Luna terduduk merasa bersalah pada Laksa, bagaimanapun suaminya itu terlihat sangat kesakitan, dan Luna hanya bisa berdiri diam di sana, tanpa membantu apapun.
Dan Laksa yang masih tampak meringis kesakitan itu harus cepat-cepat berangkat kembali ke kantor saat sekretarisnya menghubunginya kalau meeting akan segera di mulai.Laksa hanya mengatakan “Aku pergi dulu.” Pada Luna sebelum meninggalkan kamar ini, membuat Luna teringat kejadian beberapa malam yang lalu.Dan rasa bersalah langsung menghujam hati Luna.Dia bahkan menelepon Vira dan sahabatnya malah menertawakannya.“Biarkan saja, Lun, itu bisa jadi pelajaran buat dia, supaya tidak menggunakan ‘itu’ sembarangan,” kata Vira dari seberang sana.“Tapi... itu berarti aku berdosa menyakiti suamiku sendiri.”Luna bisa mendengar helaan napas Vira diseberang sana. “Luna, aku saja belum menikah kenapa juga kamu tanya beginian ke aku.”Luna menghela napas benar juga, dia salah berguru. “Lalu akuLuna menggeliatkan tubuhnya yang terasa remuk, bagian bawah tubuhnya masih terasa sakit, tapi senyum malu-malu di bibirnya menandakan dia bahagia dan tidak menyesali semuanya. Tapi senyum itu langsung sirnah saat tak mendapati Laksa yang seharusnya tertidur di sampingnya. ‘aku mencintaimu, terima kasih untuk malam yang sangat indah.’‘Kamu wanita terbaik dalam hidupku.’Luna menggeleng miris, khayalannya terlalu tinggi Laksa tak mungkin berkata seperti itu, hidup tidak akan semanis drama yang sering ditontonnya. Luna pernah membaca bahwa laki-laki bisa melakukan hal ini tanpa cinta sekalipun, dan tidak menutup kemungkinan untuk Laksa. Luna menggelengkan kepala mengenyahkan semua pikiran buruk dalam kepalanya, seperti kata Vira mungkin ini baru awal, setidaknya nanti dia tidak akan menyesal, dia sudah berusaha menjadi istri yang baik seperti yang pernah bundanya ajarkan, andai nanti Laksa tak serius dengan ucapannya. Luna berusaha menggerakkan tubuhn
Hari sudah berganti malam saat Luna berdiri di bawah pohon mangga yang ada di belakang rumah keluarga Sanjaya. Entah mengapa tiba-tiba dia ingin sekali makan buah mangga, mungkin ini yang dinamakan ngidam.Luna bahkan membujuk dirinya sendiri untuk memakan buah lain yang sudah tersedia, tapi ternyata jiwa bandel Luna sedang ingin bermain, dia bahkan tak tergoda dengan jeruk yang terlihat sangat segar, atau strawberry yang biasanya sangat dia sukai, bahkan keripik dan cokelat yang menjadi favoritnya kini terabaikan sudah. Jadi dengan nekat dia keluar dengan membawa ponselnya yang dijadikan senter untuk melihat buah mangga yang bisa dia petik. “Seharusnya ada banyak tadi pagi d sini, apa sudah dipetik ya,” gumam Luna pada dirinya sendiri, wanita itu menoleh ke kiri dan kanan, keadaan sudah sangat sepi, jam di ponselnya sudah menunjukkan angka sembilan malam, dan para asisten rumah tangga sudah berangkat untuk beristirahat. Luna mengarahkan senter ponselnya ke kanan
“Dia terlalu manja dan sangat merepotkan beda sekali dengan Non Raya yang baik dan mandiri.” “Mau bagaimana lagi, dia jadi Nyonya juga hasil menjebak Mas Laksa, tentu beda dengan Non Raya yang dicintai mas Laksa.” Lakas berdiam di sana mengamati interaksi Luna dari pintu halaman belakang yang terbuka lebar, mungkin mereka memang tak menyadari kehadiarannya, tapi Ekspresi masam Luna yang baru keluar dari dapur da= langsung menuju kamar mereka membuat Laksa mau tak mau memperhatikannya. “Apa kamu tidak ingin menjelaskan semuanya?” Laksa menoleh dan mendapati sang kakek sudah di sampingnya, mungkin dia terlalu fokus memperhatikan semuanya sampai suara kursi roda sang kakek tak terdengar. “Menjelaskan apa?” Sang kakek menghela napas panjang dengan kebebalan Laksa. Entah cucunya ini memang tidak tahu kejadian ini atau memang tidak perduli. “Bagiamana sebenarnya hubunganmu dengan istrimu.” “kami baik-baik saja.” “Opa pikir juga begitu melihat
