Suasana di rumah keluarga besar Aditya pagi ini begitu hening. Hanya terdengar suara sendok yang beradu dengan garpu di meja makan.
Aditya memang sangat tegas mendidik putra dan putinya. Dia melarang mereka berbicara atau bermain ponsel saat sedang makan. Sarah menyantap nasi gorengnya sambil melirik sang ayah yang duduk di kursi paling ujung dengan kesal. Semalam dia meminta ayahnya untuk memberi tahu Prada agar menceraikan Bimala. Namun, dia malah dimarahi sang ayah dan dilarang mencampuri urusan rumah tangga mereka. Padahal dia melakukan semua ini demi kebaikan Prada. Aditya sebenarnya sadar jika Sarah sedang kesal pada dirinya. Namun, dia memilih tidak peduli dan melanjutkan kembali sarapannya. Lagi pula Sarah sangat keterlaluan sampai menyuruh Prada menceraikan Bimala agar memiliki anak. Aditya meletakkan sendoknya setelah itu meneguk segelas air putih yang ada di hadapannya. "Ayah berangkat dulu." Rahayu buru-buru mengantar Aditya ke depan lalu mengulurkan tas yang dia bawa pada suaminya. "Mas tunggu sebentar." Aditya urung masuk ke dalam mobil ketika mendengar suara Rahayu. "Dasi Mas nggak rapi. Sini, aku rapihin." Tangan Rahayu dengan cekatan merapikan dasi yang dipakai oleh Aditya. Dia menepuk-nepuk dada Aditya setelah berhasil memasang dasi itu dengan rapi. "Sudah selesai." "Makasih, ya." Aditya tersenyum hangat. Dia sangat menghargai perhatian kecil yang Rahayu berikan pada dirinya. Mungkin ini salah satu hal yang membuat rumah tangganya dan Rahayu berjalan harmonis sampai sekarang. "Sama-sama. Mas masih marah sama Sarah?" "Ketara banget ya, kalau mas masih marah?" "He'em." Rahayu mengangguk. "Mas cuma nggak nyangka, bisa-bisanya dia nyuruh Prada nikah lagi biar punya anak. Apa dia nggak mikirin perasaan Mala? Mas benar-benar kecewa." Wajah Aditya mengeras ketika mengingat pembicaraannya dan Sarah semalam. Padahal dia sudah berusaha keras mendidik putra dan putrinya agar tumbuh menjadi orang yang baik. Namun, Sarah malah bertingkah seperti itu. Aditya merasa sangat kecewa dan gagal mendidik anak. "Mas merasa gagal menjadi orang tua," gumamnya lirih. "Jangan berpikir kayak gitu." Rahayu mengusap-usap lengan Aditya agar perasaannya menjadi lebih tenang. "Mas itu suami dan ayah yang paling baik sedunia. Wajar kalau Mas marah sama Sarah karena dia memang salah. Tapi marahnya jangan lama-lama, ya? Nggak enak banget tahu sarapan bareng tapi diem-dieman kayak gitu." Aditya tersenyum. Dia menggenggam jemari Rahayu lalu mengecupnya dengan lembut. "Makasih banyak, ya. Mas beruntung banget punya istri yang baik dan pengertian seperti kamu." "Mas bisa aja, sih." Wajah Rahayu bersemu merah. Aditya selalu punya kalimat cheesy yang membuat jantungnya berdebar seperti remaja yang baru pertama kali merasakan cinta, padahal mereka sudah menikah selama 30 tahun lebih. "Mas berangkat dulu, ya?" "Iya, hati-hati." Aditya mengecup puncak kepala Rahayu dengan penuh sayang sebelum masuk ke dalam mobilnya. Rahayu kembali ke dalam setelah memastikan kalau mobil Adiyta sudah tidak terlihat lagi oleh pandangannya. "Ayah udah berangkat?" "Hmm ...." Rahayu menanggapi pertanyaan Sarah hanya dengan gumaman setelah itu mengambil sebuah kotak makan. Kebetulan sekali dia hari ini membuat tempe bacem dan ayam bumbu cabai garam