Usai mengurus surat-surat dan pembayaran, aku mengantarkan Melati pulang. Mantan adik iparku ini terlihat sangat senang sekali. Terlihat menyunggingkan senyum selama dalam perjalanan.Aku sampai di depan rumah mantan mertua. Melati berhasil akusalip di tikungan tajam, sehingga aku sampai lebih dulu. Dia berhenti di halaman, lalu turun untuk menemuiku.“Mbak langsung pulang. Mau ke rumah mama, ada janji mau ngajakZaki jalan-jalan soalnya,” ucapku.“Iya, Mbak. Makasih ya, Mbak.”Aku mengangguk.“Kuliahnya yang rajin, jangan keluyuran.” Diapun mengangguk.Aku melambaikan tangan, melirik sekilas ke teras, di mana Hestiberdiri sambil menggendong bayinya dan seorang lagi yang langsung masuk ketika aku datang. Mas Mirza.**Pagi-pagi sekali aku harus segera ke kantor. Lian baru saja menelpon kalau ada keadaan darurat di kantor.Biasanya Lian akan menjemputku, tapi kali ini aku memilih berjalankaki saja. Aku berjalan melewati lorong apartemen. Tidak panjang sebenarnya, hanya butuh dua menit.
“Kenapa tertawa? Gak merasa begitu?”“Iya, sih! Mana tau boleh lebih kan.”Mendadak, tenggorokanku seperti tersekat. Apa sih maksudnya?“Aku ke toilet sebentar.” Lian berdiri dan pergi.Selalu begini. Setiap kali selesai menyentil sesuatu yangmembingungkan, Lian pasti langsung pergi.*Tuntutan peran membuat aku dengan mas Mirza kembali dekat.Dalam artian sering berinteraksi dalam hal pekerjaan.[Dek, bisa makan siang barengan?]Sebuah pesan masuk saat aku dan Lian sudah sampai di depan rumahmama.[Aku sudah pulang.]Balasan yang kutulis pada pesan itu.[Oke.]“Siapa?”Tiba-tiba Lian sudah berdiri di belakangku.“Biasa,” jawabku.“Masih suka basa-basi rupanya.” Usai berucap, dia langsungnyelonong masuk rumah. Terdengar pekikanZaki menyambut kedatangan Lian. Seperti itu mereka ketika saling bertemu.Lian kerap uring-uringan usai aku berbalas pesan denganMirza. Jika sudah begitu, aku jadi ingat ucapan tante Liza. Benarkah wanita dibalik obrolan itu adalah aku? Lalu, kenapa Lian masih be
POV Lian“Li, kalau aku duluan nikah nanti, kamu gak akan kesepiankan?” tanyanya sambil menjinjing tas ranselnya karena malas mengenakan dipunggung. Begitulah kebiasannya. Dia bilang, punggungnya sakit kalaumenggendong buku banyak-banyak. Tapi, menurutku berlebihan, karena menggendong itu lebih ringan daripada dijinjing. Ah,entahlah. Dia memang aneh.“Kamu mau nikah muda?”Seketika, dia melotot. Tangan kiri bergerak cepat menyambarlenganku, lalu bergelayut di sana. Rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai,melambai diterpa angin.“Bukan, ih! Seandainya saja.” Dia cemberut menunjukkanprotesnya. Dia menurunkan gulungan baju putih lengan panjangnya sampai terlihat tulisan “XI IPA”.“Jangan. Nanti kita nikahnya barengan,” kelakarku sambilmengeluarkan motor besar yang terparkir. Dia bersungut-sungut kesalmenanggapi candaanku.Setelah itu, aku dan Armala melaju pulang. Meninggalkansekolah yang sudah hampir tiga tahun kusambangi. Mala satu tingkat dibawahku.Tapi, hanya sebatas kelas saja. Ke
Sesampainya di rumah bercat putih itu, aku disambut dengan pemandangan yang mencengangkan. Tenda dan dekorasi pengantin sudah terpasang rapi. Bahkan meja dan kursi-kursi sudah berjajar sempurna.Mala memanggil dari kejauhan. Dia tampak tersenyum, bahkanbinar bahagia terpancar di sana.“Akhirnya aku nikah lebih dulu, Li.”Senyumku hilang seketika. Dia memelukku dengan sangat haru,seakan-akan menunjukkan bahwa dia telah menang dariku.Ya, ya ... sudahlah. Memang dia pemenangnya. Pemenang di setiap titik penting dalam setiap cerita hidupku.Aku bahagia melihatnya, meskipun harus aku tutup-tutupidengan bungkusan senyum semu.*Lagi-lagi hanya mama yang mengerti aku. Ternyata mama sudah menangkap ketidakberesan perhatianku pada Mala sejak kecil. Tanpa bercerita, mama mengetahui semua yang kurasakan. Namun, apa daya takdir berkata lain. Tak dapat ku buktikan apa yang menjadi harapan terbesarku pada Mala. “Mama tau, kamu menyukainya bukan karena saudara. Mama jugatau, bahwa kamu sangat ter