Laksa berdecak kesal saat tiba-tiba Dirga datang ke kantornya, sepupu dari pihak ibunya itu memang suka sekali datang tak diundang dan pulang juga semaunya. Pekerjaannya yang seorang programer di sebuah situs pencarian terkenal di dunia, memungkinkannya untuk bekerja dari manapun dia berada. Atau lebih tepatnya dia bisa melakukan apapun yang dia suka. Bahkan Dirga pernah berseloroh bahwa dia bisa bekerja sambil kencan dengan pacarnya. “kamu terlihat tidak senang melihatku.”“Memang, kamu kesini pasti akan ada masalah yang terjadi,” jawab Laksa tak menutupi rasa enggannya, meski dia tahu Dirga tak akan terpengaruh dengan rasa kesalnya. Mereka sudah bersama sejak kecil, bahkan bisa dibilang mereka dibesarkan bersama-sama, karena seringnya ibu mereka bertemu dan membawa mereka turut serta. “Bukan aku yang membawa masalah tapi kamu saja yang tidak jeli melihat masalah,” kata Dirga yang membuat Laksa mati kutu dibuatnya. Laksa memang sangat pandai dalam menga
Kecanggungan itu bahkan tak terpecahkan sampai Laksa menghentikan mobilnya di sebuah mini market. “Aku tidak akan lam,” kata Luna yang bersiap untuk membuka pintu mobil, tapi tangan Laksa menahannya. “Tunggu.” “Ya?” “Tolong tunggu sebentar lagi sampai aku bisa mencintaimu, apa kamu akan marah padaku jika aku berkata begitu?” “Aku hanya ingin menjalani semuanya seperti air, saat ini aku istri kak Laksa, aku hanya perlu menjalankan kewajibanku sebagai istri yang baik, melayani kakak baik lahir maupun batin.” “Hanya kewajiban, bukan cinta?” tuntut Laksa. “Bukankah kakak juga begitu, aku rasa tidak masuk akal kita membicarakan cinta untuk sekarang, kita hanya perlu menjalani takdir yang digariskan sebaik mungkin. Jadi kakak mau nitip sesuatu?” Laksa hanya menggeleng merasa tertampar dengan kata-kata sederhana Luna. Benarkah sikap kerasnya sudah berusaha melawan takdir dan ditetapkan untuk dirinya.
“Seharusnya kalian tidak perlu jemput kami, kasihan Luna dia pasti capek,” kata sang mama lembut saat mereka sudah bertemu di bandara. “Luna pingin lihat pesawat, Ma, makannya dia nangis minta ikut,” ledek Laksa yang masih tidak habis pikir dengan acara ngambek Luna. Luna hanya bisa menatap suaminya dengan cemberut. Coba saja Laksa mengatakannya dengan baik dan benar, mungkin dia tak akan curiga berlebihan, dia kira Laksa memang malu mengajaknya menjemput orang tuanya. Dan sekarang dia jadi malu saat mengerti maksud suaminya. “Kamu ngidam lihat pesawat?” tanya sang mama dengan mata berbinar. Luna menggaruk rambutnya yang tidak gatal, bisa saja dia bilang iya, menjadikan kehamilannya alasan adalah hal paling mungkin dia lakukan, tapi masalahnya Luna tak biasa berbohong,. “Luna Cuma ingin lihat bandara seperti di drama-drama itu, Ma,” jawab Luna polos. “Memangnya kamu belum pernah naik pesawat?” tanya sang mama sedikit terkejut. Kota paling jau
