Memperingatkan Rosa
Mala mematut dirinya di depan kaca. Hari ini dia memutuskan untuk pergi mengajar setelah libur beberapa hari. Dia rindu suasana anak didiknya. Sedangkan Kinanti, dia akan bersama Bude Rumi seperti yang sudah-sudah. Wanita itu bagai malaikat penolong. Bahkan dia tak segan mengurus Kinan dengan penuh kasih sayang. "Mala, berangkatlah ke sekolah. Jika ada tamu, biar Bude yang menemui. Hidupmu harus berlanjut, bahkan kau harus berjuang lebih keras lagi. Tak ada Bayu tempatmu bergantung. Kau punya anak yang harus dihidupi. Tak mungkin selamanya kau harus bergantung pada apa yang ditinggalkan mendiang suamimu. Lagi pula Bude tak yakin mertuamu itu tak akan menuntut macam-macam," ucap Bude Rumi saat Mala tengah duduk di meja makan. Wanita itu mengaduk makanannya dan mengangguk pelan. "Bude hapal perangai wanita itu. Kau yang sabar. Jangan pula bersikap lemah. Kita bukan malaikat. Bela dirimu sekuat tenaga saat mereka mengusikmu. Bude tak ingin seperti yang sudah-sudah, kau lemah menghadapi mertuamu. Kini tak ada Bayu yang menjadi pembelamu, sudah saatnya kau membela dirimu sekuat mungkin." Bude Rumi memakaikan baju pada tubuh Kinanti setelah dimandikan. Bau minyak telon khas anak-anak menguar. Kinanti menutup hidungnya karena tak suka dengan aroma yang dikeluarkan. "Mala, ada yang mau Bude katakan juga. Bude hanya tak mau kau mendengarnya dari orang lain sementara Bude mengetahui informasi itu. Maaf jika membuatmu nanti kepikiran. Tapi lebih baik kau selidiki sendiri," ucap Bude Rumi dengan suara terdengar ragu. Mala menyudahi makannya. Dia menatap Bude Rumi dengan penuh pertanyaan. "Maksud Bude?" Wanita itu menarik napasnya perlahan. Dia menatap Mala dengan pandangan ragu sekaligus kasihan. Apa yang dilihat dan didengarnya benar-benar harus disampaikan pada Mala. "Bude dengar ada seorang wanita di rumah mertuamu. Bahkan dia tiap sore ke makam suamimu. Bu Rahayu bahkan mengenalkan dia pada tamu yang datang sebagai menantunya. Padahal satu-satunya menantu yang dimilikinya hanya kamu. Bude khawatir… ." Mala menatap wajah Bude Rumi dengan seksama. Ingatannya tertuju pada sosok wanita yang bertemu dengannya di makam sang suami. Tak ada percakapan apapun, hanya saja memang Mala menangkap raut duka yang tak biasa. Saat itu Mala tak ingin berpikir jauh. Lagipula Ardan—adik iparnya memperkenalkannya sebagai sepupu mereka. Apakah wanita yang dimaksud Bude adalah orang yang sama? Mala mengingat nama wanita itu sebagai Rita. Memang dia sempat curiga dengan ekspresi Ardan yang terlihat begitu gugup. Hanya saja sekali lagi dia yang sedang sangat berduka itu tak mampu berpikir macam-macam. "Bude tahu Bayu adalah lelaki yang sangat baik. Dia tak akan menghianatimu, hanya saja apa yang dikatakan mertuamu pada orang-orang justru menyulut berbagai pertanyaan untuk semua. Apalagi anak-anak Bu Rahayu hanya Bayu yang sudah menikah. Apa tujuannya dia memperkenalkan pada semua orang bahwa dia adalah menantunya? ""Maksud Bude, Rita adalah istri Mas Bayu?" Bude Rumi terkesiap dengan pertanyaan Mala. "Jadi… kamu mengenal wanita itu?" Mala menggeleng lemah. "Kami sempat bertemu di makam Mas Bayu. Dia diantar Ardan yang mengenalkan Rita sebagai sepupu mereka." Jawaban Mala membuat Bude Rumi menatapnya miris. Insting seorang ibu berkata lain. Meski