“Gak perlu ngantar ke depan pintu kali, Li.”“Kamu menolak.”“Ya, bukan begitu. Kan kamu mau jemput tante Liza juga.”“Mama bisa menunggu, kok.” Lian menunjuk ke depan agar Malasegera beranjak.“Li.” Mala membuka percakapan setelah melewati lorong.“Hem.” Lian menanggapi dengan santai.“Aku kasihan deh, sama Melati. Tadi dia menelepon lagi.Katanya, dia butuh bantuan gitu.” Mala menjelaskan dengan hati-hati. Ia tahujika Lian pasti berkebaratan jika dirinya terlalu dekat dengan mantan iparnya.“Silahkan bantu kalau kamu mau bantu. Tapi, cukup bantukeuangannya saja.”“Iya, maksudku juga begitu.”“Bagus. Kok aku merasa, lama-lama kamu dimanfaatin samaMelati. Jangan-jangan, dia disuruh ibunya.”“Negatif melulu kalau ngomongin ibu. Padahal murni karena Melatibutuh bantuanku.”“Ya ... menurutku saja. Semoga salah. Tapi ... biasanyafeeling-ku benar.”Mala tidak menghentikan langkah tepat di depan pintu.“Btw makasih sudah khawatir. Aku bakal hati-hati kok.”“Kalau sudah hati-hati, berarti ga
“Mala.” Ia tergagap. Lalu berusaha mati-matian mengatur detak jantung yang berdebar tak karuan. “A-aku ....” Seperti kehilangan sebagian ingatan, bahkan Mala hanya menggantung ucapan. “Aku gak memintamu menjawab sekarang. Hanya saja, aku gakbisa menunggu lama.” “Kenapa? Apa kamu mau pergi lagi seperti dulu?” Konyol. Mala menutup mulut, merasakan pertanyaan yang barusaja terucap seperti sebuah pernyataan jika ia takut kehilangan. “Apa kamu keberatan kalau aku-“ “Beneran mau pergi lagi?” Mala memotong ucapan Lian.Pikirannya hanya ada kepanikan saat itu. “Ya ... bisa jadi.” “Tinggal jawab ya mau pergi atau enggak, apa susahnya sih?” Kini, Mala yang malah meradang. “Loh, loh. Kok jadi kamu yang marah? Kan aku yang meminta kejelasan.” “Susah ya, ngomong sama cowok plin-plan.” Mala mengibaskan sebelah tangan, tanda tak perduli. Beranjakcepat meninggalkan Lian yang malah kebingungan dengan sikap Mala yang mendadakmarah. “Mala.” Panggilan Lian tak dihiraukan. Dengan gerakan cepa
Di balik stir kemudi, Lian melajukan mobilnya dengan santai.Terasa ada kelegaan setelah mengatakan isi hatinya kepada Mala. Walaupun tidaktahu secara pasti apakah Mala menerimanya atau tidak. Terpenting baginya,berkata jujuran itu jauh lebih berat dari jawaban yang akan ia terima nanti.Ia sudah mempersiapkan diri, jika jawaban yang akan iaterima bertolak dari harapannya.Hari sudah mulai petang. Suara azan berkumandang mengiringi senjayang berganti malam. Lian mengambil jalan pintas agar segera sampai di rumahsebelum waktu Magrib usai.Tiba-tiba, seorang pengendara motor menyalipdengan brutal, lalu berhenti di jarak yang cukup jauh. Lian terpaksa berhentidengan perlahan, menatap pengendara motor dengan bantuan pencahayaan dari sorotlampu mobilnya.Pengendara itu menuruni motor besarnya sambil membuka helmyang ia kenakan. Barulah Lian mengenali pemilik motor yang sengajamenghadangnya itu.“Mirza, mau apa dia?”Tangannya melepas seatbelt, lalu ke luar setelah mematikanmesin mobilnya. D
