Tidak mungkin laki-laki yang telah membersamainya selama lima tahun itu telah menghianati janji suci pernikahan mereka. Apalagi mengingat segala macam perjuangan yang sudah mereka lakukan untuk memenangkan hati Bu Rahayu. Meski kenyatannya hati wanita itu terlampau kuat sekokoh karang hingga tak bisa diruntuhkan oleh segala jenis kebaikan yang Mala tawarkan padanya. Entah akad seperti apa yang membuat Bu Rahayu akhirnya luluh dan menerima pernikahan mereka yang digelar di rumahnya. Nyatanya dia berada di tengah-tengah pernikahan Bayu dan Mala, meski dengan wajah yang tak bisa berbohong. Bahkan dia menolak untuk mengambil foto bersama saat resepsi berlangsung. Wanita itu beralasan mendadak pusing dan ingin merebahkan diri di kasurnya. Mala bukan tidak tahu dengan alasan yang dibuat-buat oleh mertuanya. Hanya saja melihat bagaimana perjuangan Bayu memperoleh restu membuatnya cukup tahu diri untuk tidak banyak bertanya dan menerka apa yang terjadi dengan ibu mertuanya. Meski tak dipung
Fakta TerungkapMala turun dari motor maticnya setelah menemukan tempat parkir yang pas untuk kendaraannya. Kali ini dia tak jadi membawa Kinanti, karena Bude Rumi melarangnya untuk mengajak serta anak semata wayangnya. "Datang saja sendiri, tak perlu bawa Kinanti. Kalau Mbak Karin minta ketemuan di kafe artinya memang urgent sekali. Kalau hal biasa tentu lebih baik main kesini langsung. Iya 'kan? Biar Kinan sama Bude, kasian juga mau pulang jam berapa? Ini saja sudah sore," ucap Bude Rumi saat Mala menceritakan rencananya. Mala menatap Kinanti yang tengah bermain lego ditemani Mbah Ruminya di ruang tengah. Kalimat yang Bude Rumi ucapkan memang ada benarnya. Terlalu beresiko membawa anak perempuannya itu keluar. Tentu saja angin malam tak terlalu bagus untuk anak seusia Kinanti. "Bude…Apakah semuanya akan baik-baik saja?" tanya Mala dengan suara lirih. Hatinya sedikit goyah apakah akan tetap pergi dan mendengarkan apa yang disampaikan oleh Karina, atau memang lebih baik tak tahu ap
Mala meremas ponsel yang ada di genggamannya menyalurkan rasa marah dan kecewa pada sosok yang sudah tak bisa ditemuinya lagi di dunia. Bahkan dia tak bisa hanya sekadar meluapkan emosi pada orang yang bersangkutan pun sudah tidak bisa. "Mala. Maaf jika langkahku menyakitimu. Tapi aku tak mau kau terus menerus meratapi seseorang yang sudah menyakitimu sedemikian jahat. Rasanya tak adil kau mengingatnya penuh mengenai kenangan-kenangan manis dengannya yang faktanya tidak hanya kamu saja yang telah membuat kenangan indah dengannya. Ada wanita lain yang juga merasakan hal yang sama." Karina memahami rasa sakit yang dialami wanita di depannya. Rasanya tak adil jika Mala terus menerus mengenang Bayu dengan kebaikannya saja, nyatanya laki-laki itu telah menghianati Mala sejauh itu. Dia yakin dengan langkah yang ditempuhnya, terlebih mengingat kehidupan Mala masih teramat jauh ke depan. "Kapan? Kapan laki-laki itu menikahi wanita ini?" tanya Mala dengan suara bergetar. Ada rasa jijik seke