Mala bukan anaknya, tetapi dia merasa janggal dengan penjelasan Mala yang juga terdengar ragu dengan ucapannya. "Baiklah. Semoga tak ada masalah apapun ke depannya. Kamu yang sabar, Mala. Yakin kalau kamu tak sendiri, ada Bude bersamamu. Jangan ragu menceritakan apapun yang membuat hatimu tak tenang. Anggap Bude pengganti ibumu yang berada jauh." Ucapan Bude Rumi menimbulkan gerimis di hati Mala. Tak ada kalimat apapun yang mampu dia ucapkan pada wanita yang sungguh memiliki hati mulia. Bahkan karena keberadaannya itu dia mampu melupakan sedikit kesedihan karena sikap ibu mertua padanya. "Mbak. Sudah mau ngajar?" Suara Rosa tiba-tiba terdengar di ruang makan. Tanpa permisi sedikit pun dia membuka tudung saji. Matanya berbinar seketika melihat makanan yang sudah disiapkan Mala. Segera dia meraih piring dan menyendokkan nasi ke piringnya. Setelah itu tumis kangkung dan ayam goreng diletakkan berjejer di atas nasinya. "Mending buka rumah makan, Mbak. Daripada ngehonor nggak ada gajinya. Mana cukup hidup dari gaji guru honorer yang nggak seberapa. Untungnya selama ini ada Mas Bayu yang menanggung seluruh hidup Mbak Mala dan anakmu itu," ucap Rosa tanpa tekanan sedikit pun. Mulutnya sama persis dengan sang ibu, pedas dan tajam. Dia tak berpikir bahwa orang lain akan tersinggung dengan perkataannya. "Mala juga kerja loh, Ros. Jangan asal mangap kalau ngomong. Kewajiban mencari nafkah itu terletak pada seorang suami. Jika istri berbesar hati ikut kerja meringankan beban suami harusnya sebagai seorang wanita kita turut bangga. Paling tidak Mala tak akan terlalu bingung menghidupi anaknya karena memiliki pekerjaan. Dia tak akan mengandalkan orang lain untuk menghidupi anaknya. Bukankah banyak di luar sana yang menggantungkan hidup meski ke anak sepeninggal suaminya? Bahkan hingga anaknya itu menikah. Untungnya si istri tak bermasalah suaminya masih menjatah keluarganya,bahkan lebih besar dari yang dia terima. Meski kenyataannya istri yang manut itu tetap saja penuh cacat di mata keluarga suaminya!" Rosa meletakkan sendoknya dengan kasar. Tatapannya nyalang menatap mata Bude Rumi. Tentu saja dia tersindir dengan ucapan wanita itu. Orang yang dibicarakan oleh Bude Rumi tak lain adalah ibunya sendiri. Selama ini ibunya bergantung dengan jatah yang diberikan Bayu—kakaknya.Bahkan seluruh kebutuhan hidup mereka ditanggung oleh Bayu. Beruntung Mala menerima hal itu. Dia tak mempermasalahkannya sama sekali. Tetapi rasa tak suka tetap saja memenuhi hati mereka. Bu Rahayu dan Rosa masih saja bersikap seolah Mala telah mengambil Bayu dari mereka. Hanya Ardan—si bungsu yang masih bersikap lunak. Sifatnya lembut meski sedikit pendiam. "Kenapa? Ada masalah dengan ucapan Bude? Makanya kalau ngomong dipikir. Jangan asal keluar kalau tidak mau perkataanmu itu justru berbalik memukul wajahmu sendiri!" ***Dikelilingi Orang Baik"Kenapa? Ada masalah dengan ucapan Bude? Makanya kalau ngomong dipikir. Jangan asal keluar kalau tidak mau perkataanmu itu justru berbalik memukul wajahmu sendiri!" Rosa sangat tak terima dengan perkataan wanita tambun itu. Tetapi apadaya, membantah kalimatnya sama sekali bukan ide yang cemerlang. Bisa habis tak bersisa apabila berani mendebat dirinya. Meskipun dia tahu, Bude Rumi tak terikat hubungan darah apapun dengan Mala, tetapi