“Kok aku di suruh balik ke kamar, aku mau cuci piring.”
“Kamu di kamar saja sampai Dirga balik.”“Hah kenapa begitu? bukannya kita harus menghormati tamu, aku mau buatkan minum juga.”Laksa menyipitkan matanya tak suka. “Dia juga tidak ingin minum, sudah kamu bereskan pakaian itu saja dulu, biar aku yang temui dia.”“Tap-“Luna hanya bisa menghela napas, apa mungkin nasi goreng yang dia buatkan tadi terlalu pedas sampai Laksa jadi aneh begitu.Luna menggelengkan kepalanya, dia malas untuk berpusing-pusing memikirkan sikap Laksa yang aneh itu. Lebih baik dia segera bergegas merapikan pakaian ini.Dia melirik jam dinding yang ada di kamar ini sudah hampir jam tujuh pagi, dia yakin Laksa akan terlambat datang ke hotel lagi, hari ini dia mengajar pukul sepuluh pagi, dan seperti biasa Laksa pasti akan mengantarnya terlebih dahulu.“Apa aku ambil motor di rumah ayah saja, supaya bisa pergi kemana-mana sendiri,” gumam Luna pelan, tidak mungkin juga di“Tidak, Lun, darimana kamu mendapat ide gila seperti itu.” “Itu bukan ide gila, Kak, itu solusi yang terbaik untuk masalah kita.” Setelah Dirga pergi, tau lebih tepatnya Laksa yang memaksa laki-laki itu untuk pergi –dengan sedikit ancaman tentu saja. Laksa segera bersiap untuk pergi bekerja, tapi masalah muncul saat sang istri malah memberikan ide yang menurutnya sangat konyol dan tidak masuk akal. “Tetap saja, aku sama sekali tidak setuju.” “Tapi kalau setiap hari kak Laksa selalu telat masuk kerja, gara-gara antar jemput aku, apa kata anak buah kakak, lagi pula dengan begitu aku bisa pergi kemanapun yang aku mau, tak perlu lagi merepotkan kak Laksa.” “Itu yang tidak aku mau, kamu pergi kemana-mana sendiri naik motor apalagi kondisimu sedang hamil begini.” Luna memang mengutarakan keinginnannya untuk mengambil motornya di rumah sang ayah, jarak apartemen dengan sanggar tempt dia mengajar tidak terlalu jauh, jadi akan
“Aku akan senang sekali kalau kamu mau membawakan keripik apel dari sana.” “Apa itu tidak mungkin, Kak laksa sangat sibuk, lagian aku juga segan untuk memintanya mencarikan makanan yang aku inginkan? Kandunganku baik-baik saja, hanya akhir-akhir ini aku banyak makan dan suasana hatiku juga naik turun.” “Saat kamu sudah kembali bekerja aku akan menceritakan semuanya. Benarkah? Apa kamu bisa memfotokannya untukku, kamu kan tahu aku sangat ingin suatu saat menikah dengan konsep seperti itu. hah benar juga aku sudah menikah, jadi tak mungkin terwujud.” Laksa baru saja akan masuk ke dalam kamarnya dan Luna, saat dia mendengar suara istrinya itu yang sedang berbicara dengan seseorang dari telepon, terlihat sangat akrab kalau dari caranya berbicara. Laksa bahkan tak tahu kalau Luna bisa juga bicara sebanyak dan seluwes itu, selama ini Luna memang terkesan lebih pendiam saat ada di dekatnya, dia akan bicara jika Laksa bertanya, Luna tidak pernah mengatakan keinginan hati
Sepanjang malam Luna tak bisa tidur dengan tenang, di sampingnya Laksa sudah pulas tertidur dengan memeluk tubuhnya erat. Sebenarnya bukan hanya sekarang saja, pokoknya sejak sore tadi ketika ayah mertuanya menelepon dan memintanya membujuk Laksa, Luna selalu memikirkan hal itu. Setiap detik, setiap menit lalu berganti jam, tak pemikiran itu tak pernah lepas dari kepala Luna. Sebenarnya dia tidak ingin ikut campur masalah keluarga Laksa ini, tapi statusnya yang sebagai istri Laksa membuat Luna mau tak mau harus terlibat. “Bagaimana kalau mereka malah bertengkar, sifat keduanya sepertinya sama saja, pemaksa dan tidak mau mengalah,” gumam Luna, sambil memandang wajah rupawan Laksa yang terlihat sangat tenang.Dengan ibu jarinya Luna menelusuri wajah Laksa, dulu dia tak berani bahkan untuk bermimpi melakukan ini, hidungnya yang mancung, bibirnya yang sering berlabuh di bibirnya, sepasang alis yang hitam, matanya yang biasa menatap Luna tajam dan membuat dadanya bertebar