Adakah yang lebih menyedihkan dari rasa kecewa dan marah pada sosok yang sudah tak ada di dunia ini? 💔💔💔Mala menatap bayangannya di depan cermin. Lama dia menatap pantulan dirinya yang terlihat makin tak terawat akhir-akhir ini. Bagaimana dia mau merawat diri, semenjak kematian suaminya hanya air mata yang setia berteman dengannya. Cekungan hitam di lingkaran matanya kian hari kian melebar. Siang malam tiap dia melihat barang-barang Bayu hatinya kembali bersedih. Hampir tiap malam dia mengadukan semuanya pada Sang Pencipta. Ribuan doa kebaikan dia langitkan demi ampunan untuk orang yang sangat dikasihinya. Itu yang membuatnya makin sesak, karena dia menyadari tidak hanya dirinya yang berdoa untuk suaminya. Ada Rita, yang bahkan jika Bayu suaminya masih ada mungkin lebih diharapkan doanya. Mala memukul dadanya cukup keras berharap rasa perih yang menjalar setelah tahu kenyataan suaminya memiliki wanita lain lekas menghilang. Rasanya amat tak adil, saat dia menangisi laki-laki i
Tak ada lagi yang perlu disesali. Sebanyak apapun ingatan Mala mengenang kebaikan Bayu, tetap penghianatannya ini berhasil menutup rapat seluruh kelebihan laki-laki itu. Tak ada yang tersisa, karena setiap mengingat Bayu hanya kebencian yang menggunung yang muncul di alam bawah sadarnya. Mala memegang tiga buah sertifikat di tangannya. Satu buah rumah yang mereka tinggali saat ini. Satu lagi rumah di perumahan D'Golden tak jauh dari tempatnya mengajar, dan mungkin disanalah nanti dia akan tinggal. Mala yang memang meminta rumah tersebut karena letaknya lebih strategis. Kebetulan saat itu temannya yang pemilik sebelumnya mutasi ke daerah lain, yang akhirnya dibeli Mala dan Bayu dengan harga yang sesuai. Beruntung lagi karena Bayu tak pernah membicarakan apapun yang dia punya dengan sang ibu. Beruntung selama ini wanita itu terlalu terlena dengan jatah dari Bayu yang memang cukup besar. Mala hanya diberi sebagian, itu pun sering disertai dengan berbagai sindiran yang selalu diarahkan
Kedatangan Mertua"Lho…apa-apaan? Kenapa mobil anakku dibawa?" tanya Bu Rahayu pada menantunya yang masih terdiam di depan rumah. Entah kebetulan atau apa, wanita itu datang ke rumahnya hampir bersamaan saat Dito melajukan mobil yang baru saja dijual. Tentu saja langkahnya sangat terlambat, mobil yang dikendarai Dito sudah melesat menyisakan tanda tanda yang cukup besar bagi mertua Mala. "Aku menjualnya, Bu. Untuk acara Mas Bayu sampai selesai. Bukankah semua juga butuh biaya?" jawab Mala dengan ringan. Dia bisa menangkap wajah kaget dan marah sang mertua dari ekor matanya. "Kau…sudah gila? Berani-beraninya kau menjual barang milik anakku?" Wanita itu mencekal lengan Mala dengan erat. Sedikit perih saat kuku bercat merah itu menancap di kulit halus Mala. Meski terlapisi kain, kuku tajam itu nyatanya mampu menembus dan menimbulkan bekas di sana. "Yang Ibu sebut anak itu adalah suamiku, Bu. Jangan lupa Mas Bayu itu suamiku, aku istrinya. Kenapa tidak boleh dijual? Tentu saja aku ber
"Repot sekali mengurusi wanita itu. Saya curiga dia bukan hanya sekedar keponakan Ibu.""Lancang sekali kau, Mala! Pokoknya mobil itu harus ada besok pagi!" "Terserah apa maumu, Bu. Aku tak punya waktu meladeni kekonyolan Ibu." Mala berlalu dari hadapan wanita itu. Tentu saja bukan Bu Rahayu jika kalah begitu saja. Baginya, Mala menjual mobil anaknya adalah kelalahannya satu poin dari menantunya. Dia harus kembali mengendalikan Mala, seperti saat Bayu masih ada. Bu Rahayu yang pandai bersandiwara itu tiba-tiba menangis meraung-raung. Dia memukuli dadanya sembari berteriak untuk menarik perhatian warga. Mala yang melihat tingkah mertuanya bergeming di tempatnya berdiri. Dia ingin lihat, sejauh mana wanita itu memainkan perannya. "Bayu… apa Ibu bilang, Nak. Baru ditinggal olehmu belum genap empat puluh hari saja dia sudah berani menjual hartamu. Kemana Ibu akan mengadu jika kau tempat Ibu berkeluh kesah sudah tak ada. Bayu… malang nian nasibmu, Nak. Kau meninggal di usia yang sanga