kesukaan Bimala. "Kesel banget aku sama ayah. Coba aja ayah setuju Prada cerai sama Mala. Ayah dan Ibu sekarang pasti udah gendong cucu." "Sarah." Rahayu menegur putrinya. "Jangan bicara kayak gitu lagi. Memangnya kamu mau dimarahi ayah lagi? Enggak, kan?" Sarah berdecak kesal, semua orang yang tinggal di rumah ini tidak ada satu pun yang memihaknya Padahal dia melakukan semua ini demi keluarganya karena dia tidak bisa memberi mereka keturunan setelah rahimnya diangkat akibat kecelakaan yang menyebabkan suaminya meninggal. Entah sihir apa yang Bimala miliki hingga membuat kedua orang tuanya dan Prada sangat menyanyangi wanita itu. "Kamu udah selesai sarapan belum?" "Udah," jawab Sarah ketus. "Tolong anterin ini ke rumah Mala." "Kok aku?" Sarah menatap paper bag yang Rahayu ulurkan dengan kening berkerut dalam. "Karena yang nganggur di rumah ini cuma kamu." "Nggak mau ah, lagian Sarah males ketemu Mala." "Arunia Sarah!" Sarah kembali berdecak kesal lalu meraih paper bag di tangan Rahayu dengan sedikit kasar. Rahayu terkekeh geli melihatnya. "Hati-hati bawanya. Awas aja makanan buat menantu kesayangan ibu tumpah." "Iya, bawel." Sementara itu Prada tidak pernah lelah menghubungi Bimala. Dia ingin meminta maaf pada Bimala dan menebus semua kesalahannya. Namun, Bimala tidak bisa dihubungi. Apa mungkin Bimala memblokir nomornya? Prada pun mencoba mengirim pesan pada Bimala. Namun, pesannya tidak ada satu pun yang terkirim. Semuanya centang satu. Prada : [Sayang, mas minta maaf. Tolong beri mas kesempatan untuk menjelaskan semuanya] [Mas benar-benar menyesal menikahi Felia tanpa izin dari kamu] [Pulang ya sayang] [Please ....] [Atau mas susul saja kamu ke panti?] Prada menghela napas panjang lalu melempar ponselnya sembarangan. Penampilan Prada terlihat sangat kacau sekarang. Lingkaran hitam mengelilingi kedua matanya. Baju yang biasanya rapi sekarang kusut. Rahang yang biasanya halus pun sekarang ditumbuhi jambang tipis. Prada tidak bisa hidup tanpa Bimala. Dia butuh wanita itu untuk berada di sisinya. Akan tetapi apa yang dia lakukan? Dia malah menyakiti Bimala hingga memilih pergi dari rumah. Dia memang breng*sek! Andai saja waktu bisa diputar, rasanya Prada ingin sekali kembali ke masa lalu untuk menghapus semua kesalahannya. Namun, dia tidak mungkin bisa melakukannya sebesar apa pun penyesalannya. Prada meraih ponselnya yang tergeletak di sofa. Helaan napas panjang lolos dari bibirnya karena pesannya tidak ada satu pun yang sampai ke Bimala. Haruskah dia menemui Bimala di panti asuhan? Prada meraih jaketnya di lemari. Dia tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Dia akan menemui Bimala sekarang dan menjelaskan semuanya, tapi pintu kamarnya tiba-tiba diketuk dari luar. "Kak Prada." "Ya, Fel," ucap Prada ketika membuka pintu. Kedua matanya sontak membulat melihat bayi laki-laki yang sedang merengek di gendongan Felia. "Arkana kenapa?" "Haus kayaknya, Kak. Aku boleh nitip Arkana sebentar nggak, Kak? Aku mau buatin dia susu." Prada melihat ke belakang tubuh Felia dengan cemas. Felia pun kembali bicara seolah-olah mengerti dengan apa yang sedang Prada pikirkan. "Aku tadi mau minta tolong sama Bik Minah, tapi Bik Minah sedang pergi ke pasar." "Baiklah, sini, biar Arkana sama kakak." Prada meraih tubuh