“Nenek itu jualan gudeg, kak, sejak beliau masih gadis dulu, jadi pengalamannya sduah lebih dari tujuh puluh tahun sudah sangat terpercaya dalam duani pergudekan, dan tidak ada yang mengalahkan enaknya gudeg buatan nenek, jadi kalau gudeg itu sampai basi sayang sekali.” “Memang kamu tidak bisa membuatnya, minimal maminta resep nenek begitu siapa tahu kamu bisa meneruskan bisnisnya.” “Pernah memang nenek mengajarkan resepnya padaku, tapi rasanya tak seenak gudeg buatan nenek, ayah juga bilang begitu, pengalaman memang tidak pernah bohong.” Laksa menghela napas, dia tak tahu kenapa terjebak membicarakan gudeg dengan Luna, tapi melihat sang istri terlihat sangat bersemangat membuat Laksa tak mampu menolak keinginann Luna, dan sekarang hanya karena gudeg sialan itu dia mengabaikan harga diri dan rasa marahnya demi mengantar Luna ke rumah keluarganya. Jika Dirga tahu hal ini, sepupu kurang ajarnya itu pasti akan tertawa tujuh hari tujuh malam. “Seharusnya kiriman itu biarkan
Laksa memandang wajah Luna yang tertidur pulas dalam dekapannya, sejenak dipandangnya wajah wanita yang telah menjadi istrinya itu, rambutnya yang wangi strawberry tergerai kusut, wajahnya polos tanpa riasan membuat wanita itu seperti anak SMA saja. Laksa mengecup kening Luna lama, lalu beranjak bangkit dari tidurnya, dan memeriksa tas kerja yang dia bawa, lalu dengan pelan membawanya ke ruang tamu yang sudah dia sulap menjadi ruang kerjanya. Bukan Laksa tidak ingin memberi tahu Luna, dia hanya perlu waktu untuk memahami semuanya, pikirannya bahkan selalu kusut akhir-akhir ini, kenyataan ini menghantamnya dengan telak. Dibukanya amplop yang diberikan sang mama tadi sore, sejenak Laksa menimbang, apa kira-kira isi di dalamnya atau mungkin lebih tepatnya siapkah dia mengetahui isi amplop ini? Dengan menguatkan tekadnya Laksa membuka amplop itu, sebuah kertas kecil bertuliskan bertuliskan nama Marlina, lengkap dengan alamat rumah dan juga alamat akun media sosialnya, sayang seka
“Ckkk... aku heran kamu punya rumah yang nyaman dan apartemen mewah, tapi kamu suka sekali tidur di properti milikku.” Laksa memandang dingin pada sepupunya yang masih setengah mengantuk saat dia masuk ke kamar ini. Tadi pagi salah satu anak buahnya menginformasikan kalau Dirga tidur di salah satu kamar di hotel ini, bukan masalah sebenarnya hanya saja Laksa tidak akan melewatkan waktu untuk menjahili sepupunya itu, lagi pula ada yang ingin dia bicarakan dengan Dirga. “Kamu kerja sana, jangan ganggu aku,” kata Dirga sambil menarik selimutnya. Tentu saja Laksa tak akan membiarkan hal itu, dengan semena-mena dia menarik selimut yang membungkus tubuh Dirga yang membuat sepupunya itu melotot marah. “Ayo bangun, ini sudah siang.” “Sejak menikah kamu sudah seperti emak-emak nyinyir.” Dirga langsung bangkit dan masuk ke kamar mandi, Laksa menunggunya dengan sabar sambil duduk di ranjang memainkan ponselnya.” Bibirnya menampilkan senyum saat melihat status Luna, istrinya itu terlih