Tak Tinggal Diam"Sumbangsih? Kau yakin ada sumbangsih wanita ini? Bayu itu bekerja di perusahaannya sekarang sudah lama. Jauuh…Sebelum bertemu Mala, Bayu sudah mapan dengan sendirinya. Jadi tidak mungkin ada jerih payah wanita yang kelihatannya saja kalem. Aslinya dia tamak tak terkira! Jangan tertipu wajah lugunya!" "Kalau begitu, mengapa Bayu tak membeli mobil sebelum menikah dengan Mbak Mala? Bukankah Bayu sudah mapan seperti yang Bu Rahayu bilang? Mengapa setelah menikahi Mbak Mala baru bisa membeli mobil? Bukankah itu sudah jelas bahwa Mbak Mala pun turut berperan?"Mertua Mala terlihat meneguk ludahnya. Dia tak berkutik saat pertanyaan pamungkas Bu Santi diarahkan ke dirinya. Siapapun akan geram melihat bagaimana wanita itu mencoba memainkan perannya. Sudah menjadi rahasia umum bagaimana serahkahnya Bu Rahayu yang selalu ingin menguasai uang anaknya. "Begini Bu Rahayu. Agar tidak berlarut-larut, sebaiknya Anda segera pulang. Apa yang sudah dijual oleh Mbak Mala sudah menjadi
Tanpa dia sadari aku mengekor di belakangnya untuk berjalan ke arah balik panggung. Aku berlindung di balik punggungnya saat membelah kerumunan yang penuh sesak tanpa dia ketahui. Di sisi belakang panggung, kulihat anak-anak sudah berkumpul dengan orang tua mereka masing-masing. Kinanti yang menoleh ke kanan dan kiri tersenyum lebar melihat Mas Dion. Seketika dia berlari menubruk lelaki itu. Aku tersenyum saat Kinanti kaget melihatku yang berada di balik Om Dionnya."Mama sama Om Dion? Kok tadi nggak keliatan dari atas?" Mas Dion memutar tubuhnya hingga dia tak dapat menyembunyikan rasa kagetnya saat mendapatiku di belakangnya. Kedua alis tebalnya bertaut menunjukkan ekspresi bingungnya."Kamu fokusnya ke Om Dion, jadi Mama yang langsing ini nggak keliatan," jawabku setengah meledek. Mas Dion mengangkat kedua bahunya. "Secara tidak langsung kau mengatakan aku gendut, Mala." Aku tertawa dan mengabaikan wajah lucu lelaki itu. Kuraih kepala Kinanti untuk mendekat ke tubuhku. Kuciumi
Tergesa-gesa aku keluar dari taksi online yang membawaku. Mobilku pecah ban saat perjalanan kemari. Setengah berlari aku menyusuri koridor sekolah taman kanak-kanak Kinanti. Hari ini adalah pentas seni yang diadakan sekolah anakku. Dari tadi malam Kinanti memastikan aku harus hadir tepat waktu karena dia dan beberapa temannya akan menampilkan seni drama musikal yang sudah dipersiapkan matang oleh gurunya. Mungkin dia sudah paham dengan kesibukanku akhir-akhir ini dengan cabang baru bimbelku di kecamatan sebelah. Belum lagi dengan aktivitas mengajarku yang tak bisa kutinggalkan meski aku sudah punya penghasilan lain yang jauh lebih besar. Jantungku berdegup tak berirama saat sayup-sayup kudengar lagu yang biasa didengungkan Kinanti di depan kaca sudah diputar. Ada rasa ketakutan yang sangat besar aku tak bisa membersamai anakku berjuang menampilkan pementasan yang susah payah sudah dia usahakan. Aku mulai merutuki diriku yang tak bisa menolak wawancara dengan stasiun TV lokal yang i