mungil Arkana ke dalam gendongannya. Dengan hati-hati dia menimang-nimang bayi itu agar berhenti menangis. "Jangan lama-mala ya, Fel. Kakak ada urusan penting habis ini." "Iya, Kak." Felia mengangguk lalu cepat-cepat membuat susu untuk sang buah hati di dapur. Dia berusaha membuatnya secepat mungkin agar Prada tidak menunggu terlalu lama. Setelah siap, dia segera memberikan botol susu itu ke Arkana. Namun, bel rumah Prada tiba-tiba berbunyi nyaring. Felia pun beranjak ke depan untuk melihat siapa yang datang. Kening Felia berkerut dalam melihat seorang wanita yang berdiri di hadapannya. Entah kenapa wajah wanita itu terlihat tidak asing di matanya. Mata, hidung, bahkan bibir wanita itu mirip sekali dengan Prada. "Maaf, Mbak siapa, ya?" Bukannya menjawab, wanita itu malah menatap Felia dengan lekat. Entah mengapa wanita itu merasa ada yang tidak beres di rumah adiknya setelah mencium parfum bayi bercampur minyak telon yang menguar dari tubuh Felia yang sedang membawa botol susu untuk Arkana. "Justru saya yang harus tanya. Kamu siapa? Kenapa kamu ada di rumah adik saya?" Felia terenyak medengarnya. Dia tidak pernah menyangka akan bertemu dengan kakak kandung Prada. Apa yang harus dia katakan? Haruskah dia memberi tahu wanita ini kalau dia istri kedua Prada? "Sa-saya ...." Felia tanpa sadar menggigit bibir bagian bawahnya kuat-kuat. Dia bingung harus menjawab apa. "Siapa yang datang, Fel? Apa kamu masih la—Mbak Sarah!" Prada tidak melanjutkan kalimatnya, dia merasa sangat terkejut ketika melihat Sarah ada di rumahnya. Sarah pun tidak kalah terkejut. Dia pikir Prada masih bekerja di luar kota, tapi ternyata ada di rumah. Tidak lama kemudian senyum Sarah mengembang setelah menyadari kalau Prada sedang menggendong seorang bayi. "Pemandangan yang sangat menarik," gumamnya membuat Prada seketika mengembuskan napas lelah."Kamu udah selesai bikin susunya, Fel?"Felia yang mendengar suara Prada seketika tergagap. "Oh, sudah, Kak."Prada pun memberikan Arkana kembali pada Felia, lalu meminta Felia agar membawa Arkana ke kamar lewat tatapan matanya. Felia yang paham pun segera menuruti perintah Prada.Entah mengapa perasaan Felia mendadak tidak tenang. Felia memiliki firasat kalau kedatangan kakak kandung Prada akan membawa masalah baru baginya padahal dia belum sempat meminta maaf pada Bimala.Semetara itu Sarah tidak pernah mengalihkan pandangannya sedikit pun dari Prada. Sudah mengenal Prada sejak lahir membuat Sarah tahu kalau adik kandungnya itu memiliki hubungan khusus dengan wanita yang membawa botol susu tadi."Siapa wanita itu, Prada? Kenapa dia bisa ada di rumahmu?"Prada memilih mengabaikan pertanyaan Sarah lalu mengambil kunci mobilnya yang ada di atas meja."Kamu denger pertanyaan mbak nggak sih, Da?" Sarah mendengkus kesal, tapi dia tidak akan menyerah sampai menemukan kebenarannya.Prada la