Sudah dua jam aku berdiam di sini. Menemani Mala dan Zaki di taman. Tak masalah jika pergi dengan mereka berdua. Masalahnya, mereka pergi untuk menemui Mirza. Kesal itu sudah pasti. Membiarkan Mala pergi berdua dengan Zaki lebih mmebuatku khawatir. Mirza memang papanya Zaki, tapi aku tetap saja tidak mempercayainya. Mungkin Mala melihat kekesalanku, sehingga segera mendekati Zaki dan mengajaknya pulang. Pun hari sudah sore. Sudah sewajarnya jika Zaki pamit pada papanya. Mala dan Zaki semakin mendekat padaku, kemudian, aku membawa mereka menjauhi taman. Selama perjalanan, aku hanya diam saja. Tak ada percakapan, kecuali antara aku dengan Zaki. “Kamu kenapa, Li? Apa aku punya salah?” tanyanya saat berhenti di depan rumah tante Widya. Zaki turun lebih dulu, sehingga kami bisa berbicara lebih leluasa. “Gak ada,” jawabku sambil melepas seatbelt, lalu menyusul Zaki. Kalau Mala masih juga tak mengerti, berarti dia tak peka. Masalah perasaan, sepertinya tidak perlu dijelaskan sedetail
“Serius, Li?” tanyanya masih tak percaya. “Iya,” jawabku singkat. Aku menunjuk ke depan agar Mala segera berjalan. Dua kursi saling berhadapan. Satu ruangan ini, hanya ada dua kursi yang kami duduki. Kafe dengan gaya Eropa ini sangat mewah, terlihat dari isi dan warna keemasan yang mendominasi ruangan. Seorang waiters datang, lalu menurunkan dua minuman ke hadapanku dan Mala. Lalu diikuti seorang lagi yang menyusul membawakan hidangan. “Li.” Mala menatapku lembut, seperti menuntut penjelasan. “Makan dulu,” balasku sambil menunjuk makanannya. Kami menikmati hidangan tanpa bersuara. Aku sengaja memberi jeda pada Mala agar dia menebak banyak hal tentangku, tentang malam ini dan tentang semua yang selama ini aku lakukan untuknya. Mala tidak menghabiskan makanan. Sepertinya, rasa penasaran sudah membuat kesabarannya menipis. “Li, jangan biarkan aku keburu mati penasaran,” ucapnya. Mala memang begitu, kenapa sih, dia tak bisa jaim barang sedikit saja? “Aku gak akan membiarkan kamu
Selama perjalanan pulang, aku sengaja tidak membuka suara.Rasain, memangnya enak dibuat penasaran.“Kapan-kapan aku ajak ke kafe lainnya,” ucapnya setelahsampai di apartemen.“Buat apa?” balasku ketus.“Biar tau perbedaan macam-macam kafe,” jawabnya.Aneh. Dasar manusia teraneh!“Gak usah,” jawabku sangat kesal.Aku langsung turun dan pergi meninggalkan Lian.“Kurang kerjaan, menyewa kafe semahal itu, Cuma begitudoang. Ya ampun, Lian!” Aku menggerutu.“Hei, tunggu.” Panggilannya terpaksa membuatku menghentikanlangkah.“Sudah malam. Pulanglah!” perintahku. Lagian, untuk apa dia disini?Lian berhasil membuatku kesal. Rasa kecewa memenuhi dada. Untuk apa aku kecewa? Apa alasannya coba? Dia bukan siapa-siapa. Bukan pacar, apalagi calon suami.Hei, bukankan itu kelihatan lucu? Ya ampun Mala, ada apadenganmu? Masih waras kan?“Aku antar sampai depan pintu.”Permintaannya membuatku sesak nafas. Andai saja bisamelarang. Aku ingin dia pergi Sekarang juga.“Gak usah,” balasku.Aku langsung berl
“Kalau kamu mengerti, mestinya peka. Sekarang, kamu aku tuntununtuk paham, Mas. Jawab pertanyaanku. Setelah semuanya berakhir,berarti baru timbul kedaranmu kan?”Aku menjeda, sengaja ingin mendengar jawabannya langsung.“Iya, maaf.”“Bagiku gak penting kata maaf itu. Terus, kalau kamu sadar,berati sadar juga apa-apa kesalahanmu kan?”Aku kembali menjeda. Menunggu lagi jawabannya.“Iya.”“Maka pulanglah. Rawat anak perempuanmu lebih baik dariZaki. Agar kehidupannya kelak bisa terjamin. Lalu didiklah istrimu sepertikeinginanmu. Entah apa yang menjadi hobinya, semoga bisa kamu tunaikan dengan segera. Jika kamu melakukan itu, berarti kamu benar-benar menyesal. Itu yang namanya peka padakeadaan.”Aku menyambar tas, bergerak lebih cepat agar bisa segera menghindarinya.“Dek.”Mas Mirza mengejar. Langkahnya yang panjang bisa cepatmenyusulku. Baru membuka handel pintu, tiba-tiba tangan mas Mirza menyentakkuhingga aku jatuh dalam dadanya yang bidang.“Apa-apaan, sih. Lepaskan!” Aku menolaknya