Pagi harinya, Lian berangkat sedikit terlambat dari biasanya. Selain karena pekerjaan kantor yang sudah dihandle oleh sekretarisnya, ia juga ingin sedikit bersantai. Tetapi malahan, Anton, atasannya menelepon dan memerintahkan agar Lian datang dengan segera.Sesampainya di kantor, ia langsung di hadang oleh sekretarisnya yang membawakan sejumlah laporan.“Laporan apalagi ini?” tanya Lian yang langsung menyambar sebuah map yang disodorkan Wina, sekretarisnya.“Laporan bulanan-““Bawa ke ruangan. Saya mau ke sebelah dulu,” potongnya sambil menyerahkan kembali map yang belum sempat ia baca.“Baik, Pak.”Lian memutar arah ke sebelah ruangannya, di mana Armala biasa menghabiskan waktu di ruang kerjanya. Ia mengetuk pintu dua kali, tetapi tidak mendapat jawaban. Lalu memutuskan membuka pintu perlahan. Kosong.“Pak Liando cari bu Mala?” Salah seorang karyawan yang sedang melintas bertanya.“Iya. Kamu tau ke mana?”“Sedang di bawah, Pak. Sepertinya ada perlu di bagian admistrasi.”“Oh, ya sud
“Kamu punya kasus apa?” Lian kembali mencerca dengan pertanyaan.“Bukan kasus.”“Lalu?” tanya Lian.“Kamu bikin saya jantungan. Ngomongnya yang jelas,” ucap Anton kesal.Dengan takut-takut, Mala mengangkat wajahnya, lalu menatap Lian. Pria yang duduk di sampingnya malah menatapnya dengan seribu tanya.“Ada apa?” bisik Lian.Mala memperbaiki letak duduknya. Jika bukan karena Lian, ia tidak akan mempermalukan dirinya di hadapan atasannya.“Jadi begini, Pak.” Mala mulai berucap tegas. Ia melanjutkan ucapannya, “Pak Anton saya kami minta untuk menjadi saksi dipernikahan kami.”“Hah! Kalian mau menikah? Kok gak bilang-bilang!”“Iya, ini baru bilang, Pak.”“Terus kapan?”“Lusa, Pak. Hari Rabu.”Anton tertawa. Menanggapi Armala malah seperti lelucon setelahnya. Tetapi berbeda dengan Lian. Ia terdiam, menatap Mala dengan pandangan tak menentu. Ingin memeluk, tetapi belum hahal. Ingin bersorak, takut dibilang berlebihan. Akhirnya, ia hanya mengangguk pasrah.Entah, hatinya terasa sejuk saat it
“Pesanan?” Mala menuntut jawab. Lian menyembunyikan senyumannya, lalu mengarahkan pandangan pada pemilik galeri yang membawakansepasang cincin berlian.“Silahkan, Pak,” ucapnya. Lian mengangguk, meraih kontakcincin itu dan menyodorkan ke hadapanku Mala.“Coba dulu,” pintanya dengan mengambil satu cincin.Tangannya meraih jemari Mala. Tak lama kemudian, sebuah cincin berlianbertengger di jemari manis wanita pujaannya.“Suka?” Pernyataan Lian dijawab dengan anggukan dan disertai senyuman.Tak perlu banyak penawaran untuk menjadikan Mala merasatersanjung. Ternyata, Lian sudah lebih dulu memesan cincin itu sebelum jawabanatas lamarannya diterima. Ia yakin jika Mala memilih harapan yang samadengannya. Hanya saja, wanita itu memilih lebih berhati-hati dalam memutuskansesuatu. Sehingga, Lian memilih bertindak cepat dengan segera memesan cincin,lalu menolak proyek besar yang ditujukan padanya.Mala membawa ke luar cincin itu. Menyimpannya dalam tassebelum meninggalkan galeri itu.“Aku sengaja
“Lian, jangan kasar,” seru Mala. Ia meminta agar Lianmelepas pegangan tangannya.“Aku lepas tangannya kalau mau menyerahkan ponselnya.”“Li, Melati gak salah.”“Mel, tolong duduk!” Perintah Lian membuat Melati menurut.Ia berbalik dan duduk di tempat semula.“Berikan ponselmu!” perintah Lian dengan menatapnya tajam.Melati tidak juga bergerak, ia malah menatap Mala seperti meminta persetujuan.“Kalau merasa tak bersalah, tentu kamu tak masalah jika akumeminjamnya sebentar, begitu kan, Mala?” Lian berpindah pandang. Lian menatapkesal, karena hingga di hari terakhir menjelang pernikahannya, Mala masih saja tak mempercayainya.“Serahkan ponselnya, Mel. Mungkin Lian akan menjelaskanlebih detail nantinya,” ucap Mala bernada kecewa. Rupanya, Melati sudahmenunjukkan rekaman video itu padanya, sehingga membuat Mala kecewa.Melati mengeluarkan ponselnya dengan takut-takut. Lalumenyerahkan pada Lian. Dengan gerak jemarinya yang lincah, Lian berhasilmenemukan letak video itu.“Jadi, dengan video i