Sudah sepuluh menit lebih sedan hitam itu berhenti di bawah pohon mangga yang tumbuh di pinggir jalan. Si pengemudi terus melihat ke bangunan yang ada di seberang jalan—tepatnya ke anak-anak yang sedang bermain di halaman panti.Entah kenapa Prada mendadak ragu menemui Bimala, padahal beberapa menit yang lalu dia tidak sabar ingin bertemu dengan Bimala dan menjelaskan semuanya. Prada takut Bimala belum siap bertemu dengan dirinya.Apa yang harus dia lakukan? Haruskah dia kembali pulang?Detik demi detik berlalu, matahari pun perlahan-lahan beranjak ke atas kepala. Beberapa anak yang sedang bermain di halaman pun memilih masuk ke dalam karena mulai merasa panas.Prada menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan agar perasaannya menjadi lebih tenang sebelum memantapkan hatinya untuk menemui Bimala.Beberapa anak yang sedang bermain kelereng di halaman seketika menoleh ketika melihat mobil Prada memasuki halaman. Wajah mereka pun terlihat berbinar."Kak Prada!" teriak mereka samb
Prada tersenyum kecut, ada sesak yang menyelip di dalam dadanya ketika melihat jemari Bimala dan Sean yang saling bertaut. Tanpa Bimala dan Sean sadari, Prada sudah melihat semua yang mereka lakukan di halaman belakang.Dia melihat Bimala yang memekik senang ketika Sean berhasil memetik buah rambutan. Dia juga melihat Bimala yang tersenyum bahagia karena lelucon kecil Sean. Dia bahkan melihat Sean saat menyeka keringat di kening Bimala.Jujur, Prada tidak suka melihatnya. Seharusnya dia yang menemani Bimala memetik rambutan untuk anak-anak. Seharusnya dia yang menyeka keringat di kening Bimala, bukan Sean.Dia cemburu.Namun, apa masih pantas dia merasa cemburu di saat dia sendiri pun tega menyakiti Bimala?Prada menarik napas dalam-dalam untuk mengurangi sesak yang menghimpit dadanya. Sekarang bukan waktu yang tepat baginya untuk cemburu karena ada hal penting yang harus dia jelaskan pada Bimala.Prada berjalan menghampiri Bimala dengan penuh keyakinan. Sepasang iris hitam miliknya m
Apa dia tidak salah dengar? Benarkah bayi yang digendong wanita itu bukan anak kandung Prada?"Mas tidak bohong Bimala. Arkana memang bukan anak kandung mas."Prada beranjak dari tempat duduknya lalu berdiri tepat di depan Bimala. Luka di sudut bibirnya terasa sangat nyeri ketika dia berbicara. Namun, dia harus menjelaskan semuanya agar Bimala tidak semakin salah paham pada dirinya.Bimala menggigit bibir bagian bawahnya kuat-kuat lalu memalingkan wajahnya ke arah lain untuk menghindari tatapan Prada. Rasanya Bimala ingin sekali percaya dengan apa yang Prada katakan.Namun, sekarang rasanya sulit sekali bagi dirinya untuk percaya. Apa lagi sejak awal Prada tidak jujur pada dirinya kalau menikahi Felia."Bi ...." Prada memberanikan diri meraih jemari tangan Bimala dan menggenggamnya dengan lembut. Dia merasa sangat lega karena Bimala tidak menolak."Tolong beri mas kesempatan untuk menjelaskan semuanya. Satu kali saja, please ...." Prada menatap Bimala dengan memohon.Bimala hanya diam
"Mas tidak bermaksud menyembunyikan semua ini dari kamu, Bimala. Mas hanya butuh waktu.""Apa waktu satu tahun belum cukup?"Prada kembali terdiam, dia tidak mempunyai alasan lagi untuk membela diri di depan Bimala. Prada terlalu takut untuk jujur pada Bimala karena dia sudah berjanji akan menjaga kepercayaan yang sudah Bimala berikan pada dirinya.Akan tetapi dia malah menghancurkan semuanya. Wajar jika Bimala ingin berpisah karena lelaki breng*sek seperti dirinya tidak pantas untuk wanita baik seperti Bimala."Mau Mas ngasih tahu aku dulu atau sekarang pun nggak akan mengubah kenyataan kalau Mas punya istri selain aku. Aku benar-benar kecewa sama, Mas."Kedua tangan Bimala terkepal kuat di sisi tubuhnya untuk menahan sesak yang menghimpit di dalam dada. Dia sedang berusaha keras menekan egonya demi memberi kesempatan pasa Prada untuk membela diri.Akan tetapi apa yang Prada lakukan? Suaminya itu hanya diam padahal dia sudah menunggu lumayan lama.Sebenarnya apa yang Prada pikirkan?A