“Saya akan menjemput istri saya dulu, hubungi saya kalau sudah mendapat suplier yang tepat.” “Baik, Pak?” Laksa baru saja kembali dari meeting dengan klien penting, rasanya kepalanya sangat penuh, belum lagi permintaan sang klien yang tidak biasa, bukannya pihaknya tak bisa memenuhi hanya saja akan butuh waktu untuk melakukan pemesanan dan lain sebagainya dan sekarang Laksa harus putar otak bagaimana memenuhi itu semua dalam waktu yang singkat. Belum lagi persoalan pribadinya yang sangat menguras emosi, meski Dirga telah mengatakan kalau akan memikirkan permintaan Laksa, tapi selama laki-laki itu belum mengatakan iya hatinya belum bisa tenang. Laksa mengenal Dirga hampir sepanjang hidupnya dan sepupunya itu kadang seenaknya, dan terkesan angin-anginan. Saat penat seperti ini biasanya Luna bisa membuat perasaannya lebih baik dengan tingkah polos tapi menggemaskan menurut Laksa. Sebena
Luna meremas tangannya dengan gugup, sesekali dia melirik pada Laksa yang begitu masuk ke dalam mobil menampilkan wajah datarnya, bahkan dia yang biasanya bertanya ini itu pada Luna kini hanya seperti patung batu. Luna bukan orang yang pandai untuk memulai pembicaraan dengan orang lain, karena itu dia jarang punya teman yang akrab dengannya, mungkin mereka berpikir Luna orang yang sangat membosankan. Iya Luna akui mungkin mereka benar, Luna bahkan hanya bisa bersikap apa adanya, tak pandai untuk diajak bekerja sama dalam menjahili teman dan sederet hal lainnya yang mungkin tidak akan muat dalam satu buah buku, hanya Vira yang betah berteman dengan Luna, mungkin karena gadis itu sangat cerewet jadi mereka tak pernah kekurangan bahan obrolan. Otak Luna sibuk berputar mencari apa kesalahannya dan kalimat apa yang tepat untuk membuka percakapan dengan Laksa., tapi saat melihat wajah Laksa yang terlihat sangar nyali Luna langsung ciut. Mobil yang dikemudikan Laksa me
Luna meremas rok yang dipakainya saat ini, setelah makan siang yang sangat terlambat yang mereka lakukan Luna kira Laksa akan langsung kembali ke kantornya tapi ternyata dia salah, suaminya itu malah duduk berselonjor di atas karpet tebal di depan televisi besar yang ada di ruangan itu. Luna membulatkan tekad, menekan gengsi dan rasa malunya yang setinggi gunung itu, dia sadar jika ingin hubungan mereka berhasil bukan hanya Laksa yang harus berjuang, dia juga tak boleh pasif dan hanya bisa menerima saja, dan salah satu cara untuk semakin meningkatkan hubungan mereka yang diajarkan guru besarnya -VIRA- adalah dengan menjalin komunikasi yang baik dengan Laksa, hal kecil yang sejak dulu adalah penyakit Luna yang sangat sulit dicari obatnya. Luna berjalan pelan mendekati Laksa, dengan sedikit canggung dia duduk tepat di samping Laksa, tapi laki-laki itu rupanya cepat tanggap tangan kirinya yang sedang tidak memegang remot televisi merengkuh tubuh Luna hingga tak ada jarak
Luna kembali berguling-guling di atas ranjang hotel yang empuk itu, ternyata menjadi tidak hanya saat bekerja dia bisa kelelahan, menjadi pengangguran seperti sekarang ini juga membuatnya lelah. Yah, meski Laksa memberikannya fasilitas mewah di hotel ini, tetap saja Luna yang biasa bekerja dan bergerak ke sana kemari sangat bosan kalau harus tiduran saja. Dia sedang tidak ingin menonton drama yang biasanya sangat dia sukai itu, pun demikian ebook yang sering dia baca juga terlihat tak menarik lagi. Intinya Luna sangat bosan, dia ingin berbicara dengan seseorang, oh... Ini memang bukan kebiasaannya, biasanya Luna bahkan begitu betah mendekam di dalam kamar semdirian.Dilihatnya jarum jam berdetak dengan sangat lambat menurut Luna dan berat. Kapan Laksa akan kembali?Luna menghela napas berat. Kalau tahu dia dianggurin seperti ini, lebih baik tadi dia pulang ke rumah keluarga Sanjaya saja, setidaknya di sana ada mama mertuanya atau para asisten rumah tangga yang meski tidak terlalu r
