POV ArmalaLian membawakan tiga kotak makanan lengkap dengan minumandingin, jus alpukat tanpa gula. Tangannya yang kekar menyodorkan bungkusan itupadaku, lalu kami melaju kembali setelah memesan nasi kotak di sebuah restoran.Pulang dari kantor, aku sengaja mengajaknya mampir ke rumahku yang sudah terjual. Ada beberapa barang yang belum sempat aku ambil. Satu lukisan dansebuah figura Zaki saat masih bayi.Lusa adalah sidang putusan pengadilan. Aku mau menyelesaikansemua urusan yang berhubungan dengan mas Mirza, termasuk rumah ini.Aku tak mau ketika sudah berpisah, masih ada buntut berselisih. Hubungan kami selesai, berarti tidak ada urusanlagi kecuali masalah Zaki. Begitu mauku.Aku pun sudah mendapatkan tempat yang baru. Sebuah apartemen menjadi pilihan terakhir setelah memilah dan memilih beberapa rumah yang akhirnya gak cocok dengan seleraku.Lian menawarkan apartemen di dekat kantor. Denganbegitu, aku tidak perlu bolak balik dari rumah mama yang jaraknya cukup jauh. Belumlagi aku
“Aku pun bingung. Di dalam pikiran Tante Anggi, Mala selalu saja salah, gak ada benarnya. Mungkin Tante perlu diruqiyah dulu biar bisa memandangi dari kacamata positif.” “Eh, kurang ajar!” Ibu tersinggung dengan ucapan Lian. “Sudahlah. Percuma juga dijelaskan.” Aku menutup jendela yangmasih terbuka, berniat segera pergi saja. “Akan aku panggil warga supaya menggiring kalian ke rumah pakRT.” “Ibu apa-apa sih!” “Kita pergi sekarang. Aku malas berdebat.” Lian memutar tubuh,lalu meninggalkan percekcokan sengit di ruangan ini. “Hai, Lian. Jangan kabur!” teriak ibu. “Ibu mau ngapain? Mau memfitnah kami? Iya silahkan. Lian jarangberinteraksi langsung dengan pembuat keonaran lo Bu. Dia bakal mengubungi pengacaranya kalau ketenangannya terusik.” “Pengecut namanya kalau seperti itu,” protes ibu. “Lihat ya? Akan aku viralkan perbuatan kalian!” Ibu menjauh, kemudian pergi. “Mau ke mana, Bu?” tanya Lian sambil mengulum senyum. Ibu melengossaja melewatinya yang duduk di kursi teras. “Mau
POV ArmalaTerkadang hidup sangat melelahkan. Melalui fase demi fase kehidupan yang membosankan. Begitu-begitu saja sampai kepenatan membekukan hati.Bekerja, pulang, dan mengurus Zaki sudah menjadi keseharianku setiap hari. Membekas meninggalkan kebiasaan baru. Kalau dulu akan ada mas Mirza sebagai obat dari kepenatan, sekarang malah sebaliknya. Kehadiran mas Mirza beberapa hari terakhir malah membuatku jengah. Sangat membosankan.Haruskah pergi ke suatu tempat di mana tak ada dirinya? Atau resign saja supaya bisa terbebas dari pikiran tentang dia? Tapi rasanya bukan ide yang bagus. Sebab, dari pekerjaan inilah sumber penghidupanku untuk Zaki. Kalau aku design, berarti aku kalah. Kalah melawan perasaanku sendiri. “Kenapa?”Tiba-tiba Lian sudah duduk di belakang meja. Sejak kapan diamasuk? Karena kepergok tengah melamun, aku berpura-pura membenahi map di meja.“Pake pura-pura. Begini ini, kelakuan kalau kepergok memikirkan sesuatu yang gampang ditebak!”“Apaan sih! Gak jelas.”Aku me