"Sudah lebih tenang?" tanya Prada ketika tidak mendengar Felia terisak lagi. Dia baru berani bertanya setelah memastikan kalau perasaan Felia sudah lebih tenang.Felia mengangguk pelan meskipun Prada tidak bisa melihatnya. Selain tampan, Prada sosok suami yang dangat baik dan pengertian di matanya. Bimala sungguh beruntung bisa memiliki suami seperti Prada."Apa kakak boleh bicara sekarang?"Felia kembali mengangguk.Prada mengartikan diamnya Felia sebagai jawaban 'iya'. Dia pun menarik napas dalam-dalam sebelum bicara."Pertama, kakak ingin minta maaf. Maaf karena sudah mengabaikan pesanmu, kakak benar-benar tidak tahu kalau kamu mengirim pesan, Felia."Felia hanya diam, menunggu Prada melanjutkan kalimatnya."Kedua soal Mbak Sarah."Felia tanpa sadar meremas ponselnya yang berada di dalam genggaman. Dia benar-benar takut Sarah curiga kalau dia istri kedua Prada lalu memberi tahu orang tua lelaki itu."Mbak Sarah punya insting yang sangat kuat. Percuma saja kakak berbohong karena Mba
"Kalian pasti sudah bicara, kan? Jadi, apa alasan Prada nikah lagi?""Tolong ambilin garam dong, Se!"Sean menghela napas panjang, dengan sabar dia mengambil garam yang berada di hadapannya lalu memberikannya ke Bimala."Jadi apa alasannya?" Sean kembali bertanya, tapi Bimala tidak kunjung menjawab pertanyaannya padahal dia sudah merasa sangat penasaran."Ini kurang apa ya, Se?" Bimala mengambil satu sendok kuah sup, lalu meminta Sean untuk mencicipinya."Micin."Bimala pun menambahkan sedikit penyedap rasa ke dalam sup ayam buatannya agar terasa lebih lezat ketika disantap.Sean berdecak kesal. "Jawab dulu pertanyaanku, Bimala!" "Nanti, tolong potongin dulu tempenya. Tuh, ada di sana." Bimala menunjuk tiga buah tempe yang ada di atas meja dengan dagu karena kedua tangannya sibuk menyiapkan bumbu."Bimala Rainanda!""Kalau nggak mau ya udah." Bimala mengangkat kedua bahunya ke atas. Diam-diam dia mengulum senyum ketika mendengar Sean yang menghela napas panjang."Sabar ...," keluh Se
Kedua tangan Prada mengepal kuat di sisi tubuhnya. Entah mengapa udara di sekitarnya mendadak terasa panas melihat apa yang Bimala lakukan pada Sean.Prada sebenarnya sadar jika Bimala tidak memiliki maksud lain. Istrinya itu hanya ingin memastikan kalau tangan Sean baik-baik saja. Namun, dia tetap saja merasa kesal. Apa lagi Sean sepertinya sengaja membuatnya cemburu."Eh, Mas Prada."Prada sontak mengubah ekspresi wajahnya kembali tenang ketika mendengar suara Bimala.Sedangkan Sean menghela napas panjang melihat Bimala yang berlari kecil menghampiri Prada dengan wajah senang. Padahal beberapa menit yang lalu Bimala terlihat sangat mengkhawatirkannya.Sepertinya dia tidak mempunyai kesempatan lagi untuk mendekati Bimala karena sahabatnya itu sangat mencintai Prada."Aku baru aja mau manggil Mas Prada buat makan siang. Tapi Mas ternyata udah di sini.""Mas nggak bisa jauh-jauh dari kamu, makanya mas susul ke sini." Prada tersenyum sambil mengusap puncak kepala Bimala dengan lembut."
