Lewat tengah malam Lian mengantarkan Mala sampai di depan rumah Widya. Terlihat wanita setengah baya itu membuka pintu. Ia belum bisa terlelap sebelum Mala dan Lian sampai dengan selamat.Mala melambai ketika Lian berpamitan. Tanpa ucapan selamat malam atau kata pamit, keduanya saling melepas dengan berat.“Sampai malam banget?” tanya Widya.“Iya, Ma,” jawab Mala singkat.Ia langsung masuk ke kamar Zaki, enggan membalas pertanyaan mamanya, karena ia tahu jika mamanya pasti bisa menebaknya kejadian malam ini.Mala rebahkan diri di samping putranya. Menatap lekat bocah itu. Sekilas mirip dengan Mirza, terbersit dalam pikirannya ingin mempertemukan keduanya. Tapi, ketika mengingatkan kejadian terakhir yang meninggalkannya luka di hatinya, ia menjadi enggan. Mirza tak pernah menampakkan diri sejak saat itu.Netra hampir terpejam. Namun, suara ponsel membuatnya terjaga lagi. Sebuah pesan yang dikirimkan Lian masuk ke ponselnya.[Sudah tidur?]Mala tersenyum. Bisa ditebak jika Lian baru saj
Siangnya tak lagi terasa panas. Hujan yang mengguyur semalam juga tidak meninggalkan jejak dingin di kulitnya. Beberapa tempat telah ia sambangi. Dua salon bekas tempatnya bekerja dan tiga orang teman dekat istrinya.Mirza tak dapat menelan nasi barang sesendok pun hari ini. Semua yang ia datangi tak memberi petunjuk keberadaan Hesti.Dua hari lalu, Hesti meninggalkan rumah dengan membawa serta Amanda. Saat Mirza sedang bekerja, Malati mengabarkan bahwa Hesti sudah pergi. Terlihat dari lemari pakaian yang seluruhnya menyisakan pakaian milik Mirza.Tiga panggilan tak terjawab terpampang di layar ponselnya. Kesemuanya dari Anggi, ibunya. Berniat marah sebenarnya, ketika merasa tidak dihargai privasinya oleh Anggi. Namun, ibunya pun merasa dibenarkan oleh sikap Hesti yang terlalu mengacuhkan keadaan keluarga Mirza.Sebelumnya, antara Hesti dengan ibu mertuanya telah terlibat pertengkaran ringan. Pemicunya adalah Hesti yang enggan berbagi uang belanja. Tapi ternyata, masalah itu tidak tun
“Gak usah sok pikun, Mas. Kamu sudah ingkar janji. Masih mau mengelak juga, janji apa yang kamu ucapkan pada bapak?”Mirza mengusap wajahnya kasar, lalu duduk menghadap Hesti yang sedari tadi berusaha santai menjawab setiap pertanyaannya.“Iya, aku mengaku bersalah. Tapi gak lantas kamu mengambil keputusan sepihak. Sekarang, kita pulang. Aku akan segera mengajakmu pulang ke rumah bapak. Kita urus surat-surat untuk pernikahan resmi kita. Oke?”Hesti menggeleng tanpa memandang Mirza.“Terlambat, Mas. Aku sudah terlanjur sakit hati memakan janji-janji palsu. Kamu gak serius menikahiku, bahkan Setelah kehadiran Amanda sekali pun.”“Aku serius. Mana mungkin aku main-main. Sekarang, kamu bisa pegang kata-kataku.”“Kamu baru bergerak setelah aku menyesal menikah denganmu.”“Hesti, Sayang. Kenapa kamu bilang begitu?”Mirza meraih jemari Hesti dan menawan dalam genggaman.“Aku gak bodoh, Mas. Aku tau kamu masih mencintai Mala dan masih mengharapkan dia.”“Itu gak benar.”“Bagaimana mungkin kam