POV Armala Lian membolak-balik dua ikan emas hasil tangkapannya. Anginsore membuat perapian semakin membesar. Lian meletakkan di atas wadah yang diaambil dari bagasi. Rupanya, dia memang berencana mengajakku mancing. Buktinya, semua perlengkapan memancing ada di mobilnya. Pun ada wadah yang sudah terisi dengan nasi dan sambal terasi. “Jadi, sejak kapan nyiapin ini semua?” tanyaku sambil memindahkan satu centong nasi ke atas piringnya. “Nyiapin apa?” Aku kesal kalau Lian menjawab dengan balik pertanyaan. Dia pasti gak bakalan menjawab. “Ah, sudahlah. Nikmati saja. Lapar!” Aku mencocol daging ikan bakar ke sambal sambil menikmati pemandangan di pinggir danau. Beberapa pasang mata menangkap kebersamaan kami. Mungkin mereka pikir, kami pasangan kekasih. “Gak usah pedulikan mereka. Habiskan ikannya. Aku membuatitu semua dengan usaha bukan kaleng-kaleng.” Aku mengalihkan perhatian. Piring di depannya sudah kosong. “Kamu kelaparan, Li?” “Banget.” “Tau gitu, beli makanan dulu sebel
Suasana kantor sepi saat aku menjejakkan kaki diparkiran. Masih terlalu pagi untukku, karena biasanya aku tak pernah datang seawal ini. Di parkiran, hanya ada mobilku dan sebuah motor milik sekuriti.“Selamat pagi, Bu Mala,” sapa seorang sekuriti denganpakaian khasnya.“Pagi juga,” jawabku. Aku langsung menuju ruang kerja dilantai tiga.Sengaja berangkat lebih awal, karena hari pertama masuk kerja dari apartemen yang baru aku tinggali. Jaraknya yang dekat membuatku tidak membutuhkan waktu yang lama. Bahkan, aku bisa berjalan kaki, seperti pagi ini.Meja kerja menjadi tujuanku, ketika memasuki ruang kerja. Langsung membuka laptop dan mempersiapkan presentasi pagi. Lian tak ada membantuku kali ini. Sebab, dia sedang ada pekerjaan lain, meninjau proyek di luar kota. Berangkat pagi-pagi sekali bersama pak Anton.Sebelum waktu subuh tiba, ponselku berdering tanpa panggilan masuk. Lian mengabarkankalau dirinya dan pak Anton harus pergi saat itu juga, lalu memerintahkan aku agar memimpin m
Lian datang menjemputku ke kantor. Aku malah ternganga melihat dia sudah berdiri di lobi. Lian mengenakan kemeja dengan bawahan Jean hitam, bukan pakaian kantoran.Herannya lagi, dia kan seharusnya ke luar kota?“Lama amat,” keluhnya menyambutku.“Ngapain repot-repot jemput. Kan apartemenku dekat, Li. Aku bisajalan kaki, atau minta tolong sekuriti mengantar. Terus, bukannya kamu ke luar kota?”“Cerewet amat! Gak jadi ke luar kota. Kita ke salon ‘kan? Mama sudah menunggu.”Lian beranjak lebih dulu tanpa menunggu jawabanku.“Asem,” rutukku.Ngomong-ngomong ke salon, aku jadi teringat obrolan tante Lizasemalam. Perlukah menanyakan pada Lian? Atau berpura-pura masa bodoh saja?“Kenapa melamun? Naksir?”Astaga, apa dia gak pernah berkata lembut pada wanita? Masa langsung main tebak perasaan begitu.“Aneh!” jawabku sambil bersungut.“Mau makan dulu?” tanyanya saat akan melewati kafe favorit dia.“Nggak.”“Pasti habis makan sama Mirza.”Aku bersungut lagi.“Kenapa sih, hobi banget main tebak
Nah, baru teringat. Nama itu pernahdisebut Lian saat aku menawarkan makanan yang kupesan dari sebuah kafe.Benar, aku ingat sekarang. Lian ikutmeresmikan kafe milik Zahira. Bahkan hafal semua menu di kafe itu. Aku jadi penasaran.Setelah tante Liza selesaimenjelaskan macam-macam make up, aku memberanikan diri bertanya mengenaiZahira.“Tan, Tante kenal wanita yangbersama Lian? Tanyaku hati-hati. Tante Liza melirikku sejenak, lalu terfokuskembali membereskan alat-alat make up-nya.“Zahira?” tanyanya, sepertimemastikan.“Hu’um, Tante kenal?”“Jelas kenal. Dia kan mantanpacarnya Lian. Dulu dia gak pakai hijab dan sering datang ke salon ini.”“Oh,” balasku. Mantan. Pantas saja terlihatsangat akrab.“Mau pulang sekarang?” tanya TanteLiza. Aku mengangguk sambil menerima bungkusan darinya.“Sendiri saja. Kelihatannya Lian lagiasik-asiknya ngobrol tuh, Tan.”“Masa, sih!” Tante Liza merapatkan butuhpada pembatas ruangan yang hanya bersekat kaca, sehingga terlihat jelas keakrabanantara Lian dan