Bimala kembali mencoba untuk menelepon Prada. Namun, Prada lagi-lagi mengabaikan panggilannya. Sepertinya Prada kali ini benar-benar marah pada dirinya.Wajar saja kalau Prada marah karena dia sudah mengingkari janji yang dia buat pada lelaki itu.Bimala pun mencoba menelepon Felia. Namun, Felia juga mengabaikan teleponnya sama seperti Prada.Entah apa yang sedang Prada dan Felia lakukan sekarang. Mereka pasti sedang bersenang-senang untuk merayakan keberhasilan Prada hingga tidak memedulikan telepon darinya.Detik demi detik berlalu, tidak terasa sekarang sudah hampir jam sembilan malam, tapi Prada dan Felia belum juga pulang. Telepon dan pesan yang dia kirim untuk mereka pun tidak ada yang dibalas. Padahal dia ingin tahu bagaimana kabar mereka.Bimala memandang lesu spageti buatannya yang tersaji di atas meja makan. Bimala ingin sekali makan karena perutnya sudah sangat lapar. Namun, dia memilih menunggu Prada dan Felia pulang agar mereka bisa makan malam bersama.Bimala tiba-tiba b
Prada mencengkeram setir mobilnya dengan erat. Wajah lelaki berusia tiga puluh tahun itu terlihat mengeras, rahangnya pun mengatup rapat. Prada merasa sangat marah sekaligus kecewa dengan Bimala.Prada mungkin bisa memaklumi alasan Bimala yang tidak bisa mendampinginya hari ini karena ingin membantu Ibu Panti. Tapi apa yang dia lihat barusan. Dia melihat dengan mata kepalanya sendiri Bimala pergi ke mall bersama Sean. Bimala bahkan tidak meminta izin pada dirinya sebelum pergi.Kenapa Bimala tega membohonginya? Apa Bimala tidak pernah memikirkan bagaimana perasaannya?"Sial!" desis Prada terdengar penuh amarah. Tanpa sadar dia menambah kecepatan mobilnya membuat seorang wanita bergaun merah muda yang duduk di sebelahnya ketakutan."Kak Prada ...," gumam Felia dengan suara gemetar. Jantung Felia berdetak cepat, wajahnya pun terlihat sedikit pucat, tanpa sadar kedua tangannya mencengkeram sabuk pengaman dengan erat karena Prada mengendarai mobilnya dengan sangat kencang.Felia sepenuhny
Suasana panti hari ini lebih ramai dari pada biasanya. Ada sebuah panggung kecil yang dihiasi balon warna-warni di tengah halaman. Beberapa buah meja dan kursi pun tertata rapi di depan panggung tersebut.Semua penghuni panti tampak sibuk menyambut tamu yang akan datang, begitu pula dengan Sean. Dia sengaja mengosongkan jadwalnya hari ini untuk membantu ibu panti."Kevin, tolong taruh kursi ini di sana." Sean menyuruh seorang anak laki-laki berusia sekitar sebelas tahun untuk meletakkan kursi di tempat yang dia tunjuk.Sean mengembuskan napas panjang setelah itu menegakkan tubuhnya. Sepasang iris hitam miliknya memperhatikan sekitar dengan lekat untuk memastikan kalau semuanya sudah siap. Hari ini panti asuhan kedatangan beberapa pelajar dari luar negri. Mereka datang untuk memberi edukasi serta bantuan untuk anak-anak."Semua sudah siap, Se?" tanya Ibu Panti."Sudah, Bu." Sean melihat jam tangannya. Ternyata sekarang sudah jam sebelas kurang sepulih menit.Sean pun meminta anak-anak
