengan segala tingkah lakunya. Seperti ucapannya yang terkesan selalu ketus, selalu menyudutkanku dan Mas Danu dan juga seperti mengawasi keadaan rumahku.“Mbak Mala apa beneran tadi Wak Tono ke sini?” tanyaku pada Mbak Mala, dia hanya mengangguk dan terus menggandeng tanganku.“Iya, Ita. Tadi aku lihat Wak Tono tlewat sini terus ke arah sana, ke pohon jeruk kamu dan membakar sesuatu seperti yang aku jelaskan tadi,” jawab Mbak Mala.“Baiklah kalau gitu, ayo kita cek ke sana!” Kami berdua gegas mengecek pohon jeruk yang dimaksud oleh Mbak Mala. Aku menggunakan senter HP untuk lebih menerangi jalanan kami karena me
"Ya, Allah ... sungguh mulia hatimu, Dina. Bapak jadi malu karena tidak bisa mengontrol emosi. Bapak begitu mendengar kabar dari Danu bahwa Wira besok akan menikah sungguh Bapak benar-benar malu. Maafkan kekhilafan Bapak Dina,” ucap bapak dengan tulus.“Iya, Pak. Aku memaafkan semua orang-orang yang menyakitiku karena aku merasa lebih tenang dan damai jika aku berbuat demikian. Sudahlah lebih baik kita jangan bahas Mas Wira lagi nanti selera makanku jadi turun kasihan kan, cucu Bapak dan Ibu, jadi asinya nanti enggak berkualitas kalau aku makannya tidak banyak.”“Iya, iya, betul. Benar apa yang kamu bilang, ya, sudah Bapak kembali ke depan untuk menemui Danu. Kamu tetap di sini dengan ibu dan juga kakak-kakakmu. Terima kasih sudah menjadi menantu Bapak yang baik hati. Terima kasih Dina,” ucap bapak lagi sebelum pergi meninggalkan kamar ini. Matanya berkaca-kaca, tangannya mengelus pundak Dina.Aku tahu Dina pun menahan gejolak yang ada di hatinya itu terbukti dari tatapan Dina yang s
"Ya, Allah, Dina! Kamu yang sabar, ya, sayang? Di sini ada Bulek yang akan selalu membelamu. Apa pun yang terjadi Bulek akan menjadi garda terdepan untuk kamu. Apalagi hanya laki-laki pecundang macam Wira. Bulek akan polisikan dia, sampai bertekuk lutut padamu. Memang Tuhan itu menunjukkan siapa sebenarnya suamimu itu, Dina. Di saat kamu berhijrah ke jalan Allah menjalani hidup menjadi lebih baik justru suamimu perbuatannya makin tidak terkendali. Makin bobrok sehingga melupakan anak istrinya. Tenanglah Dina. Jangan kamu tangisi laki-laki seperti itu. Jangan pernah kamu bersedih karena ulahnya. Allah sudah merencanakan masa depanmu yang jauh lebih indah dari pada ini. Bulek yakin suatu hari nanti kamu akan mendapatkan jodoh yang lebih baik dari Wira. Kamu masih muda, cantik, saleha pasti banyak laki-laki yang jauh di atas Wira yang mau dengan kamu. Percayalah pada Bulekmu ini Dina, kesedihan kamu kesedihan Bulek juga. Sakitmu sakitnya Bulek juga," ucap Mamah Atik seraya memeluk Din