POV HestiBerkutat dengan gunting, sisir dan alat-alat make up memangmenjadi keahlianku. Dimulai karena hobi, serasa apa yang kukerjakan enak-enak saja,tanpa beban, dan tanpa tekanan.Dari kecil, aku suka berkutat dengan peralatan make up milikkakak perempuanku. Semakin beranjak dewasa, semakin mahir menggunakan berbagaimacam alat dan berhasil memadupadankan macam-macam make up menjadi warna-warni yang pas.Selesai menamatkan SMA, seorang teman membawaku ke kota danmengajak masuk ke kursus salon.Berawal dari salon, saling mengenal teman yang satu hobi danprofesi, akhirnya dipertemukan dengan seorang pria yang menyita perhatian. MasMirza. Seorang lulusan sarjana muda. Saat itu, dia baru saja bekerja.Pertemuan yang intens antara aku dan mas Mirza membuathubungan kami semakin dekat. Jujur, aku menyukainya. Aku mengagumi semua yangada padanya. Dengan bermodalkan kejujuran, aku menyatakan cinta. Gayung punbersambut, mas Mirza menerima cintaku.Hari-hari aku lalui dengan suka cita. Sebab,
Zaki membawa paper bag berisi mainan. Ia hanya berdiri mematung, menunggu seseorang yang sedang mengeluarkan mobilnya dari area parkir. Kendaraan yang berjejalan membuatnya harus sabar menunggu."Zaki,buruan!" Panggilan itu membuatnya memasukkan ponsel dalam saku kemeja.Ia berjalan sambil menyambar paper bag yang sempat ia letakkan pada lantai.Remaja itumemasuki mobil dengan santai, duduk di sebelah si pengemudi."Besaramat beli mobil-mobilannya. Jadi repot bawanya," keluh Zaki seraya meletakkan paper bag di jok belakang."Itu 'kan pesanan adikmu.""Tantekenapa enggak ngajak om Gus buat beli hadiah, sih," keluh Zaki."Kayak gaktau om kamu. Dia kan paling malas diajak belanja. Palingan ntar kalau sudah punya anak sendiri, baru mau direpotin."Zaki menatap tantenya dengan perasaannya sayang. Sebab, tantenya lah satu-satunya keluargadari pihak sang papa yang menganggapnya ada.Melati mengacak rambut Zaki ketika keponakannya itu kepergok menatapnya lama.Waktu yang memisahkannya dengan
~°°~Kakinya yang kokoh berjalan melewati trotoar. Langkah tegap melewatibeberapa kerumunan orang yang sengaja menghabiskan malam dengan berkumpul di pinggirjalan.Lian baru saja ke luar dari ATM yang terletak di seberang jalansebuah kafe modern. Semula, ia sedang meeting di kafe itu. Setelahnya, ia menuju ATM untuk mentransfer sejumlahuang. Sengaja menggunakan ATM, karena ia juga butuh menarik uang tunai sebagai cadangandi dompetnya.Sebuah pesan ia kirimkan ke Armala, sekaligus foto sebuah strukbukti tranfer.[Sudah aku kirimkan, Sayang. Mungkin dia lagi sibuk menguruswisuda. Jadi, dari pihak yang menyalurkan beasiswa itu belum bisa menghubungi Melati.]Pesannya terkirim. Lian tidak menunggu balasan dari istrinya.Ia sedang memesan taksi online, sehingga harus menunggu di tempat yang mudah dijangkau.Lian berdiri pada bahu jalan. Tak berapa lama kemudian, sebuahtaksi online datang menjemput.Ia menatap layar pipih di tangannya. Pesan yang Ia kirimkan tidakjuga mendapat balasan.“