Rasa nyaman memang tidak selalu datang dari orang terdekat. Nyatanya, Melati malah memilih Armala dan membiarkan wanita itumengetahui problema keluarga yang coba ia tutup-tutupi. Mirza sudah hancur oleh keadaan yang tidak berpihak baik.Semuanya hilang, musnah bersama kepergian satu persatu orang yang disayanginya. Armala membawa Zaki pergi, Hesti merampas Amanda darinya. Dan Melati, adiksatu-satunya malah memihak mantan istrinya. Tinggal Anggi, ibunya yang saat ini terusuring-uringan karena berbagai kebutuhan harus dicukupi sendiri. Sepeninggalan Mirza, Melati menundukkan kepala pada mejakayu. Tangisnya tak juga reda. Armala bergeming, tidak berusaha menenangkan Melati pascapertengkaran dengan Mirza. Pembelaannya hanya sebatas melindungi gadis itudari kekerasan, bukan dari kesalahan yang sengaja membuatnya marah. “Diamlah. Kamu belum selesai menjelaskan padaku, Mel. Sejak kapankamu menyukai Lian?” “Sudahlah, masalah itu gak perlu dibahas lagi. Terpenting sudahjelas masalah video
Zaki membawa paper bag berisi mainan. Ia hanya berdiri mematung, menunggu seseorang yang sedang mengeluarkan mobilnya dari area parkir. Kendaraan yang berjejalan membuatnya harus sabar menunggu."Zaki,buruan!" Panggilan itu membuatnya memasukkan ponsel dalam saku kemeja.Ia berjalan sambil menyambar paper bag yang sempat ia letakkan pada lantai.Remaja itumemasuki mobil dengan santai, duduk di sebelah si pengemudi."Besaramat beli mobil-mobilannya. Jadi repot bawanya," keluh Zaki seraya meletakkan paper bag di jok belakang."Itu 'kan pesanan adikmu.""Tantekenapa enggak ngajak om Gus buat beli hadiah, sih," keluh Zaki."Kayak gaktau om kamu. Dia kan paling malas diajak belanja. Palingan ntar kalau sudah punya anak sendiri, baru mau direpotin."Zaki menatap tantenya dengan perasaannya sayang. Sebab, tantenya lah satu-satunya keluargadari pihak sang papa yang menganggapnya ada.Melati mengacak rambut Zaki ketika keponakannya itu kepergok menatapnya lama.Waktu yang memisahkannya dengan
~°°~Kakinya yang kokoh berjalan melewati trotoar. Langkah tegap melewatibeberapa kerumunan orang yang sengaja menghabiskan malam dengan berkumpul di pinggirjalan.Lian baru saja ke luar dari ATM yang terletak di seberang jalansebuah kafe modern. Semula, ia sedang meeting di kafe itu. Setelahnya, ia menuju ATM untuk mentransfer sejumlahuang. Sengaja menggunakan ATM, karena ia juga butuh menarik uang tunai sebagai cadangandi dompetnya.Sebuah pesan ia kirimkan ke Armala, sekaligus foto sebuah strukbukti tranfer.[Sudah aku kirimkan, Sayang. Mungkin dia lagi sibuk menguruswisuda. Jadi, dari pihak yang menyalurkan beasiswa itu belum bisa menghubungi Melati.]Pesannya terkirim. Lian tidak menunggu balasan dari istrinya.Ia sedang memesan taksi online, sehingga harus menunggu di tempat yang mudah dijangkau.Lian berdiri pada bahu jalan. Tak berapa lama kemudian, sebuahtaksi online datang menjemput.Ia menatap layar pipih di tangannya. Pesan yang Ia kirimkan tidakjuga mendapat balasan.“