Usai mengajak Melati menikmati sarapan, Mala langsung pamit untuk kembali bekerja. Lian sedang menunggu di depan ruangan Mala. Ia berusaha sekuat mungkin menahan rasa penasarannya tentang kehadiran Melati pagi-pagi sekali di lobi kantor, tempat Armala bekerja.Sampai jam pulang, Lian tidak mendapatkan tanda-tanda Mala akan bercerita tentang Melati. Ia khawatir, jika gadis itu mempengaruhi Mala.“Li, kita ke ATM sebentar.”Lian hanya menoleh sesaat, lalu membelokkan mobilnya ke deretan swalayan. Di sana berdiri sebuah ATM bank swasta.“Mau tarik tunai? Buat apa?” Lian memberanikan dirinya untukbertanya.“Melati gak punya ATM. Tunggu sebentar, ya?”Lian mengangguk, tanpa mengajukan pertanyaan lagi membiarkan Mala memasuki ATM. Meskipun rasa penasaranterbayar dengan satu baris kata sebagai jawaban, tetapi mengenai persoalan Maladengan Melati masih menjadi misteri baginya.Lima menit kemudian, Mala masuk kembali ke mobil.“Kita langsung ke kampusnya Melati, ya?”Sekali lagi, Lian hanya m
Melati menutup mulut. Menangis sekaligus menahan isakan. Tak menyangka jika kepergian selama dua hari telah mengubah Mirza.“Aku hanya kepengen membantu. Aku kepengen Mas Mirza kembali lagi sama mbak Mala. Itu saja,” balas Melati dengan suara hampir tak terdengar.“Tapi bukan begini caranya.”“Harus seperti apa? Aku sudah kehilangan cara, Mas.”“Kamu gak perlu membantu. Kamu memberikan rekaman video pada Hesti, lalu Hesti sakit hati dan pergi. Kamu sudah puas? Sekarang aku tanya, dari mana kamu mendapatkannya?Dari mana, Mel!”Bentakan demi bentakan dan penekanan hampir di setiap kata yangterlontar menunjukkan amarah Mirza.“Mel! Katakan siapa?”Mirza melangkah lebih dekat, hingga membuat Melati merasa terdesak.“Mel!”“Lian. Lian, Mas!”Jawaban Melati dengan suara lirihnya membuat Mirza lemas. Ia beranjak dari ambang pintu, lalu terduduk lemas di sofa. Mendengar satu nama yang selama ini ia segani terasa panas seketika. Pengakuan Melati membuatnya tak percaya.Kenapa harus Lian? Kena
“Gak perlu ngantar ke depan pintu kali, Li.”“Kamu menolak.”“Ya, bukan begitu. Kan kamu mau jemput tante Liza juga.”“Mama bisa menunggu, kok.” Lian menunjuk ke depan agar Malasegera beranjak.“Li.” Mala membuka percakapan setelah melewati lorong.“Hem.” Lian menanggapi dengan santai.“Aku kasihan deh, sama Melati. Tadi dia menelepon lagi.Katanya, dia butuh bantuan gitu.” Mala menjelaskan dengan hati-hati. Ia tahujika Lian pasti berkebaratan jika dirinya terlalu dekat dengan mantan iparnya.“Silahkan bantu kalau kamu mau bantu. Tapi, cukup bantukeuangannya saja.”“Iya, maksudku juga begitu.”“Bagus. Kok aku merasa, lama-lama kamu dimanfaatin samaMelati. Jangan-jangan, dia disuruh ibunya.”“Negatif melulu kalau ngomongin ibu. Padahal murni karena Melatibutuh bantuanku.”“Ya ... menurutku saja. Semoga salah. Tapi ... biasanyafeeling-ku benar.”Mala tidak menghentikan langkah tepat di depan pintu.“Btw makasih sudah khawatir. Aku bakal hati-hati kok.”“Kalau sudah hati-hati, berarti ga
“Mala.” Ia tergagap. Lalu berusaha mati-matian mengatur detak jantung yang berdebar tak karuan. “A-aku ....” Seperti kehilangan sebagian ingatan, bahkan Mala hanya menggantung ucapan. “Aku gak memintamu menjawab sekarang. Hanya saja, aku gakbisa menunggu lama.” “Kenapa? Apa kamu mau pergi lagi seperti dulu?” Konyol. Mala menutup mulut, merasakan pertanyaan yang barusaja terucap seperti sebuah pernyataan jika ia takut kehilangan. “Apa kamu keberatan kalau aku-“ “Beneran mau pergi lagi?” Mala memotong ucapan Lian.Pikirannya hanya ada kepanikan saat itu. “Ya ... bisa jadi.” “Tinggal jawab ya mau pergi atau enggak, apa susahnya sih?” Kini, Mala yang malah meradang. “Loh, loh. Kok jadi kamu yang marah? Kan aku yang meminta kejelasan.” “Susah ya, ngomong sama cowok plin-plan.” Mala mengibaskan sebelah tangan, tanda tak perduli. Beranjakcepat meninggalkan Lian yang malah kebingungan dengan sikap Mala yang mendadakmarah. “Mala.” Panggilan Lian tak dihiraukan. Dengan gerakan cepa