Seperti memahami suasana hati Laksa yang segelap malam, Luna memutuskan diam saja di kursinya, kalau bisa ingin sekali berkamuflase agar sama dengan kursi mobil Laksa. Suasana hati suaminya ini benar-benar sedang tidak baik. Setelah mereka mengantarkan nenek ke stasiun tadi, Laksa memang akan langsung mengantar Luna ke rumah keluarganya, tapi siapa sangka tepat saat mereka akan keluar dari stasiun, mereka bertemu dengan ibu kandung Laksa bersama seorang laki-laki yang mungkin usianya hanya beberapa tahun lebih tua dari suaminya itu, mereka terlihat mesra bergandengan berdua. Luna sampai meringis karena Laksa mencengkeram tangannya terlalu kuat. Tapi tanpa Luna duga Laksa memutuskan untuk mengikuti mereka. Laki-laki yang bersama ibu Laksa itu langsung naik begitu kereta yang akan menuju ke Jakarta datang, meninggalkan sang ibu yang tersenyum lebar setelah memeluknya sebentar. Pemandangan yang jamak memang, tapi tidak untuk Laksa, meski mereka tak tahu apa hubungan keduanya tapi dari
Luna masih sibuk dengan ponsel di tangannya saat Laksa masuk kamar dan mengerutkan kening tak suka. Dengan pelan dia mendekati Luna dan mengintip apa yang sedang dilakukan sang istri sampai mengabaikan mahluk setampan dirinya begitu saja. “Kukira ngapain ternyata ngasih makan zombie.” Luna yang sedang sangat sibuk memberi makan zombienya langsung mendongak mendengar Laksa sudah ada didekatnya. Sejak kapan? “Aku kira kakak akan menemani ayah sampai malam,” kata Luna sambil meletakkan ponsel di sampingnya dan melupan kalau masih ada zombie kelaparan di sana. Laksa mengangguk. “Hanya ngobrol ringan, kami sudah selesai ngobrol serius tadi sore.” Mereka memang baru saja makan malam dengan makanan buatan nenek yang lezat itu, tapi nenek memutuskan tidur lebih awal, karena badannya terasa pegal setelah menempuh perjalanan jauh dan dia juga memerintahkan Luna untuk cepat masuk kamar dan tidur juga. Meninggalkan Pak Edwin dan Laksa yang atas perintah nenek, harus membersihkan mej
Malam sudah sangat larut saat Laksa memasuki pelataran rumah mertuanya, dia menengok pada arloji yang melingkar di tangannya, sudah hampir pukul sebelas malam memang, pantas saja semua rumah di kiri kanan sudha tertutup rapat. Untunglah Laksa sempat meminta kunci cadangan pada Luna, khawatir dia pulang cukup larut dan harus membangunkan orang rumah. Saat pintu terbuka dia masih bisa mendegar suara televisi yang dinyalakan di ruang tengah. Ternyata ayah mertuanya belum tidur, dalam hati Laksa sedikit mengeluh, tubuh dan pikirannya terasa lelah, dan dia ingin sekali langsung istirahat, tapi dia tak mungkin melewati ayah mertuanya begitu saja tanpa berbasa-basi sebentar minimal menanyakan apa yang dia tonton. Laksa tidak bisa bersikap seperti saat berada di rumahnya ayah mertuanya bukan papanya yang terlihat tidak peduli padanya. “Malam, Yah, belum tidur,” sapa Laksa berbasa basi. “Belum, ayah masih nonton bola.” Mau tak mau Laksa duduk sebentar menanyakan skor pero