sikap dan perhatiannya melebihi seorang ibu. Dan Mala diam bukan karena dia takut dengan adik suaminya, hanya saja tenaganya belum terlalu pulih untuk berdebat dengan gadis tak sopan itu. Dia juga bosan dengan sikapnya selama ini yang tak pernah menghormatinya dengan layak. Jika selama ini Mala selalu mengalah demi menghargai suaminya, entah kini dia bisa melakukannya lagi atau tidak. "Makan begini saja diceramahi panjang lebar. Males jadinya!" Rosa beranjak dari tempatnya duduk seraya membanting sendoknya hingga menimbulkan buny
Bayi Siapa? 1"Kami turut berduka cita, Bu Mala," ucap lirih Pak Seno, kepala sekolah tempat Mala bertugas. Rekan satu sekolahnya juga ikut mengucapkan duka cita secara bergantian. Mereka tak menyangka Mala yang tergolong masih muda ini akan menjadi seorang janda. Apalagi statusnya yang masih honorer dengan satu orang anak. Mereka cukup khawatir dengan kelangsungan hidup rekannya beserta sang anak ke depan. "Terima kasih, Pak. Doakan saya selalu kuat melewati semua ini." Mala berusaha tersenyum meski hatinya diliputi mendung. Tidak mungkin dia menangis di tempat ini, apalagi keinginannya ke sekolah karena ingin bernapas lebih lega. Karena saat di rumah, dia terus menerus menangis melihat tiap sudut rumahnya penuh dengan kenangan manis bersama sang suami. "Bu Mala pasti kuat, jangan segan-segan bercerita dengan teman di sini Bu. Kita semua keluarga, akan sangat sedih jika salah satu dari kita memendam masalahnya sendiri." Ucapan Pak Seno hanya ditanggapi senyuman oleh Mala. Dia bersy
Bayi Siapa? 2Mala memarkirkan kendaraan di depan halaman ibu mertuanya. Sepulang sekolah dia sengaja mampir ke rumah itu. Meski dia tak yakin dengan sambutan baik yang akan diterimanya, dia tetap memaksakan diri. Toh dia sudah terbiasa dengan sikap ibu mertuanya. Satu plasik penuh buah apel yang dibeli dari kios tak jauh dari sekolahnya diambilnya dari bagasi motor. Matanya langsung disuguhi pemandangan yang sangat ganjil. Jemuran baju di lantai dua rumah mertuanya terlihat cukup jelas dari tempat dia berdiri. Memang lantai dua rumah mertuanya memiliki sedikit space yang biasa digunakan untuk menjemur pakaian. Yang menjadi pertanyaan Mala adalah pakaian bayi mendominasi jemuran dari bahan aluminium tersebut. Meski diliputi tanda tanya, Mala tetap berusaha tenang. Langkahnya yakin mendekati pintu rumah mertuanya. Sayup-sayup dari dalam dia mendengar suara tawa beberapa wanita. Dia paham dua di antaranya adalah mertua dan Rosa. Mala mengeraskan suara salamnya. Suaranya kalah dengan s
Anak itu, Alvaro! 1"Suara anak siapa, Bu?" ulang Mala pada ibu mertuanya. Ada raut kegugupan yang berusaha dia tutupi. Mata Mala membidik arah kamar dimana Rita masuk ke dalam sana. Suara bayi tak terdengar lagi, membuat wanita itu menebak dengan penuh keyakinan bahwa bayi yang menangis tersebut adalah anaknya. Entah kekuatan dari mana, Mala melangkahkan kaki ke arah kamar yang dulu dihuni olehnya dan Bayu. Rasa heran bercampur penasaran mengapa ibu mertuanya tidak menempatkan Rita di kamar tamu yang biasa ditempati saudara yang menginap di rumah itu. "Mau kemana?" tanya ibu mertua Mala dengan suara yang terdengar sedikit panik. Mala membalikkan tubuhnya. Benar, dia mendapati wajah ibu mertuanya yang berusaha menutupi kegugupan. "Menengok bayinya Rita. Tak masalah bukan? Dia juga saudara sepupuku." Tanpa menunggu jawaban dari Bu Rahayu, Mala melanjutkan langkahnya. "Mbak! Jangan lancang. Siapa tahu Rita tak mau privasinya diganggu!" teriak Rosa yang justru membuat Mala makin pena