“Iya. Aku pun serius. Dia datang ke sini karena nasib yang membawanya harus menebus kesalahan itu. Gak ada sesuatu yang berjalan kebetulan, Sayang. Semua yang terjadi berdasarkan hukum sebab akibat. Percayalah, kamu ratu yang berhati baik, maka jangan habiskan waktumu untuk berpikir negatif. Lebih baik, pikirkan suamimu ini.” “Kamu kenapa minta dipikirin?” “Ck, sudah dua hari loh, Sayang.” Lian mengedipkan mata sebagai isyarat yang ia tunjukkan jika menginginkan sesuatu. Armala tertawa, dan langsung tanggap dengan kode itu. “Ya sudahlah, Hesti bukan sesuatu yang penting buat di bicarakan.” Armala merebahkan kepala di dada Lian, lalu memberikan sinyal untuk memulai pergulatannya. ** Lian membawa sebuah map ke ruang kerja Armala. Di tangan kanan ia menenteng paper bag berisi makan siang. “Makan dulu. Laporannya tolong nanti diselesaikan. Soalnya, aku mau meeting siang ini.” Ia meletakkan map itu ke atas meja, lalu mengajak Armala menikmati makan siang yang ia bawa. “Kamu pulan
“Kalian istirahat dulu. Nanti malam harus pergi lagi kan?” Widya mengingatkan.“Apa mama tadi menelepon, Tan? Tanya Lian. “Soalnys ponsel aku matikan,” ucap Lian lagi.“Menelepon hanya untuk mengingatkan saja, kalau kalian harus datang lebih awal.”Armala beristirahat begitu memasuki kamar. Rasa lelah selama perjalanan membuatnya cepat terlelap. Lian membiarkan istrinya larut dalam mimpi. Sebab, sebentar lagi impiannya untuk menghadiahkan sebuah salon kecantikan segera menjadi kenyataan.Liza memberikan kejutan sebuah salon kepada Armala. Berawal dari rencana Lian memberikan hadiah anniversary pertama pernikahan mereka. Lalu, jadilah sebuah salon yang dibangun sejak tiga bulan yang lalu.Armala mengetahui adanya salon itu. Namun, hanya sebatas hasil pengembangan bisnis mertuanya. Tak mengetahui jika akan menjadi milik pribadinya.*Peresmian salon berjalan malam hari. Bertepatan acara syukuran anniversary pertama Lian dan Armala. Keduanya tampak hadir di tengah-tengah karyawan kantor
Suatu keadaan akan membentuk seseorang untuk berubah lebih cepat menjadi pribadi yang lapang, dan tidak mudah terbawa arus. Walaupun diikuti dengan kesakitan karena bekas masa lalu yang pahit, tetapi pada saatnya akan menerima keadaan dengan ikhlas.Seperti itu juga keadaan yang dialami Mirza. Mencintai bunga dalam taman, melepasnya demi bunga jalanan, lalu ia pun ikut terlempar ke luar istana.Mereguk manisnya madu bunga liar, terhempas dari sisi kehidupan yang ternyata fatamorgana, lalu harus ikhlas karena di dunia tempat ia berpijak saat ini ternyata dipenuhi duri dan kerikil tajam.Mencoba bertahan dengan satu keyakinan, bahwa akan datang hari baik suatu saat nanti. Rupanya harapan itu pupus bersama dengan usia yang tak lagi mendukung.Kini, ia harus bersyukur dengan keadaan yang ia sebut baik dari pada terus menerus berharap sesuatu yang mustahil.Mirza kini memikul beban yang cukup ringan di bawah pernikahan ketiganya dengan seorang janda dua anak. Ia sudah dikaruniai seorang an
“Kita bergerak ke satu arah yang sama. Kalau aku berjalan, tak mungkin kamu aku tinggalkan. Apapun yang menjadi bebanmu, maka aku pun ikut memikulnya.”Lian merangkul bahu Armala dari sisi kanan, mencium pipi putih istrinya hingga terlihat salah tingkah.“Makasih, Sayang. Tau gak, aku sangat beruntung pernah jatuh, lalu bangkit dan ketemu sama kamu,” lirih Armala mesra.Armala mengelus pipi Lian dengan perasaan sayang yang memenuhi rongga dadanya.“Mulai berani ngegombal sekarang, ya? Buruan mandi sana. Aku siapkan makan malam. Sepertinya, kamu akan butuh banyak tenaga untuk melewati malam ini.”“Ih, bahasamu itu bikin aku ngeri.”Keduanya tertawa terbahak-bahak. Selanjutnya mereka terlibat dalam perbincangan intim. Padahal sebelumnya, ia akan sungkan menegur Armala jika bersifat pribadi. Keadaan itu berubah seketika, tatkala Armala sah menjadi miliknya.**Pagi harinya, Armala sudah menyiapkan segala hal yang berhubungan dengan melati. Ia ingin menemui gadis itu untuk mengucapkan bel