“Iya. Aku pun serius. Dia datang ke sini karena nasib yang membawanya harus menebus kesalahan itu. Gak ada sesuatu yang berjalan kebetulan, Sayang. Semua yang terjadi berdasarkan hukum sebab akibat. Percayalah, kamu ratu yang berhati baik, maka jangan habiskan waktumu untuk berpikir negatif. Lebih baik, pikirkan suamimu ini.” “Kamu kenapa minta dipikirin?” “Ck, sudah dua hari loh, Sayang.” Lian mengedipkan mata sebagai isyarat yang ia tunjukkan jika menginginkan sesuatu. Armala tertawa, dan langsung tanggap dengan kode itu. “Ya sudahlah, Hesti bukan sesuatu yang penting buat di bicarakan.” Armala merebahkan kepala di dada Lian, lalu memberikan sinyal untuk memulai pergulatannya. ** Lian membawa sebuah map ke ruang kerja Armala. Di tangan kanan ia menenteng paper bag berisi makan siang. “Makan dulu. Laporannya tolong nanti diselesaikan. Soalnya, aku mau meeting siang ini.” Ia meletakkan map itu ke atas meja, lalu mengajak Armala menikmati makan siang yang ia bawa. “Kamu pulan
“Kalian istirahat dulu. Nanti malam harus pergi lagi kan?” Widya mengingatkan.“Apa mama tadi menelepon, Tan? Tanya Lian. “Soalnys ponsel aku matikan,” ucap Lian lagi.“Menelepon hanya untuk mengingatkan saja, kalau kalian harus datang lebih awal.”Armala beristirahat begitu memasuki kamar. Rasa lelah selama perjalanan membuatnya cepat terlelap. Lian membiarkan istrinya larut dalam mimpi. Sebab, sebentar lagi impiannya untuk menghadiahkan sebuah salon kecantikan segera menjadi kenyataan.Liza memberikan kejutan sebuah salon kepada Armala. Berawal dari rencana Lian memberikan hadiah anniversary pertama pernikahan mereka. Lalu, jadilah sebuah salon yang dibangun sejak tiga bulan yang lalu.Armala mengetahui adanya salon itu. Namun, hanya sebatas hasil pengembangan bisnis mertuanya. Tak mengetahui jika akan menjadi milik pribadinya.*Peresmian salon berjalan malam hari. Bertepatan acara syukuran anniversary pertama Lian dan Armala. Keduanya tampak hadir di tengah-tengah karyawan kantor
Suatu keadaan akan membentuk seseorang untuk berubah lebih cepat menjadi pribadi yang lapang, dan tidak mudah terbawa arus. Walaupun diikuti dengan kesakitan karena bekas masa lalu yang pahit, tetapi pada saatnya akan menerima keadaan dengan ikhlas.Seperti itu juga keadaan yang dialami Mirza. Mencintai bunga dalam taman, melepasnya demi bunga jalanan, lalu ia pun ikut terlempar ke luar istana.Mereguk manisnya madu bunga liar, terhempas dari sisi kehidupan yang ternyata fatamorgana, lalu harus ikhlas karena di dunia tempat ia berpijak saat ini ternyata dipenuhi duri dan kerikil tajam.Mencoba bertahan dengan satu keyakinan, bahwa akan datang hari baik suatu saat nanti. Rupanya harapan itu pupus bersama dengan usia yang tak lagi mendukung.Kini, ia harus bersyukur dengan keadaan yang ia sebut baik dari pada terus menerus berharap sesuatu yang mustahil.Mirza kini memikul beban yang cukup ringan di bawah pernikahan ketiganya dengan seorang janda dua anak. Ia sudah dikaruniai seorang an
“Kita bergerak ke satu arah yang sama. Kalau aku berjalan, tak mungkin kamu aku tinggalkan. Apapun yang menjadi bebanmu, maka aku pun ikut memikulnya.”Lian merangkul bahu Armala dari sisi kanan, mencium pipi putih istrinya hingga terlihat salah tingkah.“Makasih, Sayang. Tau gak, aku sangat beruntung pernah jatuh, lalu bangkit dan ketemu sama kamu,” lirih Armala mesra.Armala mengelus pipi Lian dengan perasaan sayang yang memenuhi rongga dadanya.“Mulai berani ngegombal sekarang, ya? Buruan mandi sana. Aku siapkan makan malam. Sepertinya, kamu akan butuh banyak tenaga untuk melewati malam ini.”“Ih, bahasamu itu bikin aku ngeri.”Keduanya tertawa terbahak-bahak. Selanjutnya mereka terlibat dalam perbincangan intim. Padahal sebelumnya, ia akan sungkan menegur Armala jika bersifat pribadi. Keadaan itu berubah seketika, tatkala Armala sah menjadi miliknya.**Pagi harinya, Armala sudah menyiapkan segala hal yang berhubungan dengan melati. Ia ingin menemui gadis itu untuk mengucapkan bel