Bayi itu Alvaro ! "Mbak Rita kenapa? Kok kayanya kaget dengan pertanyaanku? Ayahnya kerja?" "Kamu kok nggak sopan tanya seperti itu? Memangnya perlu banget kamu tahu? Memang wanita yang nggak pernah dididik ibunya ya seperti ini! Nggak punya etika!" hardik Bu Rahayu pada menantunya. Mala makin menyadari sesuatu. Dia bukan wanita bodoh, dia amat menyadari ada sesuatu yang memang ditutupi oleh ketiga wanita di depannya. "Bu, kenapa reaksimu berlebihan seperti ini? Ada masalah dengan pertanyaanku? Kenapa harus teriak?" Kali ini Mala tak tinggal diam seperti yang sudah-sudah. Tak ada yang harus dijaga perasaannya. Rasa lelah juga dirasakannya karena bakti yang tanpa batas pada wanita bergelar ibu mertuanya itu tak pernah menganggapnya selayaknya seorang menantu. Entah dimana letak kesalahan Mala. Berkali-kali dia meminta penjelasan pada Bayu, tetapi hanya kalimat yang bernada memohon kesabaran pada Mala atas sikap mertuanya. Dengan penuh kelembutan Bayu selalu berhasil meredam emosi y
Kecamuk"Kalau Kinan punya adik laki-laki, kita beri nama Alvaro," ucap Bayu pada istrinya. Mala yang tengah melihat tayangan youtube mengenai tutorial memasak kari menoleh ke arah laki-laki itu. Senyumnya terbit setelah sang suami menatapnya dengan wajah jenaka. "Kamu sudah siap punya anak lagi, 'kan?" tanya Bayu, "aku ingin anak laki-laki. Biar nonton bola ada yang menemani." Mala tertawa sejenak. Ada yang menggelitik hatinya saat mendengar alasan yang dikemukakan oleh suaminya. "Yang benar saja, Mas. Masa pengin anak laki-laki cuma buat teman nonton bola. Kalau perkara nonton bola, bukannya selama ini Kinanti pun sering menemanim? Bahkan teriakannya melebihi suporter di lapangan," jawab Mala. "Nggaklah. Pokoknya pengin anak laki-laki.""Kalau ternyata nanti aku hamil, terus anaknya perempuan gimana?" "Ya bikin lagi!" jawab Bayu dengan mimik serius hingga membuat Mala melemparkan bantal guling ke arah suaminya sebagai wujud protes. "Satu saja aku sering keteter, Mas. Untung ad
Tidak mungkin laki-laki yang telah membersamainya selama lima tahun itu telah menghianati janji suci pernikahan mereka. Apalagi mengingat segala macam perjuangan yang sudah mereka lakukan untuk memenangkan hati Bu Rahayu. Meski kenyatannya hati wanita itu terlampau kuat sekokoh karang hingga tak bisa diruntuhkan oleh segala jenis kebaikan yang Mala tawarkan padanya. Entah akad seperti apa yang membuat Bu Rahayu akhirnya luluh dan menerima pernikahan mereka yang digelar di rumahnya. Nyatanya dia berada di tengah-tengah pernikahan Bayu dan Mala, meski dengan wajah yang tak bisa berbohong. Bahkan dia menolak untuk mengambil foto bersama saat resepsi berlangsung. Wanita itu beralasan mendadak pusing dan ingin merebahkan diri di kasurnya. Mala bukan tidak tahu dengan alasan yang dibuat-buat oleh mertuanya. Hanya saja melihat bagaimana perjuangan Bayu memperoleh restu membuatnya cukup tahu diri untuk tidak banyak bertanya dan menerka apa yang terjadi dengan ibu mertuanya. Meski tak dipung