Di balik stir kemudi, Lian melajukan mobilnya dengan santai.Terasa ada kelegaan setelah mengatakan isi hatinya kepada Mala. Walaupun tidaktahu secara pasti apakah Mala menerimanya atau tidak. Terpenting baginya,berkata jujuran itu jauh lebih berat dari jawaban yang akan ia terima nanti.Ia sudah mempersiapkan diri, jika jawaban yang akan iaterima bertolak dari harapannya.Hari sudah mulai petang. Suara azan berkumandang mengiringi senjayang berganti malam. Lian mengambil jalan pintas agar segera sampai di rumahsebelum waktu Magrib usai.Tiba-tiba, seorang pengendara motor menyalipdengan brutal, lalu berhenti di jarak yang cukup jauh. Lian terpaksa berhentidengan perlahan, menatap pengendara motor dengan bantuan pencahayaan dari sorotlampu mobilnya.Pengendara itu menuruni motor besarnya sambil membuka helmyang ia kenakan. Barulah Lian mengenali pemilik motor yang sengajamenghadangnya itu.“Mirza, mau apa dia?”Tangannya melepas seatbelt, lalu ke luar setelah mematikanmesin mobilnya. D
Zaki membawa paper bag berisi mainan. Ia hanya berdiri mematung, menunggu seseorang yang sedang mengeluarkan mobilnya dari area parkir. Kendaraan yang berjejalan membuatnya harus sabar menunggu."Zaki,buruan!" Panggilan itu membuatnya memasukkan ponsel dalam saku kemeja.Ia berjalan sambil menyambar paper bag yang sempat ia letakkan pada lantai.Remaja itumemasuki mobil dengan santai, duduk di sebelah si pengemudi."Besaramat beli mobil-mobilannya. Jadi repot bawanya," keluh Zaki seraya meletakkan paper bag di jok belakang."Itu 'kan pesanan adikmu.""Tantekenapa enggak ngajak om Gus buat beli hadiah, sih," keluh Zaki."Kayak gaktau om kamu. Dia kan paling malas diajak belanja. Palingan ntar kalau sudah punya anak sendiri, baru mau direpotin."Zaki menatap tantenya dengan perasaannya sayang. Sebab, tantenya lah satu-satunya keluargadari pihak sang papa yang menganggapnya ada.Melati mengacak rambut Zaki ketika keponakannya itu kepergok menatapnya lama.Waktu yang memisahkannya dengan
~°°~Kakinya yang kokoh berjalan melewati trotoar. Langkah tegap melewatibeberapa kerumunan orang yang sengaja menghabiskan malam dengan berkumpul di pinggirjalan.Lian baru saja ke luar dari ATM yang terletak di seberang jalansebuah kafe modern. Semula, ia sedang meeting di kafe itu. Setelahnya, ia menuju ATM untuk mentransfer sejumlahuang. Sengaja menggunakan ATM, karena ia juga butuh menarik uang tunai sebagai cadangandi dompetnya.Sebuah pesan ia kirimkan ke Armala, sekaligus foto sebuah strukbukti tranfer.[Sudah aku kirimkan, Sayang. Mungkin dia lagi sibuk menguruswisuda. Jadi, dari pihak yang menyalurkan beasiswa itu belum bisa menghubungi Melati.]Pesannya terkirim. Lian tidak menunggu balasan dari istrinya.Ia sedang memesan taksi online, sehingga harus menunggu di tempat yang mudah dijangkau.Lian berdiri pada bahu jalan. Tak berapa lama kemudian, sebuahtaksi online datang menjemput.Ia menatap layar pipih di tangannya. Pesan yang Ia kirimkan tidakjuga mendapat balasan.“