"Om Dion bilang kapan-kapan pergi bertiga sama Mama, emang Mama mau?" tanya Kinanti saat malam hari menjelang tidurnya. Aku yang mendekapnya dari arah belakang hanya mampu menatap lurus ke arah tembok kamar. "Pengin punya papa kaya Om Dion". Aku makin tak mampu menjawab kalimat Kinanti. Aku agak heran mengapa dia begitu mudah melupakan ayahnya. Selama ini dia cukup dekat dengan Mas Bayu. Meski sebelum ajal menjemputnya perhatian lelaki itu kusadari mulai terbagi yang akhirnya kutahu dia membagi perhatian dan cintanya pada Rita dan anaknya. Entah kalimat apa lagi yang keluar dari bibir mungil anakku. Kubiarkan dia bermonolog sendiri hingga terdengar dengkuran halus darinya. Dipeluknya boneka beruang dari Mas Dion dengan erat. "Jangan bebani dirimu karena permintaan dari Bude, Mala. Terimalah Dion jika kamu memang berniat ingin membangun keluarga kembali dengan seorang pria yang serius. Bude tak memaksamu. Apalagi kau sendiri tahu apa kekurangannya."Kalimat Bude Rumi membuatku teta
Mas Dion bergerak tanpa penolakan sedikit pun. Dia berjalan sambil menuntun Kinanti ke mobilnya. Bude Rumi tersenyum padaku. "Mereka cocok ya, Mala?" Aku tersentak dengan pertanyaannya. Tentu saja aku hanya diam meneguk ludah tanpa mampu berkata-kata. Entah hanya bercanda untuk membuat Ibu mertua dan Rosa terpancing seperti biasa dia lakukan atau memang ada maksud lain yang tidak kuketahui. "Apakah kau belum berniat untuk menikah lagi, Mala?" Aku membulatkan kedua mataku. Lidahku kelu tak mampu berucap. Apalagi Bude Rumi menanyakan hal itu tepat di depan wajah Ibu mertuaku. Wanita itu menyunggingkan senyum sinis. "Secepat ini? Kau menanyakan Mala tak ingin menikah lagi saat tanah kuburan suaminya masih merah? Kau memang gila, Arumi!" Ibu mertuaku berucap dengan nada penuh ejekan. "Kenapa? Sudah lebih dari enam bulan Bayu meninggal. Masa idah Mala sudah lewat. Apa yang menghalanginya menikah?" tanya Bude Rumi dengan mata menantang. "Rasanya tak etis saat suami belum lama meningg
Sebenarnya aku sudah sangat lelah dengan keadaan seperti ini. Entah sampai kapan mereka akan merongrongku. Tanpa diduga Ardan mengangkat tas besar yang dari tadi tergeletak di sudut ruangan dan meletakkannya di atas motornya. Tentu saja perbuatannya membuat Ibu dan Rosa berteriak panik. "Dan! Apa-apaan kau! Kenapa baju kamu kau bawa?" Ibu berteriak penuh amarah. Sedangkan Rosa, baru saja berdiri saja dia sudah memegangi kepalanya. Aku tahu, efek kehamilan tiap orang berbeda-beda."Kalian benar-benar nggak punya malu! Entah dengan kalimat seperti apa yang bisa buat kalian sadar! Aku malu sebagai anak laki-laki keluarga kita, Bu! Mbak Mala itu sekarang orang lain, jangan ganggu hidup dia bisa?" Ardan memasukkan kunci motornya. "Aku tunggu di kontrakanku, Bu. Kalian sudah pernah kesana untuk minta uang. Aku yakin ingatan kalian masih berfungsi dengan baik!"Tergesa-gesa Ardan melajukan motornya. Dia melesat jauh tanpa peduli ibunya yang berteriak seperti orang kesetanan. Aku masuk ke
Balasan Mala "Kami tak mau menampung wanita murahan, Mbak." Mereka berdua berdiri seolah urusan pelimpahan ini telah selesai. "Kau mengatakan padaku Rosa murahan, apakah kau sendiri lupa kau pun sama murahannya dengan dia? Mau dinikahi diam-diam oleh laki-laki beristri itu juga hal murahan, kau tak tahu itu?" Kedua orang itu berhenti mengayun langkahnya. "Kau sungguh lucu. Wanita murahan meneriaki wanita lain yang juga murahan. Awas karmamu lebih berat, Rita."Tak ada kata yang diucapkan Rita kembali. Mereka berdua berjalan cepat ke arah mobil yang catnya pun sudah banyak yang mengelupas. Kembali kupandangi tas yang teronggok di sudut ruang tamuku. Entah drama apalagi yang akan terjadi dalam beberapa waktu ke depan. Yang jelas aku harus bersiap-siap karena setelah ini akan ada kerusuhan yang terjadi. Kuputuskan untuk menghubungi Ardan, adik lelaki Mas Bayu yang memilih untuk tinggal terpisah dengan ibu dan kakaknya pasca rumah mereka disita bank. Tiga panggilanku tak terjawab o