Prada melihat jam tangan merek Rolex seharga ratusan juta yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Lelaki berusia tiga puluh tahun itu terlihat sangat tampan dalam balutan kemeja hitam dan celana bahan berwarna senada.Prada tampak siap menghadiri acara serah terima jabatannya sebagai CEO baru di perusahaan yang akan dia pimpin pukul sepuluh pagi nanti. Dia sekarang sedang menunggu Bimala bersiap-siap sambil menikmati secangkir teh hangat di ruang tamu.Sebenarnya Bimala tidak perlu ikut sebab acara tersebut hanya dihadiri oleh petinggi perusahaan, pemilik saham, dan beberapa awak media. Namun, Prada sengaja meminta satu buah kursi khusus untuk Bimala. Dia ingin Bimala hadir di acara paling berkesan dalam hidupnya. Dia ingin menunjukkan pada dunia betapa beruntungnya dia memiliki istri yang cantik dan selalu mendukungnya seperti Bimala.Waktu terus berputar. Prada kembali melihat jam tangannya, sudah lima belas menit dia menunggu, tapi Bimala belum juga turun.Apa wanita selalu mem
Prada langsung masuk ke dalam rumah selepas kepergian Sean. Prada sadar seharusnya dia tidak perlu cemburu karena dia percaya kalau Bimala tidak mungkin mengkhianatinya. Namun, dia tetap saja merasa kesal. Bimala berniat menyusul Prada. Dia ingin menenangkan suaminya itu agar tidak cemburu dengan Sean. Namun, Felia tiba-tiba mencekal pergelangan tangannya."Ada apa, Fel?""Acara serah terima jabatan Kak Prada besok kan, Mbak?""Kamu tahu?!"Felia mengangguk. "Iya, Kak Prada sendiri yang ngasih tahu aku, makanya dia ajak aku tinggal di sini.""Oh ...," sahut Bimala singkat.Prada pasti akan menyembunyikan pernikahannya dan Felia jika tidak diangkat menjadi CEO. Pantas saja Prada mengajak Felia tinggal bersama mereka sekarang, ternyata itu alasannya."Aku ingin mendampingi Kak Prada di acara tersebut, tapi Kak Prada tidak mungkin mengajak kita berdua. Apa boleh aku yang pergi?" Felia menatap Bimala dengan penuh harap. Dia akan memanfaatkan kempatan itu untuk mendekati Prada jika Bimala
"Kenapa belok ke arah sini, Kak? Katanya tadi mau jemput Mbak Mala sekalian?" Felia merasa heran ketika mobil yang dikendarai Prada mengarah ke rumah."Bimala tadi ngasih tahu kakak kalau dia pulang sama Sean.""Sean?!" Kening Felia berkerut dalam karena nama itu terdengar asing di telinganya. "Siapa Sean?""Sahabat baik Bimala.""Apa? Sahabat?" "Iya."Felia merasa heran melihat Prada yang mengizinkan Bimala pulang bersama lelaki lain meskipun itu sahabatnya sendiri. Lagi pula tidak ada persahabatan murni di antara laki-laki dan perempuan jika tidak ada salah satu dari mereka yang memiliki rasa."Kak Prada percaya kalau mereka cuma sahabatan?""Maksud kamu?" Prada melirik Felias sekilas lalu kembali memperhatikan jalanan yang ada di hadapan."Tidak ada persahabatan murni di antara laki-laki dan perempuan jika tidak ada salah satu dari mereka yang memiliki rasa. Bagaimana kalau Sean ternyata memiliki perasaan lebih pada Mbak Mala? Apa Kakak tidak cemburu?"Prada malah tersenyum. "Juju