Luna berkacak pinggang menatap Laksa yang menggeliatkan tubuhnya dengan malas. Dia sendiri sudah membersihakan diri, setelah sang suami melepaskannya dan jatuh tertidur. “Kakak pembohong ternyata.” Laksa yang dituduh begitu tentu saja gelagapan, dia baru saja terbangun dari tidur siangnya yang sangat indah. “Pembohong apa?” tanyanya tak mengerti.“Katanya mau menunjukkan apa surga dunia kenapa malah aku diajak main tralala.” Laksa hampir menyemburkan tawanya, istrinya ini benar-benar tak terduga, tapi saat melihat wajah garang sang istri sedapat mungkin Laksa menahan tawanya. “Main Tralala apa?” “Itu yang barusan kita lakukan.” Sekarang Laksa tak mampu lagi menahan tawanya, Laksa menggelangkan kepalanya ada-ada saja istilah istrinya ini. “Maksudmu bercinta?” Luna hanya menunduk dengan wajah yang sudah merona merah. “Memangnya kamu tidak suka? Aku lihat kamu tadi malah sangat menikmati.”“Sudah, Kak Laksa kenapa jadi jahil be
Luna menatap langit-langit kamar ini dengan mata menerawang, ini hari pertama sang mama mertua ada di rumah, tapi bukannya turun untuk membantu mama mertuanya menyiapkan makan malam, Luna malah ada di sini. Di atas ranjang kamarnya yang masih tampak berantakan seolah baru saja diterjang angin topan. Dia sungguh malu. Dia tak tahu apa yang harus dia katakan pada beliau saat bertemu nanti, pasti akan sangat canggung dibuatnya. Luna menghela napasnya lagi, menatap sekeliling kamar yang hanya menyisakan kesunyian, pelaku yang pantas disalahkan atas semua ini sudah kabur entah kemana, beralasan akan menyelesaikan pekerjaannya. Luna lalu bergegas membersihkan dirinya... lagi dan menata kamar itu, memunguti satu persatu baju-baju mereka yang tercecer dimana-mana, juga merapikan ranjang yang sudah kusut tak berbentuk. Luna memandang hasil kerjanya dengan puas, semuanya sudah selesai, lalu sekarang apa? dia tak memiliki alasan lagi untuk tetap di sini, medekam di kamar se
Luna meremas rok yang dipakainya saat ini, setelah makan siang yang sangat terlambat yang mereka lakukan Luna kira Laksa akan langsung kembali ke kantornya tapi ternyata dia salah, suaminya itu malah duduk berselonjor di atas karpet tebal di depan televisi besar yang ada di ruangan itu. Luna membulatkan tekad, menekan gengsi dan rasa malunya yang setinggi gunung itu, dia sadar jika ingin hubungan mereka berhasil bukan hanya Laksa yang harus berjuang, dia juga tak boleh pasif dan hanya bisa menerima saja, dan salah satu cara untuk semakin meningkatkan hubungan mereka yang diajarkan guru besarnya -VIRA- adalah dengan menjalin komunikasi yang baik dengan Laksa, hal kecil yang sejak dulu adalah penyakit Luna yang sangat sulit dicari obatnya. Luna berjalan pelan mendekati Laksa, dengan sedikit canggung dia duduk tepat di samping Laksa, tapi laki-laki itu rupanya cepat tanggap tangan kirinya yang sedang tidak memegang remot televisi merengkuh tubuh Luna hingga tak ada jarak
Luna kembali berguling-guling di atas ranjang hotel yang empuk itu, ternyata menjadi tidak hanya saat bekerja dia bisa kelelahan, menjadi pengangguran seperti sekarang ini juga membuatnya lelah. Yah, meski Laksa memberikannya fasilitas mewah di hotel ini, tetap saja Luna yang biasa bekerja dan bergerak ke sana kemari sangat bosan kalau harus tiduran saja. Dia sedang tidak ingin menonton drama yang biasanya sangat dia sukai itu, pun demikian ebook yang sering dia baca juga terlihat tak menarik lagi. Intinya Luna sangat bosan, dia ingin berbicara dengan seseorang, oh... Ini memang bukan kebiasaannya, biasanya Luna bahkan begitu betah mendekam di dalam kamar semdirian.Dilihatnya jarum jam berdetak dengan sangat lambat menurut Luna dan berat. Kapan Laksa akan kembali?Luna menghela napas berat. Kalau tahu dia dianggurin seperti ini, lebih baik tadi dia pulang ke rumah keluarga Sanjaya saja, setidaknya di sana ada mama mertuanya atau para asisten rumah tangga yang meski tidak terlalu r