“Iya. Aku pun serius. Dia datang ke sini karena nasib yang membawanya harus menebus kesalahan itu. Gak ada sesuatu yang berjalan kebetulan, Sayang. Semua yang terjadi berdasarkan hukum sebab akibat. Percayalah, kamu ratu yang berhati baik, maka jangan habiskan waktumu untuk berpikir negatif. Lebih baik, pikirkan suamimu ini.” “Kamu kenapa minta dipikirin?” “Ck, sudah dua hari loh, Sayang.” Lian mengedipkan mata sebagai isyarat yang ia tunjukkan jika menginginkan sesuatu. Armala tertawa, dan langsung tanggap dengan kode itu. “Ya sudahlah, Hesti bukan sesuatu yang penting buat di bicarakan.” Armala merebahkan kepala di dada Lian, lalu memberikan sinyal untuk memulai pergulatannya. ** Lian membawa sebuah map ke ruang kerja Armala. Di tangan kanan ia menenteng paper bag berisi makan siang. “Makan dulu. Laporannya tolong nanti diselesaikan. Soalnya, aku mau meeting siang ini.” Ia meletakkan map itu ke atas meja, lalu mengajak Armala menikmati makan siang yang ia bawa. “Kamu pulan
“Kalian istirahat dulu. Nanti malam harus pergi lagi kan?” Widya mengingatkan.“Apa mama tadi menelepon, Tan? Tanya Lian. “Soalnys ponsel aku matikan,” ucap Lian lagi.“Menelepon hanya untuk mengingatkan saja, kalau kalian harus datang lebih awal.”Armala beristirahat begitu memasuki kamar. Rasa lelah selama perjalanan membuatnya cepat terlelap. Lian membiarkan istrinya larut dalam mimpi. Sebab, sebentar lagi impiannya untuk menghadiahkan sebuah salon kecantikan segera menjadi kenyataan.Liza memberikan kejutan sebuah salon kepada Armala. Berawal dari rencana Lian memberikan hadiah anniversary pertama pernikahan mereka. Lalu, jadilah sebuah salon yang dibangun sejak tiga bulan yang lalu.Armala mengetahui adanya salon itu. Namun, hanya sebatas hasil pengembangan bisnis mertuanya. Tak mengetahui jika akan menjadi milik pribadinya.*Peresmian salon berjalan malam hari. Bertepatan acara syukuran anniversary pertama Lian dan Armala. Keduanya tampak hadir di tengah-tengah karyawan kantor
Suatu keadaan akan membentuk seseorang untuk berubah lebih cepat menjadi pribadi yang lapang, dan tidak mudah terbawa arus. Walaupun diikuti dengan kesakitan karena bekas masa lalu yang pahit, tetapi pada saatnya akan menerima keadaan dengan ikhlas.Seperti itu juga keadaan yang dialami Mirza. Mencintai bunga dalam taman, melepasnya demi bunga jalanan, lalu ia pun ikut terlempar ke luar istana.Mereguk manisnya madu bunga liar, terhempas dari sisi kehidupan yang ternyata fatamorgana, lalu harus ikhlas karena di dunia tempat ia berpijak saat ini ternyata dipenuhi duri dan kerikil tajam.Mencoba bertahan dengan satu keyakinan, bahwa akan datang hari baik suatu saat nanti. Rupanya harapan itu pupus bersama dengan usia yang tak lagi mendukung.Kini, ia harus bersyukur dengan keadaan yang ia sebut baik dari pada terus menerus berharap sesuatu yang mustahil.Mirza kini memikul beban yang cukup ringan di bawah pernikahan ketiganya dengan seorang janda dua anak. Ia sudah dikaruniai seorang an
“Kita bergerak ke satu arah yang sama. Kalau aku berjalan, tak mungkin kamu aku tinggalkan. Apapun yang menjadi bebanmu, maka aku pun ikut memikulnya.”Lian merangkul bahu Armala dari sisi kanan, mencium pipi putih istrinya hingga terlihat salah tingkah.“Makasih, Sayang. Tau gak, aku sangat beruntung pernah jatuh, lalu bangkit dan ketemu sama kamu,” lirih Armala mesra.Armala mengelus pipi Lian dengan perasaan sayang yang memenuhi rongga dadanya.“Mulai berani ngegombal sekarang, ya? Buruan mandi sana. Aku siapkan makan malam. Sepertinya, kamu akan butuh banyak tenaga untuk melewati malam ini.”“Ih, bahasamu itu bikin aku ngeri.”Keduanya tertawa terbahak-bahak. Selanjutnya mereka terlibat dalam perbincangan intim. Padahal sebelumnya, ia akan sungkan menegur Armala jika bersifat pribadi. Keadaan itu berubah seketika, tatkala Armala sah menjadi miliknya.**Pagi harinya, Armala sudah menyiapkan segala hal yang berhubungan dengan melati. Ia ingin menemui gadis itu untuk mengucapkan bel