Fakta TerungkapMala turun dari motor maticnya setelah menemukan tempat parkir yang pas untuk kendaraannya. Kali ini dia tak jadi membawa Kinanti, karena Bude Rumi melarangnya untuk mengajak serta anak semata wayangnya. "Datang saja sendiri, tak perlu bawa Kinanti. Kalau Mbak Karin minta ketemuan di kafe artinya memang urgent sekali. Kalau hal biasa tentu lebih baik main kesini langsung. Iya 'kan? Biar Kinan sama Bude, kasian juga mau pulang jam berapa? Ini saja sudah sore," ucap Bude Rumi saat Mala menceritakan rencananya. Mala menatap Kinanti yang tengah bermain lego ditemani Mbah Ruminya di ruang tengah. Kalimat yang Bude Rumi ucapkan memang ada benarnya. Terlalu beresiko membawa anak perempuannya itu keluar. Tentu saja angin malam tak terlalu bagus untuk anak seusia Kinanti. "Bude…Apakah semuanya akan baik-baik saja?" tanya Mala dengan suara lirih. Hatinya sedikit goyah apakah akan tetap pergi dan mendengarkan apa yang disampaikan oleh Karina, atau memang lebih baik tak tahu ap
Tanpa dia sadari aku mengekor di belakangnya untuk berjalan ke arah balik panggung. Aku berlindung di balik punggungnya saat membelah kerumunan yang penuh sesak tanpa dia ketahui. Di sisi belakang panggung, kulihat anak-anak sudah berkumpul dengan orang tua mereka masing-masing. Kinanti yang menoleh ke kanan dan kiri tersenyum lebar melihat Mas Dion. Seketika dia berlari menubruk lelaki itu. Aku tersenyum saat Kinanti kaget melihatku yang berada di balik Om Dionnya."Mama sama Om Dion? Kok tadi nggak keliatan dari atas?" Mas Dion memutar tubuhnya hingga dia tak dapat menyembunyikan rasa kagetnya saat mendapatiku di belakangnya. Kedua alis tebalnya bertaut menunjukkan ekspresi bingungnya."Kamu fokusnya ke Om Dion, jadi Mama yang langsing ini nggak keliatan," jawabku setengah meledek. Mas Dion mengangkat kedua bahunya. "Secara tidak langsung kau mengatakan aku gendut, Mala." Aku tertawa dan mengabaikan wajah lucu lelaki itu. Kuraih kepala Kinanti untuk mendekat ke tubuhku. Kuciumi
Tergesa-gesa aku keluar dari taksi online yang membawaku. Mobilku pecah ban saat perjalanan kemari. Setengah berlari aku menyusuri koridor sekolah taman kanak-kanak Kinanti. Hari ini adalah pentas seni yang diadakan sekolah anakku. Dari tadi malam Kinanti memastikan aku harus hadir tepat waktu karena dia dan beberapa temannya akan menampilkan seni drama musikal yang sudah dipersiapkan matang oleh gurunya. Mungkin dia sudah paham dengan kesibukanku akhir-akhir ini dengan cabang baru bimbelku di kecamatan sebelah. Belum lagi dengan aktivitas mengajarku yang tak bisa kutinggalkan meski aku sudah punya penghasilan lain yang jauh lebih besar. Jantungku berdegup tak berirama saat sayup-sayup kudengar lagu yang biasa didengungkan Kinanti di depan kaca sudah diputar. Ada rasa ketakutan yang sangat besar aku tak bisa membersamai anakku berjuang menampilkan pementasan yang susah payah sudah dia usahakan. Aku mulai merutuki diriku yang tak bisa menolak wawancara dengan stasiun TV lokal yang i