Seperti memahami suasana hati Laksa yang segelap malam, Luna memutuskan diam saja di kursinya, kalau bisa ingin sekali berkamuflase agar sama dengan kursi mobil Laksa. Suasana hati suaminya ini benar-benar sedang tidak baik. Setelah mereka mengantarkan nenek ke stasiun tadi, Laksa memang akan langsung mengantar Luna ke rumah keluarganya, tapi siapa sangka tepat saat mereka akan keluar dari stasiun, mereka bertemu dengan ibu kandung Laksa bersama seorang laki-laki yang mungkin usianya hanya beberapa tahun lebih tua dari suaminya itu, mereka terlihat mesra bergandengan berdua. Luna sampai meringis karena Laksa mencengkeram tangannya terlalu kuat. Tapi tanpa Luna duga Laksa memutuskan untuk mengikuti mereka. Laki-laki yang bersama ibu Laksa itu langsung naik begitu kereta yang akan menuju ke Jakarta datang, meninggalkan sang ibu yang tersenyum lebar setelah memeluknya sebentar. Pemandangan yang jamak memang, tapi tidak untuk Laksa, meski mereka tak tahu apa hubungan keduanya tapi dari
Luna masih sibuk dengan ponsel di tangannya saat Laksa masuk kamar dan mengerutkan kening tak suka. Dengan pelan dia mendekati Luna dan mengintip apa yang sedang dilakukan sang istri sampai mengabaikan mahluk setampan dirinya begitu saja. “Kukira ngapain ternyata ngasih makan zombie.” Luna yang sedang sangat sibuk memberi makan zombienya langsung mendongak mendengar Laksa sudah ada didekatnya. Sejak kapan? “Aku kira kakak akan menemani ayah sampai malam,” kata Luna sambil meletakkan ponsel di sampingnya dan melupan kalau masih ada zombie kelaparan di sana. Laksa mengangguk. “Hanya ngobrol ringan, kami sudah selesai ngobrol serius tadi sore.” Mereka memang baru saja makan malam dengan makanan buatan nenek yang lezat itu, tapi nenek memutuskan tidur lebih awal, karena badannya terasa pegal setelah menempuh perjalanan jauh dan dia juga memerintahkan Luna untuk cepat masuk kamar dan tidur juga. Meninggalkan Pak Edwin dan Laksa yang atas perintah nenek, harus membersihkan mej
Malam sudah sangat larut saat Laksa memasuki pelataran rumah mertuanya, dia menengok pada arloji yang melingkar di tangannya, sudah hampir pukul sebelas malam memang, pantas saja semua rumah di kiri kanan sudha tertutup rapat. Untunglah Laksa sempat meminta kunci cadangan pada Luna, khawatir dia pulang cukup larut dan harus membangunkan orang rumah. Saat pintu terbuka dia masih bisa mendegar suara televisi yang dinyalakan di ruang tengah. Ternyata ayah mertuanya belum tidur, dalam hati Laksa sedikit mengeluh, tubuh dan pikirannya terasa lelah, dan dia ingin sekali langsung istirahat, tapi dia tak mungkin melewati ayah mertuanya begitu saja tanpa berbasa-basi sebentar minimal menanyakan apa yang dia tonton. Laksa tidak bisa bersikap seperti saat berada di rumahnya ayah mertuanya bukan papanya yang terlihat tidak peduli padanya. “Malam, Yah, belum tidur,” sapa Laksa berbasa basi. “Belum, ayah masih nonton bola.” Mau tak mau Laksa duduk sebentar menanyakan skor pero