Bunga yang bertaburan di atas pusara menjadikan saksi tangisan dua anak manusia yang menyayat hati. Tak menyangka jika ibu yang selama ini menjadi tempat bersandar telah pergi untuk menghadap Rabbnya.Melati lebih histeris lagi. Sebab, karena ulahnya menyebabkan Anggi meregang nyawa. Rasa sesal memenuhi kepala. Menangisi ibu yang sudah menjadi mendiang seperti mengorek hatinya akan kesalahan kecil yang berakibat fatal.Siang itu sebelum peristiwa nahas, terjadi pertengkaran antara Melati dengan Anggi. Pemicunya tak lain karena Anggi mengulur waktu ketika Melati meminta uang untuk tambahan uang jajan.Selama berhari-hari, Melati harus menahan diri untuk tidak berbelanja kebutuhannya dan harus hidup berhemat demi bisa melangsungkan kuliahnya.Anggi menjanjikan uang bulanan sore hari, setelah berhasil menagih uang kontrakan pada dua orang yang menempati kontrakannya.Namun, malang tidak dapat ditolak dan untung tidak dapat diraih. Sebelum sampai di kontrakan, Anggi menjadi korban penjamb
“Kita belum makan.”Ucapan Armala tak diindahkan. Sepertinya, Lian lebihbersemangat menikmati santapan yang lain.Armala merelakan ketika satu persatu pakaian terlepas dari tubuhnya.Hasrat itu seperti dahaga, yang akan terlampiaskan dengan seteguk air pertama dan akan terpuaskan dengan tegukan kedua.Malam panjang menjadi saksi akan runtuhnya pertahanan egomasing-masing. Menapaki setiap menit yang berlalu dengan iringan nafas yang mengalun memburu.Setiap rasa nyaris tanpa kata. Hanya rasa tentram yang bersarang,setelah dua insan yang bergelut dengan damai mencapai batasnya.**Lian tak melepaskan pelukan meskipun berulang kali Armala meminta agar diturunkan. Lelah dengan permintaannya, Armala merebahkan kepalake dada bidang Lian.Sofa depan televisi menjadi tempat bersantai pagi itu. Lianduduk dengan memangku Armala. Sudah beberapa saat mereka bersantai di sanatanpa percakapan. Lian menelisik Armala yang tampak malu membalas tatapannya.Armala membenahi piyama mandinya ketika netra
“Zaki ‘kan gak bisa menyetir mobil? Ayah juga bakal jadi sopirnya Zaki sama mama selain jadi bodyguard,” terang Lian.“Sayang, ayah itu sekarang yang akan menjaga kita. Jadi, boleh ya kalau tinggal di sini sama kita.” Armala menambahkan.Zaki mengangguk sambil menguap. Mala membawanya ke pembaringan. Ia ikut berbaring, lalu mengelus punggung putranya.Hingga beberapa menit, Zaki masih terjaga. Lian menunggu di pinggir ranjang sambil memainkan ponselnya. Lelah menunggui Zaki tak juga tertidur, Mala memejamkan mata lebih dulu.. Entah sudah berapa lama Mala terpejam. Ia baru tersadar ketika tubuhnya sudah tertutupi selimut dan merasakan seseorang sedang memeluknya dari belakang.“Li,” panggilnya.Armala menoleh, mendapati Lian sudah tertidur pulas. Ia mengubah arah tidurnya dengan menghadap Lian. Pipi mulus sang suami menjadi incarannya. Sebuah kecupan mendarat di sana.“Kenapa?” gumam Lian dalam terpejamnya.“Maaf, ya Sayang, harus ditunda dulu,” ucap Armala menyesal.“Gak pa-pa. Masi