Davin tersentak saat mendengar gedoran keras di pintu kamar. Entah sudah berapa lama dirinya dan Angel tertidur.Dengan nyawa yang belum terkumpul, Davin melirik ke pintu kamar.“Dave… buka pintunya, Dave!” Itu suara Kiano.“Angel..., kalian nggak apa-apa kan?” Suara Kiano kini berganti dengan panggilan Bian. Dari nadanya mereka terdengar cemas.Davin buru-buru duduk, mengambil kaos oblong hitam demi menutupi dadanya yang polos. Sambil menahan kantuk dan menutup kuap Davin menyeret langkah berat menuju pintu.“Ya ampun, Dave, kalian masih tidur?” Suara Adizty yang pertama kali Davin dengar begitu pintu terbuka.“Hmm, iya, Mi.” Davin menggaruk leher belakangnya. Bingung menghadapi orang tua serta mertuanya yang kini berkumpul di depannya.“Angel mana, Dave?” Bian menatap Davin tajam sambil mencuri pandang ke arah kamar.“Ada, Pi, di dalam masih tidur.” Davin menjadi tidak enak hati.“Bukannya tadi mami kamu udah telepon suruh sarapan?” Kiano ikut sumbang suara.“Iya, Pi, tadi habis man
“Ternyata kamu di sini, Dave.”Davin dan Kiano sama-sama mengemas suara saat Adizty masuk ke kamar tanpa memberi aba-aba. Tanpa mengetuk pintu atau pun memberi sapaan.Adizty menatap bergantian anak tersayang dan suaminya tercinta. Perempuan itu jadi curiga karena keduanya menunjukkan gelagat aneh. Pasti tadi ada yang Davin dan Kiano bicarakan, tapi keduanya mendadak membungkam mulut saat dia menampakkan diri.“Lagi ngomongin apa sih kalian?” tanyanya curiga.“Nggak ngomong apa-apa kok, Yang.” Kiano yang menjawab.“Tapi tadi pas aku lagi di luar rame banget suaranya.” Tadi Adizty memang mendengar gelak tawa Davin dan Kiano sebelum masuk ke kamar. Dan saat pintu dibuka suara-suara itu pun lenyap seketika.“Kamu salah dengar kali, Yang, aku sama Davin ngomong biasa aja kok, nggak ada yang aneh-aneh, nggak rame juga.”Meskipun tidak percaya, tapi Adizty tidak bicara lagi. Mungkin tadi Kiano dan Davin sedang membahas masalah laki-laki dan tidak penting untuk diketahuinya. Palingan keduan
Mereka sudah berada kembali di Indonesia setelah penerbangan panjang yang melelahkan. Saat ini Angel dan Davin menetap di rumah Bian dan Tatiana. Seharusnya mereka sudah berada di rumah sendiri, tapi kedua orang tua Angel belum memberikan izin.Hari itu keduanya masih sama-sama mendekam di kamar. Sisa-sisa kelelahan akibat penerbangan kemarin masih melekat di tubuh mereka. Davin dan Angel leye-leye di pembaringan yang empuk. Keduanya berbaring miring dengan muka saling menatap. Saat iris coklat mereka bertemu, bibir keduanya pun beradu. Beberapa hari sudah berlalu tapi hingga hari ini Angel masih merasa ada yang tidak beres di bagian selangkangannya. Caranya berjalan pun masih terlihat aneh meskipun tidak separah hari-hari pertama setelah Angel melepas keperawanannya.“Dek, gimana, masih sakit?” tanya Davin setelah melepas kecupan.“Dikit sih, Dave. Amy katanya dulu juga kayak gini, malah amy sampai harus ke rumah sakit.” Dengan menyingkirkan rasa malu, akhirnya Angel memberanikan
Pesta telah usai. Bulan madu selesai. Euforia pun berakhir.Perjalanan mereka mengarungi Australia hingga New Zealand dengan kapal pesiar mewah Heaven Cruise menyisakan kenangan indah dan begitu membekas di memori Angel dan Davin. Di kapal pesiar nan mewah lagi megah itu mereka merangkai cerita dan mengukir sejarah besar. Hampir setiap hari mereka bercinta, bermesraan hingga berbagi kebahagiaan. Mereka memang tidak pergi berdua, tapi membawa keluarga besar dari kedua belah pihak. Tapi sedikit pun kehadiran keluarga tidak membuat keduanya merasa terganggu.Angel dan Davin masih berada di rumah orang tua Angel. Dan kali ini Davin menuntut Angel agar merealisasikan ucapannya saat itu.“Dek, kamu masih ingat nggak, waktu itu kamu pernah bilang kalo kita pindah rumahnya kalo udah pulang honeymoon. Jadi aku mohon nggak ada lagi alasan lain,” tegas Davin pagi itu pada Angel yang sedang membantunya memasang kancing kemeja satu demi satu. Hari ini Davin dan Angel memang sudah mulai kembali bek