Kalau mau tahu rasanya jatuh cinta sama cowok dan sudah dari laaama... tapi si cowok nggak notice juga yang berujung pada putus asa, Luna sangat tahu jawabannya. Sakitnya nylekit banget lebih sakit dari pada saat Luna digigit kalajengking waktu kecil. Dulu waktu Laksa bersikap sangat baik padanya –dan itu terjadi mungkin karena tidak sengaja– Luna sudah menggelepar kegeeran tidak karuan, dia selalu ingin melihat Laksa setiap saat., meskipun secara sembunyi-sembunyi dari tempat yang agak jauh dan yang pasti tidak ada yang curiga kalau dia sedang memperhatikan :Laksa. Saat Laksa jadian dengan teman seangkatannyanyapun yang terkenal sebagai primadona kampus, Luna tak langsung patah hati, dia selalu percaya kalau suatu saat dialah yang akan jadi jodoh Laksa, kepercayaan konyol memang yang langsung terkikis begitu dia bertemu Laksa pertama kali di tempat kerja dan tampak sangat tidak mengenali Luna, yang selama ini diam-diam memendam asa untuknya. Bego memang, Luna tahu it
Laksa bukan orang yang suka menunda masalah memang, baginya lebih cepat masalah bisa diselesaikan lebih cepat pula hasilnya akan kelihatan, begitulah yang dia lakukan selama ini. Akan tertapi serang bukan waktunya untuk memikirkan tentang hal lain, Luna masih sangat perlu perhatian darinya, apalagi hubungan mereka yang barusan membaik membuat Laksa berharap banyak. “Ada apa, Kak? Siapa yang menelepon?” tanya Luna yang melihat Laksa tiba-tiba terdiam di tempat duduknya. Laksa memandang Luna sejenak, menimbang apa akan mengatakan semuanya atau tidak, sejujurnya dia tak ingin membebani pikiran Luna dengan perkara itu, tapidia sudah banyak belajar dari kesalahan sebelumnya. Sekarang dia bukan lagi laki-laki lajang yang bisa memutuskan apapun sekehendak hatinya, ada Luna di sisinya yang akanberbagi suka dan duka dengannya. “Aku harap kamu tidak berpikir yang berlebihan.” Dirga menghela napasnya sebentar dan memandang Luna dalam. “Beberapa hari yang lalu aku min
“Dua menit sepuluh detik.” Dirga mematikan stopwatch dari ponselnya dengan gembira. “Kamu menghitung apa?” tanya Laksa penasaran. Saat ini mereka sedang duduk di taman rumah sakit, saat Laksa dan Luna terlibat percakapan tadi, tiba-tiba sang mama datang bersama Dirga, membawakan makanan kesukaan Laksa dan Luna. Sungguh perhatian yang membuat dada Laksa menghangat, meski rasa malu dan gengsi masih membatasinya untuk kembali masuk dalam pelukan mamanya. Dirga menoleh pada Laksa, terlihat sangat gembira, membuat Laksa mengerutkan keningnya bingung. “Rekor sebelumnya ternyata sudah terpecahkan.” “Rekor apa? sebenarnya apa yang sedang kamu bicarakan?” Dirga mengarahkan telunjuknya pada Luna dan mama mertuanya yang sedang asyik bersenda gurau. “Bagiamana menurutmu pemandangan di sana, maksudku saat dua orang itu tertawa lepas?” Laksa tersenyum, “sangat indah, aku suka melihatnya.” “Keduanya atau salah satu?” “Keduanya tentu saja, a
Hal yang paling dibenci Luna adalah mencurahkan isi hati pada seseorang, selain ayah dan Bundanya juga Vira, belum pernah sekalipun Luna bicara panjang lebar menyangkut tetang perasaan di hatinya. Sekarang dia tentu saja sangat kesulitan untuk mengungkapkan semua isi hatinya pada Laksa, meski sudah tak terhitung jumlahnya mereka berbagi keringat bersama. Bahkan beberapa kali Vira sudah mendorongnya untuk berbicara pada Laksa secara terus terang, Luna sangat kesulitan mengatakan maksud hatinya. “Bagaimana jika aku tak ada di sini?” Laksa menatap Luna dengan kening berkerrut. “Apa maksudmu?” Luna menghela napas, kali ini dia ingi menguatkan tekad, mengatakan apa yang menjadi kehendak hatinya. Vira benar ini hidupnya dan jika dia ingin bahagia, maka dia harus tegas untuk menyikapi semua. “Hubungan kita hanya sebuah kecelakaan yang direncanakan seseorang, dasarnya sama sekali tak kuat, banyak faktor yang menyebabkan kita sangat berbeda, dan aku rasa kak Lak