Bunga yang bertaburan di atas pusara menjadikan saksi tangisan dua anak manusia yang menyayat hati. Tak menyangka jika ibu yang selama ini menjadi tempat bersandar telah pergi untuk menghadap Rabbnya.Melati lebih histeris lagi. Sebab, karena ulahnya menyebabkan Anggi meregang nyawa. Rasa sesal memenuhi kepala. Menangisi ibu yang sudah menjadi mendiang seperti mengorek hatinya akan kesalahan kecil yang berakibat fatal.Siang itu sebelum peristiwa nahas, terjadi pertengkaran antara Melati dengan Anggi. Pemicunya tak lain karena Anggi mengulur waktu ketika Melati meminta uang untuk tambahan uang jajan.Selama berhari-hari, Melati harus menahan diri untuk tidak berbelanja kebutuhannya dan harus hidup berhemat demi bisa melangsungkan kuliahnya.Anggi menjanjikan uang bulanan sore hari, setelah berhasil menagih uang kontrakan pada dua orang yang menempati kontrakannya.Namun, malang tidak dapat ditolak dan untung tidak dapat diraih. Sebelum sampai di kontrakan, Anggi menjadi korban penjamb
“Kita belum makan.”Ucapan Armala tak diindahkan. Sepertinya, Lian lebihbersemangat menikmati santapan yang lain.Armala merelakan ketika satu persatu pakaian terlepas dari tubuhnya.Hasrat itu seperti dahaga, yang akan terlampiaskan dengan seteguk air pertama dan akan terpuaskan dengan tegukan kedua.Malam panjang menjadi saksi akan runtuhnya pertahanan egomasing-masing. Menapaki setiap menit yang berlalu dengan iringan nafas yang mengalun memburu.Setiap rasa nyaris tanpa kata. Hanya rasa tentram yang bersarang,setelah dua insan yang bergelut dengan damai mencapai batasnya.**Lian tak melepaskan pelukan meskipun berulang kali Armala meminta agar diturunkan. Lelah dengan permintaannya, Armala merebahkan kepalake dada bidang Lian.Sofa depan televisi menjadi tempat bersantai pagi itu. Lianduduk dengan memangku Armala. Sudah beberapa saat mereka bersantai di sanatanpa percakapan. Lian menelisik Armala yang tampak malu membalas tatapannya.Armala membenahi piyama mandinya ketika netra
“Zaki ‘kan gak bisa menyetir mobil? Ayah juga bakal jadi sopirnya Zaki sama mama selain jadi bodyguard,” terang Lian.“Sayang, ayah itu sekarang yang akan menjaga kita. Jadi, boleh ya kalau tinggal di sini sama kita.” Armala menambahkan.Zaki mengangguk sambil menguap. Mala membawanya ke pembaringan. Ia ikut berbaring, lalu mengelus punggung putranya.Hingga beberapa menit, Zaki masih terjaga. Lian menunggu di pinggir ranjang sambil memainkan ponselnya. Lelah menunggui Zaki tak juga tertidur, Mala memejamkan mata lebih dulu.. Entah sudah berapa lama Mala terpejam. Ia baru tersadar ketika tubuhnya sudah tertutupi selimut dan merasakan seseorang sedang memeluknya dari belakang.“Li,” panggilnya.Armala menoleh, mendapati Lian sudah tertidur pulas. Ia mengubah arah tidurnya dengan menghadap Lian. Pipi mulus sang suami menjadi incarannya. Sebuah kecupan mendarat di sana.“Kenapa?” gumam Lian dalam terpejamnya.“Maaf, ya Sayang, harus ditunda dulu,” ucap Armala menyesal.“Gak pa-pa. Masi