Di hari pertamanya kembali kerja setelah menikah, Davin pulang agak malam karena harus menyelesaikan pekerjaannya yang terbengkalai selama cuti kemarin.Pukul delapan malam lewat sepuluh menit. Itu yang dinyatakan penunjuk waktu digital di gawainya. Sementara tumpukan berkas di atas meja yang harus dianalisa dan membutuhkan approval masih menggunung tinggi.“Dave, masih lama ya pulangnya? Aku kangen, Dave!”Davin tersenyum saat membaca deret demi deret kata di gawainya. Ini entah sudah pesan ke berapa yang dikirim Angel padanya. Tadi Davin memang sudah mengabari pada istrinya itu kalau akan terlambat pulang. Tapi Davin belum mengatakan tentang perintah Kiano padanya.“Sebentar lagi ya, Dek, tapi aku mampir ke rumah papi dulu. Mami lagi sakit.” Davin segera membalas pesan itu agar Angel tidak terus-terusan merisaukannya.“Jangan-jangan lama ya, Dave, aku kangen…” Senyum Davin terkembang lagi. Dalam waktu kurang dari dua menit sudah dua kali Angel bilang kangen.“Iya, Sayang, i’ll be th
Masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesin, Davin tidak langsung pergi meninggalkan rumah orang tuanya. Davin mengambil gawai dan mencari nama Dylan di daftar kontak. Begitu menemukannya Davin segera men-dial. Setelah mengetahui perasaan Gendiz tadi Davin merasa ingin bicara dengan Dylan. Siapa tahu dia bisa membantu.Tapi percuma. Meski sudah meredial beberapa kali, Dylan tidak bisa dihubungi. Mungkin dia sudah mengganti nomornya dan memutus komunikasi dengan siapapun yang mengenalnya.Dengan rasa kecewa, Davin menyimpan kembali gawainya lalu pergi. Dia harus pulang sekarang.Ingatan tentang Dylan dan perasaan kasihannya pada Gendiz terus menghantui Davin. Namun tidak ada yang bisa dilakukannya selain berharap sang adik akan segera bertemu jodoh yang jauh lebih baik.Dari dalam mobil, Davin melihat Angel sedang duduk menunggunya di beranda. Wajahnya yang resah tersorot jelas oleh cahaya lampu mobil. Saat mengetahui Davin yang datang, senyumnya merekah. Angel lalu bangkit dari dudukn
Setelah menempuh penerbangan sekitar dua jam empat puluh menit, akhirnya Davin dan Angel mendarat dengan selamat di Delta Island. Pulau milik pribadi yang masih perawan itu hanya bisa ditempuh dengan pesawat pribadi serta kapal. Tidak ada transportasi publik yang disengaja ke sana maupun sekitarnya kecuali carteran yang biasanya digunakan oleh wisatawan maupun penduduk lokal.Di sekitar Delta Island masih banyak pulau kecil dan terluar lain yang rata-rata adalah kepunyaan pribadi dan dijadikan sebagai destinasi wisata.Pembangunan resort di Delta Island baru mencapai 80%. Meskipun begitu sudah terlihat geliatnya. Kalau sudah rampung nanti pulau ini akan menjadi destinasi wisata para kaum borjuis atau setidaknya bagi mereka yang ingin menikmati indahnya surga dunia.Hamparan pasir putih di sepanjang pesisir pantai serta air laut berwarna biru cenderung turquoise menyapa dan memenuhi ruang mata keduanya begitu mereka menginjakkan kaki setelah turun dari pesawat.“Ya ampun, Dave, ini sih
Davin mendominasi dan memenjarakan Angel di bawahnya. Tubuh mereka yang bersimbah peluh melebur menjadi satu. Semilir angin yang berembus dan menerobos masuk melalui jendela kamar yang dibiarkan terbuka tidak akan berpengaruh apa-apa bagi keduanya karena tubuh mereka jauh lebih panas.Davin yang bergerak liar perlahan melambat dan membalikkan Angel yang tadi berada di bawah dan memosisikan di atasnya tanpa melepas penyatuan.Baru saja Angel akan mengambil alih dominasi Davin, terdengar pintu diketuk dari luar. Angel dan Davin saling berpandangan, mengira-ngira siapa yang datang.“Lanjutin aja, Dek,” desis Davin dan meminta Angel agar tidak memedulikan gangguan dari setan manapun di luar sana.Angel mencengkram pinggul Davin, membentuk pertahanan dan mengembalikan ritme seperti semula. Gerakan aestheticnya seperti berpacu dengan ketukan di depan pintu yang tak kunjung berhenti.“Mas Davin, ini saya, Mas, Nilam.”Raut keduanya mencetak kesal karena merasa terganggu. “Mas Davin, bisa b