"Om Dion bilang kapan-kapan pergi bertiga sama Mama, emang Mama mau?" tanya Kinanti saat malam hari menjelang tidurnya. Aku yang mendekapnya dari arah belakang hanya mampu menatap lurus ke arah tembok kamar. "Pengin punya papa kaya Om Dion". Aku makin tak mampu menjawab kalimat Kinanti. Aku agak heran mengapa dia begitu mudah melupakan ayahnya. Selama ini dia cukup dekat dengan Mas Bayu. Meski sebelum ajal menjemputnya perhatian lelaki itu kusadari mulai terbagi yang akhirnya kutahu dia membagi perhatian dan cintanya pada Rita dan anaknya. Entah kalimat apa lagi yang keluar dari bibir mungil anakku. Kubiarkan dia bermonolog sendiri hingga terdengar dengkuran halus darinya. Dipeluknya boneka beruang dari Mas Dion dengan erat. "Jangan bebani dirimu karena permintaan dari Bude, Mala. Terimalah Dion jika kamu memang berniat ingin membangun keluarga kembali dengan seorang pria yang serius. Bude tak memaksamu. Apalagi kau sendiri tahu apa kekurangannya."Kalimat Bude Rumi membuatku teta
Mas Dion bergerak tanpa penolakan sedikit pun. Dia berjalan sambil menuntun Kinanti ke mobilnya. Bude Rumi tersenyum padaku. "Mereka cocok ya, Mala?" Aku tersentak dengan pertanyaannya. Tentu saja aku hanya diam meneguk ludah tanpa mampu berkata-kata. Entah hanya bercanda untuk membuat Ibu mertua dan Rosa terpancing seperti biasa dia lakukan atau memang ada maksud lain yang tidak kuketahui. "Apakah kau belum berniat untuk menikah lagi, Mala?" Aku membulatkan kedua mataku. Lidahku kelu tak mampu berucap. Apalagi Bude Rumi menanyakan hal itu tepat di depan wajah Ibu mertuaku. Wanita itu menyunggingkan senyum sinis. "Secepat ini? Kau menanyakan Mala tak ingin menikah lagi saat tanah kuburan suaminya masih merah? Kau memang gila, Arumi!" Ibu mertuaku berucap dengan nada penuh ejekan. "Kenapa? Sudah lebih dari enam bulan Bayu meninggal. Masa idah Mala sudah lewat. Apa yang menghalanginya menikah?" tanya Bude Rumi dengan mata menantang. "Rasanya tak etis saat suami belum lama meningg
Sebenarnya aku sudah sangat lelah dengan keadaan seperti ini. Entah sampai kapan mereka akan merongrongku. Tanpa diduga Ardan mengangkat tas besar yang dari tadi tergeletak di sudut ruangan dan meletakkannya di atas motornya. Tentu saja perbuatannya membuat Ibu dan Rosa berteriak panik. "Dan! Apa-apaan kau! Kenapa baju kamu kau bawa?" Ibu berteriak penuh amarah. Sedangkan Rosa, baru saja berdiri saja dia sudah memegangi kepalanya. Aku tahu, efek kehamilan tiap orang berbeda-beda."Kalian benar-benar nggak punya malu! Entah dengan kalimat seperti apa yang bisa buat kalian sadar! Aku malu sebagai anak laki-laki keluarga kita, Bu! Mbak Mala itu sekarang orang lain, jangan ganggu hidup dia bisa?" Ardan memasukkan kunci motornya. "Aku tunggu di kontrakanku, Bu. Kalian sudah pernah kesana untuk minta uang. Aku yakin ingatan kalian masih berfungsi dengan baik!"Tergesa-gesa Ardan melajukan motornya. Dia melesat jauh tanpa peduli ibunya yang berteriak seperti orang kesetanan. Aku masuk ke
Balasan Mala "Kami tak mau menampung wanita murahan, Mbak." Mereka berdua berdiri seolah urusan pelimpahan ini telah selesai. "Kau mengatakan padaku Rosa murahan, apakah kau sendiri lupa kau pun sama murahannya dengan dia? Mau dinikahi diam-diam oleh laki-laki beristri itu juga hal murahan, kau tak tahu itu?" Kedua orang itu berhenti mengayun langkahnya. "Kau sungguh lucu. Wanita murahan meneriaki wanita lain yang juga murahan. Awas karmamu lebih berat, Rita."Tak ada kata yang diucapkan Rita kembali. Mereka berdua berjalan cepat ke arah mobil yang catnya pun sudah banyak yang mengelupas. Kembali kupandangi tas yang teronggok di sudut ruang tamuku. Entah drama apalagi yang akan terjadi dalam beberapa waktu ke depan. Yang jelas aku harus bersiap-siap karena setelah ini akan ada kerusuhan yang terjadi. Kuputuskan untuk menghubungi Ardan, adik lelaki Mas Bayu yang memilih untuk tinggal terpisah dengan ibu dan kakaknya pasca rumah mereka disita bank. Tiga panggilanku tak terjawab o