Bunga yang bertaburan di atas pusara menjadikan saksi tangisan dua anak manusia yang menyayat hati. Tak menyangka jika ibu yang selama ini menjadi tempat bersandar telah pergi untuk menghadap Rabbnya.Melati lebih histeris lagi. Sebab, karena ulahnya menyebabkan Anggi meregang nyawa. Rasa sesal memenuhi kepala. Menangisi ibu yang sudah menjadi mendiang seperti mengorek hatinya akan kesalahan kecil yang berakibat fatal.Siang itu sebelum peristiwa nahas, terjadi pertengkaran antara Melati dengan Anggi. Pemicunya tak lain karena Anggi mengulur waktu ketika Melati meminta uang untuk tambahan uang jajan.Selama berhari-hari, Melati harus menahan diri untuk tidak berbelanja kebutuhannya dan harus hidup berhemat demi bisa melangsungkan kuliahnya.Anggi menjanjikan uang bulanan sore hari, setelah berhasil menagih uang kontrakan pada dua orang yang menempati kontrakannya.Namun, malang tidak dapat ditolak dan untung tidak dapat diraih. Sebelum sampai di kontrakan, Anggi menjadi korban penjamb
“Kita belum makan.”Ucapan Armala tak diindahkan. Sepertinya, Lian lebihbersemangat menikmati santapan yang lain.Armala merelakan ketika satu persatu pakaian terlepas dari tubuhnya.Hasrat itu seperti dahaga, yang akan terlampiaskan dengan seteguk air pertama dan akan terpuaskan dengan tegukan kedua.Malam panjang menjadi saksi akan runtuhnya pertahanan egomasing-masing. Menapaki setiap menit yang berlalu dengan iringan nafas yang mengalun memburu.Setiap rasa nyaris tanpa kata. Hanya rasa tentram yang bersarang,setelah dua insan yang bergelut dengan damai mencapai batasnya.**Lian tak melepaskan pelukan meskipun berulang kali Armala meminta agar diturunkan. Lelah dengan permintaannya, Armala merebahkan kepalake dada bidang Lian.Sofa depan televisi menjadi tempat bersantai pagi itu. Lianduduk dengan memangku Armala. Sudah beberapa saat mereka bersantai di sanatanpa percakapan. Lian menelisik Armala yang tampak malu membalas tatapannya.Armala membenahi piyama mandinya ketika netra
“Zaki ‘kan gak bisa menyetir mobil? Ayah juga bakal jadi sopirnya Zaki sama mama selain jadi bodyguard,” terang Lian.“Sayang, ayah itu sekarang yang akan menjaga kita. Jadi, boleh ya kalau tinggal di sini sama kita.” Armala menambahkan.Zaki mengangguk sambil menguap. Mala membawanya ke pembaringan. Ia ikut berbaring, lalu mengelus punggung putranya.Hingga beberapa menit, Zaki masih terjaga. Lian menunggu di pinggir ranjang sambil memainkan ponselnya. Lelah menunggui Zaki tak juga tertidur, Mala memejamkan mata lebih dulu.. Entah sudah berapa lama Mala terpejam. Ia baru tersadar ketika tubuhnya sudah tertutupi selimut dan merasakan seseorang sedang memeluknya dari belakang.“Li,” panggilnya.Armala menoleh, mendapati Lian sudah tertidur pulas. Ia mengubah arah tidurnya dengan menghadap Lian. Pipi mulus sang suami menjadi incarannya. Sebuah kecupan mendarat di sana.“Kenapa?” gumam Lian dalam terpejamnya.“Maaf, ya Sayang, harus ditunda dulu,” ucap Armala menyesal.“Gak pa-pa. Masi