"Pulangnya ikut Om Dion," ucap Kinanti seperti sebuah perintah. Aku menautkan kedua alisku sebagai tanda protes untuk anakku. Tetapi lagi-lagi Kinan tak menangkap maksud ekspresiku. "Mau nginep juga di rumahnya Om Dion. Biar malam-malam jalan-jalan lagi naik mobil.""Mama janji beli mobil lagi dalam waktu dekat, Kinan.""Wow… demi menjauhkan Kinanti, kau bisa melangkah sejauh itu?" Lelaki dengan rahang kokoh itu tersenyum penuh arti ke arahku. Ya, kurasa dia benar. Aku terlalu gegabah mengumbar janji hanya karena takut dia terlalu dekat dengan Mas Dion. "Om Dion habis ini ke kantor lagi, kamu pulang sama Mama dulu ya. Besok Om ajak main lagi." Mas Dion mengusap rambut anakku dengan lembut. Dia berdiri dan tersenyum sekilas padaku. "Aku pulang dulu, Mala. Sampai bertemu, besok." Lelaki itu menganggukkan kepalanya ke arahku. Aku tak membalas apapun karena memang tak ada yang ingin kusampaikan lagi padanya. "Kalau Om Dion jadi Papa Kinanti boleh, Ma?" Uhuk. Aku hampir menyemburkan
Kedekatan Mereka Dua minggu pasca pertemuanku dengan Mas Dion di rumahku aku tak pernah bertemu lagi dengannya. Jangan tanya bagaimana Kinan berusaha mati-matian merayuku, memintaku untuk mengantar ke rumah Mbah Ruminya. Jika tak ada Mas Dion, tentu saja aku akan dengan ringan mengantar anakku ke sana. Aku harus mengalihkan perhatian Kinanti dengan membawanya jalan-jalan, atau sekadar membelikannya jajan seperti yang Mas Dion lakukan saat itu. Seperti sore ini, aku mengajak Kinanti membeli susunya yang sudah habis. Hari ini dia kubawa ke bimbel cabang ke dua yang kubangun belum lama ini. Perkembangannya cukup lumayan, aku tak perlu khawatir dengan persoalan finansial selepas kepergian Mas Bayu. Selain karena tenaga pengajar yang benar-benar kupilih dengan ketat, aku juga berusaha membangun tempat bimbelku agar tak seperti kebanyakan bimbel. Terbukti dengan kedua cara itu peminat bimbingan belajarku meningkat drastis akhir-akhir ini. Tak hanya itu, aku pun menggratiskan beberapa an
Ada yang teriris di dalam dadaku mendengar jawaban anakku. Rasanya tak adil, saat dia mulai masuk sekolah, papanya sedang sibuk dengan keluarga barunya. Aku yang bodoh, tak menyadari perubahan Mas Bayu sama sekali. Entah dia yang terlalu pintar menyembunyikan rahasianya atau memang aku yang terlampau percaya padanya. Lihatlah, Mas. Anakmu bahkan tak bisa merasakan bagaiman rasanya memiliki sosok Ayah yang mengantar serta menjemputnya sepulang sekolah. "Boleh, Ma?" Aku menatap mata bening bak telaga itu sekali lagi. Aku tersenyum seraya mengangguk lembut. Apa yang terjadi setelah dia mendnegar jawabanku? Kinanti berteriak kegirangan mendengar jawabanku. Bahkan dia melompat-lompat di atas sofa di depan TV ruang tengah. Aku melihat kebahagiaannnya yang berpendar dari senyum yang menghiasi bibir mungilnya. "Mbak. Aku mau bicara."Aku menoleh pada sumber suara. Gadis itu, adik iparku--Rosa, sudah datang di rumahku sepagi ini. Entah aku salah melihat atau memang keadaannya demikian,