"Pulangnya ikut Om Dion," ucap Kinanti seperti sebuah perintah. Aku menautkan kedua alisku sebagai tanda protes untuk anakku. Tetapi lagi-lagi Kinan tak menangkap maksud ekspresiku. "Mau nginep juga di rumahnya Om Dion. Biar malam-malam jalan-jalan lagi naik mobil.""Mama janji beli mobil lagi dalam waktu dekat, Kinan.""Wow… demi menjauhkan Kinanti, kau bisa melangkah sejauh itu?" Lelaki dengan rahang kokoh itu tersenyum penuh arti ke arahku. Ya, kurasa dia benar. Aku terlalu gegabah mengumbar janji hanya karena takut dia terlalu dekat dengan Mas Dion. "Om Dion habis ini ke kantor lagi, kamu pulang sama Mama dulu ya. Besok Om ajak main lagi." Mas Dion mengusap rambut anakku dengan lembut. Dia berdiri dan tersenyum sekilas padaku. "Aku pulang dulu, Mala. Sampai bertemu, besok." Lelaki itu menganggukkan kepalanya ke arahku. Aku tak membalas apapun karena memang tak ada yang ingin kusampaikan lagi padanya. "Kalau Om Dion jadi Papa Kinanti boleh, Ma?" Uhuk. Aku hampir menyemburkan
Kedekatan Mereka Dua minggu pasca pertemuanku dengan Mas Dion di rumahku aku tak pernah bertemu lagi dengannya. Jangan tanya bagaimana Kinan berusaha mati-matian merayuku, memintaku untuk mengantar ke rumah Mbah Ruminya. Jika tak ada Mas Dion, tentu saja aku akan dengan ringan mengantar anakku ke sana. Aku harus mengalihkan perhatian Kinanti dengan membawanya jalan-jalan, atau sekadar membelikannya jajan seperti yang Mas Dion lakukan saat itu. Seperti sore ini, aku mengajak Kinanti membeli susunya yang sudah habis. Hari ini dia kubawa ke bimbel cabang ke dua yang kubangun belum lama ini. Perkembangannya cukup lumayan, aku tak perlu khawatir dengan persoalan finansial selepas kepergian Mas Bayu. Selain karena tenaga pengajar yang benar-benar kupilih dengan ketat, aku juga berusaha membangun tempat bimbelku agar tak seperti kebanyakan bimbel. Terbukti dengan kedua cara itu peminat bimbingan belajarku meningkat drastis akhir-akhir ini. Tak hanya itu, aku pun menggratiskan beberapa an
Ada yang teriris di dalam dadaku mendengar jawaban anakku. Rasanya tak adil, saat dia mulai masuk sekolah, papanya sedang sibuk dengan keluarga barunya. Aku yang bodoh, tak menyadari perubahan Mas Bayu sama sekali. Entah dia yang terlalu pintar menyembunyikan rahasianya atau memang aku yang terlampau percaya padanya. Lihatlah, Mas. Anakmu bahkan tak bisa merasakan bagaiman rasanya memiliki sosok Ayah yang mengantar serta menjemputnya sepulang sekolah. "Boleh, Ma?" Aku menatap mata bening bak telaga itu sekali lagi. Aku tersenyum seraya mengangguk lembut. Apa yang terjadi setelah dia mendnegar jawabanku? Kinanti berteriak kegirangan mendengar jawabanku. Bahkan dia melompat-lompat di atas sofa di depan TV ruang tengah. Aku melihat kebahagiaannnya yang berpendar dari senyum yang menghiasi bibir mungilnya. "Mbak. Aku mau bicara."Aku menoleh pada sumber suara. Gadis itu, adik iparku--Rosa, sudah datang di rumahku sepagi ini. Entah aku salah melihat atau memang keadaannya demikian,