Kalau mau tahu rasanya jatuh cinta sama cowok dan sudah dari laaama... tapi si cowok nggak notice juga yang berujung pada putus asa, Luna sangat tahu jawabannya. Sakitnya nylekit banget lebih sakit dari pada saat Luna digigit kalajengking waktu kecil. Dulu waktu Laksa bersikap sangat baik padanya –dan itu terjadi mungkin karena tidak sengaja– Luna sudah menggelepar kegeeran tidak karuan, dia selalu ingin melihat Laksa setiap saat., meskipun secara sembunyi-sembunyi dari tempat yang agak jauh dan yang pasti tidak ada yang curiga kalau dia sedang memperhatikan :Laksa. Saat Laksa jadian dengan teman seangkatannyanyapun yang terkenal sebagai primadona kampus, Luna tak langsung patah hati, dia selalu percaya kalau suatu saat dialah yang akan jadi jodoh Laksa, kepercayaan konyol memang yang langsung terkikis begitu dia bertemu Laksa pertama kali di tempat kerja dan tampak sangat tidak mengenali Luna, yang selama ini diam-diam memendam asa untuknya. Bego memang, Luna tahu it
Laksa bukan orang yang suka menunda masalah memang, baginya lebih cepat masalah bisa diselesaikan lebih cepat pula hasilnya akan kelihatan, begitulah yang dia lakukan selama ini. Akan tertapi serang bukan waktunya untuk memikirkan tentang hal lain, Luna masih sangat perlu perhatian darinya, apalagi hubungan mereka yang barusan membaik membuat Laksa berharap banyak. “Ada apa, Kak? Siapa yang menelepon?” tanya Luna yang melihat Laksa tiba-tiba terdiam di tempat duduknya. Laksa memandang Luna sejenak, menimbang apa akan mengatakan semuanya atau tidak, sejujurnya dia tak ingin membebani pikiran Luna dengan perkara itu, tapidia sudah banyak belajar dari kesalahan sebelumnya. Sekarang dia bukan lagi laki-laki lajang yang bisa memutuskan apapun sekehendak hatinya, ada Luna di sisinya yang akanberbagi suka dan duka dengannya. “Aku harap kamu tidak berpikir yang berlebihan.” Dirga menghela napasnya sebentar dan memandang Luna dalam. “Beberapa hari yang lalu aku min
“Dua menit sepuluh detik.” Dirga mematikan stopwatch dari ponselnya dengan gembira. “Kamu menghitung apa?” tanya Laksa penasaran. Saat ini mereka sedang duduk di taman rumah sakit, saat Laksa dan Luna terlibat percakapan tadi, tiba-tiba sang mama datang bersama Dirga, membawakan makanan kesukaan Laksa dan Luna. Sungguh perhatian yang membuat dada Laksa menghangat, meski rasa malu dan gengsi masih membatasinya untuk kembali masuk dalam pelukan mamanya. Dirga menoleh pada Laksa, terlihat sangat gembira, membuat Laksa mengerutkan keningnya bingung. “Rekor sebelumnya ternyata sudah terpecahkan.” “Rekor apa? sebenarnya apa yang sedang kamu bicarakan?” Dirga mengarahkan telunjuknya pada Luna dan mama mertuanya yang sedang asyik bersenda gurau. “Bagiamana menurutmu pemandangan di sana, maksudku saat dua orang itu tertawa lepas?” Laksa tersenyum, “sangat indah, aku suka melihatnya.” “Keduanya atau salah satu?” “Keduanya tentu saja, a
Hal yang paling dibenci Luna adalah mencurahkan isi hati pada seseorang, selain ayah dan Bundanya juga Vira, belum pernah sekalipun Luna bicara panjang lebar menyangkut tetang perasaan di hatinya. Sekarang dia tentu saja sangat kesulitan untuk mengungkapkan semua isi hatinya pada Laksa, meski sudah tak terhitung jumlahnya mereka berbagi keringat bersama. Bahkan beberapa kali Vira sudah mendorongnya untuk berbicara pada Laksa secara terus terang, Luna sangat kesulitan mengatakan maksud hatinya. “Bagaimana jika aku tak ada di sini?” Laksa menatap Luna dengan kening berkerrut. “Apa maksudmu?” Luna menghela napas, kali ini dia ingi menguatkan tekad, mengatakan apa yang menjadi kehendak hatinya. Vira benar ini hidupnya dan jika dia ingin bahagia, maka dia harus tegas untuk menyikapi semua. “Hubungan kita hanya sebuah kecelakaan yang direncanakan seseorang, dasarnya sama sekali tak kuat, banyak faktor yang menyebabkan kita sangat berbeda, dan aku rasa kak Lak