"Kamu marah sama aku?" Sean terus mengikuti Bimala, seperti anak ayam yang mengekori induknya. Sejak tadi dia mencoba berbicara dengan Bimala, tapi sahabatnya itu selalu mengabaikannya."Bi!" Bimala sontak berhenti melangkah karena Sean menghadang jalannya."Apaan sih, Se? Kamu nggak lihat tokoku sekarang lagi ramai? Minggir!" Bimala mendorong Sean agar menyingkir dari hadapannya, setelah itu menata kue yang dibawanya ke etalase.Sean menghela napas panjang. Dia merasa sangat menyesal sudah meminta Bimala agar menyuruh Prada untuk menceraikan Felia."Aku minta maaf."Bimala sontak berhenti menata kue di etalase ketika mendengar ucapan Sean. Dia berusaha keras menahan tawanya agar tidak meledak melihat Sean yang begitu frustrasi saat meminta maaf pada dirinya."Aku nggak akan meminta kamu menyuruh Prada untuk menceraikan Felia lagi. Tapi please, jangan diemin aku kayak gini." Sean menatap Bimala dengan pandangan memohon."Kamu serius nggak akan nyuruh aku buat meminta Mas Prada agar ny
Prada memenuhi janjinya pada Felia, sepulang dari kantor dia mengajak istri keduanya itu pergi ke makam ayahnya. Sebelum pergi mereka mampir ke toko bunga, membeli seikat bunga lily putih untuk dibawa ke sana.Perjalanan dari rumah menuju makam Rudy membutuhkan waktu yang agak lama. Prada pun meminta Felia untuk tidur dan dia akan membangunkan wanita itu ketika mereka sudah tiba di makam. Namun, Felia menolak, lagi pula dia tidak mengantuk."Padahal kakak nggak papa loh nyetir sendirian." Prada melirik Felia sekilas, setelah itu kembali memperhatikan jalanan yang ada di hadapan."Aku nggak ngantuk, Kak. Lagian aku mau nemenin Kak Prada.""Ya, sudah. Kamu nggak lupa bawa susu dan perlengkapan Arkana yang lain, kan?""Kakak tenang saja, aku udah membawa semuanya.""Bagus." Prada mengangguk lalu menambah sedikit kecepatan mobilnya agar cepat tiba makam ayah Felia."Em, Kak.""Ya?" sahut Prada tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan. Felia menggigit bibir bagian bawahnya, menimang-ni
Bimala tanpa sadar memilin kesepuluh jemari tangannya, kebiasaan jika dia sedang cemas. Bimala takut ibu-ibu tersebut curiga dengan Felia dan berpikiran buruk tentang Prada mengingat beberapa hari ini sedang marak kasus perselingkuhan.Apa yang harus dia lakukan? Haruskah dia memberi tahu masalah ini pada Prada?"Kak Prada sudah berangkat, Mbak?" Pertanyaan Felia barusan membuat Bimala tergagap."Eh, iya, Fel. Mas Prada baru saja berangkat." Bimala cepat-cepat mengubah raut wajahnya kembali tenang agar Felia tidak curiga. Lagi pula dia tidak ingin membebani pikiran Felia dengan sesuatu yang belum pasti kebenarannya."Kamu udah selesai sarapannya?""Tinggal dikit lagi, Mbak," jawab Felia sambil menimang-nimang Arkana yang berada di atas pangkuannya. Dia terpaksa sarapan sambil memangku Arkana karena anak itu sempat rewel dan tidak mau ditidurkan di keranjang bayi lagi."Sini, biar Arkana sama mbak dulu." Bimala mengulurkan kedua tangannya, ingin mengambil Arkana dari pangkuan Felia aga